Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN


MENINGOENSEFALITIS DD ABSES CEREBRI, POST VP SHUNT,
DAN GIZI BURUK

Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi Sp.A
Disusun oleh :
Sutrisuna
030.11.281
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 5 September 2016 12 November 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi laporan kasus dengan judul
Seorang Anak Laki-laki dengan Meningoensefalitis, Abses Serebri, Post VP Shunt dan
Gizi buruk

Penyusun:
Sutrisuna
030.11.281
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 5 September
12 November 2016

Tegal, Oktober 2016

dr. Raden Setiyadi, Sp.A

BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Sutrisuna
NIM : 030.11.281

Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.


Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat

Pasien
An. GF
5 tahun
Laki-laki

Agama
Suku Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan
Asuransi
No. RM
Tanggal masuk RS

Ibu
Ny PA
37 tahun
Perempuan
Kambangan

Ibu
Tn. N
42 tahun
Laki-laki
Jawa Timur

Islam
Islam
Islam
Jawa
Jawa
Jawa
SD
STM
TKW
Rp 5.000.000,Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
BPJS (PBI)
785457
25 September 2016

II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. PA, 37 tahun)
pada tanggal 30 September 2016 di Ruang PICU RSU Kardinah pukul 12.00 WIB.
Keluhan Utama
Penurunan kesaran
Keluhan Tambahan
Demam 3 hari SMRS, Kejang 2x dirumah, Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah, rujukan dari RS. Soeselo (tidak ada Sp. BS)
dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS.

Sebelumnya, os mengalami

demam tinggi 3 hari SMRS. Demam tinggi tidak naik turun. Selama dirumah, os mengalami

kejang sebanyak 2x, badan kaku, mata mendelik keatas disertai mulut berbusa. Durasi setiap
kejangnya sekitar 2 menit. Setelah kejang, os diam, lemas, tidak menangis.
Di HCU, os kejang berulang kali, >10x, setiap kejangnya 20 detik. Os muntah
sebanyak 3x, muntahan berwarna kecoklatan. BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-)
sebanyak 1 gelas aqua. BAK (+) lancar. Sesak (+) Nafsu makan menurun. Minum
sebelumnya baik (susu/air). Batuk (-) pilek (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. 3 minggu SMRS pasien sempat dirawat di RS Singkil selama 3 hari dengan
typhoid.

Pasien pulang atas permintaan keluarga (APS) dengan alasan tidak ada yang

menunggu di RS. Saat itu, os dijaga oleh bibinya yang juga memiliki anak sementara ibu os
masih menjadi TKW di Hongkong. Keadaan os saat pulang baik, demam (-) muntah (-)
konstipasi (+) 2 minggu. Saat os berusia 1 tahun, os memiliki riwayat terjatuh di dapur,
kemudian demam (+) 1 minggu. Setelah di CT-Scan, ditemukan tengkorak yang retak.
Semenjak terjatuh, kepala os tampak membesar hidrosefalus dan kemudian dioperasi
pemasangan VP-shunt di RS Aminah Blitar. Semenjak di VP-Shunt os mengalami masalah
pendengaran. Ketika berusia 2 tahun, os melalukan tes pendengaran (BERA, ASSR), dengan
hasil pendengaran 120 dB untuk telinga kanan dan 90 dB untuk telinga kiri. Tidak ada
riwayat trauma, riwayat alergi obat maupun makanan tertentu. Riwayat penyakit lain, seperti
asma, penyakit jantung, dan sebagainya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang mengalami keluhan yang
serupa. Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Lingkungan Rumah
Pasien tinggal bersama dengan keluarga bibinya (paman, bibi dan 1 orang sepupu)
dirumah pribadi. Rumah berada di kawasan yang padat penduduk dengan luas 6 meter x 3
meter. Tempat tinggal pasien memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah
memiliki 2 jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari
air sumur. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga
disalurkan melalui selokan di depan rumah.

Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ibu os bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita di HongKong dengan penghasilan Rp
5.000.000,00 /bulan. Ayah os tidak bekerja dan tidak pernah menafkahi anaknya.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang baik.
Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Ibu os berusia 32 tahun saat mengandung pasien.

Ibu os rutin memeriksakan

kehamilannya secara teratur sesuai buku panduan di bidan. Selama hamil, os tidak pernah
memeriksakan kehamilannya di dokter spesialis kandungan. USG (-) Riwayat tekanan darah
tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang, trauma maupun infeksi saat hamil
disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran

: RSU Kardinah

Penolong persalinan : Bidan


Cara persalinan

: Per vaginam, secara spontan

Masa gestasi

: 38 minggu pada G2P1A0

Keadaan bayi

Berat badan lahir

: 3500 gram

Panjang badan lahir

: 49 cm

Lingkar kepala

: Ibu lupa

Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru

Nilai APGAR : Ibu tidak tahu

Kelainan bawaan

: Tidak ada

Air ketuban

: Jernih

Suntik vit K

: Ya

Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.
Corak Reproduksi Ibu
Ibu P2A0, pasien merupakan anak kedua berjenis kelamin laki-laki.
Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien mengaku saat ini hanya menggunakan kontrasepsi IUD sejak tahun 2011.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan:
Berat badan lahir 3500 gram. Panjang badan lahir 49 cm.
Berat badan sekarang 11 kg. Tinggi badan 105 cm.
Perkembangan:
Psikomotor

Senyum : 2 bulan
Tengkurap
: 4 bulan
Duduk
: 6 bulan
Merangkak
: 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 21 bulan
Bicara
: 12 bulan hanya sampai mama/papa, setelah op, os tidak mendengar
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak terlambat, tidak sesuai
usia

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif sampai usia 3 bulan. Usia 3 bulan diberikan PASI dan
bubur susu 3x sehari. Usia 6 bulan mulai diberikan makanan lunak dan buah pisang. Usia
1 tahun sudah diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Ibu os mengatakan pasien sulit
makan, makan tidak banyak dan tidak pernah habis.
Kesan: kualitas makanan cukup baik, kuantitas makanan buruk.
Riwayat Imunisasi

VAKSIN

ULANGAN

DASAR (umur)

(umur)
-

BCG

0 bulan

DTP/ DT
POLIO

0 bulan

2 bulan
2 bulan

4 bulan
4 bulan

6 bulan
6 bulan

CAMPAK

9 bulan

0 bulan

1 bulan

6 bulan

HEPATITIS B

Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap sesuai usia, belum dilakukan imunisasi ulangan

Silsilah Keluarga

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di Pediatric Intensive Care Unit RSU Kardinah Tegal pada
tanggal 30 September 2016 pukul 12.30 WIB.
A. Kesan Umum : soporokoma,E1V1M2, TSB, tampak
sesak
B. Tanda Vital

Nadi
Laju nafas
Suhu
Tekanan darah

: 120 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.


: 35 x/menit, reguler.
: 39,1C
: 158/107 mmHg

C. Data Antropometri

Berat badan

Tinggi badan : 110cm

: 11 kg

D. Status Generalis

Kepala

: mesosefali, LK : 49 cm

Rambut

: berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.

Wajah

: simetris

Leher

: kaku kuduk (+)

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem


palpebra

(-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya

langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+

Hidung

: bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping


hidung (-),

Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)

Mulut

: bibir kering (-), bibir sianosis (-), oral hygiene buruk (+)

Tenggorok

: faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)

Leher

: Simetris, pembesaran KGB (-)

Kulit

: berwarna kecoklatan, baggy pants (+)

Thorax

Paru

Inspeksi

: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi

(+)

Palpasi

: Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.

Perkusi

: Sonor pada kedua hemitoraks.

Auskultasi

: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (-/-),

wheezing (-/-).

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

: Iktus kordis tidak tampak.


: Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
: Tidak dilakukan pemeriksaan
: Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),

gallop (-).

Abdomen

Inspeksi

: Skafoid

Auskultasi

: Bising usus (+)

Palpasi

: Supel, datar, distensi (-), turgor kulit melambat.

Perkusi

: Timpani pada seluruh kuadran abdomen.

Genitalia

: jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan.

