Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Meningitis Tuberkulosis

2.1.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup
selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi
(setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang
bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium
tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah

Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium


microti

(Chan, 2006).

2.1.2 Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB
menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk
tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak,

persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB (Gwendolyn, 2013). Dari

keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian,


dan penderita yang selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis
substansial termasuk keterlambatan perkembangan pada anak-anak,
kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial (Ruslami, 2013).
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang
tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar dengan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal
secara neurologis dan intelektual (Pusponegoro, 2009).

Di Indonesia, insidensi meningitis tuberkulosis lebih tinggi terutama pada


orang dengan HIV/AIDS. Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas
mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB (Principi, 2012). Di
Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia,
termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4
atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak
pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan (Rahajoe, 2005).

Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh


kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila
meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat,
biasanya dalam kurun waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa. Walaupun bukan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua
kasus tuberkulosis (Fenichel, 2005).

2.1.3 Etiologi
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium
tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya
penyakit meningitis. Pada kasus meningitis secara umum disebabkan
oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang
menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi
Kategori
Bakteri

Virus
Jamur

Agen
Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Enterovirus
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris

Sumber : Kahan, 2005

2.1.4 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya meningitis tuberkulosis adalah (Tai, 2013) :

1. Usia (anak-anak > dewasa )


2. Koinfeksi-HIV
3. Malnutrisi
4. Keganasan
5. Penggunaan agen imunosupresif
2.1.5 Klasifikasi
Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis
dapat diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas :

Tabel. 2.2. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosis


Stage I
Stage II
Stage III

Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis.


Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti kelumpuhan
saraf kranialis atau hemiparesis.
Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat

Sumber : emedicine.medscpae.com

2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan
cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri
dari 3 lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).

Gambar 2.1. Anatomi Lapisan Selaput Otak


Sumber : Schuenke, M., et al. 2007. Atlas of Head and
Neuroanatomy.
1st ed. United of States of America : Thieme.

Lapisan Luar (Dura mater)

Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat
padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura
mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum
vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis,
jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan
dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam
dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).

Lapisan Tengah (Araknoid)


Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan dura
mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.
Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk
bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid
berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh
darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater karena
medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari
piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater membentuk juluranjuluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi
oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap
cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus (Drake, 2015).

Lapisan Dalam (Pia mater)


Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh
darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan
sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis
cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan

membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater
menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di
lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah
menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh
piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah
ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah
seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. (Drake, 2015).
Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal
Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel
ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh
epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel
pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi
penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan
ruang perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid.
Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan
proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua
sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid
merupakan jalur utama untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi
vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan
aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan
disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot (Scanlon, 2007).

Mekanisme Terjadinya Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara
hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui
2 tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat
penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara
hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen
TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses
imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer (Schlossberg, 2011) .
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk
kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid
parenkim

otak,

atau

selaput

meningen.

Vena-vena

yang

mengalami

penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi.


Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf,
infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti
implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada
kulit dapat menyebabkan meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai
peradangan selaput meningen, kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi
yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran
cairan serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi (Schlossberg, 2011).

Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia


mater dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan
eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak (Menkes, 2006).

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis

tuberculosis :

1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan
massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian
menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning
kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari
limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium
lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang
terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai

saraf

kranial

VIII

akan

menyebabkan

gangguan

pendengaran yang sifatnya permanen (Frontera, 2008).

2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal
ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan
tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak

tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan
fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi
tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang
bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe
lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin
(Schwartz, 2005).

3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke
sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi
cairan serebrospinalis (Albert, 2011).

2.1.7 Manifestasi Klinis


Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis
TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003).
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan
oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus,
yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernigs dan Brudzinsky positif.
Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel
muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam
ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya
membuat gerakan tidak beraturan (Cavendish, 2011).

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga)


stadium (Anderson, 2010) :

1.

Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia,
nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih
berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadang-kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anakanak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.

3. Stadium III : Terminal


Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu tiga minggu.

