Anda di halaman 1dari 47

BAB II

PENGERTIAN

A. Pengertian
Pengertian penyakit ginjal kronik menurut beberapa ahli adalah:
1. Penyakit ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible di
mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia/ retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(glomerular filtration rate/GFR) dengan manifestasi kelainan patologis
atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis (wibowo,
2010).
3. Penyakit ginjal kronik adalah proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, dkk, 2006).

B. Tahapan Perkembangan Penyakit Ginjal Kronik


Berdasarkan perkembangan penyakitnya, penyakit ginjal kronik terdiri
dari lima tahap. Tabel 2.1 menjelaskan klasifikasi PGK
Tabel 2.1
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Sumber : Suwitra dalam Sudoyo (2006)
derajat

penjelasan

LFG(ml/mn/1,73m2)

kerusakan ginjal dengan LFG normal

90

kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

PGTA

< 15

C.

Anat
omi dan Fisiologi
1. Anatomi
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Anatomi ginjal tampak dari depan, di sini
dapat kita ketahui bahwa ginjal terletak dibagian belakang abdomen
atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta
terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus

lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Kedua ginjal
terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3 (Syaifuddin, 2006).

Gambar 2.1
Anatomi ginjal tampak dari depan
Sumber: Adam.com

Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)


dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal
sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan
adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat
bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri
(Syaifuddin, 2006).

Gambar 2.2
Letak anatomi ginjal
Sumber: Price dan Wilson (2006)

Panjang ginjal pada orang dewasa adalah sekitar 12 sampai 13 cm


(4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci),
dan beratnya sekitar 150 gram. Ukuranya tidak berbeda menurut bentuk
dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal
(dibandingkan dengan pasanganya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau
perubahan bentuk merupakan tanda yang paling penting (Syaiffudin,
2006).
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi
lateral ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk
cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar
dari ginjal melalui hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh
limfatik dan ureter. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis
mengkilat, yang berikatan longgar dengan jaringan di bawahnya dan dapat

10

dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal (Price dan Wilson, 2006).
Secara umum struktur makroskopis ginjal terdiri dari beberapa bagian:
1.

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/ terdiri dari


korpus renalis/ Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.

2.

Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari


tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).

3.

Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal.

4.

Processus renalis, yaitu bagian pyramid/ medula yang menonjol ke


arah korteks.

5.

Hilus renalis, yaitu suatu bagian/ area di mana pembuluh darah,


serabut saraf atau duktus memasuki/ meninggalkan ginjal.

6.

Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus


pengumpul dan calix minor.

7.

Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.

8.

Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.

9.

Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang


menghubungkan antara calix major dan ureter.

11

Gambar 2.3
Struktur makroskopis ginjal
Sumber: Novartis.com
Struktur ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
renalis yang terdiri dari jaringan fibrosa berwarna ungu tua. Lapisan luar
terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam
bagian medulla (substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut
renal piramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papila renalis. Masing-masing piramid saling
dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah.
Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubanglubang yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk

12

simpul dan kapiler satu badan malfigi yang disebut glomerulus. Pembuluh
aferen yang bercabang membentuk kapiler menjadi vena renalis yang
membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.
Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf
ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal,
saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ginjal.
Di atas ginjal terdapat kelenjar suprarenalis, kelenjar ini merupakan
sebuah kelenjar bantu yang menghasilkan dua macam hormon yaitu
hormon adrenalin dan hormon kortison. Adrenalin dihasilkan oleh
medulla.
Struktur mikroskopik ginjal adalah nefron. Unit kerja fungsional
ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta
nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi sama. Setiap
nefron terdiri dari Kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Duktus
berjalan lewat korteks dan medulla renal untuk mengosongkan isinya ke
dalam pelvis ginjal ( Price dan Wilson, 2006).

13

Gambar 2.4
Proses pembentukan urine
Sumber: alfina.com

2. Fisiologi ginjal
Fungsi ginjal menurut Price dan Wilson (2006) di bedakan menjadi
dua yaitu fungsi eksresi dan non ekskresi, antara lain:
a. Fungsi ekskresi
1) Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mosmol
dengan mengubah-ubah ekskresi air.
2) Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan
mengubah-ubah ekskresi Na+.
3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit
individu dalam rentang normal.
4) Mempertahankan PH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan
kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3-.