Anorektal

: tidak dilakukan pemeriksaan,

Ekstremitas

Akral Dingin
Akral Sianosis
CRT
Oedem
Tonus Otot
Trofi Otot
Ref. Fisiologis
Ref. Patologis
E. Status neurologis
1. Pemeriksaan nervus kranialis
2. Pemeriksaan sensibilitas
3. Tanda rangsang meningeal

Superior
-/-/<2
-/Hipertonus
Normotrofi
+
-

Inferior
-/-/<2
-/Hipertonus
Normotrofi
+
-

: sulit dinilai
: sulit dinilai
: kaku kuduk (+), laseque (+), kernique (+),

brudzinsky I, II (+)
4. Pemeriksaan motorik

: hipertonus +/+ , Spastik +/+

5. Refleks fisiologis
6. Refleks patologis

+/+
+/+
: biceps (+), triceps (+), patella (+), Achilles (+)
: Babinski +/+, chaddock +/+, Gordon +/+,

openheim +/+, schaefer +/+, Hoffman tromner -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 22/09/2016 Pukul 18.20 WIB


Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
RDW
MCV
MCH
MCHC
Hitung Jenis (Diff)
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Laju Endap Darah
Pemeriksaan
LED 1 Jam
LED 2 Jam
Kimia klinik : Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Calcium
Gula darah sewaktu
Albumin
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

HEMATOLOGI

Hasil

Hematologi
Satuan

Rujukan

10,7 ()
25,5 ()
31 ()
370
4.2
73
35
35

g/dL
103/uL
%
103/uL
106/uL
%
U
Pcg
g/dl

10,7 14,7
4,5 13,5
34 40
150 521
3,8 5,8
11,5 14,5
80 93
28 33
33 36

0 ()
0.2
86,0 ()
5,80 ()
8.0

%
%
%
%
%

2-4
0-1
50-70
25-40
2-8

Hasil
34 ()

Satuan
mmol/L

Rujukan
0 20

65 ()

mmol/L

0 35

114,0 ()

mmol/L

135 - 145

3,90
80,0 ()
8,8 ()
92
3.6
18
12
17,8
0,18

mmol/L
mmol/L
mg/dL
mg/dL
g/dL
U/L
U/L
mg/dL
mg/dL

4,4 5,1
96 106
8,8 10,3
75-120
3,0 5,2

17,8 32.7
< 1,0

80.0
78.0
76.0
74.0
72.0
70.0
68.0
66.0
64.0
62.0
60.0
58.0
56.0
54.0
52.0
50.0
48.0
46.0
44.0
42.0
40.0
38.0
36.0
34.0
32.0
30.0
28.0
26.0
24.0
22.0
20.0
18.0
16.0
14.0
12.0
10.0
8.0
6.0
4.0
2.0
0.0

KIMIA KLINIK

Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC

120.0
110.0
100.0
90.0
80.0
70.0

Ureum
Creatinin

60.0

Kalium
Natrium

50.0

Chlorida
40.0

Calcium

30.0
20.0
10.0
0.0

Total protein
Globulin
Albumin

Lab 09.10.2016 (Pukul 00:20)


HASIL
SATUAN
3.4
g/dL
1.0
g/dL
2.37
g/dL

NILAI RUJUKAN
6.4 8.3
2.3 3.5
3.8 5.4

Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras (24.09.2016)

Tampak lesi kistik berbatas tegas tepi regular dengan dinding sebagian tebal multiple
pada lobus occipitoparietal kanan dan corpus callosum dengan fingerlike edema luas
region temporooccipitoparietal kanan, ukuran terbesar pada lobus parietooccipital
kanan sekitar AP 2.01 cm,LL 2.45 cm, CC 2.07 cm dan ukuran pada corpus callosum

sekitar AP 1.89 cm, LL 3.63 cm, CC 1.4 cm


Pasca injeksi kontras tampak rim enhancement

Terpasang shunt dengan ujung distal pada aspek posterior ventrikel lateral kanan,
ujung shunt berdekatan dengan lesi kistik multiple, port dentre shunt pada os

occipital kanan
Sulkus kortikalis dan sutura Sylvii kanan sempit, kiri tampak normal
Ventrikel lateral kanan-kiri III dan IV tampak lebar
Tak tampak midline shifting
Batang otak dan cerebellum baik

KESAN :
-

Mendukung gambaran abses cerebri multiple, DD/ Glioblastoma multiform


Hidrosefalus komunikans
Gambaran peningkatan tekanan intracranial

ANALISA CAIRAN OTAK (29.09.2016)


PEMERIKSAA
N
MAKROSKOPIS
Warna
Kekeruhan
KIMIA
Test Nonne Apekt
Fandy
Glukosa

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Kuning
Keruh

Kuning muda kuning


Jernih

POSITIF
POSITIF
.

Negatif
Negatif
: Glukosa plasma = transudasi

mg/dL

>Glukosa plasma = Eksudat


MIKROSKOPIS
Hitung jenis

365.0

lekosit
Hitung eritrosit
Polimorfonukleus
Mononukleus

01
36.0
64.0

/mm3

< 1.000 : Transudat

%
%

>1.000 : Eksudat
0 100000
30.0 50.0
> 50 % : inflasi kronis

PEMERIKSAAN KULTUR LCS (29.09.2016)

V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri
Anak laki-laki usia 5 tahun
Berat badan 11 kg
Tinggi badan 110 cm
Lingkar kepala 49 cm

Pemeriksaan Status Gizi


Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
1. BB/U= 11/18 x 100% = 61,1 % (berat badan menurut
umur buruk)
2. TB/U = 110/109 x 100% = 100,9 % ( normal)
3. BB/TB = 11/19 x 100% = 57,8% (gizi buruk menurut
berat badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 5 tahun, status gizi buruk

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : LK 49 cm Normocephali
Pemeriksaan Status Gizi

Kesan: status gizi buruk


VI.

RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun datang ke IGD RSUD Kardinah, rujukan dari

RS Soeselo dengan keluhan penurunan kesadaran 1 hari SMRS. Demam (+) tinggi 3 hari
SMRS. Selama dirumah, os mengalami kejang sebanyak 2x, badan kaku, mata mendelik
keatas disertai mulut berbusa. Durasi setiap kejangnya sekitar 2 menit. Setelah kejang, os
diam, lemas, tidak menangis. Di HCU, os kejang berulang kali, dengan total >10x, setiap
kejangnya 20 detik. Os muntah sebanyak 3x, muntahan berwarna kecoklatan. BAB cair 1x,
ampas (+), lendir (-), darah (-) sebanyak 1 gelas aqua. 3 minggu SMRS pasien sempat
dirawat di RS Singkil selama 3 hari dengan typhoid. Keadaan os saat pulang baik, demam (-)
muntah (-) konstipasi (+) 2 minggu. Saat os berusia 1 tahun, os mengalami hidrosefalus dan
kemudian dioperasi pemasangan VP-shunt di RS Aminah Blitar. Semenjak di lakukan VP-

Shunt os mengalami masalah pendengaran.

Ketika berusia 2 tahun, os melalukan tes

pendengaran (BERA, ASSR), dengan hasil pendengaran 120 dB untuk telinga kanan dan 90
dB untuk telinga kiri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien soporokoma,E1V1M2,
tampak sakit berat, tampak sesak, pemeriksaan tanda vital dengan nadi : 120 x/menit, reguler,
kuat, isi cukup, laju nafas: 35 x/menit, regular, suhu : 39,1C, tekanan darah 158/107 mmHg,
berat badan

: 11 kg, tinggi badan : 110cm dengan status gizi buruk, pada pemeriksaan

leher ditemukan kaku kuduk, oral hygiene mulut buruk, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal kaku kuduk (+), laseque (+), kernique (+), brudzinsky I, II (+), Pemeriksaan
motorik hipertonus ditemukan hipertonus dan spastik pada kedua ekstrimitas, refleks
patologis + Babinski +/+, chaddock +/+, Gordon +/+, openheim +/+, schaefer +/+, Hoffman
tromner -/Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan anemia, leukositosis,
peningkatan LED, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Pada pemeriksaan CT-Scan

dengan kontras, didapatkan gambaran abses cerebri multiple, DD/ Glioblastoma multiform,
hidrosefalus komunikans, gambaran peningkatan tekanan intracranial. Pada pemeriksaan
lumbal pungsi, cairan otak keruh, Test Nonne Apekt (+), test Fandy (+), Mononukleus 64.0%,
hitung jenis lekosit 365.0. Hasil kultur menemukan bakteri Proteus Mirabillis, dan sensitif
terhadap seluruh antibiotik. Pada pemeriksaan khusus, disimpulkan bahwa os memiliki gizi
buruk dengan kepala normosefal.
VII.