2.1.8 Diagnosis
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :

2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu

makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran


adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus,
gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi,

distress pernafasan, ikterus, muntah, diare,

hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat


dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa (Gleadle, 2007).

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009).
Yaitu sebagai berikut :

1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa

fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan

kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala


disertai rasa nyeri dan spasme otot.

2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

3. Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig).
Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi
fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral.

5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III
positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.

6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)


Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua
ibu jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV
positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.

7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua
tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai
satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+)
jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada
dewasa dan kurang dari 60 pada lansia.

2.8.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang
paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat
ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD
(Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan
uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam dan lebih
diutamakan pada 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid.
Bila pasien tidak

kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes

Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm (Kliegman,


2011).
Tabel 2.3. Hasil Uji Mantoux
1. Pembengkakan (Indurasi)

0-4mm,uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosis.

2. Pembengkakan (Indurasi)

3-9mm,uji mantoux meragukan.


Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypical atau
setelah vaksinasi BCG.

3. Pembengkakan (Indurasi)

10mm,uji mantoux positif.


Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.

Sumber : Levin, 2009

2.8.1.4 Pemeriksaan Laboratorium


Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :


1. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.

2. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.


3. Glukosa

serum

digunakan

sebagai

perbandingan

terhadap glukosa pada cairan serebrospinal.

4. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai


fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi.

5. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.


2. Lumbal Pungsi

Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah


sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak
ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Lumbal
pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal pungsi ke
dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1
untuk mengambil cairan serebrospinal (Haldar, 2009).
Tabel 2.4. Hasil Analisa Cairan Serebrospinal
Agent

Opening
WBC count Glucose Protein Microbiology
Pressure (cells/L)
(mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)

Tuberculou 180-300
s
meningitis

100-500;

Normal
values

0-5;
50-75
lymphocytes

80-200

Reduced, Elevated Acid-fast bacillus

Lymphocyte
s

< 40

, >100

stain, culture, PCR

15-40

Negative findings on
workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =


polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Sumber : Haldar, 2009

2.1.8.5 Pemeriksaan Radiologis


1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan karena kemungkinan
adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada
penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan
gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen
toraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan
kalsifikasi.

Gambaran

rontgen

toraks

yang

normal

tidak

menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Kliegman, 2011).

2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan


Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat
menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CTscan dan MRI kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah
normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit,
gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah
basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan
tanda-tanda dema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain
itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus (kliegman, 2011).

2.8.1.6 Pemeriksaan Gene Xpert


Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat
mengetahui apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang
yang memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin.
Bertentangan dengan tes yang ada saat ini, ia bekerja pada tingkat molekuler
untuk mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak
menggunakan mikroskop tapi semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes
ini juga disebut Xpert MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan rifampisin).
Gene Xpert adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis
dalam sampel dahak. Seseorang yang diduga menderita TB perlu memberikan contoh
dahak, dalam tabung kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan ke dalam mesin, dan
kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat apakah sampel mengandung bakteri
TB. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA) spesifik untuk bakteri TB. Jika ada
bakteri TB dalam sampel, mesin akan mendeteksi DNA mereka dan secara otomatis
kalikan. Teknik ini disebut PCR (polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk
juga melihat struktur gen.

Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan resistensi
terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string panjang warna
yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari perubahan warna jika ada mutasi pada
DNA, maka bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB tertentu. Gene Xpert dapat
menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling umum, rifampisin. Ini berarti
bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan
apakah penderita TB tersebut telah dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat
dan hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB lainnya
(Farrar, 2014).

