Anda di halaman 1dari 8

CLINICAL SCIENCE SESSION

SINDROM NEFROTIK

Oleh :
Ridha Ramdani Rahmah

130112150016

Syadza Richelle Amorifa

130112150675

Preseptor :
Prof. Dr. Dida A. Gurnida, dr., Sp.A(K), MKes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIN DR HASAN SADIKIN BANDUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

SINDROM NEFROTIK
Batasan
Penyakit/sindroma yang mengenai glomerulus dan ditandai dengan adanya proteinuria masif (urin
protein 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 atau dipstik 2+).
Adapun trias dari sindrom nefrotik adalah proteinuria massif dan hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema,
dan hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Namun, saat ini hiperkolesterolemia sudah tidak dimasukkan
lagi ke dalam kriteria diagnosis, karena pada sindrom nefrotik lesi nonminimal dapat ditemukan kadar
lipid darah yang normal.
Klasifikasi dan Etiologi
Berdasarkan Etiologi
a. Sindrom nefrotik primer : terbatas hanya di dalam ginjal dan idiopatik (penyakit ginjal primer)
b. Sindrom nefrotik sekunder : penyakit yang berasal dari luar ginjal (keganasan, infeksi, toksin
spesifik, kelainan kongenital, penyakit metabolik dan sistemik, gangguan sirkulasi mekanik)
Berdasarkan Histologi
a. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM): lesi khas pada anak-anak (69%), ciri khasnya adalah
ditemukannya podosit yang bergabung menjadi satu (foot process disease)
b. Sindrom nefrotik kelainan nonminimal (SNKNM), seperti:
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS): perpadatan di dalam glomerulus, hiperplasia sel

epitel, dan terlihat adanya foam cell.


Glomerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM): pembesaran merata dan pertambahan

selularitas di daerah mesangial


Glomerulonefritis membrano

hiperselularitas sel-sel glomerulus, penebalan membran basalis.


Glomerulopati membranosa (GM)

proliferatif

(GNMP):

gambaran

lobulasi

glomerulus,

Berdasarkan Respons Terapi


a. Steroid responsif : terdapat remisi setelah pemberian terapi steroid
b. Steroid non responsive : kegagalan mencapai remisi dengan pengobatan steroid selama 4 minggu
Patofisologi
Proteinuria dan Hipoalbuminemia
Terapat tiga mekanisme terjadinya proteinuria, yaitu (1) hilangnya muatan polianion pada
dinding kapiler glomerulus, (2) perubahan pori-pori diding kapiler glomerulus, dan (3) perubahan
hemodinamik yang mengatur aliran kapiler. Umumnya karekteristik perubahan permeabilitas
membran basal bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada Sindrom Nefrotik. Pada Minimal
1

Change Disease terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun
terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif, seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan
bahwa kelainan utama pada Minimal Change Disease ini adalah hilangnya sawar muatan negatif
selektif. Namun pada Sindrom Nefrotik dengan Glomerulonefritis Proliferatif klirens molekul kecil
menurun dan yang bermolekul besar meningkat.

Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping

hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan
keduanya.
heparitinasi

Proteoglikan sulfat heparan


Sialoprotein menurun
pada kelainan
glomerulus

Muatan negatif pada lamina interna & eksterna

Sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif

proteinuria

hipoalbuminemia

Sintesis albumin oleh hepar tidak mencukupi


Edema
A. Underfill Hypothesis

B. Overflow Hypothesis

Kelainan metabolisme Lipid (Hiperkolesterolemia)


Pada pasien Sindrom Nefrotik, konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah dan lipoprotein densitas
rendah meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Seperti pada hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun.
Bukti menunjukkan keduanya abnormal. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap
hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipoprotein lipase. Menurunnya aktivitas ini mungkin
sekunder akibat hilangnya alfa-glikoprotein asam sebagai perangsang lipase.
Diagnosis
Manifestasi Klinis
a. Anamnesis
Bengkak di kedua kelopak mata
Perut membesar
Bengkak di kedua tungkai, atau seluruh tubuh
Penurunan jumlah urin yang keluar per hari
b. Pemeriksaan Fisik
Edema di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia

mayora
Terkadang ditemukan tekanan darah tinggi (hipertensi)

Pemeriksaan Penunjang

Proteinuria masif +2 : Protein urin > 40 mg/m2LPB/ Jam atau > 50 mg/ kg bb/24 jam,
pemeriksaan esbach protein dalam urin 24 jam > 2 g, pemeriksaan bang/ dipstick 2+
Albumin : kreatinin urin > 2,5 (dapat disertai hematuria)
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 g/dL
Tes-tes lainnya yang dapat membantu antara lain :
1) Kadar elektrolit (untuk melihat apakah ada hiponatremia)
2) Kadar kalsium dan fosfat
3) Titer antistreptolysin-O (ASTO)
3

4)
5)
6)
7)

Antibodi antinuklear (ANA)


Serologi hepatitis B
Status antibodi IgG varicella
Pemeriksaan darah lengkap

Kriteria Diagnosis
1) Proteinuria masif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 atau
dipstik 2+)
2) Hipoalbuminemia 2,5 g/dl
3) Edema
4) Dapat disertai hiperkolesterolemia >200 mg/dL
Komplikasi

Efusi pleura, edema genital berat


Infeksi : Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindroma nefrotik. Anak yang relaps kerentanannya
meningkat terhadap infeksi bakteri karena kehilangan imunoglobulin dan faktor B properdin, defek imunitas
yang dimediasi-sel, terapi imunosupresif, malnutrisi, dan edema/asites yang berperan sebagai medium
kultur yang potensial. Peritonitis bakteri spontan adalah infeksi yang paling sering, meskipun sepsis,

pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih dapat terjadi juga.