MASALAH
Penurunan kesadaran
Demam tinggi 3 hari SMRS
Kejang-kejang >15x
Riwayat dirawat 3 minggu yll dengan typhoid
Riwayat VP-shunt 4 tahun yll
Gangguan pendengaran 120 dB OD, 90 dB OS
Gizi buruk
Tanda rangsang meningeal (+), refleks patologis (+)
Anemia
Leukositosis
Peningkatan LED
Gangguan keseimbangan elektrolit
CT-scan gambaran abses cerebri multiple, DD/ Glioblastoma multiform
Analisa cairan otak : cairan otak keruh, Test Nonne Apekt (+), test Fandy (+),
Mononukleus 64.0%, hitung jenis lekosit 365.0.
Hasil kultur bakteri Proteus Mirabillis,

VIII. DIAGNOSA KERJA


- Diagnosa topis
- Diagnosa etiologis
- Diagnosa patologis
- Diagnosa tambahan

: meningeal, ensefalon, cerebri


: meningoensefalitis
: proteus mirabilis, abses serebri multiple
: post VP-shunt, Gizi buruk, Gangguan pendengaran berat OS,

Tuli sensorineural OD
IX.

DIAGNOSIS BANDING
Kejang

Penurunan kesadaran

Infeksi intracranial

Tumor : SOL

Perdarahan

Metabolik
Gangguan structural

Gizi Buruk

Gangguan metabolik
Marasmik

Kwasiorkor

Marasmik-kwasiorkor

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:

IVFD KaEn 3B + piracetam 1gr 40 cc/jam

Ceftriaxone 1 x 1gr dalam NaCl 0,9% 100cc

Phenitoin 2 x 50 mg dalam NaCl 10 cc

P.o Paracetamol 4 x 1

Diet susu cair 8 x 90 cc

Non-medikamentosa

Rawat inap untuk monitor gejala

Awasi keadaan umum, dan tanda vital

Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,


dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

Memberikan asupan gizi yang sesuai

XI.

PROGNOSA
Quo ad vitam
Quo ad sanationam
Quo ad fungsionam

: ad malam
: ad malam
: ad malam

PERJALANAN PENYAKIT
25 September 2016 pkl. 21:15 WIB (IGD)
Hari Perawatan ke-0
Os rujukan dari RS Soeselo dengan penurunan kesadaran,demam tinggi 3 hari SMRS, kejang 2x dirumah, badan kaku, mata mendelik
ke atas disertai mulut berbusa. Muntah (+) BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-). Sesak (+) Riwayat dirawat 3 minggu yll
dengan typhoid. Riwayat VP-shunt 4 tahun yll.
KU: penurunan kesadaran, Tampak sakit berat, tampak sesak
TTV: HR 126x/m,RR 30x/m, T 37,8 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefali, LK = 49 cm, rambut berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut..
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
Hidung & THT : dbn
Mulut : oral hygiene buruk
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, hepar lien ttb
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)spastik +/+ CRT < 2 detik
Hidrosefalus post VP-shunting
Observasi penurunan kesadaran
Observasi febris
Observasi kejang
Rawat inap di HCU, konsultasi Sp. BS
O2 3 lpm
IVFD D5+ NaCl 3% 102ml/kolf 45 cc/jam
Inj Ceftriaxone 2 x 20mg/hari
Inj. Piracetam 3 x 300 mg / hari
Inj. Citicolin 2 x 100mg
Inj. Dexamethason 3 x 3.5 mg
Po Paracetamol 4x140 mg
Tanggal

26-9-16 (HCU)

27-9-16 (ICU)

28-9-16 (ICU)

29-9-16(ICU)

30-9-16 (ICU)

H1
Penurunan kesadaran (+)
Demam (+) , BAB cair
(+) 1x ampas (+), lendir
(-), darah (-)

H2
Kejang
berulang
>10x, durasi <20detik,
Muntah (+)3x BAB
Cair 1x, amapas (+),
Demam (+)

H3
Demam (+)
Penurunan kesadaran
(+), makan (NGT),
kejang (-), muntah
(-)

H4
Demam (+) Kejang
(-)BAB cair 3x
ampas (+), darah
(-), lendir (-)

H5
Demam (+) Kejang
(-)BAB cair 4x ampas
(+), darah (-), lendir (-)

TTV

HR
RR
suhu

26/9/2016

27/9/2016

28/9/2016

29/9/2016

TD = 158 / 107 mmHg KU : lemah, TSB, KU : soporokoma,


KU : lemah, kesadaran apatis
TSB, E1V1M2
apatis
Kaku
kuduk
(+), Tanda
rangsang
Brudzinsky I (+)
meningeal
(+),
Refleks patologis (-)

Post VP-shunt
Hiponatremi
Anemia
Observasi
penurunan

Kejang
demam
kompleks
Obs
meningoensefalitis

Post VP-Shunt
Meningoensefalitis
Gangguan elektrolit
Gizi buruk

30/9/2016

KU : soporokoma, KU : soporokoma,
TSB, E1V1M2
TSB, E1V1M2
tanda
rangsang tanda
rangsang
meningeal(+),
meningeal(+), refleks
refleks patologis (-) patologis (-)
LP cairan otak
keruh, darah (-)
Meningoensefalitis
TB (?) dd abses
cerebri
Post VP shunt

Meningoensefalitis dd
abses cerebri
Post VP shunt
Gangguan elektrolit

kesadaran
Observasi kejang
P

Post VP-shunt
Hiponatremia
Anemia
O2 3 lpm
O2 3 lpm
IVFD D5+ NaCl 3% IVFD KaEn 3B +
102ml/kolf 45 cc/jam
piracetam 1gr 40
Inj Ceftriaxone 2 x
20mg/hari
cc/jam
Inj. Piracetam 2 x 500
Ceftriaxone 1 x 1gr
mg / hari
Inj. Citicolin 2 x dalam NaCl 0,9%
100mg
100cc
Inj. Dexamethason 3 x
3.5 mg
Phenitoin 2 x 50 mg
Po Paracetamol 4x140
dalam NaCl 10 cc
mg
Rawat bersama anak
Extra stesolid supp
5mg, extra phenitoin
100mg IV pelan,
Phenitoin
3x20mg
dalam NaCl 100ml
Koreksi Natrium 104
cc NaCl 3% (12 jam)
Po Sanmol 4x 1
Po L-Zinc 2x 10mg

Terapi lanjut
105 cc NaCl 3%
dalam D5 500cc
Rencana LP besok

Gangguan
Gizi buruk
elektrolit
Gizi buruk
O2 3 lpm
O2 3 lpm
IVFD KaEn 3B + IVFD KaEn
piracetam 1gr 33 piracetam

3B

+
1gr

cc/jam

30cc/jam

Inj Ceftriaxone 2
x 75 mg iv
Inj Dexametason
4 x 1,5 mg
Po Sanmol 4x 1
Diet susu cair 8 x
90

Inj Ceftriaxone 2 x 75
mg iv
Inj Dexametason 4 x
1,5 mg
Diet susu cair 8 x 90
Koreksi Na 132 cc
NaCl 3% dalam D5%
(12 jam)
Inj Sanmol 4 x 150 g
Inj
Aminofusin
250cc/24 jam
Diet susu cair