14

5) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme


protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin).
6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
b. Fungsi non ekskresi
1) Menghasilkan renin : penting dalam pengaturan tekanan darah.
2) Menghasilkan eritropoetin : meransang produksi sel darah
merah oleh sumsum tulang.
3) Menghasilkan 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir
vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat.
4) Mengaktifkan

prostaglandin

sebagian

besar

adalah

vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari


kerusakan iskemik ginjal.
5) Mengaktifkan degradasi hormon polipeptida.
6) Mengaktifkan insulin, glukagon, parathormon, prolaktin,
hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal
(gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif [VIP]).
Proses pembentukan urine menurut Syaifuddin (2006) glomerulus
berfungsi sebagai ultrafiltrasi

pada simpai bowman, berfungsi untuk

menampung hasil filtrasi dari gomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi
penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa
cairan akan diteruskan ke piala ginjal berlanjut ke ureter.

15

Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam
ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah. Ada tiga tahap pembentukan urine:
a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen
lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai Bowman yang
terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang
diteruskan ke tubulus ginjal.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus
atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapanya terjadi secara
aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papila renalis.
c. Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke
vesika urinaria.

16

D. Etiologi
Penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :
1. Penyakit

infeksi:

pielonefritis

kronik

atau

refluks,

nefropati,

tubulointestinal.
2. Penyakit peradangan: glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensi: nefrosklerosis maligna, nefrosklerosis
benigna, stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat: lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan hederiter: penyakit ginjal polikistik
hederiter, asidosis sistemik progresif.
6. Penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
7. Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif karena obstruksi saluran kemih karena batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinarian dan uretra.

E. Patofisiologi

17

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada


penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra dalam Sudoyo,
2006).
Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah. Akibatnya terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin
berat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal
dapat mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi karena aktivitas aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat
ginjal tidak mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis

18

metabolik juga terjadi akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi


ammonia (NH3-) dan

mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).

Penurunan ekresi fosfat dan asam organik lain juga dapat terjadi.
Selain itu CKD juga menyebabkan anemia yang terjadi karena
produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
akibat

status

uremik

pasien,

terutama dari

saluran

pencernaan.

Eritropoitein yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum tulang


untuk menghasilkan sel darah merah jika produksi eritropoietin menurun
maka mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina, dan
sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan

gangguan

metabolisme akibat penurunan fungsi ginjal. Kadar serum kalsium dan


fosfat dalam tubuh memiliki hubungan timbal balik dan apabila salah
satunya meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Akibat
menurunya glomerular filtration rate (GFR) kadar fosfat akan serum
meningkat dan sebaliknya kadar serum kalsium menurun. Terjadinya
penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespon normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon. Sehingga kalsium di tulang
menurun, yang menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit
tulang. Demikian juga dengan vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang
dibentuk diginjal menurun seiring dengan perkembangan gagal ginjal.
19

Penyakit tulang uremik/ osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan


kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon (Nursalam,
2006).

F. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal kronik
didapat antara lain :
1. Kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sekrum),
edema periorbital, pembesaran vena leher.
2. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit terang dan bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner : krekles, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernafasan
kussmaul.
4. Gastrointestinal: nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada
mulit, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan
dari saluran GI.
5. Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.

20

6. Muskuloskeletal: kram otot, kekuatan otot hilang, faktor tulang.


7. Reproduktif: amenore, atrofi testikuler.

G. Penatalaksanaan Medis
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra dalam Sudoyo (2006) antara lain:

Tabel 2.2
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Derajat
1

2
3
4
5

LFG(ml/mn/1,73m2)
90

60-80
30-59
15-29
< 15

Rencana Tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi perburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler
Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
Evaluasi dan terapi komplikasi
Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit


ginjal kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1) Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal
tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat

21

menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,


bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
raddiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3) Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi

glomerulus

dengan

cara

penggunaan

obat-obatan

nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia).