2.8.1.7 Sistem Skoring TB Anak

Tabel 2.5. Skoring TB Anak


GEJALA
Kontak TB

0
Tidak jelas

1
-

2
Laporan
keluarga

3
BTA (+)

BTA (-) /
tidak tahu
Uji Tuberkulin

Negatif

Berat Badan/
Keadaan Gizi

Positif ( 10mm
atau 5mm
pada
imunokompromasis)

BB/TB<90% Gizi buruk -

atau
BB/U<80%

Demam yang tidak


diketahui penyebabnya

Batuk kronik

Pembesaran kelenjar
aksila, inguinal

2 minggu

3 minggu

1 cm, lebih dari 1 KGB,

tidak nyeri
Pembengkakan
tulang / sendi panggul,
lutut, falang

Foto toraks

Normal

Bengkak

Gambaran
Sugestif
mendukung
TB

Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, 2008


Menurut awal skor tb, panas atau demam dan batuk tidak ada respon
pengobatan standard. Foto toraks juga bukan merupakan alat diagnostik yang
utama pada tb anak. Semua kejadian reaksi akselerasi BCG harus dilakukan

evaluasi dengan sistem skoring. Tb didiagnosis pada anak jika skornya 6. Bila
skor 5 dan anakya dibawah 5 tahun harus rujuk ke rumah sakit (Triasih, 2011).

2.1.9 Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :

1.

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,


yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu


isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis

berupa :

1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi
dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg /
kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid,
dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi
rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan
selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan
normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan.
Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul
150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).

2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan
asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan
serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling
sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari,
atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).

3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat
ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum
puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan
pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia,
iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).

4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari,
maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir

mengenai

pelaksanaan

tuberkulosis

pada

anak,

etambutol

dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.


Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan
(Heemskerk, 2011).

5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif
untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan
MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal
1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin

berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan
pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu
berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan
pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).

Tabel 2.7. Regimen : RHZE / RHZS


Rifampisin

10-20mg/kg/BB/hari

Isoniazid

7-15mg/kg/BB/hari

Pirazinamid

30-40 mg/kg/BB/hari

Etambutol

15-25mg/kg/BB/hari

Streptomisin

20 mg/kgBB/hari

Sumber : Pengendalian dan penyakit penyehatan lingkungan KKRI, 2013

Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan


dengan deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya
perlekatan antara araknoid dan otak (Levin, 2009).
Steroid diberikan untuk:

1- Menghambat reaksi inflamasi


2- Mencegah komplikasi infeksi
3- Menurunkan edema serebri
4- Mencegah perlekatan

1- Mencegah

arteritis/infark

otak Indikasi Steroid :

2- Kesadaran menurun
3- Defisit

neurologist

fokal Dosis steroid :

4- Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg


intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan
selama 1 bulan (Levin, 2009).

2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) :

1-

Hidrosefalus

2-

Cairan subdural

3-

Abses otak

4-

Cedera kepala

5-

Gangguan pendengaran

6-

Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )

7-

Kerusakan otak

8-

Kejang

9-

Serangan otak

10- Araknoiditis
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas

klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah


penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke
lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat (Thomas, 2011).

2.1.12 Prognosis
Prognosis

meningitis

tuberkulosis

lebih

baik

sekiranya

didiagnosa dan diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita


meningitis nonmeningococcal akan dijumpai gejala sisanya.
Secara umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik
sembuh dengan cacat motorik atau mental atau meninggal tergantung :

1- Umur penderita.
2- Jenis kuman penyebab
3- Berat ringan infeksi
4- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
6- Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien
malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan
peningkatan tekanan intrakranial (Thomas, 2011).

2.2

Imunisasi

2.2.1 Definisi Imunisasi


Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa,
tidak terjadi penyakit. Imunisasi merupakan usaha memberikan

kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh
agar tubuh membuat zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin
polio). Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak
di berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap
suatu penyakit tapi belum kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi
merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit (Saragih, 2011).

.2.2

Tujuan Imunisasi
Adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan

menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat, atau bahkan


menghilangya dari dunia seperti yang kita lihat pada kebersihan imunisasi cacar variola.
Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang ditukarkan
melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteri dan poliomyelitis.

Tujuan imunisasi di Indonesia, umumnya untuk menurunkan


angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi akibat penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi. Terdapat banyak tujuan khusus
imunisasi yaitu tercapainya program imunisasi seperti Universal Child
Immunization (UCI), Program Imunisasi Meningitis Meningokokus,
Program Imunisasi Demam Kuning (Saragih, 2011).

