Kelompok 16:
Adhelia Galuh P. A.
G0013004
G0013040
B. Brynt Simamora
G0013054
Elisabeth Agnes S.
G0013086
Faraissa Hasanah
G0013090
Fivi Kurniawati
G0013098
G0013128
M. Aulia Wardhana
G0013144
G0013120
Tiara Diningtyas
G0013224
Tristira Rosyida
G0013226
Yo Tendy Pratama
G0013236
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
APAKAH SAYA AKAN TERKENA KANKER?
Ibu Mira, 40 tahun, datang ke puskesmas untuk melakukan papsmear. Ibu Mira merasa cemas
karena membaca di internet bahwa pil KB dapat menyebabkan kanker serviks, karena saat ini
Ibu Mira sudah mengkonsumsi pil KB secara rutin sejak 2 tahun yang lalu. Ibu Mira
bertanya, berapa persen kemungkinannya mengalami kanker dan bagaimana untuk
menghindarinya. Dokter memberikan penjelasan berdasarkan artikel yang kebetulan baru
saja dibacanya dan juga telah dilakukan telaah kritis. Dalam artikel hasil penelitian case
control tersebut, dikatakan bahwa odds ratio (OR) pemakai kontrasepsi oral selama 5-9 tahun
dibanding yang tidak pernah memakai pil kontrasepsi sebesar 2.8, sedangkan untuk konsumsi
pil KB di bawah 5 tahun OR 0.73 akan tetapi secara statistik tidak signifikan. Dokter juga
membaca hasil penelitian lain dengan desain cohort juga menunjukkan hasil yang sama,
bahwa penggunaan pil KB dibawah 5 tahun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian kanker serviks, akan tetapi pemakaian di atas 5 tahun merupakan faktor
risiko menderita kanker serviks. Dokter menyarankan Ibu Mira untuk melakukan skrining
secara rutin sebagai pencegahan sekunder kanker serviks yang dilakukan pada fase subklinis
sehingga dapat dilakukan penanganan secara cepat (prompt treatment) apabila terjadi gejala
awal penyakit. Dokter menyampaikan bahwa saat ini ada vaksinasi untuk pencegahan primer
infeksi Human Papilloma Virus (HPV) yang merupakan etiologi utama kanker serviks, akan
tetapi berdasar hasil penelitian, untuk usia diatas 30 tahun efektivitas vaksin ini sangat
rendah. Ibu Mira menanyakan keamanan vaksin HPV, karena mempunyai anak perempuan
usia 10 tahun dan ingin melindungi anaknya, serta menyakan imunisasi apa saja yang harus
diberikan untuk anaknya maupun untuk dirinya.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
Langkah 1: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
1. Case control : Tipe penelitian observasional analitik dengan metode identifikasi pasien
dengan efek (kasus) dan tanpa efek (kontrol) kemudian diteliti faktor risikonya.lewat
wawancara, kelebihannya memerlukan waktu singkat, kekurangannya subjek lupa
dengan riwayat sebelumnya.
2. Telaah kritis : Proses sistematis untuk mengevaluasi artikel ilmiah berdasarkan validasi
hasil. Merupakan bagian dari Evidence based medicine (EBM) tujuannya untuk menilai
validitas dan kebenaran informasi dalam tulisan.
3. Studi cohort : Desain observasional longitudinal, dibedakan menjadi kelompok terpapar
dan tidak terpapar kemudian mengamati efek yang timbul dalam jangka waktu yang
lama. Terdiri atas tipe prospektif dan retrospektif. Kelebihannya hasil lebih akurat
untuk membuktikan efek paparan, kekurangannya lebih mahal dan rawan responden
yang drop out.
4. Prompt treatment : Penanganan penyakit pada tahap awal gejala yang timbul, bertujuan
untuk menghambat progress penyakit dan mencegah komplikasi
5. Odds ratio : Membandingkan risiko terkena penyakit antara yang terpapar dengan yang
tidak terpapar
Langkah II: Menentukan / mendefinisikan permasalahan
1. Apa perbedaan case control dan cohort (dilihat dari kegunaan, kelebihan, dan
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
kekurangannya)?
Bagaimana cara menghitung odds ratio dan interpretasinya?
