Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Perkembangan perempuan dari kanak-kanak menjadi dewasa melalui

serangkaian proses yang kompleks. Secara fisik, pubertas ditandai dengan


percepatan

pertumbuhan

sekunder.Adapun
pertumbuhan

peristiwa

payudara

disertai
yang

perkembangan
dialami

(telarche),

sebagai

pertumbuhan

karakteristik

seks

berikut:permulaan
rambut

pubis

(pubarche),kecepatan pertumbuhan, menarche, perkembangan rambut


aksila, perkembangan payudara serta rambut pubisdewasa. Kebanyakan
remaja mengalami pubarche mengikuti telarche, tetapi sebagian kecil
pubarche

mendahului

pematangan

telarche.

karakteristikseks

Perubahan

saatpubertasmelibatkan

sekunderdandinilaimenggunakanSexual

Maturation Rating (SMR), dimana ada limatahapan perkembangan payudara


dan rambut pubis dari tahap1 prepubertaske tahap5 dewasa. 1,2
Meskipun sinyal yang menginisiasi pubertasbelum jelas diketahui,
namun beberapa faktor dapat mempengaruhiproses tersebutantara lain:
genetika, status kesehatan, Indeks Massa Tubuh (IMT), faktor gizi, keadaan
sosial, lingkungan dan geografis. Selama pubertas terjadi kenaikan
signifikan dari Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) hipofisis, akibat
regulasi reseptor gonadotrop dan peningkatan sintesis gonadotropin.
Selanjutnya amplitudo puncak sekresi Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) meningkat dan terjadi umpanbalik negatif pada
1

hipotalamus dan hipofisis dari kenaikan kadar estradiol dari ovarium. Puncak
estradiol menyebabkan terjadinya menarche. Pubertas berakhir ketika
ovarium telah berfungsi, dimana maturasi ovarium dipicu oleh sekresi FSH
dan LH. Tetapi tidak diketahui pasti yang memicu hipotalamus terkait
pubertas. Kemungkinan melatonin, sejak adanya penurunan konsentrasi
nokturnal dari hormon tertentu sebelum dan setelah pubertas. 1,3-5
Melatonin (aMT) merupakan suatu hormon peptida dan prototip dari
senyawa metoksi-indol sebagai produk utama dan hormon pineal yang
paling aktif. Kemampuan biosintesa pineal dalam memproduksi melatonin
mengikuti ritme sirkadian, diaktifkan oleh gelap dan dihambat oleh cahaya.
Setelah dilepaskan ke sirkulasi, melewati jaringan dan kompartemen sel
(saliva, urin, cairan serebrospinal, folikel preovulasi, semen, cairan amnion
dan testis). Pola sekresi melatonin pada manusia ditandai dengan kenaikan
nokturnal secara bertahap, dimulai sekitar 2 jam sebelum tidur dan
penurunan saat pagi hari. Kadar plasma mencapai maksimum pada pukul
02.00-04.00 a.m., sedangkan diurnal terdeteksi rendah atau tidak terdeteksi.
Kadar melatonin berkurangsejalan dengan usia. Melatonin mempengaruhi
kehidupan dalam hal tidur, ritme sirkadian, mood, maturasi seksual dan
reproduksi, kanker, imunitas dan penuaan.6-9
Melatonin mempengaruhi fisiologi seluler melalui reseptor membran
melatonin yaitu: MT1 dan MT2. Melatonin,bergantung pada sel yang spesifik
dan mengaktivasi berbagai kaskade second messengersetelah berikatan
dengan

reseptor

membran.

Reseptor

MT 1dan

MT2mengatur

proses
2

intraseluler melalui penghambatan adenylate cyclase, suatu reduksi Cyclic


Adenosine Monophosphate (cAMP) dan pengaturan Protein Kinase Activity
(PKA); dengan melibatkan toksin pertusis protein G-sensitif.Hormon kelenjar
pineal juga mengikat dan mengaktifkan dua reseptor nuklear yaitu
RZR/ROR dan RZR. Tidak banyak diketahui mediator dan target jalur
transduksi reseptor membran melatonin, tetapi perangsangan reseptor ini
menurunkan kadar cAMP intraseluler.10-14
Pineal dengan melatonin bukan hanya mengatur reproduksi, namun
juga menyesuaikan fisiologi terhadap perubahan musim lingkungan yang
diperantarai cahaya. Hubungan ini menimbulkan khasiat ganda terhadap
aksis Hipotalamus-Hipofisis-Gonad (HPG) pada keadaan fotoperiodik yang
berlawanan, masing-masing

disebut

antigonadotropik, antigonad dan

penghambat gonad. Dengan demikian, ada hipotesis menyatakan kadar


melatonin

yang

tinggi

menghambat

fungsi

hipotalamus

pada

manusia.Perubahan gonad terkait melatonin melalui hipotalamus dan


menekan sekresi GnRH pulsatil.4,15
1.2.

Rumusan Masalah
Belum adanya penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan

kadar melatonin pada remaja yang belum menarche dan telah menarche
sebagai salah satu tanda maturasi seksual sehingga peneliti berusaha
merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat
perbedaan kadar melatonin pada remaja yang belum menarche dan telah
menarche sebagai salah satu tanda maturasi seksual.
3

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahuiperbedaan kadar melatonin pada remaja yang belum
menarche dan telah menarche sebagai salah satu tanda maturasi
seksual.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia dan IMT.
2. Mengetahui perbedaan kadar melatonin berdasarkan usia subjek
penelitian.
3. Mengetahui perbedaan kadar melatonin pada remaja yang belum
menarche dan telah menarche.
4. Mengetahui perbedaan kadar melatonin berdasarkan IMT subjek
penelitian.
5. Mengetahui korelasi kadar melatonin dengan usia pada remaja yang
telah menarche.
1.4.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan menambah teori bahwa kadar melatonin
nokturnal yang menurun menyebabkan subjek mengalami maturasi seksual
yaitu menarche.

