Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah aspek yang penting bagi manusia, karena dengan


pendidikan kita dapat mengetahui keadaan dunia dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan manusia. Sebagai makhluk berakal, manusia memerlukan
pendidikan untuk mengasah dan mengembangkan pola pikir yang mereka miliki.
Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan sumber daya manusia
yang tangguh, dan sejalan dengan hal tersebut maka pendidikan harus disertai dengan
keterpaduan dan efisiensi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Pendidikan pada dasarnya berlangsung dalam bentuk proses belajar
mengajar dan melibatkan dua pihak yaitu guru dan peserta didik dengan tujuan yang
sama yaitu meningkatkan hasil belajar dari peserta didik yang bertindak sebagai
peserta didik. Dalam proses pendidikan di sekolah, kegiatan mengajar merupakan
kegiatan yang paling pokok, hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar yang
dialami oleh peserta didik sebagai peserta didik, dalam hal ini menjadi tanggung
jawab dari guru sebagai tenaga pendidik. Kewajiban pertama pendidik yang diatur
dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas), pasal 40, ayat (2), ialah menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan
perubahan tingkah laku yang diharapkan (Arikunto, 2005). Segera setelah anak
dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri mereka, dan hasil yang diperoleh
adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Adanya pendidikan dapat membantu manusia
dalam menyelesaikan semua aspek permasalahan yang dihadapi sehingga mereka
dapat bertahan pada lingkungan tempat mereka berada.
Kenyataan yang terjadi di sekolah, guru cenderung mendominasi proses
1
belajar mengajar (pembelajaran berorientasi teacher-centered) sehingga keaktifan
peserta didik dalam proses pembelajaran sangat kurang. Peserta didik bukan lagi
dipandang

sebagai

subyek

pembelajaran

melainkan

obyek

pembelajaran.

Pembelajaran seperti ini bersumber pada teori Louke. Louke (Lie, 2005) berpendapat
bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap
menunggu coretan-coretan dari gurunya. Otak seorang anak ibarat botol kosong yang
siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan guru.
Kenyataan yang terjadi di SMP Negeri 4 Sungguminasa, masih ada guru
cenderung mendominasi proses belajar mengajar dengan menggunakan model
konvensional sehingga keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran sangat
kurang. Namun ada juga guru khususnya guru kelas VIII pada proses pembelajaran
telah menerapkan strategi pembelajaran kooperatif, tetapi masih sederhana artinya

dalam pelaksanaannya siswa baru belajar atau mengerjakan latihan secara bersama
dan tidak diarahkan kepada pembelajaran kooperatif yang lebih spesifik seperti
strategi maupun pendekatan pembelajaran yang telah berkembang saat ini seperti
pendekatan saintifik. Selain itu di SMP Negeri 4 Sungguminasa belum pernah
menerapkan model pembelajaran yang mengoptimalkan fungsi otak pada mata
pelajaran matematika.
Fenomena-fenomena yang terjadi di SMP Negeri 4 Sungguminasa, yaitu
dari hasil observasi, wawancara dan diskusi dengan para guru matematika diperoleh
informasi bahwa pembelajaran di SMP Negeri 4 Sungguminasa masih cukup
dominan berorientasi teacher centered dengan penggunaan model konvensional dan
belum pernah menerapkan model pembelajaran brain based learning. Berdasarkan
wawancara itu, diperoleh informasi bahwa secara kualitatif aktivitas peserta didik
dalam proses pembelajaran matematika masih kurang diakibatkan peserta didik lebih
cenderung melakukan aktivitas mengganggu teman, berbicara atau diskusi yang
topiknya diluar materi atau tugas yang harus diselesaikan, peserta didik belum
menggunakan waktu seoptimal mungkin dalam menyelesaikan tugas atau latihan
yang diberikan, kurangnya kerja sama atau interaksi sosial peserta didik dalam
belajar, sulitnya siswa memahami ide temannya, kurangnya tanggung jawab peserta
didik terhadap tugas yang diberikan serta kurang percaya diri saat presentasi di depan
kelas. Pada akhirnya pembelajaran masih terpusat pada guru dimana guru
menjelaskan materi secara logis dan rasional, menjadikan peserta didik sebagai objek
pembelajaran, peserta didik jarang diberi kesempatan bertanya tentang apa yang