Bagaimana cara melakukan prompt treatment?
Bagaimana cara melakukan telaah kritis?
Bagaimana bentuk-bentuk pencegahan primer, sekunder, dan tersier?
Imunisasi apa yang dapat diberikan untuk anak Ibu Mira?
Bagaimana kriteria hasil penelitian tidak signifikan secara statistik?
Bagaimana cara mencegah Ca serviks?
Bagaimana langkah-langkah EBM?
Analisa Data :
Interpretasi
1
:
Tanpa efek
<1
>1
Paparan berpengaruh
Studi Cohort
Adalah rancangan penelitian epidemiologi analitik observasional yang mempelajari
hubungan antara paparan dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok terpapar dan
kelompok tidak terpapar berdasarkan status penyakit. Pemilihan subyek berdasarkan status
paparannya, kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah subyek mengalami
outcome yang diamati atau tidak. Bisa bersifat retrospektif atau prospektif
Karakteristik :
1. Bersifat observasional
2. Pengamatan dilakukan dari sebab ke akibat
3. Disebut sebagai studi insidens
4. Terdapat kelompok kontrol
5. Terdapat hipotesis spesifik
6. Dapat bersifat prospektif ataupun retrospektif
7. Untuk kohor retrospektif, sumber datanya menggunakan data sekunder
Keuntungan
Cross Sectional
Cross sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi,
maupun hubungan penyakit dengan paparan (factor penelitian) dengan cara mengamati status
paparan, penyakit, atau karakteristik terkait kesehatan lainnya, secara serentak pada individuindividu dri suatu populasi pada satu saat.
Keuntungan
Kelemahan
1. Memiliki validitas inferensi yang lemah dan kurang mewakili sejumlah populasi yang
akurat,oleh karena itu penelitian ini tidak tepat bila digunakan untuk menganalisis
hubungan kausal paparan dan penyakit.
2. Sulit untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat yang bersamaan.
3. Dibutuhkan jumlah subyek yang cukup banyak, terutama bila variable yang dipelajari
banyak.
4. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat jarang, misalnya kanker lambung,
karena pada populasi usia 45-49 tahun diperlukan paling tidak 10.000 subyek untuk
mendapatkan suatu kasus
Level Prevention
1. Primer
Peningkatan kesehatan (health promotion)
Pada tingkat ini dilakukan tindakan umum untuk menjaga keseimbangan
proses bibit penyakit-pejamu-lingkungan, sehingga dapat menguntungkan manusia
dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki lingkungan. Tindakan
ini dilakukan pada seseorang yang sehat.
Contoh :
a.
b.
c.
d.
e.
f. Nasihat
g.
prepatogenesis, tetapi sudah terarah pada penyakit tertentu. Tindakan ini dilakukan
pada seseorang yang sehat tetapi memiliki risiko terkena penyakit tertentu.
Contoh :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2. Sekunder
Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early
diagnosis and prompt treatment)
Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini mungkin dan melakukan
penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat.
Contoh :
a.
Pada ibu hamil yang sudah terdapat tanda tanda anemia diberikan tablet Fe dan
dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung zat besi
b.
c.
Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit menular
(contact person) untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera
diberikan pengobatan.
d.
Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi, misalnya menggunakan tongkat untuk kaki yang cacat
b.
c.
3. Tersier
Pemulihan kesehatan (rehabilitation)
Merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mengembalikan pasien ke
masyarakat agar mereka dapat hidup dan bekerja secara wajar, atau agar tidak menjadi
beban orang lain.
Contoh :
a.
b.
c.
d.
Ca Serviks
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker pada serviks uterus atau
leher rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina
atau daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim
yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker leher rahim
muncul adanya pertumbuhan sel yang tidak normal sehingga mengakibatkan terjadinya
gangguan pada leher rahim atau menghalangi leher rahim.