1.4.2. Manfaat Praktis


Pemeriksaan kadar melatonin dapat dilakukan sebagai salah satu
pemeriksaan untuk mengetahui terjadinya maturasi seksual.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Fisiologi Pubertas

2.1.1. Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Gonad


Janin, neonatus dan prepubertas mampu menghasilkan gonadotropin
dan steroid seks dalam konsentrasi dewasa namun demikian, baik
hipotalamus, hipofisis anterior dan gonad mengkoordinasikan fungsi ini
5

dalam siklus reproduksi wanita. Konsentrasi FSH dan LH mencapai kadar


seperti dewasa saat pertengahan kehamilan, kemudian menurun setelah
kadar hormon steroid meningkat dan menyebabkan inhibisi umpanbalik.
Setelah lahir, estrogen dan progesteron melepaskan FSH dan LH dari
umpanbalik negatif. Umpanbalik negatif dengan cepat mencapai; steroid
ovarium dan gonadotropin menurun hingga usia 6-8 tahun. Selama periode
ini, sistem hipotalamus-hipofisis mengontrol gonadotropin (gonadostat) yang
sangat sensitif terhadap umpanbalik negatif estrogen. Terjadi penurunan
GnRH selama prepubertas, bersama dengan pengurangan amplitudo dan
frekuensi GnRH pulsatil dari hipotalamus. GnRH berikatan dengan reseptor
FSH dan LH, bertindak langsung dengan gonad merangsang maturasi
folikuler.1,2
Pada saat pubertas, terjadi pelepasan GnRH pulsatil dari umpanbalik
prepubertas dan inhibisi negatif sentral mengakibatkan kenaikan kadar
gonadotropin dan steroid yang tampak pada karakteristik seks sekunder
hingga dewasa (menarche, kemudian ovulasi). Antara usia 10 dan 16 tahun
urutan peristiwa endokrin termasuk peningkatan LH pulsatil selama tidur,
diikuti pulsasi dengan pengurangan amplitudo yang terjadi dalam 24 jam.
Puncak estradiol menyebabkan terjadinya menarche. Dari pertengahan
hingga akhir pubertas, maturasi umpanbalik positif berkaitan antara estradiol
dan LH serta menyebabkan siklus ovulatori. 2

Gambar 2.1.Aksis hipotalamus-hipofisis-gonad.


(Sumber: Normal Puberty Physiology in Females, 2014)

Ada 3 aksis neuroendokrin yang terlibat dalam kaskade pubertas


antara lain: adrenarche-aktivasi produksi androgen adrenal; gonadarcheaktivasi gonad; serta aktivasi aksis hormon pertumbuhan Insulin-like-Growth
Factor (IGF) yang terjadi saat pubertas. Gonadarche berperan dalam proses
pubertas, menyebabkan maturasi seksual dan kemampuan reproduksi yang
ditandai dengan terjadinya menarche. Secara umum, pubertas selesai dalam
2-4 tahun mengikuti permulaan gonadarche, meskipun pengaruh steroid
seks tergantung waktu dalam kehidupan. Beberapa jalur yang mengontrol
sistem saraf pusat dalam aksis HPG antara lain: Gamma-aminobutiric acid
(GABA), neuropeptide Y (NPY), glutamate dan kisspeptin. 1,2,16

2.1.2. Tahapan Perkembangan Pubertas


Meskipun sinyalyang menginisiasi pubertasbelum jelas diketahui,
namun beberapa faktor dapat mempengaruhi proses tersebut antara lain:
genetika, pengaruh biologis, status kesehatan, IMT, faktor gizi, keadaan
sosioekonomi, lingkungan dan faktor geografis.1,3,16
Perubahan biologis selama pubertas meliputi maturasi seksual yang
berkaitan dengan pertumbuhan linear, perubahan berat dan komposisi tubuh
serta perubahan hormonal. Secara fisik, pubertas ditandai dengan
percepatan pertumbuhan disertai perkembangan karakteristik seks sekunder.
Adapun peristiwa yang dialami sebagai berikut: permulaan pertumbuhan
payudara

(telarche),

pertumbuhan

rambut

(pubarche),

kecepatan

pertumbuhan, menarche, perkembangan rambut aksila, perkembangan


payudara serta rambut pubis dewasa. Kebanyakan remaja mengalami
pubarche mengikuti telarche, tetapi sebagian kecil pubarche mendahului
telarche dikarenakan pengaruh hormonal yang berbeda. Akhirnya proses
pertumbuhan berjalan cepat seperti telarche, pubarche dan menarche
memerlukan waktu 4,5 tahun hingga selesai dengan rentang 1 sampai 6
tahun.1,2,17,18

Gambar 2.2. Tahapan pubertas.


(Sumber: Abnormal Puberty and Growth Problems, 2005)

Urutan perubahan fisik sebagian besar dapat diprediksi, tetapi ada


variabilitas dalam permulaan pubertas dan kecepatan perubahan yang
terjadi. Percepatan pertumbuhan melibatkan perkembangan skelet yang
biasanya dimulai usia 10-12 tahun dan selesai usia 17-19 tahun pada
perempuan.