4) Pembatasan Asupan Protein
Asupan protein dan fosfat pada pasien PGK dijelaskan dalam tabel 2.3
Tabel 2.3
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
Sumber : Suwitra dalam Sudoyo (2006)

LFG ml/mnt
>60
25-60

Asupan protein g/kg/hr


Tidak dianjurkan
0,6-0,8/kg/hr, termasuk 0,35

Fosfat g/kg/hr
Tidak dibatasi
10g

22

gr/kg/hr nilai biologi tinggi


0,6-0,8/kg/hr, termasuk 0,35 gr/kg/hr
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria
atau 0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

5-25
< 60(SN)

10g
9g

5) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memeperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat
pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting
Enzym/ ACE inhibitor).
6) Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian

dislipidemia,

pengendalian

anemia,

pengendalian

hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan


keseimbangan elektrolit.
7) Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
8) Terapi Pengganti Ginjal

23

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik


stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti
tersebut

dapat

berupa

hemodialisis,

peritoneal

dialisis

atau

transplantasi ginjal.

H. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare
(2001) yaitu :
1) Hiperkalemia

akibat

penurunan

eksresi,

asidosis

metabolik,

katabolisme dan masukan diet berlebihan.


2) Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiostensin-aldosteron
4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
5) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.

24

I.

Pengkajian Fokus (Termasuk Pemeriksaan Penunjang )


Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
penyakit ginjal kronik menurut Doegoes (2000), Alam dan Hadibroto
(2007), serta Smeltzer dan Bare (2001) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh kadmium, kroomium, timah, merkuri
dan sumber air tinggi kalsium beresiko untuk penyakit ginjal kronik,
kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis kelamin lebih banyak
perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, obstruksi traktus
urinarius, infeksi ginjal, glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus
sistemik, penyalahgunaan analgesik, pielonefritis kronik atau refluks,
batu.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit batu ginjal, hipertensi, DM dalam keluarga, penyakit
ginjal polikistik, gout.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
25

Konsumsi obat nefrotoksik yang berkepanjangan (analgesik,


aspirin, antacid, laktasif). Konsumsi makanan tinggi kalsium,
purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen, kontrol
tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada penderita tekanan
darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya peningkatan berat badan cepat (edema),
penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual,
muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernafasan amonia),
penggunaan diuretik.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan

ekstrem,

kelemahan,

malaise,

kelemahan

otot,

penurunan rentang gerak.


5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/ gelisah atau somnolen).
6) Pola persepsi sensori dan kognitif

26

Pengkajian persepsi sensori CKD diperoleh data sakit kepala,


penglihatan kabur, kram otot/ kejang, restless leg syndrom, kebas
rasa terbakar pada telapak kaki, kebas/ kesemutan dan kelemahan
khususnya pada ekstremitas bawah (nefropati perifer). Pengkajian
kognitif gatal, gangguan status mental contoh penurunan lapang
perhatian, kedidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma.
7) Hubungan dengan orang lain
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam bekerja.
8) Reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
9) Persepsi diri dan konsep diri
Faktor stres, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.
e. Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : malaise, lemah, tampak sesak
2) Tingkat kesadaran : komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan menurun,
27

4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi


lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala
a) Mata:

konjungtiva

anemis,

penglihatan

kabur,

edema

periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar, kotor.
c) Hidung : pernapasan cuping hidung.
d) Mulut : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan, mual,
muntah serta cegukan, peradangan gusi.
6) Leher : pembesaran vena leher.
7) Dada dan thoraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, edema
pulmoner, efusi pleura.
8) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
9)

Ekstremitas : melambat, kuku rapuh dan kusam serta tipis,


kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, kekuatan
otot.

10)

Kulit : kering, pigmentasi, bekas garukan, ekimosis, pucat, lecet,

warna mengkilat/ abu-abu.