a. Etiologi
Human Papilloma Virus penyebab kanker serviks 99,7%. Virus ini berukuran kecil
berdiameter kurang lebih 55nm. (HVP (Human Papilloma Virus) juga disebut wart
virus (virus kutil). Terdapat 100 tipe HPV yang telah diidentifikasi. Empat puluh tipe
tersebut menyerang wilayah genital. Dari 40 tipe tersebut, 13 diantaranya merupakan
tipe onkogenik dan dapat menyebabkan kanker serviks atau lesi pra kanker pada
permukaan serviks. Sedangkan tipe lain disebut sebagai tipe risiko rendah yang lebih
umum menyebabkan kutil kelamin (genital wart). Tipe 16, 18, 31, 33 dan 35
menyebabkan perubahan sel-sel pada vagina atau serviks yang awalnya menjadi
displasia dan selanjutnya berkembang menjadi kanker serviks. Secara global, HPV
tipe 16 bersamaan dengan tipe 18 dapat menyebabkan 70% dari seluruh kejadian
kanker serviks.
b. Faktor risiko
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Melakukan hubungan seksual pada usia yang pada usia kurang dari 20 tahun.
Multiple seksual atau lebih dari dua dalam melakukan hubungan seksual.
Riwayat keluarga yang pernah menderita ca serviks
Riwayat penyakit kelamin dan infeksi virus seperti herpes dan kutil genitalia
Wanita dengan aktivitas seksual tinggi.
Wanita yang melakukan persalinan dengan jarak yang terlalu dekat dan
vii.
c. Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan melalui promosi dan penyuluhan pola
hidup sehat, menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan hanya
dengan satu pasangan, dan penggunaan vaksinasi HPV di mana vaksinasi ini dapat
mengurangi infeksi HPV karena kemampuan proteksinya adalah sebesar >90%.
Saat ini, ada vaksin yang digunakan untuk mencegah infeksi Human
Papilloma Virus (HPV) yaitu virus yang menjadi pencetus kanker serviks. Cara kerja
vaksin ini dengan merangsang antibodi respon kekebalan tubuh terhadap HPV dimana
antibodi ditangkap untuk membunuh HPV sehingga virus tidak masuk ke leher rahim
(serviks). Idealnya vaksin ini diberikan pada wanita sebelum melakukan hubungan
seksual, yaitu sebelum kemungkinan terpapar virus HPV pada usia 9-26 tahun. Meski
demikian wanita yang telah aktif secara seksual juga masih mendapatkan manfaat
vaksin, namun keuntungannya sedikit.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendasarkan pada risiko pasiennya
yaitu pasien dengan resiko sedang dan tinggi. Pada pasien dengan resiko sedang, hasil
tes Pap yang negatif sebanyak 3 kali berturut-turut dengan selisih waktu antar
pemeriksaan 1 tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien atau
partner hubungan seksual yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan untuk
melakukan tes Pap tiap tahun.
Pada pasien dengan resiko tinggi, bagi yang memulai hubungan seksual saat
usia <18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak partner hubungan seksual
seharusnya melakukan tes Pap setiap tahun dan setiap 6 bulan sekali terutama untuk
pasien dengan resiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit
seksual berulang. Upaya penyembuhan penyakit kanker serviks yaitu dengan
pendeteksian dini, pendeteksian dilakukan dengan pap smear.
Tes pap smear adalah upaya pengambilan cairan dari vagina untuk melihat
kelainan sel disekitar leher rahim. Tes pap smear hanyalah satu langkah screening ,
bukan pengobatan. Oleh karena itu semakin dini gejala awal penyakit kanker rahim
diketahui, semakin mudah pengobatan, dan penanganannya.
Faktor risiko
Gejala &Early
diagnosis
Patofisiologi
Terapi
Pencegahan
Health promotion
Perjalanan HPV
menjadi Ca serviks
Primer
(Kondisi sehat)
Farmakologis
Nonfarmakologis
Sekunder
(Terpajan penyakit)
Tersier
Evidence Based
Medicine
Sumber
Specific protection
Screening,
vaksinasi HPV
Prompt treatment
Screening
Disability limitation
Bedah,
radioterapi,
kemoterapi
Rehabilitation
Jurnal ilmiah
Jenis :
Case control
Cohort
Langkah-langkah :
Cross sectional
Dinilai dari :
Validitas/kebenaran
Reliabilitas
Importance/penting
Applicability/kesesuaian
Uji diagnosis
Uji terapi
Penyuluhan
Gold
standart
dan digunakan ketika pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri
atas lima langkah
Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri atas empat komponen:
Patient, Intervention, Comparison, dan Outcome
Langkah 2 Temukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan itu. Salah satu
sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan itu adalah PubMed
Clinical Queries.