Trombosis : Faktor-faktor yang menyebabkan tromboemboli antara lain : trombositosis, meningkatnya
agregabilitas platelet, meningkatnya konsentrasi faktor- faktor pembekuan darah (faktor V, VII, VIII, X,
fibrinogen), meningkatnya pembentukan tromboplastin, beerkurangnya konsentrasi antitrombin III,

hipovolemia, dan terapi kortikosteroid.


Gagal ginjal akut : Uremia prerenal, biasanya dengan derajat rendah, cukup sering ditemukan pada

pasien sindroma nefrotik terkait dengan hipovolemia.


Malnutrisi protein
Komplikasi yang terkait dengan terapi kortikosteroid : osteoporosis dan gangguan pertumbuhan,

hipertensi, hiperglikemia/hiperlipidemia, katarak


Efek kosmetik, seperti jerawat, hirsutisme, moon face, dan striae abdominalis

Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
Sebagian besar ahli menganjurkan induksi remisi sesuai protocol ISKDC, yaitu pengobatan dilakukan
dengan pemberian prednisone 60 mg/m2 LPB/hr (setara denan 2 mg/kgBB/hr, dalam dosis terbagi
maks. 80 mg/hr). Pemberian ini dilakukan sampai remisi terjadi, yang ditandai dengan proteinuria (-)
dalam 3 hari berturut-turut. Selanjutnya prednisn 40 mg/m 2 LPB selang sehari dalam dosis tunggal
untuk 4 minggu berikutnya.

Pemberian dosis penuh 60 mg/m2 LPB/hr dibagi dalam 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu
dilanjutkan dengan prednisone 40 mg/m2 LPB/hr, dapat diberikan secara alternating 40 mg/m 2 LPB/hr
selama 4 minggu. Bila remisi tidak terjadi, maka penderita tersebut di diagnosis sebagai sindrom
nefrotik resisten steroid.

Terapi untuk SN sensitif steroid yang kambuh adalah pemberian prednison dosis penuh setiap hari
sampai remisi (maks. 4 minggu), dilanjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m 2 LPB/hr selama
4 minggu. Bila pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka penderita di
diagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain.

Pengobatan untuk SN yang sering kambuh adalah dengan diberikan prednison dosis penuh setiap hari
sampai remisi (maks 4 minggu), dilanjutkan dengan prednison alternating 40 mg/m2 LPB/hr dan
imunosupresan/ sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hr) dosis tunggal selama 8 minggu.
Sedangkan pada penderita yang ketergantungan steroid, diberikan prednisone dosis penuh setiap hari
sampai remisi (maks. 4 minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750
mg/m2LPB/hr diberikan melalui infus 1x sebulan selama 6 bl berturut-turut dan prednison alternating

selama 12 minggu. Kemudian steroid di tapering off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hr selama 1 bl (lama tapering off adalah 2 bulan)

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Siklofosfamid: Bersifat sitotoksik dan imunosupresif Indikasi: bila terjadi kegagalan


mempertahankan remisi dengan terapi prednison tanpa menyebabkan keracunan steroid 3
mg/kgBB/hr dosis tunggal selama 12 minggu ES: leukopenia, gangguan GI, sistitis hemoragik,
alopesia, keganasan -> pengobatan perlu dihentikan bila leukosit 5000/mm 3

Klorambusil: Efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid Induksi remisi penderita
ketergantungan steroid dan kambuh sering 0,2 mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu

Levamisol:Obat antihelmintik tapi memengaruhi fungsi sel T 2,5 mg/kgBB diberikan selang sehari
selama 4-12 bulan

Siklosporin: dilakukan sesudah remisi dicapai dengan steroid, digunakan bila siklofosfamid kurang
efektif 5 mg/kgBB/hari, memiliki efek nefrotoksik, dan efek samping lainnya (hipertrikosis,
hiperplasia gusi, gejala GI, dan HT)

Prognosis

SN sensitif steroid memiliki prognosis baik, meskipun sekitar 60-70% akan mengalami kambuh
yang setengah di antaranya berbentuk kambuh sering atau ketergantungan steroid. Pada umumnya

kambuh pada SN dicetuskan oleh infeksi virus dan saluran pernapasan atas.
SN resisten steroid biasanya memiliki prognosis tidak baik dan akan berlanjut menjadi penyakit
ginjal kronik.
6

REFERENSI
1. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics, 20th ed. Elsevier: Philadelphia. 2016.
2. Garna, Herry. Maulida, Heda. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke-5.
SMF Ilmu Kesehatan Anak: Bandung. 2014.

Anda mungkin juga menyukai