Tanggal
S

1-10-16
H6
Demam (+), Muntah (+),
sesak (+), BAB cair 3x,

2-10-16
H7
Demam (+), Muntah
(+), sesak (+), badan
kaku (+),

3-10-16
H8
Demam (+), Muntah
(+), sesak (+), badan
kaku (+),

4-10-16
5-10-16
H9
H10
Demam
(+), Demam (+), Muntah
Muntah (+), sesak (+), sesak (+), badan
(+), badan kaku kaku (+),
(+),

TTV

HR
RR
T

42379

42410

KU : soporokoma, TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) , spastik
(+), refleks patologis +/
+

Meningoensefalitis
abses serebri
Gizi buruk
Gangguan elektrolit

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus
(+)
,
spastik (+), refleks
patologis +/+

42439

42470

42500

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) ,
spastik (+), refleks
patologis +/+

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) ,
spastik
(+),refleks
patologis +/+

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) ,
spastik
(+),refleks
patologis +/+

Meningitis purulenta
Gizi buruk
Gangguan elektrolit
Post Vp-shunt

Meningitis purulenta
Gizi buruk
Gangguan elektrolit
Post Vp-shunt

Meningitis purulenta
Gizi buruk
Gangguan elektrolit
Post Vp-shunt

Post VP shunt
O2 3 lpm
IVFD

KaEn

Terapi lanjut
3B

IVFD KaEn 3B +

piracetam 40 cc/jam

piracetam

Inj. Ceftriaxone 2 x
750 mg
Inj Mikasin 2 x 62.5
mg
Inj Methylprednisolon

cc/jam

Inj. Aminofusin 250


cc/12 jam
Inj Sanmol 4 x 150 g
Diet susu cair

6-10-16

40

Inj. Ceftriaxone 2 x
750 mg
Inj Mikasin 2 x 62.5
mg
Inj

3x1/3 amp

Tanggal

O2 3 lpm

Methylprednisolon
3x1/3 amp
Inj. Aminofusin 250
cc/12 jam
Inj Sanmol 4 x 150
g
Diet susu cair

7-10-16

8-10-16

O2 3 lpm
Terapi lanjut
IVFD D10 500cc +
NaCl 3% 80 cc +
KCl
6
cc
+
Piracetam 1gr 40 cc/
jam
Inj. Aminofusin 250
cc/12 jam
Inj Ivelip 100 cc / 12
jam
Inj. Ceftriaxone 2 x
750 mg
Inj Mikasin 2 x 62.5
mg
Inj Phenitoin 2 x 50
mg Nacl
Inj
Metylprednisolon 3
x 1/3
Diet susu cair

9-10-16

10-10-16

H11
Demam (+), Muntah
(+), sesak (+), badan
kaku (+),

H12
Demam (+) ,
Muntah (+), sesak (+),
badan kaku (+),

H13
Demam
(+),
Muntah (+), sesak
(+), badan kaku (+),

H14
H15
Demam
(+), Demam (+), Muntah
Muntah (+), sesak (+), sesak (++), badan
(+), badan kaku kaku (+),
(+),

TTV

HR
RR
suhu

42531

42561

42592

42623

42653

KU : soporokoma, TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) , spastik
(+), refleks patologis +/
+
Edema (+)

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus
(+)
,
spastik (+), refleks
patologis +/+

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) ,
spastik (+), refleks
patologis +/+

KU : soporokoma,
TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) ,
spastik (+), refleks
patologis +/+

KU : soporokoma, TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
epistotonus (+) , spastik
(+), refleks patologis +/
+

Meningitis purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk

Meningitis purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk

Meningitis purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk

Meningitis purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk

O2 3lpm
Inj ODR 3x1/3amp

Terapi lanjut

Terapi lanjut

Meningitis
purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk
Terapi lanjut
Transfusi
PRC

O2 sungkup
Koreksi albumin 50ml

Diet cair 8x100ml


Lain-lain lanjut
Fisioterapi

Tanggal
S

11-10-16
H16
Demam , Muntah (+),
sesak (+), badan kaku
(+),

200cc
Na182 cc /12 jam

12-10-16
13-10-16
H17
H18
Demam , Muntah (+), sesak Demam , Muntah (+),
(+), badan kaku (+),
sesak (++), badan kaku
(+),

Terapi lanjut
Monitor KU, TTV

14-10-16
H19
Demam , Muntah (+), sesak
(+), badan kaku (+),

TTV

HR
RR
suhu

11/10/2016

KU : soporokoma, TSB
Tanda
rangsang
meningeal
(+),
hipertonus (+) , spastik
(+), refleks patologis +/
+
Meningitis purulenta

12/10/2016

13/10/2016

14/10/2016

KU : soporokoma, TSB
KU : soporokoma, TSB
Tanda rangsang meningeal (+), Tanda rangsang meningeal
hipertonus (+) , spastik (+), (+),
hipertonus (+) ,
refleks patologis +/+
spastik
(+),
refleks
patologis +/+

KU : soporokoma, TSB
Tanda rangsang meningeal (+),
hipertonus (+) , spastik (+),
refleks patologis +/+

Meningitis purulenta

Distress respirasi

Meningitis purulenta

Post VP-shunt
Gizi buruk

Post VP-shunt
Gizi buruk

O2 nasal
Terapi lanjut

O2 nasal
Inj meropenem 3 x 1/3 amp
Inj ceftriaxone stop
Transfusi PRC 200ml
Lain2 lanjut

Sepsis
Post VP-shunt
Gizi buruk
O2 sungkup
Terapi lanjut

Meningitis purulenta
Post VP-shunt
Gizi buruk
O2
ventilasi
(keluarga
menolak), terapi lanjut
Os meninggal pukul 2 siang.

BAB II
ANALISA KASUS
Pasien anak laki-laki usia 5 tahun, dengan diagnosis Meningoensefalitis bakterialis dd
Abses serebri, Post VP-shunt, Gizi buruk. Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini didiagnosis meningoensefalitis berdasarkan gejala awal yang berupa
demam tinggi 3 hari SMRS, kejang-kejang, penurunan kesadaran dan muntah. Hal ini
didukung oleh pemeriksaan fisik berupa keadaan umum pasien soporokoma, E1V1M2,
hiperpireksia 39,1C, pada pemeriksaan leher ditemukan kaku kuduk, pemeriksaan tanda
rangsang meningeal kaku kuduk (+), laseque (+), kernique (+), brudzinsky I, II (+),
Pemeriksaan motorik hipertonus ditemukan hipertonus dan spastik pada kedua ekstrimitas,
refleks patologis + Babinski +/+, chaddock +/+, Gordon +/+, openheim +/+, schaefer +/+,
Hoffman tromner -/-. Diagnosis pasti ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan lumbal
pungsi dan dilakukan analisa cairan serebrospinal (cairan otak). Pada analisa cairan otak,
ditemukan cairan keruh, dengan test Nonne Apect dan Fandy positif, yang berarti kadar
protein dalam cairan otak meningkat, kadar glukosa yang rendah dan kadar leukosit yang
tinggi. Hasil kultur menemukan bakteri Proteus Mirabillis, dan sensitif terhadap seluruh
antibiotic.
Os memiliki riwayat dirawat di RS Singkil dengan diagnose thyphoid 3 minggu
SMRS. Bakteri Proteus Mirabillis adalah bakteri yang menyebabkan diare pada anak-anak.
Kemungkinan besar, terjadinya meningoensefalitis pada os disebabkan oleh penyebaran
hematogen bakteri proteus mirabilis. Faktor malnutrisi dan faktor lingkungan yang kurang
bersih dapat menjadi faktor risiko os untuk mengalami infeksi bakteri tersebut.
Selain itu, os pulang dari RS Singkil atas permintaan keluarga sendiri dan bukan atas
persetujuan dokter. Kemungkinan adanya pengobatan yang kurang adekuat dan tuntas dapat
menjadi faktor risiko, pada kasus ini, akan perluasan penyakit dari infeksi usus ke meningen
maupun jaringan otak. Keluarga os juga baru mencari pengobatan 2 minggu setelah pulang
dari RS. Pengobatan yang terlambat juga menuntut prognosis kea rah yang buruk.
Diagnosis gizi buruk dan anemia diperoleh dari anamnesis berupa nafsu makan pasien
yang memang buruk sebelum sakit. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan abdomen bentuk
skafoid, turgor kulit kembali lambat dan pengukuran status gizi BB/TB dengan status gizi
buruk.

Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian antibiotic yang sesuai, pemberian
cairan yang cukup, pemberian kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan
tingkat kesadaran, suplemen nutrisi, antikonvulsi apabila terjadi kejang,
Pada tanggal 14 September 2016 pukul 14.00, os meninggal dunia.

Satu hari

sebelumnya, os mengalami distress respirasi yang membutuhkan penggunaan ventilator.


Namun, keluarga os menolak dengan alasan biaya.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

ANATOMI 4

2.1.1 Anatomi Otak


Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di kepala. Otak
terdiri atas otak besar atau serebrum (cerebrum), otak kecil atau cerebelum (cerebellum) dan
batang otak (trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meninges) yang
dilindungi oleh tulang tengkorak dan mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi
menunjang otak yang lembek dan halus sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar
terhadap kepala.
2.1.2 LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan
dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus
venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam
membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang
berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua
hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista
galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke
dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga
masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli
terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii
posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan
pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan

lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran
vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.

Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 13


2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke
dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun
rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.
Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut

struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna
yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak
pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di
bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis.
Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna
supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle
cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan
cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah
di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah
corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius
dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di
tempat itu.
2.1.3 LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)
1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung
dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion,
membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan
memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume
venosus volume cairan cerebrospinal).
2. Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rataratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 13


LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara
keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan
apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa,
volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal 150 ml;
bagian internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara
400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.
3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat
bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume
darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)
karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak
dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.
4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan
memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas

konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi


(melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding
ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus
atau vena-vena) di berbagai daerah kebanyakan di atas konveksitas superior.
Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi.
Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam
dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14


2.2 Definisi
Meningitis adalah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk
dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan
oleh beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi).

Sedangkan ensefalitis adalah radang

jaringan otak. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik
namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu
selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid
menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak
yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput

otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus.
Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeuruginosa.
2.3 Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap pathogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko
tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis
kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 5 bulan. Cara
penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran
pernafasan.7
2.4 Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit dan
jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal. Meningitis juga dapat
disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes
mellitus, cedera fisik atau obat obatan tertentu yang dapat melemahkan sistem imun
(imunosupresif).5
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami tanpa
pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama selama musim panas
disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa kasus saja yang berkembang menjadi
meningitis. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :

Virus Mumps

Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster, Measles,


and Influenza

Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)

Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.5

Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa
muda di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meninigtidis. Meningitis disebabkan oleh
bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningokokus.

Bakteri penyebab meningitis juga

bervariasi menurut kelompok umur.5


Selama usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal
merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili
enterik gram negatif, dan Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang
-kadang dapat karena Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita
yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan 12 tahun biasanya karena H. influenzae
tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan
oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2
tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan Mycobacterium
tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter diversus merupakan penyebab
abses otak yang penting.

Risk and/or Predisposing


Factor
Age 0-4 weeks

Age 4-12 weeks

Bacterial Pathogen
Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides

Age 3 months to 18 years

N meningitidis
S pneumoniae
H influenza

Age 18-50 years

S pneumoniae
N meningitidis
H influenza

Age older than 50 years

S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state

S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Intracranial
manipulation, Staphylococcus aureus
including neurosurgery
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture

S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci

CSF shunts

Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes

Tabel 2. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2


Jamur:
Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik dan
opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi
manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan
penyakit kronis atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi jamur
dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis,
coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah kelompok jamur
apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini
adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan
nocardiosis.
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut, subakut
dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama anak dengan leukemia
dan asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten. Cryptococcus neoformans dan

Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada anak imunokompeten.
Candida sering pada anak dengan imunosupresi dengan penggunaan antibiotik multiple,
penyakit yang melemahkan, resipien transplant dan neonatus kritis yang menggunakan
kateter vaskular dalam waktu lama. Berikut beberapa patogen jamur :5
Common Fungal Pathogens
Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans
Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Mold forms, Aspergillus
Tabel 3. Patogen Jamur yang Sering
Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3
a. 0 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk bakteri,
virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering seperti
Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella,
Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza,
dan bakteri anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV),
enterovirus dan Cytomegalovirus.
b.3 bulan 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat, penyakit
yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering
meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae.
H. influenza tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada
anak kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak
lengkap. Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika
didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung

diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV,
Human Herpesvirus-6 (HHV-6).
c. 5 tahun dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan
meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus
pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus
lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis,
HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A dan B.
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan
oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

Tabel 4. Etiologi Meningitis pada Anak


2.5 Patogenesis
Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1

Aliran darah (hematogen) oleh karena sepsis, atau infeksi di tempat lain seperti
faringitis, tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang
ada dalam cairan otak.

Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.

Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.

Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:

Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir

Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial


Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap
sebagai berikut :
1

Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)

Bakteri menembus rintangan mukosa

Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.

Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal

Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal

Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua
tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan
masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahaptahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor,
yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1

Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan


dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita
berbanding 1,7 : 1

Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis disbanding bayi cukup bulan

Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,
adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan
meningitis

Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum,
rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada
bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta),
akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya IgM
dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.

Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau


dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B
dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis

Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin


menyebabkan

penurunan

produksi

immunoglobulin

sehingga

mempermudah

terjadinya infeksi.
7

Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya


infeksi

Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme

Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri. Mikroorganisme


penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode neonatal bakteri penyebab
utama adalah golongan enterobacter terutama Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya
seperti Streptococcus grup B, Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella
sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus
influenza type B disusul oleh Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada
anak lebih besar dari 4 tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman
batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter, Klebsiella Sp dan Seprata Sp.
Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi
rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada tempat
penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang
seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk terjadinya leptospirosis.
Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer,
biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan
tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak
(brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa
dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta
kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis
yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.
Meningitis Viral

Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh
virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:1

Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.

Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke


organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali


masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.

Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui system saraf.

Berikut contoh cara transmisi virus :12

Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute saluran
respirasi

Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk

Virus limfositik koriomeningitis melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya


ataupun bahan eksresinya.
Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan enterovirus;

pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan penyebaran
hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat tersebut, mulai terjadi
multiplikasi dan masuk alirann darah menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini
(fase ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih
lanjut pada organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi
SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan
penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan penghancuran jaringan
saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen
virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena invasi virus secara langsung,
sedangkan respon jaringan hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran
vaskuler serta perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat
laten.1,7
Meningitis Jamur

Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar. Pada
saat dalam tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar yang resisten
terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi fisiologis karbondioksida
dalam paru. Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik dalam host mamalia.
Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks primer paru kelenjar limfe (primary lung
lymp node complex) yang biasanya membatasi penyebaran organisme.
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara klinis dapat terjadi seperti
gejala pneumonia pada infeksi pertama dengan gejala yang bervariasi beratnya. Keadaan ini
biasanya membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan dengan atau tanpa
pengobatan. Pada pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar fokal atau nodular.
Cryptococcus dapat dorman dalam paru atau limfenodus sampai pertahanan host melemah.
Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru dan limfenodus torakal ke aliran darah
terutama pada host yang sistem kekebalannya terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama
infeksi primer atau selama masa reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika terjadi infeksi
jauh, maka tempat yang paling sering terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana
predileksi infeksi ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum dapat diterangkan.
Ada beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis infeksi Cryptococcus
neofarmans pada susunan saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif karakteristik
yang diaktakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat seperti, produksi
phenoloxidase, adanya kapsul polisakarida,dan kemampuan untuk berkembang dengan cepat
pada suhu tubuh host.Informasi terakhir mengatakan bahwa melanin bertindak sebagai
antioksidan yang melindungi organisme ini dari mekanisme pertahanan tubuh host. Faktor
karakteristik lainnya yaitu kemampuan kapsul untuk melindungi jamur dari pertahanan tubuh
terutama fagositosis dankemampuan jamur untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh
manusia.
2.6 Patofisiologi
Meningitis Bakterial 1,2
Akhir akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu
suatu proses yang kompleks, komponen komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan
menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah

ada bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam
susunan saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat tempat
yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera
setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis
dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul

meningitis.