Langkah 3
yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat diterapkan dengan pertimbangan
yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious judgment).
Intervention
Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang
ingin diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes
skrining, tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik
meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan,
upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.
Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga
merupakan paparan (exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor
risiko/ etiologi/ kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah
kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga merupakan faktor prognostik
yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian,
komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.
Comparison
Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan
tentang manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu
dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik
yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas), atau tes
diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka dapat
disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat
untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati
keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik
standar emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi yang baik,
sehingga bermanfaat untuk dilakukan.
Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang efektivitas terapi,
maka hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi.
Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi
juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut
efek plasebo, maka terapi tersebut tidak efektif.
Outcome
Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis
(clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting
hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah
intervensi medis. Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi 3D : (1)
Death; (2) Disability; dan (3) Discomfort. Intervensi medis seharusnya
bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah kecacatan, dan
mengurangi ketidaknyamanan.
B. Langkah 2
Menemukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan itu. Salah satu
sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan itu adalah PubMed Clinical
Queries.
C. Langkah 3
Melakukan penilaian kritis apakah bukti-bukti benar (valid), penting
(importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik (applicability)
Validity
Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah
kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil
riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi
prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit.
Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung
dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur
variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor
perancu (confounding factor).
Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis
perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi
tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial,
yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan
diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif.
Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi
(membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik,
khususnya Likelihood Ratio (LR).
Suatu intervensi medis yang mampu secara substantif dan konsisten
mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau meningkatkan
probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome), merupakan intervensi yang
penting dan berguna untuk diberikan kepada pasien.
Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis.
D. Langkah 4
Menerapkan bukti-bukti kepada pasien. Langkah EBM diawali dengan
merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO, diakhiri dengan penerapan
bukti intervensi yang memperhatikan aspek PICO (patient, intervention, comparison,
dan outcome). Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan
kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.
Patient
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:
1)
2)
3)
Intervention
Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada
pasien:
1)
2)
3)
2)
3)
diakibatnya?
Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
keputusan
untuk
menerapkan
intervensi
medis
perlu
3)
E. Langkah 5
Melakukan evaluasi dan perbaiki efektivitas dan efisiensi dalam menerapkan
keempat langkah tersebut. Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga
kegiatan sebagai berikut. Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah
EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama
untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu
cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi VIA (kebenaran,
kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan
inefisiensi implementasi EBM.
Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik
sebagai dasar praktik klinis. Audit klinis adalah a quality improvement process that
seeks to improve patient care and outcomes through systematic review of care against
explicit criteria and the implementation of change". Dalam audit klinis dilakukan
kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk dievaluasi apakah
terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah diberikan (being done)
dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be done). Jika
belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang
dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan
klinis pasien.
Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam
penerapan EBM merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM
di masa mendatang. Hasil evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk
memperbaiki penerapan EBM, agar penerapan EBM di masa mendatang menjadi
lebih baik, efektif, dan efisien. Jadi langkah - langkah EBM sesungguhnya merupakan
fondasi bagi program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan
(continuous quality improvement)
B AB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pada skenario kali ini, pasien datang dengan keluhan khawatir setelah mendapat
informasi bahwa pemakaian KB yang dilakukannya selama 2 tahun bisa menyebabkan
kemungkinan terkena Ca Serviks meningkat. Dokter kemudian sudah melakukan langah
yang tepat, yakni memperdalam pencarian sumber, dilakukan telaah kritis dan penelitian
terbaru untuk membantu pasien, bahwa kemungkinan Ca serviks meningkat pada
pemakaian KB di atas 5 tahun. Skrining Ca serviks juga perlu dilakukan pada kelompok
risiko seperti sudah aktif secara seksual, pemakaian KB, ada riwayat kanker dsb. Lalu,
pasien juga perlu di edukasi tentang cara pencegahan dari Ca serviks, mengingat peran
dokter keluarga yang tidak hanya dari sisi kuratif saja, tapi juga promotif, preventif dan
rehabilitatif di masyarakat.