belum diketahui, peserta didik diminta untuk menghafal materi, peserta didik
mengerjakan latihan-latihan, sehingga berdampak pada hasil belajar peserta didik
masih rendah dan masih jauh dari nilai standar KKM yang telah ditetapkan sehingga
diperlukan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran.
Selama ini kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika dianggap masih
rendah, hal ini sesuai fakta dari rata-rata hasil belajar peserta didik setelah ujian akhir
semester tahun pelajaran 2014/2015 yaitu 65,2 dan rata-rata ujian tengah semester
kelas VIII SMP Negeri 4 Sungguminasa tahun pelajaran 2015/2016 yaitu 65,7 yang
tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal yang ditentukan oleh sekolah yaitu 70.
Selain itu, diperoleh informasi bahwa peserta didik lemah dalam hal
kreativitas dalam belajar matematika yang ditandai dengan sikap tidak berani
menyatakan pendapat, enggan bertanya pada guru atau pada teman sendiri, menjawab
soal dengan satu cara tanpa jawaban yang bervariasi, rendahnya keterampilan
mengembangkan suatu gagasan atau produk, serta rendahnya kemampuan untuk
mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli. Peserta didik yang meniru kerja
dan penyelesaian yang dilakukan oleh guru akan membuat peserta didik menjadi pasif
dan tidak menumbuhkan kreativitas peserta didik (Suherman, dkk (2003). Kreativitas
merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kita. Hasil penelitian di Amerika
Serikat (Putra, 2013: 83) menemukan bahwa peran logika dalam membuat orang
sukses hanya berkisar antara 4-6 %, sedangkan sisanya (94-96%) ditentukan oleh
kekuatan kreativitas. Temuan ini membuktikan bahwa otak kanan sangat erat

kaitannya dengan inovasi, kreativitas, naluri, intuisi, daya cipta, kejujuran, keuletan,
tanggung jawab, semangat, etika, dan kedisiplinan.
Berdasarkan kenyataan dan fenomena yang dikemukakan sebelumya
disimpulkan bahwa sebagian besar guru mengajar dengan ceramah dan mengajar
untuk tujuan agar peserta didik dapat menjawab tes. Metode belajar dengan cara
ceramah adalah metode paling mudah dilakukan para guru dan mengakibatkan
peserta didik merasa bosan belajar karena situasi belajar kurang menyenangkan.
Kenyataannya hal itu lebih banyak mengaktifkan otak kiri. Senada dengan itu
(Lucy, & Rizky. 2012: 151) diperkirakan hampir 90 % pembelajaran di sekolah
dominan pada belahan otak kiri. Banyak peserta didik merasa bosan ketika guru
menerangkan di depan kelas, hal ini disebabkan otak kiri peserta didik dipacu
kinerjanya, sementara otak kanannya menganggur tanpa aktivitas. Perlu diketahui
bahwa ada yang dominan menggunakan otak kanan yang terkait dengan sisi
imajinasi, kreativitas. Kemampuan otak kanan secara keseluruhan ternyata sebesar
90% dari total kapasitas otak, sementara otak kiri hanya 10-12%. Otak kanan mampu
merekam dengan cepat dan hasilnya akan disimpan selamanya dalam memori otak.
Roger W. Sperry (Lucy, dkk. 2012: 150) mengemukakan bahwa otak manusia terdiri
dari belahan kiri dan kanan, dimana masing-masing belahan otak tersebut mempunyai
fungsi yang berbeda. Tugas belahan kiri paling utama adalah untuk bahasa (verbal)
termasuk kata-kata, logika, matematika, urutan, analisis, dan lain-lain. Adapun tugas
belahan otak kanan berfungsi selain dari bahasa (non verbal) meliputi kreativitas,
irama, kesadaran ruang, imajinasi, melamun, warna dan lain-lain.

