Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Meningitis Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley, 2014).
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup
selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi
(setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang
bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium
tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
(Chan, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
TB terjadi pada setiap 300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB
menghasilkan tingkat tertinggi morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk
tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi perhatian khusus pada anak-anak,
2.1.3 Etiologi
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium
tuberculosis merupakan faktor penyebab paling utama dalam terjadinya
penyakit meningitis. Pada kasus meningitis secara umum disebabkan
oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang
menyebar dalam darah ke cairan otak (Kahan, 2005).
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyebab Infeksi
Kategori
Bakteri
Virus
Jamur
Agen
Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Enterovirus
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Sumber : emedicine.medscpae.com
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan
cairan serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri
dari 3 lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).
Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat
padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura
mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum
vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis,
jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan
dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam
dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater
menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di
lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah
menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh
piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah
ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah
seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. (Drake, 2015).
Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal
Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel
ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid
merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi.
Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh
epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel
pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan
serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi
penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subaraknoid, dan
ruang perivasikular. Hal ini penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan
merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subaraknoid.
Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan
proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua
sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid
merupakan jalur utama untuk absorbsi Cairan Serebrospinal ke dalam sirkulasi
vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan
aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan
disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot (Scanlon, 2007).
otak,
atau
selaput
meningen.
Vena-vena
yang
mengalami
tuberculosis :
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan
massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian
menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen
ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning
kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari
limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium
lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang
terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai
saraf
kranial
VIII
akan
menyebabkan
gangguan
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal
ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan
tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan
fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi
tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri
cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang
bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe
lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin
(Schwartz, 2005).
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke
sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi
cairan serebrospinalis (Albert, 2011).
1.
Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti
gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia,
nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih
berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadang-kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anakanak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh
tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
2.1.8 Diagnosis
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :
2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua
tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai
satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+)
jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada
dewasa dan kurang dari 60 pada lansia.
kontrol dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang. Tes
2. Pembengkakan (Indurasi)
3. Pembengkakan (Indurasi)
serum
digunakan
sebagai
perbandingan
Opening
WBC count Glucose Protein Microbiology
Pressure (cells/L)
(mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Tuberculou 180-300
s
meningitis
100-500;
Normal
values
0-5;
50-75
lymphocytes
80-200
Lymphocyte
s
< 40
, >100
15-40
Negative findings on
workup
Gambaran
rontgen
toraks
yang
normal
tidak
Hal ini penting untuk mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan resistensi
terhadap obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string panjang warna
yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari perubahan warna jika ada mutasi pada
DNA, maka bakteri bisa menjadi resisten terhadap obat TB tertentu. Gene Xpert dapat
menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling umum, rifampisin. Ini berarti
bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan
apakah penderita TB tersebut telah dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat
dan hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam dan lebih cepat daripada tes TB lainnya
(Farrar, 2014).
0
Tidak jelas
1
-
2
Laporan
keluarga
3
BTA (+)
BTA (-) /
tidak tahu
Uji Tuberkulin
Negatif
Berat Badan/
Keadaan Gizi
Positif ( 10mm
atau 5mm
pada
imunokompromasis)
atau
BB/U<80%
Batuk kronik
Pembesaran kelenjar
aksila, inguinal
2 minggu
3 minggu
tidak nyeri
Pembengkakan
tulang / sendi panggul,
lutut, falang
Foto toraks
Normal
Bengkak
Gambaran
Sugestif
mendukung
TB
evaluasi dengan sistem skoring. Tb didiagnosis pada anak jika skornya 6. Bila
skor 5 dan anakya dibawah 5 tahun harus rujuk ke rumah sakit (Triasih, 2011).
2.1.9 Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1.
berupa :
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi
dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg /
kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid,
dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi
rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan
selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan
normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan.
Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul
150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).
2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan
asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan
serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling
sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari,
atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).
3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat
ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum
puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan
pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia,
iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari,
maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500
mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir
mengenai
pelaksanaan
tuberkulosis
pada
anak,
etambutol
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif
untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan
MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal
1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak
menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan
pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan
pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu
berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan
pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).
10-20mg/kg/BB/hari
Isoniazid
7-15mg/kg/BB/hari
Pirazinamid
30-40 mg/kg/BB/hari
Etambutol
15-25mg/kg/BB/hari
Streptomisin
20 mg/kgBB/hari
1- Mencegah
arteritis/infark
2- Kesadaran menurun
3- Defisit
neurologist
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) :
1-
Hidrosefalus
2-
Cairan subdural
3-
Abses otak
4-
Cedera kepala
5-
Gangguan pendengaran
6-
7-
Kerusakan otak
8-
Kejang
9-
Serangan otak
10- Araknoiditis
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas
2.1.12 Prognosis
Prognosis
meningitis
tuberkulosis
lebih
baik
sekiranya
1- Umur penderita.
2- Jenis kuman penyebab
3- Berat ringan infeksi
4- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
6- Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien
malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan
peningkatan tekanan intrakranial (Thomas, 2011).
2.2
Imunisasi
kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh
agar tubuh membuat zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin
polio). Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi berarti anak
di berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap
suatu penyakit tapi belum kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi
merupakan suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit (Saragih, 2011).
.2.2
Tujuan Imunisasi
Adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
2. Keluarga
juga
menghindari
kecemasan
dan
psikologi
3. Reaksi Imunisasi
Biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita
demam. Bila ia demam setelah imunisasi BCG umumnya
disebabkan oleh keadaan lain.
Untuk hal ini dianjurkan agar anda berkonsultasi dengan dokter :
1.
4. Efek Samping
Umumnya pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping.
Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang
terbatas dan biasanya menyembuh sendiri walaupun lambat. Bila
suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan kelenjar
terdapat di aksila atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat
menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi
pembengkakan kelenjar ini biasanya disebabkan karena teknik
penyuntikan yang kurang tepat, yaitu penyuntikan terlalu dalam.
Setelah bayi diberikan imunisasi BCG akan terjadi pembengkakan
kecil dan merah pada tempat suntikan selama 2 minggu. Setelah 2-3
minggu, pembengkakan akan menjadi abses kecil dan menjadi luka.
Luka akan sembuh dengan sendiri dalam waktu 2-3 bulan dan
meninggalkan luka parut. Apabila dosis yang diberikan timggi maka
ulkus yang terbentuk juga lebih besar dan apabila suntikan terlalu
dalam maka luka parut yang tertarik ke dalam (Eisenhut, 2014).
5. Kontraindikasi
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali
pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan uji Mantoux
positif (Eisenhut,2014).
biasanya
dilakukan
sedini