Bakteri

Gram

negative

pada

waktu

lisis

akan

melepaskan

lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam
teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1


Produk produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial,
yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial
dapat juga terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan
oleh karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran
vasopressin endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan
SIADH ini menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun
osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu
mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan
terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan
herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini
secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran
ke kaudal dari batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika
tidak diobati, perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat
dan progresif menyebabkan henti nafas dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan
tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan kelainan inilah yang menyebabkan
kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan
gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar
asam laktat dan penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan
metabolisme anaerob, keadaan

ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan

berakibat timbulnya hipoglikorakia.

Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada
selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan bahan toksis bakteri. Peradangan
selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks
kontraksi otot otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan
Brudzinksi serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput
otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala gejala
tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai
dnegan distorsi dari nerve roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan bahan toksis bakteri mula mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam
ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak
tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna
basalis dan sekitar serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit
yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam
minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi
eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan
perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari

pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang
menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan
penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa
yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya
gangguan pembuluh darah otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul
sebelum dirawat sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik
berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II;
selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental
dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena
proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di
duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan
infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang
subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi
neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)
menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus
akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan
penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis;
kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya peradangan lokal
pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI, III
dan IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat
infiltasi kuman ke selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid, sehingga
timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelain saraf
kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan
karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi
neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri
akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini

merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi
mental.
Meningitis Tuberkulosis 1
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan
focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokud infeksi primer di paru, namun Blockloch
menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja limfe leher dan
1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi primer, basil masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan
infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase
yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951,
yakni bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak,
selaupt otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi
primer atau selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul
meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena
rangsangan mungkin berupa trauma atau factor imunologis. Basil kemudia langsung masuk
ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi
atau setelah periode laten beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien
yang sudah tersensitisasi, maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi
peradangan yang menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini
mula-mula timbul di sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput
otak pada dasar otak dan ependim. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan
komplikasi neurologis, berupa paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan
vena, serta hidrosefalus karena tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal.. perlengketan yang
sama dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.
Meningitis Virus
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada virus Herpes (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
Pertahanan tubuh mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan

blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukasa sistem
respiratorius atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer
memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan kelenjar limfe /
limfonodus) jika replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder
dapat timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat
tampaknya memainkan peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau
melalui defek natural (area post trauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi
terlihat dalam bentuk pleositosis; leukosit polimorfonuklear (PMN) menyebabkan perbedaan
jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit
dan limfosit. Limfosit CSS telah dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga
merupakan pertahanan dalam melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah
melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal
frontal dan lobus temporal anterior.
2.7 Manifestasi klinis
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1

Gejala infeksi akut.


a

Lethargy.

Irritabilitas.

Demam ringan.

Muntah.

Anoreksia.

Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).

Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a

Muntah.

Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).

Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)

Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.

Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.

Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.

Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.

Crack pot sign.

Pernafasan Cheyne Stokes.

Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).

Gejala ransangan meningeal.


a

Kaku kuduk positif.

Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski

Gambar 7. Tanda Kernig

Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus


Meningitis Tuberkulosis 9,10
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
1

Stadium prodromal

Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.
2

Stadium transisi

Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3

Stadium terminal

Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
Meningitis Viral 5,9
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan
panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk,
tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.
Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :

Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus

Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari campak dan
enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan herpangina dari infeksi
coxsackie virus A

Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV

Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV atau HIV

Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps

Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya
sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti sakit kepala,

demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan meningitis jamur juga mengalami fotofobia,
perubahan status mental, halusinasi dan perubahan personaliti.5
2.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering dilakukan
pada segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1

Kejang atau twitching

Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI

Koma

Ubun-ubun besar membonjol

Kaku kuduk dengan kesadaran menurun

TBC milier

Leukemia

Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis

Sepsis
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah pada

pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat
pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang
dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati.
Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.
Komplikasi

Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi
tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan
tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.
Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya
telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan
didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya
telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat
didapati cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.
Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1 jam
sesduah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol,
sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada
bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ l, 1-4 tahun 8 sel/ l, reamaj dan dewasa 2,59
1,73 leukosit /l. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada
pungsi traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu
abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih
berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di
Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3
per l dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per l, tetapi tergantung juga pada keadaan
klinis pasien dan diferensiasi sel.
Protein

Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre, tumor
intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2
minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir
rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada
neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya
perdarahan-perdarahan kecil saat partus.
Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-90
mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma dan
kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa plasma,
maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa
dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan
lain-lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan gram.
Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat. Biakan
LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman penyebab yang
sebenarnya dan obat yang serasi.

Tabel. 5. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen


etiologinya 2

2.9

DIAGNOSIS

Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda
saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda
rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan
meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis
hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh
Karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium
dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan
positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar
terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya
ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh
karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk
menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium
penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun
tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman yang dapat
dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan binatang. Tidak
ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada
pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to
the left). Umumnya terdapat anemia megaloblastik.9
Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah gambaran
CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam CSS. Uji
tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak dan
terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin
pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama
dalam stadium terminalis.9
Meningitis Viral

Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya, pemeriksaan
serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan
penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS dan
perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan penyebab
mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakterium) agar kemungkinan
mikroorganisme penyebab lain dapat disingkirkan.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen thorak,
mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa.
Meningitis Jamur 14
Diagnosis spesifik dapat dibuat dari hapusan cairan serebrospinal dan dari kultur dan juga
dengan menemukan antigen spesifik dengan immunodifusion latex particle aggregation atau
perbandingan antigen recognition test. Pemeriksaan cairan serebrospinal harus termasuk
pemeriksaan tubercle basilli dan leukosit abnormal oleh karena banyak terjadi infeksi
bersama jamur dengan tuberkulosa dan leukemia atau limfoma
2.10

DIAGNOSIS BANDING 1

Abses otak

Encephalitis

Herpes Simplex

Herpes Simplex Encephalitis

Neoplasma

Kejang demam

Subarachnoid Hemorrhage

2.11

KOMPLIKASI 1-2

Komplikasi dini :

Syok septik, termasuk DIC

Koma

Kejang (30-40% pada anak)

Edema serebri

Septic arthritis

Efusi pericardial

Anemia hemolitik

Komplikasi lanjut :

Gangguan pendengaran samapi tuli

Disfungsi saraf kranial

Kejang multipel

Paralisis fokal

Efusi subdural

Hidrocephalus

Defisit intelektual

Ataksia

Buta

Waterhouse-Friderichsen syndrome

Gangren periferal

Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5 pasien.
Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien meninggal akibat
dari iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi sistemik. Walaupun
dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi pada 30% pasien.
Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial. Komplikasi ini
merupakan penyebab penting kematian.
Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri
Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti infark,
merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus tertentu, pungsi
lumbal atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi efek dari peningkatan ini.
Pada infark serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen pembuluh
darah dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada

dinding arteri dan vena memicu terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi
dibandingakan arteri.
Kerusakan parenkim otak
Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan :

Defisit sensoris dan motoris

Serebral palsi

Learning disabilities

Retardasi mental

Buta kortikal

Kejang

Serebritis
Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim otak. Biasanya,
seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik akibat infeksi
otorhinologik ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi
ekstrakranial.
Ventrikulitis
Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari ruang
subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering
terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta.
Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat
(terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat
menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral
secara massif, irigasi dan drainase secara periodic.
Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam
pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa
membonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul
kelainan neurologis fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi
kepala atau pencitraan. Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen

asimetri, pada bayi berumur kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada
bayi berumur 6 bulan atau lebih daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural
mempunyai 4 kemungkinan: a. kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau
bertambah banyak; c. membentuk membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema.
Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural
apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak
membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural
tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke
Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan
terbentuk membrane yang berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak.
Membrane akan membentuk neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan
dapat merupakan focus iritatif akan timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan
satu kali tap maksimal 30ml pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna
xantokrom, setelah tap beberapa kali menjadi kuning muda.
Gangguan cairan dan elektrolit
Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema), oliguria,
gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH berlebihan.
Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit serum,
mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan
restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan
sedikit natrium.
Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama apabila
disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah
yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering
disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran
dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada
akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.
Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran
apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis 0,6mg/kgBB/hari intravena
diabgi 4 dosis selama 4 hari. Komplikasi lain berupa hidrosefalus, kejang, hemiparesis,

tetraparesis, dan retardasi mental. Pada hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf
untung pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal.