Proses pembelajaran yang dilakukan guru hanya berfokus pada otak kiri siswa,
misalnya guru hanya menerapkan belajar berfikir logis, yaitu bentuk belajar yang
langkah-langkahnya mengikuti uraian-uraian tertentu, serta guru tidak melibatkan emosi
siswa saat proses pembelajaran berlangsung yang mengakibatkan hasil belajar siswa
belum memuaskan dan pencapaian tujuan pembelajaran belum tercapai.
Pembelajaran matematika yang dilakukan belum optimal dimana pada proses
pembelajaran seperti ini membuat peserta didik merasa bosan belajar, kurang kreatif,
bersifat pasif pada saat pembelajaran matematika bahkan belajar matematika dianggap
suatu hal paksaan bukan keinginannya, sehingga peserta didik menjadi sulit untuk
memahami konsep-konsep dari matematika itu sendiri, akibatnya pemahaman konsep
dasar matematika siswa belum mantap.
Untuk mengatasi masalah tersebut, guru sebagai faktor utama dalam
kesuksesan proses pembelajaran diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran
matematika yang efektif dan menyenangkan serta meningkatkan kualitas, kreativitas dan
hasil

belajar

matematika

siswa.

Proses

pembelajaran

yang

menyenangkan

memungkinkan siswa merasa nyaman dalam belajar sehingga kebosanan siswa dapat
teratasi.

Pada gilirannya tentu saja para guru akan semakin menyadari bahwa model,
metode, dan strategi pembelajaran yang konvensional tidak akan cukup membantu
peserta didik. Guru sendiri dituntut inovatif, adaftif, dan kreatif serta mampu
membawa suasana pembelajaran yang menyenangkan ke dalam kelas dan lingkungan
pembelajaran, dimana terjadi interaksi belajar mengajar yang intensif dan

berlangsung dari banyak arah. Masalah yang dihadapi guru dalam proses belajar
mengajar adalah bagaimana mendapatkan perhatian peserta didik dalam mengikuti
proses pembelajaran dan menerapkan pembelajaran berbasis otak. Pembelajaran
Berbasis Otak memicu aktivitas otak lebih banyak, sehingga memberikan informasi
kepada pendidik tentang kegiatan pembelajaran yang paling efektif. Penelitian
menunjukkan bahwa menggunakan metode pembelajaran berbasis kerja otak secara
alami dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik, hasil studi Bowen C.H
(Hamid, 2014: 4) menemukan efek dari model Brain Based Learning memiliki
keberhasilan dengan hasil: kelompok perlakuan rata-rata 8 poin lebih tinggi pada post
test dan hasil retensi rata-rata 4 poin lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Mengajar dan hubungannya dengan otak manusia, menurut Caine R.N dan
Caine G (2002), mengidentifikasi cara mengajar dapat lebih kompatibel dengan cara
otak belajar. Otak adalah bawaan dilengkapi dengan pola, memperbaiki diri sendiri,
berkreasi, dan belajar dari pengalaman. Guru harus mengambil keuntungan dari
proses yang terjadi secara alami dengan mengorganisir pelajaran yang secara alami
menarik, tetapi ketat.
Orang cenderung mengandalkan salah satu sisi otak lebih dari yang lain
dalam pengolahan informasi. Ketergantungan ini disebut sebagai dominansi yang
mungkin muncul dalam gaya proses belajar dan berpikir. Belahan otak kanan
mengendalikan kegiatan motor sensorik sisi kiri tubuh, sedangkan kegiatan sisi kanan
dikendalikan oleh otak kiri. Mata dikendalikan dengan cara yang lebih kompleks
(bidang visual) karena setiap mata mentransfer informasi kepada kedua belahan otak.