28

11)

Pemeriksaan penunjang
Menurut Doengoes (2000), pemeriksaan penunjang penyakit
ginjal kronik adalah:
a. Urine
1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam
(oliguria) atau urine tak ada (anuria).
2) Warna : secara abnormal urine keruh mungkin
disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau sedimen koor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb.
3) Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1.010
menunjukkan kerusakan ginjal berat).
4) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal
tidak mampu mereabsorbsi natrium.
5) Protein : dapat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan
fragmen juga ada.
b. Darah
1) BUN/ kreatinin : meningkat diatas normal

29

2) Hitung darah lengkap : Hb menurun biasanya kurang


dari 7-8 g/dL
3) Kalium : meningkat
4) Natrium serum : mungkin rendah atau normal
5) Magnesium fosfat meningkat
6) Kalsium : menurun
7) Protein (khususnya albumin) : kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena asam amino esensial.
8) Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mOsm/kg ;
sering sama dengan urine
c.Pemeriksaan Radio diagnostik
1) Biopsi ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik
untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologik.
2) KUB foto : menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung
kemih dan adanya obstruksi (batu)
3) Pielogram retrograd : menunjukkan abnormalitas
pelvis ginjal dan ureter.
30

4) Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan


mengidentifikasi ekstravaskuler , massa.
5) Sistouretrogram berkemih : menunjukkan ukuran
kandung kemih , refluks kedalam ureter, retensi.
6) Ultrasono ginjal : terbentuk adanya atropi
7) Endoskopi ginjal, nefroskopi : dilakukan untuk
menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
8) EKG

mungkin

abnormal

menunjukkan

ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.


9) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan :
dapat menunjukkan demineralisasi, klasifikasi

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan penyakit gagal ginjal kronik menurut Doengoes
(2000), Smeltzer & Bare (2002) dan Carpenito (2006) adalah :
1. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi paru, edema
paru ditandai dengan adanya sianosis dan dispnea, penurunan bunyi
nafas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus
sekunder terhadap adanya edema pulmoner.

31

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2


dan nutrisi ke jaringan sekunder terhadap penurunan Hb.
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urin, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium ditandai dengan
peningkatan berat badan cepat (edema), distensi abdomen (asites).
5. Resiko

penurunan

curah

jantung

berhubungan

dengan

ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial


dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi
jantung (ketidakseimbangan elektrolit).
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan mukosa
mulut ditandai dengan penurunan berat badan (malnutrisi), distensi
abdomen/ asites.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis ditandai dengan kelemahan otot,
penurunan rentang gerak.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus dan kulit
kering sekunder terhadap uremia dan edema ditandai dengan kulit
menghitam, gangguan turgor kulit.
9. Gangguan konsep diri Harga diri rendah berhubungan dengan
penurunan fungsi tubuh dan perubahan penampilan.

32

33

K. Pathway Keperawatan
Penyakit Proses Glomerilius
Penyakit Primer Medikal
Ketrolistik

Ginjal Rusak
GFR

Ekresi ureum
ureum kreatinin
kreatinin
Ekresi
menurun
menurun

Peningkatan Renin
Meningkat

Fungsi ekresi

Ekresi air

HC03

Peningkatan ureum di
pembuluh darah

Vasokontriksi

Fungsi ekresi
menurun

Tekanan vaskuler

Ekskresi kalium

Asidosis

Anoreksia, mual,
muntah

Hiperventilasi Penumpukan
Pruritus + perubahana
cairan di paru
warna kulit

stomatitis

Kualitas
mengunyah
menurun

hiperkalemi

Retensi cairan

Hiperrospatemia

Retensi Natrium
Preolad naik
Kelebihan
volume
cairan

Perubahan Pola nafas

Peningkatan beban
jantung

Hipertrofi
ventrikel kiri

Resiko gangguan
integritas Kulit
Intake tidak
adekuat
sirkulasi
tak
adekuat

Fungis Ginjal
Menurun

Hiperaldosteron
Volume interstitial

Sirdroma uremia

Tekanan Hidrotastik
Kapiler Paru
meningkat

Perpindahan cairan
dari kapiler ke
alveoli

Eritropoitein Menurun

Oksi HB menurun
Gangguan
kontraktilitas
miokard

Edema Paru

kelemahan

Suplai O2 Ke
jaringan menurun

Gangguan irama dan


konduksi

Gangguan
Perfusi
jaringan

Payah jantung kiri


edema

Distensi
abdomen

Difusi O2 ke
alveoliTerganggu

Sesak
nafas

Intoleransi
aktivitas

Penurunan COP

Perubahan penampilan
Rasa penuh dilambung

Gangguan Pertukaran
Gas

HDR

Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh

anoreksia

Sumber : Doengoes (2000)