Bagi

kebanyakan

remaja,

maturasi

seksual

melibatkan

pencapaian fertilitas dan perubahan fisik. Perubahan ini mencakup


pertumbuhan payudara dimulai usia 10 tahun atau lebih cepat dan
menstruasi dimulai usia 12 atau 13 tahun.1,17,18
Pematangan karakteristikseks sekunder dinilaimenggunakan sistem
SMR yang

diperkenalkan

oleh

Marshall

dan Tanner, dimana

ada

5tahapperkembangan payudara dan rambut pubis dari tahap1 prepubertas

ke tahap5 dewasa (penyelesaian maturasi seksual).Pubertas berkembang ke


tahap Tanner 2 pada usia 8 dan 13 tahun untuk perempuan. 1,16
Tabel 2.1.Sexual maturation rating.
(Sumber: Abnormal Puberty and Growth Problems, 2005)

Pubertas terdiri dari pubertas prekoks dan pubertas terlambat. Pada


pubertas prekoks dimana hormon gonadotropin diproduksi sebelum
perempuan berusia 8 tahun. Hormon ini merangsang ovarium sehingga ciriciri kelamin sekunder, menarche dan kemampuan reproduksi timbul sebelum
waktunya. Pubertas prekoks terjadi bila karakteristik sekunder timbul
sebelum usia 8 tahun atau menstruasi sebelum usia 10 tahun. Pertumbuhan
badan juga lebih cepat, akan tetapi karena penutupan garis epifisis terjadi
lebih cepat dari biasa, maka tinggi badannya kurang dari normal.
Pertumbuhan mental biasanya sesuai dengan umur. Oleh karena adanya
variasi dalam perkembangan normal, sulit menentukan pasien dengan
maturasi seksual abnormal. Pasien yang belum ada tanda-tanda pubertas
usia 17 tahun mungkin memilki masalah spesifik dan bukan pubertas
terlambat fisiologis atau jika gejala-gejala pubertas muncul antara usia 14-16
tahun.2,19
2.1.3. Menarche

10

Selama pubertas, dijumpai kenaikan signifikan GnRH hipofisis akibat


pengaturan reseptor gonadotrop dan peningkatan sintesis gonadotropin.
Selanjutnya amplitudo puncak sekresi LH meningkat dan 20-40 kali lipat
lebih tinggi pada tahap prepubertas. Sekresi FSH meningkat 2-3 kali lipat,
terjadi umpanbalik negatif pada hipotalamus dan hipofisis dari kenaikan
kadar estradiol dari ovarium. Puncak estradiol menyebabkan terjadinya
menarche. Rata-rata menarche terjadi setelah puncak pertumbuhan 2,6
tahun setelah masa pubertas.1,2,20

Gambar 2.3. Usia menarche.


(Sumber: Abnormal Puberty and Growth Problems, 2005)

Selain mempengaruhi GnRH pulsatil dan steroid gonad, substansi


lainnya seperti inhibin, aktivin, follistatin dan sitokin memiliki efek mengatur
aktivitas gonadotropin dan menyebabkan sistem umpanbalik negatif dan
positif yang penting dalam pematangan aksis neuroendokrin reproduksi.
Pematangan ovarium sebagai respon memperkuat sinyal sentral dan
melepaskan hormon steroid. Ketika kadar estradiol dan inhibin B meningkat,
11

memicu umpanbalik negatif terhadap sekresi gonadotoropin sehingga siklus


berkembang dan menarche dapat terjadi. 1,2,20
Pubertas berakhir saat ovarium telah berfungsi, ditunjukkan dengan
pertambahan ukuran ovarium, pertumbuhan folikel dan peningkatan jumlah
folikel yang matang. Ciri khas endokrin di akhir pubertas ialah melalui
perkembangan umpanbalik positif estrogen pada hipofisis dan hipotalamus.
Mekanisme umpanbalik merangsang lonjakan LH pertengahan siklus yang
diperlukan untuk ovulasi. Selanjutnya menstruasi mengikuti menarche yang
biasanya anovulatori, ireguler dan sesekali banyak. Anovulasi berlangsung
selama 12-18 bulan setelah menarche. Hubungan antara menarche dan
pertumbuhan relatif menetap; menarche terjadi setelah puncak kecepatan
pertumbuhan berlangsung.1,2,19

2.2.

Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pineal


Kelenjar pineal merupakan suatu kelenjar kecil yang terletak di

posterior hipotalamus. Secara embriologi, organ ini berasal dari diensefalon


posterior dan sampai sekarang dianggap sebagai organ sisa. Susunan ini
terbentuk sebagai suatu penonjolan keluar dari ventrikel ketiga. Kelenjar ini
terdiri dari dua tipe yaitu: pinealosit yang menghasilkan indolamin (terutama
melatonin), peptida (seperti vasotosin arginin) dan sel neuroglia. Segera
setelah lahir hubungan saraf aferen dan eferen dengan otak terhenti,
selanjutnya digantikan oleh suatu berkas saraf kompleks yang berjalan dari
retina melintasi hipotalamus ke ganglion servikal superior dan kemudian ke
12

kelenjar pineal. Sebaliknya, sel parenkim menerima inervasi simpatis baru


yang memungkinkan kelenjar pineal menjadi organ neuroendokrin aktif yang
merespon cahaya dan rangsangan hormonal serta menunjukkan ritme
sirkadian.5,15

Gambar 2.4. Potongan sagital otak.


(Sumber: The Pineal Hormone: Melatonin)

Keterlibatan retina dalam penghantaran impuls cahaya ke sistem


endokrin melalui susunan saraf menunjukkan adanya suatu hubungan yang
disebut hubungan foto-neuroendokrin. Rangkaian ini ternyata ikut mengatur
reproduksi dan digambarkan sebagai suatu lengkungan yang berpuncak
pada kelenjar pineal, tersusun dari berkas saraf aferen. Impuls saraf yang
ditimbulkan cahaya dibawa melalui aliran darah dan cairan serebrospinal ke
susunan otak yang terlibat dalam pengaturan aktivitas reproduksi. Oleh
karena itu, kelenjar pineal dianggap sebagai organ neuroendokrin dan
transduser neuroendokrin yang memiliki masukan saraf dan keluaran
endokrin,

dengan

mensekresikan

hormon

melatonin

dan

indolamin

lainnya.15,21
13

Gambar 2.5Sirkuit foto-neuroendokrin dan jalur persarafan dalam sintesis melatonin.