2.12

TATA LAKSANA

Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya
kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis menunjukkan
pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang
dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan
kimia namun hasil kultur bisa negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis rentan
untuk mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi
terhadap

timbulnya

kejang,

terutama

selama

72

jam

pertama

penyakit. 8

Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada


bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan
metabolisme.8

stabilitas

MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang


dibutuhkan untuk menggambarkan kelainan intrakranial.

Pediatric Academic Societies

merekomendasikan bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan
komplikasi meningitis 7-10 hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa tidak
ada penyulit yang terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis harus dinilai
auditory evoked potential untuk skrining adanya ketulian.8 Pada bayi dan anak-anak,
Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan kedua terapi antimikroba yang tepat dan
terapi suportif. Semua pasien harus

evaluasi audiologic setelah selesai terapi. 8

Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume
cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk
menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan
perfusi jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi
hidrasi

pasien

dan

risiko

penurunan

perfusi

serebral

sama-sama

penting

juga.

Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah
dan sirkulasi yang memadai.8

Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis
rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang
belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila
tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis maintenance.1
Terapi antibiotik
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan meningitis
bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari ampisilin
dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae dicurigai,
vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada bayi
prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.8
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis
H influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor
(LCS).8

cerebrospinal

Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas


yang baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan
Serratia marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada
cairan

LCS

dan

ventrikel,

bahkan

ketika

meninges

meradang.8

Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah
muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan
bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan
cadangan albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone
dapat meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko
tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari
sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,

tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan
sefalosporin

generasi

diperlukan.8

ketiga

Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum
inhibitory

concentration

(MIC)

ampisilin,

maka

ampisilin

dapat

dilanjutkan

sendiri. Cefotaxime dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap
kebanyakan S.pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus
diberikan pada pasien dengan meningitis S. pneumoniae

sebelum hasil uji resistensi


tersedia.8

antibiotic

Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara


ekstensif dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS,
agen ini telah terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk
pengobatan meningitis yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan
enterococcusyangsensitif. 8
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin
memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi
dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus
menentukanpenggunaan.8
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama

10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup

B. Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil
gram

negatif,

dan

biasanya

diperlukan

pengobatan

selama

3-4

minggu

.8

Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau
meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik
gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama
pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS
untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8
Antibiotic

Admin-

Dose for birth

Dose for birth

Dose for birth

Dose for birth

istration weight < 2000g weight >2000g weight < 2000g weight >2000g
Route

and age 0-7 d

and age 0-7 d

and age >7 d

and age >7 d

IV, IM

50 mg q12h

50 mg q8h

50 mg q8h

50 mg q6h

Penicillins
Ampicillin

Penicillin-G

IV

50,000 U q12h

50,000 U q8h

50,000 U q8h

50,000 U q6h

Oxacillin

IV, IM

50 mg q12h

50 mg q8h

50 mg q8h

50 mg q6h

Ticarcillin

IV, IM

75 mg q12h

75 mg q8h

75 mg q8h

75 mg q6h

Cephalosporins
Cefotaxime

IV, IM

50 mg q12h

50 mg q8h

50 mg q8h

50 mg q6h

Ceftriaxone

IV, IM

50 mg once

50 mg once daily

50 mg once

75 mg once daily

IV, IM

daily
50 mg /12h

50 mg /8h

daily
50 mg /8h

50 mg /8h

Ceftazidime

Tabel 6. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis tertinggi diantara rentang
dosis) dan interval pemberian.8

Antibiotic

Admin-

Desired

istration Serum level


Route

(mcg/mL)

Initial dose Initial dose

Dose for

Dose for

for birth

for birth

birth

birth

weight <

weight

weight <

weight

2000g and >2000kg and 2000g and >2000g and


age 0-7 d

age 0-7 d

age >7 d

age >7 d

(mg/kg /

(mg/kg /

(mg/kg /

(mg/kg /

dose)*

dose)*

dose)*

dose)*

7.5 /12h

10 /12h

10 /8h

10 /8h

2.5 /12h

2.5 /12h

2.5 /8h

2.5 /8h

2.5 /12h

2.5 /12h

2.5 /8h

2.5 /8h

Aminoglycosides
Amikacin

IV, IM

20-30
(peak), < 10

Gentamicin

IV, IM

(trough)
5-10 (peak),
< 2.5

Tobramycin

IV, IM

(trough)
5-10 (peak),
< 2.5
(trough)

Glycopeptide
Vancomycin*

IV, IM

20-40

15 /12h

15 /8h

15 /8h

15 /6h

(peak), < 10
(trough)
*Dose stated is highest within dosage range.
Serum levels must be monitored when patient has kidney disease or is receiving other
nephrotoxic drugs; adjust doses accordingly.
Tabel 7. Antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang membutuhkan dosis
berdasarkan kadar serum 8
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk
neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11

Umur 0-7 hari


-

Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari


setiap 12 jam IV atau

Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau

Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari


setiap 12 ajm IV.

Umur >7 hari


-

Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari


setiap 12 jam IV atau

Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau

Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Bayi dan anak


Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah penting. Pemilihan
antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S pneumoniae, N
meningitidis,

dan

H.

influenzae.8

Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for


bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime
dianjurkan bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan
berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang

adekuat terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap
penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau
ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang
lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat.
Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila
S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi
cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang
lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian.
Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik
jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin

dan

rifampisin

untuk

kuman

S.pneumoniae.

Kloramfenikol

juga

direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.8


Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau
rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret nasofaring
walopun setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin
20 mg/kg dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun
pusat penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari
nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.8
Antibiotic

Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval

Ampicillin

400

6-12 g

q6h

Vancomycin

60

2-4 g

q6h

Penicillin G

400,000 U

24 million

q6h

Cefotaxime

200-300

8-10 g

q6h

Ceftriaxone

100

4g

q12h

Ceftazidime

150

6g

q8h

Cefepime*

150

2-4 g

q8h

Imipenem

60

2-4 g

q6h

Meropenem

120

4-6 g

q8h

Rifampin

20

600 mg

q12h

*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.


Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.
Tabel 8. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 8

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak
dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10

Usia 1 3 bulan :
-

Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau

Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

Usia > 3 bulan :


-

Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau

Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau

Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol


100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut

IDSA 2004 guidelines for management of bacterial

meningitis adalah sebagai berikut :8

N meningitidis - 7 hari

H influenzae - 7 hari

S pneumoniae - 10-14 hari

S agalactiae - 14-21 hari

Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu

L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason

Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B
yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh
karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh
H.influenza tipe B 10 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15
0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.8
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema
subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10
Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4 macam obat
selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat antituberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang,
koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:
1

Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.

Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.

Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.

Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.

Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

Meningitis Viral 2

Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu terapi suportif dan
tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu antiviral spesifik mungkin
diperlukan.
Pada pasien dengan defisiensi imun ( seperti agammaglobulinemia), penggantian
imunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi infeksi kronik enterovirus.
Herpes simplex meningitis
Manajemen antivirus HSV meningitis adalah kontroversial. Acyclovir (10 mg / kg IV q8h)
telah diberikan untuk HSV-1 dan HSV-2 meningitis. Beberapa ahli tidak menganjurkan terapi
antivirus kecuali bila diikuti dengan ensefalitis.
CMV meningitis
Gansiklovir (dosis induksi 5 mg / kg q12h IV, dosis pemeliharaan 5 mg /kg q24h) dan
foskarnet (dosis induksi 60 mg / kg q8h IV, pemeliharaan dosis 90-120 mg / kg q24h IV)
digunakan untuk CMV meningitis pada host yang immunocompromised.
HIV meningitis
Terapi antiretroviral (ART) mungkin diperlukan untuk pasien dengan meningitis HIV yang
terjadi selama sindrom serokonversi akut.
Meningitis Jamur 2
Candida 2,6
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg / kg / hari).
Flusitosin (25 mg / kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk mempertahankan
tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu, bergantung dari efektivitas
terapi dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat digunakan untuk follow-up terapi atau
pengobatan supresi. Peniadaan material prostetik (misalnya, shunts ventriculoperitoneal)
adalah komponen penting dalam terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur
bedah saraf.
Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides, diberikan secara
intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali suntikan pertama.
Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 0,5 mg 3-4 kali setiap minggu. Efek samping

pemberian secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri punggung dan tungkai.
Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan intratekal pada pasien yang tidak dapat
mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari) sebagai terapi untuk C
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg / hari) atau dengan
kombinasi flukonazol dan amfoterisin B.2
Histoplasma capsulatum
Rekomendasi terapi meningitis capsulatum H adalah amfoterisin B liposomal di IV 5mg/kg/hari untuk total 175 mg / kg diberikan selama 4-6 minggu, diikuti oleh itraconazole
oral 200-300 mg dua kali untuk tiga kali sehari minimal 1 tahun atau sampai resolusi kelainan
CSS dan antigen Histoplasma.2,6
Meningitis cryptococcal
Dengan AIDS
Untuk terapi awal, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari, IV) selama paling sedikit 2
minggu, dengan atau tanpa flusitosin (100 mg / kg PO) terbagi dalam 4 dosis . preparat
Liposomal amfoterisin B dapat digunakan pada pasien dengan atau yang cenderung akan
berkembang menjadi disfungsi ginjal (amfoterisin B 3-4 liposom mg / kg / hari atau lipid
amfoterisin

kompleks

mg

kg

hari).

Untuk terapi konsolidasi, flukonazol (400 mg / d selama 8 minggu).Itrakonazol adalah


alternatif jika flukonazol tidak ditolerir. Untuk terapi pemeliharaan, terapi antifungi jangka
panjang dengan flukonazol (200 mg / d) yang paling efektif (disbanding itraconazole dan
amfoterisin B 1 mg / kg / minggu) untuk mencegah kambuh. Risiko relaps tinggi pada pasien
dengan AIDS. Dalam banyak kasus, meningitis kriptokokus menyebabkan TIK meningkat.
Mengukur tekanan pembukaan selama pungsi lumbar sangat dianjurkan. Buatlah upaya untuk
mengurangi tekanan tersebut dengan pungsi lumbal berulang, menguras lumbal, atau shunt
atau pemberian manitol, juga telah digunakan.Peran agen baru, seperti vorikonazol dan
posaconazole, belum diselidiki.Echinocandins tidak memiliki aktivitas terhadap kriptokokus.
Untuk pengobatan optimal untuk terkait HIV kriptokokal meningitis akut di wilayah terbatas
sumber daya, agen-agen yang digunakan adalah amfoterisin B dan flukonazol. Go to HIV-1
SSP Kondisi Asosiasi - Meningitis untuk informasi lengkap tentang topik ini.

Tanpa AIDS
Untuk terapi induksi dan konsolidasi, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari) plus
flusitosin (100 mg / kg / hari) selama paling sedikit 4 minggu. Ini dapat diperpanjang sampai
6 minggu komplikasi neurologis. Kemudian, flukonazol (400 mg / d) untuk minimal 8
minggu.Pungsi lumbar dianjurkan setelah 2 minggu untuk mendokumentasikan sterilisasi dari
CSS. Jika infeksi berlanjut, terapi induksi lagi dianjurkan (6 minggu).
2.13

PENCEGAHAN 13

Meningitis Bakterial
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal merupakan
pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup, tidak
kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko meningitis
oleh bakteri Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan benar,
hindari keju yang terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America Serikat.
Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune). Vaksin Meningococcus conjugate,
Menactra and Menveo. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua tipe
penyakit, namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi
vaksin. Vaksin meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11
18 tahun dan anak serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.
Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan
konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar), yang diproduksi akhir tahun
2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin
pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan
dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax, 23-valent polysaccharide vaccine
(PPSV) di rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau

lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit,
infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan
mempunyai asma.
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi melawan
meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat mencegah
can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri
Hib. Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika
Serikat, dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan
dengan vaksin lainnya.
Meningitis Tuberkulosis
Vaksiniasi BCG memberikan efek proteksi (hampir 64%) terhadap meningitis TB.
Peningkatan berat badan dibandingkan umur berhubungan dengan penurunan resiko dari
penyakit ini.
Meningitis Viral
Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi
meningitis. Tidak terdapat vaksin untuk penyebab tersering dari meningitis virus. Cara
terbaik untuk mencegahnya adalah dengan mencegah terjadinya infeksi virus. Namun, hal ini
sulit dilakukan oleh karena seseorang dapat menderita infeksi virus dan menyebarkan virus
tersebut walaupun tidak terlihat sakit.
Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus atau
menyebarkannya ke orang lain :

Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti popok,
menggunakan toilet, batuk atau bersin dan memegang hidung.

Bersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi, seperti pegangan pintu dan


remote control tv dengan sabun dan air, lakukan desinfeksi dengan mengencerkannya
dengan cairan pemutih yang mengandung klorin.

Hindari berciuman atau bertukar gelas minuman, alat makan, lipstick atau benda lain
dengan seseorang yang sakit atau dengan orang lain saat kita sakit.

Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin. Vaksinasi termasuk jadwal


vaksinasi anak-anak dapat mencegah anak melawan beberapa penyakit yang da[at
menyebabkan meningitis virus. Termasuk vaksin untuk campak dan gondongan
(MMR) serta cacar air ( vaksin Varicella-zoster).

Hindari gigitan nyamuk atau serangga lainnya yang membawa penyakit yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia.

Kontrol tikus dan sejenisnya.

Meningitis Jamur
Seseorang dengan imunosupresi (infeksi HIV) dapat mencoba menghindari kotoran dari
burung, kegiataan yang berhubungan dengan debu dan kotoran lainnya, teerutama jika tinggal
di region geografis dimana terdapat jamur seperti Histoplasma, Coccidioides atau spesies
Blastomyces. Seseorang dengan HIV tidak dapat terhindar sepenuhnya. Beberapa pedoman
merekomendasikan profilaksis anti jamur jika tinggal di regio geografis dimana insidens
infeksi jamur sangat tinggi.
2.14

PROGNOSIS

Meningitis bakterial 1
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1

Umur pasien

Jenis mikroorganisme

Berat ringannya infeksi

Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan

Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan


Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang
menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai
prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat
menyebabkan kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan,

tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens
sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera
dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9
Meningitis Tuberkulosis 9
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis hampir
100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun masih
tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala
sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat
dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan
pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat permulaan
pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.
Meningitis Viral 9
Penyakit ini self-limited dan penyembuhan sempurna dijumpai setelah 3-4 hari pada kasus
ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan berat.
Meningitis Jamur
Pada pasien yang tidak diobati, biasanya fatal dalam beberapa bulan tetapi kadang-kadang
menetap sampai beberapa tahun dengan rekuren,remisi dan eksaserbasi. Kadang-kadang
jamur pada cairan serebrospinal ditemukan selama tiga tahun atau lebih. Telah dilaporkan
beberapa kasus yang sembuh spontan.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1
2

6
7

9
10
11
12

13

Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed 30 Oktober ,
2016.
Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed
30 Oktober , 2016.
Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August
6th,
2009
Available
from
:
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed Accessed 30 Oktober ,
2016.
Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004. h. 2038-47.
Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed 30 Oktober ,
2016.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 208.
Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed 30 Oktober ,
2016.
Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/
prevention.html. Accessed 30 Oktober , 2016.

Anda mungkin juga menyukai