Berdasarkan masalah diatas maka peneliti ingin menerapkan model brain


based learning dengan pendekatan saintifik. Sehingga melalui penggunaan model brain

based learning dengan pedekatan saintifik yang diberikan diharapkan dapat


meningkatkan

aktivitas,

peningkatan

hasil

belajar

matematika,

mendorong

tumbuhnya kerativitas belajar matematika, dan memberikan respons positif peserta


didik kelas VIII

SMP Negeri 4 Sungguminasa.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini


adalah sebagai berikut:
Apakah model brain based learning dengan pendekatan saintifik efektif diterapkan
dalam pembelajaran matematika pada peserta didik kelas VIII

SMP Negeri 4

Sungguminasa ditinjau dari aktivitas peserta didik, hasil belajar peserta didik,
kreativitas belajar matematika peserta didik, dan respons peserta didik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
keefektifan model brain based learning dengan pendekatan saintifik dalam
pembelajaran matematika pada peserta didik kelas VIII SMPN 4 Sungguminasa
ditinjau dari aktivitas peserta didik, hasil belajar peserta didik, kreativitas belajar
matematika peserta didik, dan respons peserta didik.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau
masukan dalam pembelajaran matematika yakni:
1. Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang pengembangan
pembelajaran dengan penggunaan model Brain Based Learning dengan pendekatan
saintifik pada mata pelajaran matematika dan menambah khasanah keilmuan dalam
bidang pendidikan matematika khususnya matematika sekolah serta dapat dijadikan
rujukan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Secara Praktis
a. Bagi peserta didik,

model pembelajaran Brain Based Learning dengan

pendekatan saintifik dapat membantu peserta didik berperan aktif dalam proses
belajar mengajar, menjadikan peserta didik senang dan tertarik terhadap
matematika karena peserta didik dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran.
b. Bagi guru, model pembelajaran Brain Based Learning dengan pendekatan
saintifik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk digunakan oleh guru
matematika SMP yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses
pembelajaran.
c. Bagi sekolah, hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi contoh
pembelajaran di kelas untuk konsep-konsep matematika yang lain dan dapat

10

memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan


pembelajaran khususnya pembelajaran matematika.
d. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti mengenai
hal yang berhubungan dengan penelitian ini.
E. Batasan Istilah
Agar dapat memiliki kesamaan dalam memahami beberapa
istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan
batasan istilah sebagai berikut:
1. Model brain based learning merupakan suatu langkah-langkah pembelajaran
yang diselaraskan dengan cara otak yang didesain secara alamiah untuk belajar
dengan cara menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran yang
berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak peserta didik. Pembelajaran
ini berguna untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan peserta didik serta
melibatkan memori peserta didik untuk memahami pelajaran. Tahap-tahap
pembelajaran model brain based learning dimulai dari (1) pra-pemaparan,
(2) persiapan, (3) inisiasi dan akuisisi, (4) elaborasi, (5) inkubasi dan
memasukkan memori, (6) verifikasi dan pengecekan keyakinan, (7) perayaan dan
integrasi .
2. Pendekatan saintifik (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana
dimaksud meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi atau
mengeksplorasi, mengasosiasi atau menalar, dan mengkomunikasikan. Penguatan

11

proses pembelajaran matematika melalui pendekatan saintifik mendorong


siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mengumpulkan informasi atau
mengeksplorasi, mengasosiasi atau menalar, dan mengkomunikasikan atau
mempresentasikan konsep dari materi pelajaran.
3. Lingkaran merupakan salah satu materi pokok dalam mata pelajaran matematika
yang diajarkan pada jenjang pendidikan menengah pertama kelas VIII semester
2 (dua).
4. Aktivitas peserta didik adalah perilaku yang ditunjukkan peserta
didik pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Aktivitas ini
diamati dengan menggunakan lembar observasi peserta didik.
Indikator aktivitas peserta didik antara lain:

(a) Mengatur diri dalam

kelompok untuk melakukan kegiatan pembelajaran seperti apa yang disampaikan


guru, (b) mendengarkan tujuan pembelajaran, (c) melakukan senam otak dengan
gerakan jari-jari tangan melalui tayangan video, (d) menyimak apersepsi dan
motivasi

yang

disampaikan

oleh

guru

melalui

tanya

jawab,

(e)

memperhatikan/menyimak materi baik melalui guru maupun yang dilihat melalui


video, dan merespon penjelasan guru, baik melalui pertanyaan, memberi saran,
maupun menanggapi atau memberi komentar, (f) memikirkan konsep-konsep
awal yang berkaitan dengan materi dengan menyumbang ide atau pendapat, (g)
memberikan pendapat dan mengajukan pertanyaan tentang materi pembelajaran,
(h) mengerjakan lembar kerja yang diberikan guru sambil mendengarkan musik,
(i) berdiskusi dengan teman sekelompoknya, (j) menyampaikan hasil diskusi

12

kelompok, (k) menanggapi hasil diskusi kelompok lain dalam bentuk saran atau
pertanyaan, (l) memperhatikan penguatan guru tentang penjelasan materi, (m)
menonton film pendek yang inspiratif dan menyimak pesan yang disampaikan,
(n) melakukan latihan menyelesaikan soal-soal sambil mendengarkan music, (o)
membuat kesimpulan dan peta konsep dari hasil pembelajaran lingkaran, (p)
menjawab pertanyaan guru yang ditunjuk dengan kesediaan menjawab, (q)
Melakukan aktivitas lain dalam pembelajaran (mengantuk, ngobrol, tidur,
melamun, bermain, mengganggu teman dan sebagainya).
5. Hasil belajar matematika adalah tingkat keberhasilan peserta didik
menguasai materi lingkaran setelah memperoleh pengalaman belajar matematika
dalam suatu kurun waktu tertentu yang diukur pada aspek mengingat
(C1), memahami (C2), menerapkan (C3).
6. Kreativitas belajar matematika adalah kompetensi tambahan
yang diperoleh peserta didik setelah pembelajaran yang diukur
pada aspek: (1) keluwesan, (2) kelancaran, (3) keaslian.
7. Respons peserta didik adalah tanggapan siswa
pelaksanaan

pembelajaran

setelah

berakhirnya

terhadap
seluruh

rangkaian proses pembelajaran. Respons peserta didik diukur


dngan menggunakan angket respons peserta didik.
8. Keefektifan pembelajaran adalah pengaruh yang ditimbulkan/disebabkan oleh
adanya suatu kegiatan pembelajaran yang menunjukkan sejauh mana tingkat
keberhasilan yang dicapai setelah proses pembelajaran yang dilakukan..
Indikator keefektifan pembelajaran dengan model pembelajaran

13

Brain Based Learning

dengan pendekatan saintifik pada materi lingkaran

dalam penelitian ini adalah: (1) pencapaian keefektifan aktivitas


secara deskriptif rata-rata skor aktivitas peserta didik paling kurang berada pada
kategori aktif, (2) pencapaian keefektifan hasil belajar secara
deskriptif rata-rata skor hasil belajar peserta didik setelah penerapan brain based
learning dengan pendekatan saintifik paling kurang berada pada kategori sedang,
(3) peningkatan hasil belajar sebelum dan sesudah pembelajaran brain based
learning dengan pendekatan saintifik secara inferensial pada nilai gain
ternormalisasi lebih dari 0,29, (4) hasil belajar peserta didik secara inferensial
mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM) yaitu lebih dari 69,9, (5)
ketuntasan klasikal hasil belajar peserta didik secara deskriptif lebih dari 84,9%,
(6) secara deskriptif rata-rata skor kreativitas belajar matematika peserta didik
paling kurang berada pada kategori sedang, (7) peningkatan kreativitas belajar
matematika setelah penerapan brain based learning dengan pendekatan saintifik
secara inferensial pada nilai gain ternormalisasi lebih dari 0,29, (8) secara
deskriptif rata-rata skor respons peserta didik terhadap pembelajaran matematika
paling kurang berada pada kategori positif, (9) skor rata-rata respons peserta
didik secara inferensial lebih dari 3,49.

Anda mungkin juga menyukai