(Sumber: Endokrinologi Reproduksi pada Wanita, 2009)

Jalur persarafan dimulai dari retina dan melewati Suprachiasmatic


Nuclei (SCN) dan Paraventricular Nuclei (PVN) di hipotalamus ke saluran
optik inferior lainnya dan otak depan medial ke atas spinal cord. SCN
hipotalamus berfungsi sebagai oskilator autonom sentral dan sirkadian yang
mengatur irama 24 jam bagi produksi melatonin. Dari PVN, berkas saraf tadi
mencapai ganglia servikal superior melalui jalur desenden yang melibatkan
berkas otak depan medial, formasio retikularis, inti intermediolateral dan
medula spinalis. Serat preganglion berakhir pada ganglion servikal superior
dan saraf simpatis postganglion berakhir di sel pineal. Serat postganglion
mencapai kelenjar pineal melalui nervi conarii yang melepaskan norepinefrin
pada malam hari. Neurotransmiter utama dari persarafan simpatis ialah
adrenalin yang dikeluarkan pada ruang perivaskular dekat pinealosit.
Persarafan langsung dari lateral, hipotalamus anterior dan paraventrikular
juga menerima masukan dari retina, seperti jalur yang penting dalam
pengaturan sirkadian produksi melatonin. Neurotransmiter yang terlibat
14

dalam sistem tersebut antara lain: peptida seperti Vasoactive Intestinal


Peptide (VIP), peptide histidine isoleucine, arginine vasopressin, arginine
vasotocin, oxytocin, Neuropeptide Y (NPY) dan Luteinizing Hormone
Releasing Hormone (LHRH). Di sisi lain, persarafan parasimpatis berasal
dari pusat, namun dijumpai persarafan parasimpatis perifer melalui nervi
conarii. Paparan terhadap cahaya terang menekan sintesis melatonin; akan
tetapi pada kondisi gelap, ritme sirkadian menetap dalam produksi melatonin
yang dikeluarkan oleh SCN.4,15,21,22

2.3.

Hormon Melatonin

Gambar 2.6. Struktur kimia melatonin.


(Sumber:Melatonin in Humans, 1997)

Tiga abad yang lalu, Rene Descartes menyatakan kelenjar pineal


sebagai the seat of the soul, namun hingga akhir tahun 1950 ditemukan
substansi utama yang dihasilkan oleh kelenjar pineal. Pada kelenjar pineal
dijumpai methoxy turunan serotonin yaitu N-acetyl-5-methoxytryptamine
pada kelenjar pineal sapi oleh Lerner et al tahun 1958. Melatonin berasal
dari nama molekul melatonin yang didasarkan kemampuan mengagregasi
granula melanin dan mencerahkan warna kulit katak. 4,10

2.3.1. Sintesis

15

Melatonin (aMT), suatu hormon peptida dan prototip dari senyawa


metoksiindol. Hormon ini merupakan produk utama dan hormon pineal yang
paling aktif. Kemampuan biosintesis pineal dalam memproduksi melatonin
mengikuti ritme sirkadian, diaktifkan oleh gelap dan dihambat oleh cahaya.
Melatonin disekresikan ke darah dengan ritme endogen dan disinkronkan
dengan siklus terang-gelap, menyebabkan aktivitas beberapa sistem enzim
berfluktuasi untuk ikut berperan dalam sintesis melatonin. 5,15

Gambar 2.7. Sintesis melatonin pada kelenjar pineal manusia.


(Sumber: Neuroendocrinology, 2010)

Serat noradrenergik merangsang reseptor adrenergik atau di


pinealosit. Aktivasi reseptor ini secara sinergis meningkatkan cAMP dan
Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) intraseluler; sebenarnya aktivasi
1-adrenoseptor

membuktikan

potensiasi

signifikan

perangsangan

adrenergik cAMP dan cGMP. Peningkatan cAMP intraseluler merangsang


aktivitas

N-acetyltransferase

(NAT).

Tryptophan

diubah

ke

5-

hydroxytryptophan oleh tryptophan hydroxylase, yang didekarboksilasi ke


serotonin. Dengan demikian, serotonin yang dihasilkan dari dua tahap
(hidroksilasi dan dekarboksilasi) dari tryptophan dalam pinealosit, diubah ke

16

N-acetylserotonin oleh NAT. N-acetylserotonin akhirnya berubah menjadi


hormon melatonin (5-methoxy-N-acetyltryptamine) oleh enzim pineal spesifik
hydroxyindol-O-methyltransferase (HIOMT). HIOMT adalah enzim esensial
untuk sintesis melatonin yang terdapat di sel parenkimal, retina dan
intestinal. Sintesis melatonin dikontrol oleh stimulasi norepinefrin ke
adenylate cyclase dan norepinefrin dibebaskan oleh perangsangan simpatis
akibat ketiadaan cahaya. Bila ada cahaya, sel fotoreseptor di retina akan
mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin
sehingga melatonin disekresi dalam jumlah sedikit. Sebaliknya pada saat
gelap,

