Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Anisahrin
(1532121519)
(1532121455)
(1532121216)
(1532121524)
UNIVERSITAS WARMADEWA
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang Peranan Ekonomi dalam Mendukung Pemberdayaan
UMKM ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Kami juga berterima kasih
pada Bapak Gede Santanu selaku dosen mata kuliah Ekonomi dan Manajemen Koperasi
Universitas
Warmadewa
yang
telah
memberikan
tugas
ini
kepada
kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai peranan UMKM dalam perekonomian di Indonesia, dan juga
bagaimana upaya pemberdayaannya. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat
tidak
ada
sesuatu
yang
sempurna
tanpa
saran
yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan
makalah ini di waktu yang akan datang.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
2.
3.
BAB II
PEMBAHASAN
Jumlah UMKM
Jumlah
Tenaga
(sumber
Kerja
2008
51.409.612 unit
94.024.278
Kemenkop
dan UKM)
orang
2009
52.764.603 unit
96.211.332
orang
2010
2011
2012
53.823.732 unit
99.401.775
Dari
dapat
tabel
diatas
kita
ambil
kesimpulan
jika
55.206.444 unit
orang
101.722.458
periode
2008-2012
56.534.592 unit
orang
107.657.509
merupakan
masa
pertumbuhan
yang
orang
bagus
bagi
pada
UMKM.
lainnya
dapat
dilihat
dan
kontribusi
UMKM
terhadap
pembentukan PDB menurut harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun
2010 mencapai Rp. 3.466,3 trilyun. Dengan jumlah tersebut berarti bahwa
57,12% dan PDB nasional yang totalnya mencapai Rp.4.696,5 trilyun
bersandar pada produktivitas UMKM. Jumlah tersebut terus meningkat.
Data tahun 2011 menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar
58,05% terhadap pembentukan PDB menurut harga berlaku. Angka
tersebut menjadi 59,08% di tahun 2012.
Berikut tabel kontribusi UMKM terhadap PDB atas harga berlaku periode
2008-2012.
Tahun
Kontribusi
Jumlah
UMKM
Kontribusi
terhadap
UMKM
UKM)
pembentukan
terhadap
PDB
atas atas
PDB
Berdasarkan
harga
berlaku
2.609,4 trilyun
diatas,
2008
harga berlaku
55,56 %
2009
56,53 %
2.993,1 trilyun
kekuatan
2010
57,12 %
3.466,3 trilyun
2011
58,05 %
4.321,8 trilyun
2012
59,08 %
4.869,5 trilyun
data
sangat
terlihat
dalam
ekonomi
keberadaan
dilindungi
UMKM
dan
dengan modal terbatas dan kemampuan manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan
terhadap masalah-masalah perekonomian.
Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9%
pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit berkembang karena
tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha perorangan, kebanyakan usaha
dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha dan administrasi kelembagaan yang sangat tidak
memadai. Upaya pemberdayaan UMKM makin rumit karena jumlah dan jangkauan UMKM
demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal, terisolir dan perbatasan.
Kuncoro (2000) mengungkapkan ada beberapa kendala yang dialami oleh UMKM dalam
menjalankan usahanya. Kendala tersebut berupa tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian,
manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya
kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak
mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi
pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar
pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh
jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan
manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar
pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif,
karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih
kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kuncoro juga mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat
dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya
tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka,
umumnya asal dapat berjualan dengan aman sudah cukup. Mereka umumnya tidak
membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan
sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK,
TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.
Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang
dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi
usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan
prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah
belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum
dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun
proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun
modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit,
agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun
perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses
terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera
konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya
persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan
tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi
yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai
perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit
mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
Hasil penelitian Schiffer-Weder (2001) dalam Rizali secara keseluruhan juga memperkuat
persepsi bahwa UKM menghadapi hambatan berusaha yang lebih besar daripada UB. Bila dilihat
dari persentasi jawaban responden, secara umum hambatan utama dalam berusaha adalah sumber
pembiayaan. Sekitar 39% responden UKM menyatakan pembiayaan sebagai hambatan utama
dalam berusaha, sedangkan responden Usaha Besar (UB) yang menyatakan pembiayaan sebagai
sumber hambatan utama usaha sekitar 28%. Ini mengindikasikan bahwa UKM memang lebih
sulit memperoleh kredit dari sektor keuangan formal dibandingkan dengan UB. Berbeda dengan
UKM, pengelola UB memandang ketidakstabilan kebijakan pemerintah sebagai hambatan utama
dalam berusaha, demikianlah pendapat 30% responden dari UB. Tiga faktor selanjutnya yang
menghambat dunia usaha adalah inflasi (35% responden), ketidakstabilan kebijakan (34%), dan
pajak dan peraturan pemerintah (33,5%). Yang menarik sekitar 37% UKM menganggap aspek
perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai hambatan utama berusaha dibandingkan dengan
hanya 21% UB.
Hal ini mengindikasikan bahwa UB lebih mudah menghindari pajak, misalnya, dengan
mengalihkan dan melaporkan keuntungannya ke daerah yang tingkat pajaknya lebih rendah.
Responden memandang nilai tukar (28%), korupsi (28%), kejahatan jalanan (27%), dan
kejahatan teroganisir (24,5%) sebagai faktor lain yang menghambat kegiatan usaha.
Bila dilihat tingkat rata-rata intensitas hambatan yang dirasakan, pajak dan peraturan pemerintah
(skor 2,95 dalam skala 4) dianggap sebagai hambatan yang paling umum dihadapi oleh UKM.
Pembiayaan (skor 2,87), inflasi (skor ? 2,8), dan ketidakpastian kebijakan (skor ? 2,8) adalah tiga
faktor lain yang punya intensitas gangguan tinggi bagi UKM.
Sedangkan UB melihat ketidaksatabilan kebijakan (skor 2,7) sebagai masalah utama.
Masalah selanjutnya adalah pajak dan peraturan (skor 2,6), dan inflasi (skor 2,6). Sedangkan
pembiayaan (skor 2,6) berada pada posisi ke empat.
Baik secara persentase persepsi responden dan intensitas, UKM ternyata memang menghadapi
masalah lebih besar daripada UB. Menarik diperhatikan bahwa dari persentase persepsi
responden dan skor intensitas, UB melihat ketidakpastian kebijakan sebagai hambatan usaha
utama.
Ini menunjukkan bahwa usaha besar memang menjadi target utama kebijakan
pemerintah, sedangkan UKM terabaikan. Akibatnya, semakin tidak pasti kebijakan pemerintah
semakin besar dampaknya pada UB. Sedangkan para wirausahawan UKM, karena terabaikan
dari kebijakan, sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan menjadi lebih fleksibel menghadapi
ketidakpastian dunia usaha.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006)
mengidentifikasikan
permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan
dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis
produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan manajemen
keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri
Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47 %,
sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang mengalami kesulitan usaha tersebut,
diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3)
Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6)
Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan
permodalan
(51.09%).
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan
dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui
pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pemberdayaan
UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan pembangunan perekonomian nasional untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat.
Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM merupakan
bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Asas Kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh UMKM dan Dunia Usaha
secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Asas Efisiensi
adalah asas yang mendasari pelaksanaan pemberdayaan UMKM dengan mengedepankan
efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan
berdaya saing.
Asas Berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses
pembangunan melalui pemberdayaan UMKM yang dilakukan secara berkesinambungan
sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri. Asas Berwawasan Lingkungan
adalah asas pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Asas Kemandirian adalah
usaha pemberdayaan UMKM yang dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan
potensi, kemampuan, dan kemandirian UMKM
Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20 tahun 2008) adalah:
a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan
kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Sesuai dengan UU No.20 tahun 2008, pemberdayaan UMKM bertujuan:
a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah,
penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan
rakyat dari kemiskinan.
Sijabat, peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM dalam Sudrajat
mengatakan upaya pemberdayaan UMKM bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek,
tetapi merupakan proses politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses
pemberdayaan UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang
seharusnya dapat mempercepat (akselerasi) proses pemberdayaan koperasi dan UKM. Disinilah
mungkin letak pokok permasalahannya. Kalangan UMKM serta para pemangku kepentingan
(stakeholders) dituntut berkemampuan memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan
agar lebih berpihak kepada pembangunan kelompok masyarakat banyak tersebut.