2.2.3 Manfaat Imunisasi


a. Kepada anaknya dapat mencegah penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.

2. Keluarga

juga

menghindari

kecemasan

dan

psikologi

pengobatan bila anaknya sakit. Mendorong pembentukan


keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan mejalani
masa kanak-kanak yang nyaman (Saragih, 2011).

2.2.4 Imunisasi Bacillus calmet-Guerin (BCG)


Vaksin BCG atau pemberian imunisasi bcg bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadapa penyakit Tuberkulosis vaksin BCG mengandung
kuman BCG yang masih hidup. Jenis kuman TB ini telah dilemahkan. Dimana
tuberkulosis merupakan penyakit rakyat yang mudah menular di Indonesia dan
di negara yang sedang berkembang lainnya. Seorang anak menderita TB
karena terhisapnya percikan udara yang mengandung kuman TB, yang berasal
dari orang dewasa berpenyakit TB. Mungkin juga bayi sudah terjangkit penyakit
TB sewaktu lahir. Ia terinfeksi kuman TB sewaktu masih dalam kandungan, bila
ibu mengidap penyakit TB. Pada anak yang terinfeksi, kuman TB dapat
menyerang berbagai alat tubuh yang diserangnya adalah paru (paling sering),
kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak.

Salah satu upaya dari banyak upaya pemberantasan penyakit TB


ialah imuniasi BCG. Dengan imunisasi BCG diharapkan penyakit TB dapat
berkurang dan kejadian TB yang berat dapat dihindari (Andersen, 2014).

1. Dosis pemberian imunisasi BCG


Dosis 0,05 cc untuk bayi dan 0,1 cc untuk anak dan orang
dewasa. Imunisasi BCG dilakukan pada bayi usia 0-2 bulan,
akan tetapi biasanya diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan.
Dapat diberikan pada anak dan orang dewasa jika sudah
melalui tes tuberkulin dengan hasil negatif (Andersen, 2014).

2. Cara Pemberian Imunisasi BCG


Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir, sampai
bayi berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 2 bulan. Hasil yang
memuaskan terlihat apabila diberikan menjelang umur 2 bulan. Imunisasi
BCG cukup diberikan 1 kali saja, pada anak yang berumur lebih dari 2 bulan,
dianjurkan untuk melakukan uji mantoux sebelum imunisasi BCG, gunanya
untuk mengetahui apakah untuk mengetahui apakah ia telah terjangkit
penyait TB. Seandainya hasil uji

mantoux positif, anak tersebut selayaknya tidak mendapatkan


imunsasi BCG Tetapi bila imunisasi dilakukan secara masal,
maka pemberian suntikan BCG dilaksanakan secara langsung
tanpa uji mantoux terlebih dahulu.
Hal ini dilakukan mengingat pengaruh beberapa faktor, seperti segi teknis
penyuntikan BCG, keberhasilan program imunisasi, segi epidemiologis dan
lain-lain. Penyuntikan BCG tanpa dilakukan uji mantoux pada dasarnya
tidaklah membahayakan. Bila pemberian imunisasi BCG itu berhasil, setelah
beberapa minggu ditempat suntikan akan terdapat suatu benjolan. Tempat
suntikan itu kemudian berbekas. Kadang-kadang benjolan tersebut bernanah,
tapi akan menyembuh ssendiri meskipun lambat. Sesuai kesepakatan maka
biasanya penyuntikan BCG dilakukan di lengan kanan atas karena luka
suntikan meninggalkan bekas dan mengingat segi kosmetiknya, pada bayi
perempuan dapat diminta sutikan di paha kanan atas (Andersen, 2014).

3. Reaksi Imunisasi
Biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita
demam. Bila ia demam setelah imunisasi BCG umumnya
disebabkan oleh keadaan lain.
Untuk hal ini dianjurkan agar anda berkonsultasi dengan dokter :

1.