fotoreseptor

mensekresi

norepinefrin,

kemudian

mengaktifkan

reseptor adrenergik dan di kelenjar pineal. Kontak antara norepinefrin


dengan

reseptornya

akan

mengaktivasi

enzim

arylalkylamine

N-

acetyltransferase (AA-NAT) yang akan menginisiasi sintesis dan sekresi


melatonin.6,7,13,23

2.3.2. Distribusi
Hormon pineal memiliki tempat kerja perifer yaitu gonad, dan bukti ini
memastikan bahwa normalnya melatonin disekresikan langsung ke sirkulasi
sistemik atau tak langsung ke dalam cairan serebrospinalis dalam sistem
ventrikel otak yang kemudian dibawa ke tempat kerjanya melalui jalur ini.
Melatonin bersifat tinggi lemak dan larut air (oktanol) untuk melewati
membran sel. Setelah dilepaskan ke sirkulasi, aksesnya ke jaringan dan
kompartemen sel (saliva, urin, cairan serebrospinal, folikel preovulasi,
17

semen, cairan amnion, testis). Selanjutnya melatonin akan masuk ke aliran


darah secara difusi pasif. Oleh karena penyimpanan di pineal tidak tersedia,
profil hormon dari plasma mencerminkan aktivitas pineal. 6-8
2.3.3. Sekresi

Gambar 2.8.Kadar melatonin pada berbagai usia.


(Sumber: Melatonin the light of night in Human Biology and Adolescent Idiopathic Scoliosis, 2007)

Konsentrasi serum sangat bervariasi menurut usia. Pada manusia


ritme konsentrasi melatonin dimulai 6-8 minggu dan menetap saat usia 21-24
minggu kehidupan. Sekresi melatonin meningkat dan menjadi sirkadian pada
bayi yang lebih tua, dimana puncak konsentrasi nokturnal ( 325 pg/mL
[1400 pmol/L]) pada usia 1 hingga 3 tahun dan setelahnya menurun secara
bertahap. Amplitudo puncak sekresi melatonin mencapai kadar tertinggi
antara usia 4 dan 7 tahun. Pada dewasa muda, kadar siang dan malam hari
masing-masing 10 dan 60 pg/mL (40 dan 260 pmol/L), meningkat signifikan
malam hari (80-120 pg/mL). Penurunan konsentrasi melatonin terjadi saat
maturasi, relatif stabil hingga usia 35-40 tahun, kemudian menurun secara

18

bertahap pada usia 70 tahun. Akibatnya, individu yang lanjut usia dengan
perbedaan siang-malam hampir tidak ada mensekresikan melatonin. 8,9,14,25
Konsentrasi melatonin serum siang hari sejalan dengan siklus siangmalam.Permulaan sekresi biasanya sekitar pukul 21.00-22.00 dan menurun
pukul 07.00-09.00. Kadar plasma mencapai maksimum pada pukul 02.0004.00, sedangkan diurnal terdeteksi rendah atau tidak terdeteksi. Dengan
demikian, ritme dalam durasi 24 jam menetap pada subjek sewaktu
gelap.14,24,25

Gambar 2.9. Variasi kadar melatonin diurnal.


(Sumber: Melatonin the light of night in Human Biology and Adolescent Idiopathic Scoliosis, 2007)

Pada mamalia, konsentrasi melatonin menunjukkan ritme sirkadian,


dengan nilai terendah pada siang hari dan meningkat 10-15 kali lipat pada
malam hari. Ritme dihasilkan oleh pacu sirkadian (oskilator, jam biologis)
yang terletak di SCN hipotalamus, dan sinkron selama 24 jam oleh siklus
terang-gelap melalui kerja SCN. Melatonin mempunyai ritme sirkadian
(berulang pada tiap waktu yang sama dalam 24 jam), meski belum jelas
apakah respon terhadapnya juga bergantung pada ritme sirkadian tersebut.
Fungsi sirkadian ini dikendalikan oleh bermacam-macam jalur syaraf.
19

Melatonin disekresikan secara pulsatil pada fase gelap (malam hari) tiap 2-3
menit. Irama harian melatonin ini ternyata bersifat endogen dan tergantung
keterpaduan dari persarafan simpatis ke kelenjar.7,8,25

2.3.4. Metabolisme
Hepar

merupakan

tempat

utama

untuk

metabolisme

yang

mengeluarkan lebih dari 90% sirkulasi melatonin. Sekitar 50-70% sirkulasi


melatonin berikatan dengan albumin plasma; fisiologinya belum diketahui.
Kadar melatonin saliva tampak sesuai dengan 25-30% melatonin dalam
darah yang tidak berikatan dengan albumin. 4,10,26,27
Dengan

hidroksilasi

pada

posisi

karbon-6,

melatonin

akan

dimetabolisasi menjadi 6-hydroxymelatonin (HaMT), sedangkan dengan


metilasi akan dihasilkan acetyl-serotonin. Inaktivasi melatonin terjadi di
hepar, pengubahannya menjadi 6-hydroxymelatonin oleh mikrosomal P-450
dependen-sistem

enzim

oksidase

(isoenzim

CYP1A2,

CYP1A1

dan

CYP1B1). Kebanyakan 6-hydroxymelatonin diekskresikan ke urin dan feces


sebagai konjugasi sulfat (6-sulfatoxymelatonin), serta jumlah lebih kecil
sebagai

glukoronide.

