TINJAUAN PUSTAKA
C. Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu
secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup
merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka.
The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah
apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan
otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut;
1) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound fracture.
Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering.
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak
terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada
bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang
lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4%
pasien yang mengalami trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional
Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea
(cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah
pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan
posterior (Garg, 2004).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh
menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004).
b. Sedang
1.) GCS = 9 12
2.) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.) GCS = 3 8
2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan
epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai
oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas
selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a) Perdarahan subdural akut
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak
yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di
mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini
dikenali sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto,
2008).
E. Etiologi dan Predisposisi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda
yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba
tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Berdasarkan
patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera
otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga selsel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi
alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir
yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan
cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi
(Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan
dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
Lebih dari sekadar dokumen.
Temukan segala yang ditawarkan Scribd, termasuk buku dan buku audio dari penerbit-penerbit terkemuka.
Batalkan kapan saja.