Belum efektifnya isu-isu politik yang berkembang selama era reformasi mengindikasikan bahwa
proses komunikasi politik sendiri belum berjalan baik. Sesungguhnya komunikasi politik yang
efektif diharapkan dapat dibangun dan ditumbuhkan oleh para eksponen yang bergerak dalam
pemberdayaan UMKM. Dengan kondisi yang masih seperti sekarang jangan diharapkan akan
ada tenggang rasa dari para pengusaha besar kepada pengusaha kecil. Belajar dari pengalaman
masa lalu untuk bermitra antara pengusaha kecil dan pengusaha besar harus dipaksa dan diikat
dengan peraturan formal, begitupun belum dapat berjalan dengan efektif.
Lebih lanjut Sijabat mengatakan pemberdayaan UMKM tidak terlepas dari konsepsi dasar
pembangunan yang menjadi medium penumbuhan UMKM. Merancang konsepsi dasar
pemberdyaan UMKM adalah membangun sistem yang mampu mengeliminir semua masalah
yang menyangkut keberhasilan usaha UMKM. Salah satu aspek yang sangat menentukan
keberhasilan UMKM adalah iklim usaha. Aspek itu sendiri terkait erat dengan kemampuan
sistem yang di bangun, sedangkan sistem yang dibangun terkait dengan banyak pelaku (aktor)
dan banyak variable (faktor) yang berpengaruh nyata serta bersifat jangka panjang (multies
years). Oleh karena sifatnya tersebut maka faktor-faktor ini sulit diukur keberhasilannya sebagai
buah karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Oleh sebab itu kondusifitas dari setiap
faktor tersebut harus ditumbuhkan dan terus diperbaiki. Untuk mengetahui kondisi dari setiap
faktor dan para pelaku yang berperan didalamnya perlu dilakukan evaluasi setiap waktu, setiap
tempat dan setiap sektor kegiatan usaha UMKM.
Menurut Suarja (2007) dalam Sudrajat mengungkapkan pemberdayaan Koperasi dan UMKM
dilakukan melalui:
a. Revitalisasi peran koperasi dan perkuatan posisi UMKM dalam sistem perkonomian nasional
b. Revitalisasi koperasi dan perkuatan UMKM dilakukan dengan memperbaiki akses UMKM
terhadap permodalan, tekologi, informasi dan pasar serta memperbaiki iklim usaha;
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan
d. Mengembangkan potensi sumberdaya lokal.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia telah terbukti mampu
menjaga stabilitas ekonomi disaat krisis terjadi. Keberadaan UMKM di Indonesia yang
jumlahnya mencapai 99,99% dari total usaha di Indonesia telah menyerap 97,30% tenaga kerja
di Indonesia. Keberadaan UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 57,12% terhadap produk
domestik bruto (PDB).
Namun UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam hal pengelolaan usahanya.
Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah
pengelolaan yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya
tingkat inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku
sukar diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, peran setiap elemen seperti pemerintah, pelaku
dunia usaha maupun masyarakat sangat diharapkan. Undang-Undang telah memberi amanat
kepada pemerintah untuk mengembangkan dan memberdayakan UMKM.
Sinergi antara
pemerintah pusat dan daerah juga harus diperhatikan guna menumbuhkembangkan iklim usaha
yang kondusif bagi pelaku UMKM.
Beberapa program telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat UndangUndang. Program GKN dan pemberian KUR menjadi contoh peran pemerintah dalam upaya
untuk menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu bersaing dengan usaha lain.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia.
Diambil
dari
www.academia.edu/9802622/Pengembangan_Koperasi_dan_UMKM_sebagai_Perwujudan_Ked
aulatan_Ekonomi_Nasional (27 Maret 2016).
YohKanDjoek. 2014. Peranan Pemeintah dalam Pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Diambil
dari
yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/Peranan_Pemerintah_dalam_Pemberdayaan_UMKM_di_In
donesia. (27 Maret 2016).