Beberapa

melatonin

diubah

ke

N-acetyl-5-

methoxykinurenamin pada sistem saraf pusat. 4,10,28

Metabolisme pada jaringan ekstrahepatik menunjukkan substansi


yang berbeda, seperti kelenjar pineal dan retina memiliki enzim melatonindeacetylating atau kurang spesifik aryl acylamidases; sebagai serine20

sensitive acetylcholinesterase, dapat dideasetilasi ke 5-methoxytryptamine


pada jaringan apapun yang membawa enzim ini. Melatonin dapat
dimetabolisme secara nonenzimatis dalam semua seloleh radikal bebas dan
beberapa oksidan lainnya. Dalam proses ini, metabolit yang dihasilkan yaitu:
cyclic

3-hydroxymelatonin,

N1-acetyl-N2-formyl-5-methoxykynuramine

(AFMK) dan N1-acetyl-5-methoxykynuramine (AMK).4,10,28

2.3.5. Ekskresi
Sekitar 2-3% melatonin diekskresikan tidak berubah dalam urin atau
saliva sehingga hal ini dapat memperkirakan konsentrasi melatonin plasma.
Pada manusia, variasi kadar melatonin plasma searah dengan kadar
melatonin saliva. Meskipun kadar plasma 10 kali lebih tinggi dibandingkan
saliva, namun pengambilan sampel dengan saliva menguntungkan terutama
ketika prosedur invasif dihindari. Metabolit 6-sulfatoxymelatonin (aMT6S) dari
urin memiliki profil yang sama dengan melatonin plasma. 13,15,30,31

2.4.

Reseptor Melatonin

2.4.1. Fungsi Reseptor Membran Melatonin


Melatonin mempengaruhi fisiologi seluler melalui reseptor membran,
tempat pengikatan nuklear dan interaksi dengan molekul kalmodulin
sistosolik sehingga memperantarai sinyal kalsium. Sebagai tambahan,
melatonin

memiliki

aksi

reseptor-independen

terutama

kemampuan

langsung untuk menangkal radikal bebas dan reaktan lainnya. Reseptor


21

membran yang asli dikloning dari melanosit Xenopus yang homolog pada
vertebrata. Pada mamalia, dua jenis reseptor membran melatonin yaitu MT 1
(Mel1a) dan MT2 (Mel1b). Suatu reseptor membran MT3disebut Mel1c yang
ditemukan pada amfibi tetapi tidak pada mamalia.Reseptor melatonin MT1
dan MT2 milik kelompok yang berbeda dalam superfamili reseptor pasangan
protein G-transmembran tujuh. Reseptor ini berbeda dalam afinitas ligan
asal dari melatonin. Dua membran tempat pengikatan melatonin yaituMT 1
dan MT2, masing-masing secara farmakologi dibedakan atas afinitas tinggi di
rentang pikomolar dan afinitas rendah di rentang nanomolar. Rentang ini
mirip dengan MT3 yang tampaknya identik dengan enzim sistosolik, quinone
reductase II.10-12,14
Tabel 2.2. Tempat pengikatan melatonin dan reseptornya.
(Sumber: Gene Regulation by Melatonin)

Reseptor MT1ditemukan pada pars tuberalis hipofisis dan SCN, yang


dianggap tempatreproduksi dan ritme sirkadian melatonin, sedangkan MT 2
terutama pada retina. Reseptor melatonin MT1 mengatur firing neuron,
vasokonstriksi

arteri,

proliferasi

sel

kanker,

fungsi

reproduksi

dan

metabolisme.Aktivasi tahap reseptor melatonin MT2 memindahkan ritme


sirkadian dari firing neuron dalam SCN, menghambat pelepasan dopamin
pada retina, menyebabkan vasodilatasi, menghambat leukosit pada beds
22

arteri

serta

meningkatkan

respon

imun.Reseptor

MT1mengatur

penghambatan melatonin pada SCN, sedangkanreseptor MT 2mungkin


terlibat dalam perubahan fase respon melatonin. Respon yang diperantarai
melatonin terjadi karena aktivasi reseptor melatonin MT 1 dan MT2,
tergantung waktu sirkadian, durasi dan paparan melatonin endogen atau
eksogen, juga sensitivitas reseptor.10,13,14,31,32
Reseptor membran MT1dipars tuberalis mengatur ekspresi gen
tuberalin dan akhirnya melepaskan prolaktin dari sel ini. Melatonin,
bergantung pada sel yang spesifik dan mengaktivasi berbagai kaskade
second messengersetelah berikatan dengan reseptor membran. Reseptor
MT1dan MT2mengatur proses intraseluler melalui penghambatan adenylate
cyclase, suatu reduksi cAMP dan pengaturan aktivitas protein kinase (PKA);
aksi ini melibatkan toksin pertusis protein G-sensitif. Reseptor MT1
didownregulation oleh protein kinase (PKC). Di samping itu, second
messengerselain cAMP dan cGMP mungkin diatur oleh melatonin melalui
reseptor MT1, tetapi gambaran sinyal biokimia yang ditimbulkan oleh
melatonin masih kurang. Menurut model rhodopsin, melatonin diakui sebagai
residu asam amino tertentu dalam pengikatan oleh heliks transmembran.
Asam amino mendukung interaksi dengan melatonin yang dipertahankan
dalam familinya, tetapi bukan pada reseptor pasangan protein G
lainnya.10,13,14,31,32

23

Gambar 2.10. Beberapa aksi utama melatonin


(Sumber: Melatonin: Natures most Versatile Biological Signal, 2006)

Hibridisasi in situ dan reverse transcription polymerase chain reaction


(RT-PCR) mendukung bahwa reseptor MT1 mewakili lebih dari 99% dari
semua tempat pengikatanmembran melatonin di otak. Sistem efektor
melibatkan sinyal reseptor melatonin MT 1 dan MT2 melalui penghubung
antara lain: adenylyl cyclase, phospholipase C, phospholipase A2, kanal
kalium dan guanylyl cyclase dan kanal kalsium. Dengan menggunakan
rekombinan, reseptor melatonin melatonin MT 1yang berbeda digabungkan
ke

protein

untuk

menghambat

adenylyl

cyclase

dan

aktivasi

phospholipase C, reseptor MT2 dan tambahannya menghambat jalur


guanylyl cyclase. Tidak banyak diketahui tentang target dan mediator jalur
transduksi reseptor membran melatonin, tetapi perangsangan reseptor ini
menurunkan kadar cAMP intraseluler, menyebabkan perubahan status
fosforilasi pada protein target seperti cAMP response-element-binding
24

protein (CREB). Selain menghambat aktivitas adenylyl cyclase, reseptor


melatonin afinitas tinggi juga mengatur kadar cGMP melalui protein guanylyl
cyclase seperti sintesis nitric oxide (NO).28,31