Smeltzer & Bare (2002)
Carpenito (2006)

31

Volume interstit ial

L. Fokus intervensi dan rasional


1. Diagnosa : perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
paru, edema paru ditandai dengan adanya sianosis dan dispnea,
penurunan bunyi nafas.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien


menunjukkan pola nafas efektif

Kriteria hasil

: tidak ada dispnea, bunyi nafas tidak mengalami

penurunan, tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, RR 16-24


x/menit.
Intervensi

a. Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak,

dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.


Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada vital dapat
terjadi sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b. Catat pengembangan dada dan posisi trakea

Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat


menurunkan

apabila

terjadi

asietas

atau

edema

pulmoner.
c. Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau nafas dalam.

Rasional : Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat


batuk lebih efektif dan dapat mengurangi trauma.
d. Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler

Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.

32

e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit)

Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan


status cairan.
f.

Kolaborasikan pemberian oksigen


Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.

2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan


ekspansi paru sekunder terhadap adanya edema pulmoner.
Tujuan

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

klien

menunjukkan pertukaran gas efektif.


Kriteria hasil

: analisa gas darah dalam rentang normal, tidak ada

tanda sianosis maupun hipoksia, taktil fremitus positif kanan dan kiri,
bunyi nafas tidak mengalami penurunan, auskultasi paru sonor, TTV
dalam batas normal: RR 16-24 x/menit
Intervensi :
a. Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak,
dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada vital dapat
terjadi sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
b. Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Untuk mengetahui keadaan paru.

33

c. Catat pengembangan dada dan posisi trakea


Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat
menurunkan apabila terjadi asietas atau udema pulmoner.
d. Kaji taktil fremitus
Rasional : Taktil fremitus dapat negative pada klien dengan edema
pulmoner.
e. Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau nafas dalam.
Rasional : Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat
batuk lebih efektif dan dapat mengurangi trauma.
f. Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.
g. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit)
Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indicator keadaan
status cairan.
h. Kolaborasikan pemeriksaan analisa gas darah dan foto thoraks.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta
evaluasi dari implementasi.
i. Kolaborasikan pemeriksaan oksigen
Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
34

3. Diagnosa :

Gangguan

penurunan suplai O2

perfusi

jaringan

berhubungan

dengan

dan nutrisi ke jaringan sekunder terhadap

penurunan Hb.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan perfusi

jaringan adekuat
Kriteria hasil

: Membran mukosa warna merah muda, kesadaran

kompos mentis, tidak ada keluhan sakit kepala, tidak ada tanda
sianosis ataupun hipoksia, capillary refill kurang dari 3 detik, nilai
laboratorium dalam batas normal (Hb 12-15 gr%), konjungtiva tidak
anemis, tanda-tanda vital stabil: TD: 120/80 mmHg, nadi: 6080x/menit
Intervensi

a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit dan


dasar kuku.
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat atau keadekuatan
perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan
intervensi
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan
oksigenasi untuk kebutuhan seluler, vasokonstrisi (ke
organ vital) menurunkan sirkulasi perifer.

35

c. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh


hangat sesuai dengan indikasi.
Rasional : Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus
seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas
berlebihan pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi
organ).
d. Kolaborasi untuk pemberian O2
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin).
Rasional : Mengetahui status transport O2
f. Kolaborasikan

pemberian

terapi

untuk

peningkatan

Hb

(Eritropoetin Stimulating Agen)


Rasional : untuk meningkatkan kadar Hb dalam tubuh.
4. Diagnosa : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran urine, retensi cairan dan natrium ditandai dengan peningkatan
berat badan cepat (edema), distensi abdomen (asites).
Tujuan

: kelebihan cairan tidak terjadi.

Kriteria hasil

: turgor kulit normal tanpa edema, tanda-tanda vital

normal 120/80mmHg, tidak ada asites, tidak ada kenaikan BB.