Tanda Keberhasilan Vaksinasi


Tanda keberhasilan vaksinasi BCG berupa bisul kecil dan
bernanah pada daerah bekas suntikan yang muncul setelah 4-6
minggu. Benjolan atau bisul setelah vaksinasi BCG memiliki ciri
yang sangat khas dan berbeda dari bisul pada umumnya. Bisul
tersebut tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan bila disentuh
pun tidak terasa sakit. Tak hanya itu, munculnya bisul juga tak
diiringi panas. Selanjutnya, bisul tersebut akan mengempis dan
membentuk luka parut (Wang, 2012).

2. Bila Ada Reaksi Berlebih


Tingkatkan kewaspadaan bila ternyata muncul reaksi berlebih pasca
vaksinasi BCG. Misal, benjolan atau bisul itu lama tidak sembuh-sembuh
dan menjadi koreng atau, malah ada pembengkakan pada kelenjar di
aksila. Ini dapat merupakan pertanda si anak pernah terinfeksi TB
sehingga menimbulkan reaksi berlebih setelah divaksin Sebaiknya segera
periksakan kembali ke dokter. Penting diketahui, setiap infeksi selalu
diikuti oleh pembesaran kelenjar limfe setempat sehingga bisa diraba. Jadi
infeksi ringan akibat vaksinasi di lengan atas akan menyebabkan
pembesaran kelenjar limfe aksila. Jika infeksi terjadi pada pangkal paha,
akan terjadi pembesaran kelenjar limfe di lipatan paha. Namun efek
samping ini tidak terjadi pada semua bayi. Yang berisiko apabila bayi
tersebut sudah terinfeksi TB sebelum vaksinasi (Wang, 2012).

3. Bila Tak Timbul Benjolan


Orang tua tak perlu khawatir bila ternyata tidak muncul
bisul/benjolan di daerah suntik. Jangan langsung beranggapan
bahwa vaksinasinya gagal. Bisa saja itu terjadi karena kadar
antibodinya terlalu rendah, dosis terlalu rendah, daya tahan anak
sedang menurun (misalnya anak dengan gizi buruk) atau kualitas
vaksinnya kurang baik akibat cara penyimpanan yang salah. Meski
begitu, antibodi tetap terbentuk tetapi dalam kadar yang rendah di
daerah endemis TB seperti Indonesia, infeksi alamiah akan selalu
ada booster-nya (ulangan vaksinasi) bisa didapat dari alam,
asalkan anak pernah divaksinasi sebelumnya (Wang, 2012).

4. Efek Samping
Umumnya pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping.
Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang
terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun lambat. Bila
suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan kelenjar
terdapat di aksila atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat
menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi
pembengkakan kelenjar ini biasanya disebabkan karena teknik
penyuntikan yang kurang tepat, yaitu penyuntikan terlalu dalam.
Setelah bayi diberikan imunisasi BCG akan terjadi pembengkakan
kecil dan merah pada tempat suntikan selama 2 minggu. Setelah 2-3
minggu, pembengkakan akan menjadi abses kecil dan menjadi luka.
Luka akan sembuh dengan sendiri dalam waktu 2-3 bulan dan
meninggalkan luka parut. Apabila dosis yang diberikan timggi maka
ulkus yang terbentuk juga lebih besar dan apabila suntikan terlalu
dalam maka luka parut yang tertarik ke dalam (Eisenhut, 2014).

5. Kontraindikasi
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali
pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan uji Mantoux
positif (Eisenhut,2014).

1. Pemberian imunisasi BCG

biasanya

dilakukan

sedini

mungkin, dalam waktu beberapa hari setelah bayi lahir.

2. Cara pemberian imunisasi BCG bagi perorangan berlainan


dengan pemberian secara masal.

3. Imunisasi BCG secara masal tanpa didahului uji Mantoux,


tidak membahayakan.

4. Dengan imunisasi BCG anak anda diharapkan akan bebas


terjangkit penyakit TB. Setidak-tidaknya ia terhindar dari
penyakit TB yang berat dan parah.

Gambar 2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi


Sumber : Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2014

Anda mungkin juga menyukai