2.4.2. Transduksi Sinyal


Pada jaringan dan spesies tertentu, melatonin dapat mengaktivasi
kaskade second messenger yang berbeda dari beberapa subtipe reseptor.
Reseptor MT1, MT2, dan Mel1c terutama digabungkan dalam suatu cara
penghambatan, menjadi jalur sinyal AC cAMP PKA, melalui toksin
pertusis protein Gi sensitive. Aktivasi reseptor MT 1, selain menghambat
fosforilasi CREB, juga dapat segera menghambat pembentukan produksi
gen awal, c-Fos dan jun-B. Perangsangan reseptor MT 1 dan MT2dapat
mengaktivasi phospholipase C- (PLC-), seiring dengan peningkatan
inositol-(1,4,5)-trisphosphate (IP3)/Ca2+ dan 1,2-diacylglyserol. Dalam sel
COS-7 ekspresi reseptor MT 1 dan MT2manusia menunjukkan bahwa aktivasi
reseptor ini merangsang aktivitas c-Jun N-terminal Kinase (JNK) melalui
toksin pertusis dan protein G-sensitif dan tidak sensitif. Perangsangan
reseptor MT1 juga berkaitan dengan kenaikan fosforilasi mitogen-activated
protein kinase MEK, dan extracellular signal-regulated kinase ERK1/2.
Selain itu, reseptor melatonin MT 1 meningkatkan hantaran kalium oleh Kir3
(GIRK) ke dalam penyearah saluran kalium, dan potensiasi prostaglandin
F2 dan perangsangan diperantarai ATP dari aktivitas PLC. Kedua proses
tersebut melibatkan aktivasi subunit- mengikat membran dihasilkan oleh
25

protein Gi. Sel endotelial mikrovaskuler tikus dimana melatonin menghambat


produksi nitric oxide. Hal ini dimediasi oleh penekanan pergerakan Ca 2+dari
penyimpanan

ekstraseluler.

Pada

sel

prostat

manusia,

melatonin

menghambat sintesis cGMP dan DNA. Pengaturan kadar cGMP intraseluler


dengan kloning reseptor Mel1b dan Mel1c juga telah dilaporkan.13,28,34

2.4.3. Aktivitas Melatonin Intraseluler


Hormon kelenjar pineal juga mengikat dan mengaktifkan dua reseptor
nuklear disebut RZR/RORdan RZR(menurut nomenklatur terpadu dari
superfamili reseptor nuklir, masing-masing disebut NR1F1 dan NR1F2) di
rentang nanomolar rendah. Superfamili reseptor nuklir merupakan famili
sekitar 100 faktor transkripsi yang semuanya memiliki domain pengikatan
DNA

66-70

asam

amino

membentuk

dua

struktur.

Karakteristik

strukturreseptor nuklear dimana domain mengikat ligan carboxy-terminal


yang juga berisi dimerisasi dan subdomain transaktivasi. 28
RZR/ROR

danRZR

menunjukkan

perbedaan

pola

ekspresi

spaciotemporal yang mendukung bahwa kedua subtipe reseptor memiliki


fungsi berbeda terkait dengan mekanisme kontrol spesifik gen-sel dalam
proses biologis yang berbeda. Setidaknya satu dari empat isoform
RZR/ROR ditemukan di setiap jaringan, tetapi ekspresi tertinggi ditemukan
pada

limfosit

darah

perifer

(sel

B,

sel

T,

dan

neutrofil)dan

kulit.RZR/RORdijumpai selama embrio dan perkembangan otak postnatal


dalam sel purkinje dari cerebelum, bulbus olfaktorius, ganglia dorsal,
26

talamus dan hipokampus.Selain itu,upregulasi RZR/RORditemukan selama


diferensiasi embrio sel P19 menjadi neuron.Sebaliknya, RZR dinyatakan
hanya dalam retina dan otak, dengan ekspresi tertinggi di kelenjar pineal,
SCN, pars tuberalis dari hipofisis, hipotalamus dan sumsum tulang belakang.
Selama perkembangan embrio, ekspresi RZR dalam SCNdan di kelenjar
pineal,

ekspresi

RZRdiatur

oleh

cAMP

pada

irama

siang-

malam.Menariknya, model tikusRZR mempengaruhi ritme sirkadian.


Konsentrasi melatonin diperkirakan 5 kali lipat lebih tinggi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, mencapai konsentrasi rata-rata 1,4 nM yang
menunjukkan bahwa reseptor nuklear berperan penting pada anak-anak dan
dewasa.10,14,28
2.4.4. Ekspresi Gen dari Melatonin
Reseptor nuklear mengatur transkripsi gen melalui pengikatan urutan
DNA tertentu, yang disebut elemen respon, terletak di daerah promoter gen
target. Oleh karena itu, untuk setiap reseptor nuklear, karakteristik elemen
respon memberikan informasi penting. RZR/ROR danRZR memiliki sedikit
anggota dari superfamili reseptor nuklir yang mampu berikatan sebagai
monomer terhadap DNA. Hal itu memerlukan RGGTCA (R = A atau G)dan
urutan kaya A / T5'-berdampingan ke tempat ini; tertentu a T di posisi -1 dan
A di posisi -4 tampaknya penting. Secara teori, konsensus urutan untuk
RZREs harus ditemukan setiap 33 kB, yaitu sekitar satu dari sepuluh gen
rata-rata harus membawa RZRE. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa RZREs telah diidentifikasi pada berbagaidaerah promotor.Ternyata,
27

kandidat gen yang paling menarik adalah enzim proinflamasi 5-LO,sel-siklus


inhibitor p21WAF1 /CIP1dan BSP.14,28

Gambar 2.11. Sinyal melatonin.