36

Intervensi
a. Kaji

:
status

cairan

seperti

timbang

berat

badan

harian,

keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya


edema, tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional : pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b. Batasi masukan cairan dan garam
Rasional : pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal,
haluaran urine dan respons terhadap terapi.
c. Identifikasi sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang
digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena serta makanan.
Rasional : sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan
keluarga dalam pembatasan cairan.
e. Bantu pasien dalam

menghadapai ketidaknyamanan akibat

pembatasan cairan.
Rasional : kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet.
37

f. Timbang berat badan harian


Rasional : untuk memantau status cairan dan nutrisi.
g. Kolaborasikan dialisis
Rasional : untuk mengurangi penumpukan cairan dalam tubuh.
h. Ajarkan management rasa haus, oral higiene.
Rasional : untuk mengurangi rasa haus.
5. Diagnosa : Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, peningkatan kerja
miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi, irama,
konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit).
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah


jantung dapat dipertahankan

Kriteria hasil

: Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan

darah: 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur, akral hangat,
capillary refill kurang dari 3 detik, Nilai laboratorium dalam batas
normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-39 mg/dl)
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer
atau kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah,
perhatikan postural misalnya: duduk, berbaring dan berdiri.
38

Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea,


gemerisik, mengi dan edema.
b. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.
Rasional : Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan
defisit cairan.
c. Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah,
nadi perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan
mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d. Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga
anemia.
e. Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengganggu kondisi dan
fungsi jantung.
f. Batasi makanan tinggi kalium
Rasional : menghindari terjadinya hiperkalemia dalam tubuh
g. Berikan obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.

39

6. Diagnosa :
berhubungan

Perubahan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

tubuh

dengan intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia

ditandai dengan penurunan berat badan (malnutrisi), distensi abdomen/


asites.
Tujuan

: nutrisi adekuat

Kriteria hasil

: Pengukuran antropometri dalam batas normal,

perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat

tidak terjadi,

pengukuran biokimis dalam batas normal (albumin, kadar elektrolit),


pemeriksaan laboratorium klinis dalam batas normal, pematuhan
makanan dalam pembatasan diet dan medikasi sesuai jadwal untuk
mengatasi anoreksia.
Intervensi

a. Kaji status nutrisi seperti

perubahan berat badan, pengukuran

antropometrik, nilai laboratorium (elektrolit, serum,

BUN,

kreatinin, protein, transferin dan kadar besi).


Rasional : menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b. Kaji pola diet dan nutrisi pasien seperti riwayat diet, makanan
kesukaan, hitung kalori.
Rasional : pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan
dalam menyusun menu.

40

c. Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi seperti


Anoreksia, mual, muntah, diet yang tidak menyenangkan bagi
pasien, kurang memahami diet
Rasional :

menyediakan informasi mengenai faktor lain yang


dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan
masukan diet.

d. Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.


Rasional : mendorong peningkatan masukan diet
e. Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis
tinggi : telur, produk susu, daging.
Rasional

protein

lengkap

diberikan

untuk

mencapai

keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk


pertumbuhan dan penyembuhan.
f. Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium,
diantara waktu makan.
Rasional : mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan
menyediakan kalori untuk energi, membagi protein
untuk pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
g. Ubah

jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera

diberikan sebelum makan

41

Rasional : ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan


anoreksia dan rasa kenyang.
h. Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubunganya dengan
penyakit ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
Rasional : meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan
antara diet, urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
i. Sediakan daftar makanan yang dianjurkan secara tertulis dan
anjurkan untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau
kalium.
Rasional : daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif
terhadap

pembatasan diet dan merupakan referensi

untuk pasien dan keluarga yang dapat digunakan


dirumah.
j. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional : faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam
menimbulkan anoreksia dihilangkan.
k. Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat seperti
pembentukan edema, penyembuhan yang lambat, penurunan kadar
albumin.

42

Rasional : masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan


penurunan albumin dan protein lain, pembentukan edema
dan perlambatan penyembuhan.

7.

Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan,


anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis ditandai dengan
kelemahan otot, penurunan rentang gerak.
Tujuan

Berpartisipasi

dalam

aktivitas

yang

Berpartisipasi

dalam

meningkatkan

dapat

ditoleransi
Kriteria hasil

tingkat

aktivitas dan latihan, melaporkan peningkatan rasa sejahtera,


melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian, berpartisipasi
dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih
Intervensi
a. Kaji

:
faktor

yang menyebabkan

keletihan

seperti

anemia,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, retensi produk sampah,


dan depresi.
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat
keletihan
b. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.

43

Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki


harga diri.
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat
d. Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialisis, bagi banyak pasien sangat
melelahkan.
8. Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
dan kulit kering sekunder terhadap uremia dan edema ditandai dengan
kulit menghitam, gangguan turgor kulit.
Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan integritas

kulit membaik.
Kriteria hasil

mempertahankan

kulit

utuh,

menurunkan

perilaku/tekhnik untuk mencegah kerusakan/ cedera kulit.


Intervensi

a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular.


Perhatikan kemerahan, ekskoriasi. Observasi terhadap ekimosis,
purpura.

44

Rasional : menandakan area sirkulasi buruk/ kerusakan yang dapat


menimbulkan pembentukan dekubitus/ infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.
Rasional : mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan
yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
pada tingkat seluler.
c. Inspeksi area tergantung terhadap edema
Rasional : jaringan edema lebih cenderung robek/ rusak
d. Ubah posisi dengan sering : gerakan pasien dengan perlahan: beri
bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit domba, pelindung siku/
tumit.
Rasional : menurunkan tekanan pada edema, jaringan dengan
perfusi buruk untuk menurunkan iskemia. Peninggian
meningkatkan

aliran

balik

statis

vena

terbatas/pembentukan edema.
e. Berikan perawatan kulit : batasi penggunaan sabun, berikan salep
atau krim (mis.lanolin).
Rasional : soda kue, mandi dengan tepung menurunkan gatal dan
mengurangi pengeringan dari pada sabun. Losion dan
salep mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering,
robekan kulit.

45

f. Pertahankan linen kering, bebas keriput.


Rasional : menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit.
g. Selidiki keluhan gatal.
Rasional : meskipun dialisis mengalami masalah kulit yang
berkenaan dengan uremik, gatal dapat terjadi karena kulit
adalah rute eksresi untuk produk sisa. Misal kristal fosfat
(berkenaan dengan hiperparatiroidisme pada penyakit
tahap akhir).
h. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan (dari pada garukan) pada area pruritus.
Pertahankan kuku pendek: berikan sarung tangan selama tidur bila
diperlukan.
Rasional : menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan
risiko cedera dermal.
i. Berikan matras busa.
Rasional : menurunkan tekanan lama pada jaringan yang dapat
membatasi perfusi selular yang menyebabkan iskemia/ nekrosis.
9. Diagnosa : gangguan konsep harga diri rendah berhubungan dengan
penurunan fungsi tubuh dan perubahan penampilan.

46

Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat

memperbaiki konsep diri.


Kriteria Hasil

: klien tidak merasa minder dan malu

Intervensi

a. Kaji respon dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan
penanganan.
Rasional : menyediakan data tentang masalah pada pasien dan
keluarga
b. Kaji hubungan antara pasien dengan anggota keluarga terdekat
Rasional : penguatan dan dukungan terhadap pasien diidentifikasi.
c. Kaji pola koping pasien dan anggota keluarga
Rasional : pola koping yang telah efektif di masa lalu mungkin
potensial destruktif ketika memandang pembatasan yang
ditetapkan akibat penyakit dan penanganan.
d. Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat
penyakit dan penanganan seperti perubahan peran, perubahan gaya
hidup,

perubahan

dalam

pekerjaan,

perubahan

seksual,

ketergantungan pada tim tenaga kesehatan.


Rasional : pasien dapat mengidentifikasi masalah dan langkahlangkah yang diperlukan untuk menghadapinya.
47

e. Gali cara alternatif untuk ekspresi seksual lain selain hubungan


seksual
Rasional : bentuk alternatif ekspresi seksual dapat diterima.
f. Diskusikan peran memberi dan menerima cinta, kehangatan dan
kemesraan
Rasional : seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi tiap
individu

tergantung

pada

tahap

maturasinya

48

49

50

Anda mungkin juga menyukai