B. Saran
Pada diskusi tutorial kali ini, tutor sudah baik dalam mengarahkan mahasiswa pada
tujuan pembelajaran atau LO. Sedangkan untuk mahasiswa sendiri diharapkan untuk lebih
memperhatikan langkah-langkah pembelajaran dalam diskusi tutorial serta lebih banyak
belajar lagi tentang permasalahan pada skenario serta memperluas pencarian bahan
berdasarkan sumber yang valid.
DAFTAR PUSTAKA
Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. 2006. Basic of Epidemiology. Switzerland: WHO
Press.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf.
September 2016
Diunduh
pada
Cantor SB et al. Accuracy of colposcopy in the diagnostic setting compared with the
screening setting. Obstetrics & Gynecology, 2008, 111(1):714.
Centre for Statistics in Medicine BMJ Statistics Notes. (Undated) Retrieved June 15, 2010.
URL: http://www.csm-oxford.org.uk/index.aspx?o=1292.
Cramer, Duncan and Howitt, Denis. 2006. The Sage Dictionary of Statistics. London : Sage
Publication.
Darmansyah, I. 2002. Evidence based medicine. Jakarta: FK UI.
Depuydt CE et al. BD-ProExC as adjunct molecular marker for improved detection of CIN2+
after HPV primary screening. Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention,
2011, 20(4):628637.
Fruchter RG, Boyce J, Hunt M. Missed opportunities for early diagnosis of cancer of the
cervix. Am J Public Health. 1980;70:418420.
Hamzah, C. 2008. Telaah kritis, Pemahaman data dan interpretasi literatur. Solo: UNS Press.
Harden. 1999. Best evidence medical education. Livingstone: Elsevier Churcill.
Joshi S et al. Screening of cervical neoplasia in HIV-infected women in India. AIDS, 2013,
27(4):607615.
Kash, N; Lee, MA; Kollipara, R; Downing, C; Guidry, J; Tyring, SK (3 April 2015). "Safety
and Efficacy Data on Vaccines and Immunization to Human Papillomavirus.".
Journal of Clinical Medicine. 4 (4): 61433
Last JM. 2001. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press.
Monsonego J et al. Evaluation of oncogenic human papillomavirus RNA and DNA tests with
liquid-based cytology in primary cervical cancer screening: the FASE study.
International Journal of Cancer, 2011, 129(3):691701.
Mosteller, Frederick (1968). "Association and Estimation in Contingency Tables". Journal of
the American Statistical Association. American Statistical Association. 63 (321): 1
28.
Murti, B. 2011. Pengantar evidence based. Solo: FK UNS surakarta.
Porta, Miquel, ed. (2008). A Dictionary of Epidemiology (5th ed.). New York: Oxford
University Press.
Pusponegoro, H. Wirya, I. Pudjiadi, A. Bisanto, J. Zulkarnain, S. (2011). Uji Diagnostik
dalam S. Sastroasmoro, Dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Qiao YL et al. A new HPV-DNA test for cervical-cancer screening in developing regions: a
cross-sectional study of clinical accuracy in rural China. Lancet Oncology, 2008,
9(10):929936.
Rothman, KJ. 2002. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University Press.
Sarwono, Jonathan. 2013. Dua belas jurus ampuh SPSS untuk riset skripsi. Jakarta: Elex
media komputindo.
Steiner JF, Cavender TA, Nowels CT, et al. The impact of physical and psychosocial factors
on work characteristics after cancer. Psychooncology. 2008;17:138147.
Tangka FK, O'Hara B, Gardner JG, et al. Meeting the cervical cancer screening needs of
underserved women: the National Breast and Cervical Cancer Early Detection
Program, 2004-2006. Cancer Causes Control. 2010;21:10811090.
Thaxton, L; Waxman, AG (May 2015). "Cervical cancer prevention: immunization and
screening 2015.". Medical Clinics of North America. 99 (3): 46977.
Vandenbroucke J, P. (2007). Strengthening the Reporting of Observational Studies in
Epidemiology (STROBE): Explanation and Elaboration. PLoS Medicine.
4(10):1628-54.
Webb P, Bain C, Pirozzo S. 2005. Essential Epidemiology, An Introduction for Students and
Health Professionals. New York: Cambridge University Press.