Melatonin menunjukkan berbagai kerja molekul.
Hormon berikatan dengan reseptor membran afinitas tinggi dalam rentang pikomolar.
Mel1a dan Mel1b dan atau dalam rentang nanomolar ke reseptor RZR / ROR juga kalmodulin.
(Sumber: Gene Regulation by Melatonin)

Ekspresi gen N-acetyltransferase (NAT) diatur oleh SCN melalui


inervasi

-adrenergik

pineal,

meningkatkan

konsentrasi

cAMP

dan

mengaktifkan faktor transkripsi cAMP Respon-Element (CRE) mengikat


Protein (CREB). Promotor NAT memiliki beberapa CREs yang juga terikat
oleh komponen modulator famili CRE (CREM), seperti represor dominan
diinduksi represor awal cAMP (ICER). Pengaturan NAT diurnal tergantung
pada hubungan antara CREB dan ICER yang akhirnya menyebabkan
sintesis dan sekresi melatonin dalam kegelapan dan penghambatan pada
siang hari.14,28

2.5.

Peranan Melatonin dalam Kehidupan Fisiologis Manusia

28

Pada semua vertebra, melatonin dihasilkan dari kelenjar pineal


selama gelap dan bertindak sebagai pembawa hormon pada fotoperiod.
Pada mamalia, dua fungsi fisiologis penting pada hormon pineal berikut: 15,35,36
1. Pengaturan perubahan musim dalam berbagai aspek fisiologis dan
fungsi neuroendokrin. Aktivitas melatonin ini diproses dalam nuklei
hipotalamus dan pars tuberalis di hipofisis.
2. Melatonin bertindak sebagai ritme sirkadian dengan kerja langsung
jam biologi dalam SCN. Respon ini yang menyebabkan melatonin
cukup potensial dalam menangani gangguan ritme sirkadian yang
terjadi akibat jet-lag dan perubahan jam kerja, pada subjek yang buta
dan tempat patofisiologis pada sindrom fase tidur lanjutan/tertidur.
Tabel 2.3. Peranan melatonin terhadap fungsi biologis manusia.
(Sumber: Melatonin in Humans, 1997)

2.6.

Pengaruh Melatonin pada Maturasi Seksual dan Reproduksi

2.6.1. Pengaruh Pineal dan Melatonin terhadap Hormon Hipofisis

29

Dalam reproduksi manusia, peranan pineal secara fisiologis maupun


patologis semakin menarik karena hormon dan metabolit yang dihasilkannya
(melatonin dan aMT6S). Kerja melatonin melibatkan poros neuroendokrin
dan gonad. Melatonin yang dihasilkan pineal akan dibangkitkan ritmenya
oleh otak dan selanjutnya menerjemahkan isyarat tersebut menjadi respon
endokrin. Isyarat tersebut kemudian diterjemahkan oleh neuron yang
mengandung endorfin- menjadi gonadotropin. Pineal dengan melatoninnya
bukan

hanya

mengatur

reproduksi,

namun

juga

secara

fisiologis

menyesuaikan dengan perubahan musim lingkungan yang diperantarai


cahaya. Hubungan ini menimbulkan khasiat ganda terhadap aksis HPG pada
keadaan

fotoperiodik

yang

berlawanan,

masing-masing

disebut

antigonadotropik, antigonad dan penghambat gonad. Artinya, secara


fisiologis dalam kurun waktu setahun, pineal berfungsi untuk merangsang,
sementara di waktu lain menghambat organ reproduksi. Disebut sebagai
antigonadotropik karena menghambat gonadotropin hipofisis, sedangkan
sifat antigonad ditujukan terhadap ovarium. Keadaan tanpa cahaya diketahui
merangsang pineal dan membuatnya sangat antigonadotropik. Dalam hal ini
kadar HIOMT sangat berhubungan dengan kapasitas antigonad. Melatonin
bersifat anti LH karena mempengaruhi pelepasan LH dari aksis hipotalamushipofisis dengan menghambat pusat tonik di hipotalamus, sedangkan di
hipofisis menghambat sintesis, pelepasan ataupun keduanya. Amplitudo dan
frekuensi sekresi LH pulsatile merupakan proses dibawah kontrol melatonin,
secara langsung atau dari efek LHRH.5,15,37-39
30

Meskipun bersifat sugestif, namun tidak dijumpai bukti definitif akan


peranan pineal pada manusia. Perubahan gonad berkaitan dengan
melatonin yang diperantarai oleh hipotalamus dan mendukung penekanan
sekresi GnRH pulsatil dan fungsi reproduksi. Selain itu, pineal dapat
mengganggu fungsi gonad normal. Hipotesis ini ditantang oleh seorang
perempuan dengan usia menarche yang lebih awal dari normal. Dari waktu
ke waktu kadar melatonin plasma menurun, tetapi fungsi normal hipofisisgonad berkembang.5
Aktivitas pineal dapat dilihat dari keseimbangan antara hormon dan
pengaruh yang diperantarai neuron. Pineal memilki reseptor untuk hormon
seks aktif, estradiol, testosteron, dihdyrotestosteron, progesteron dan
prolaktin. Selanjutnya, pineal mengubah testosteron dan progesteron ke
metabolit 5-reduced, serta androgen diaromatisasi ke estrogen. Hal ini
tampak unik karena adanya neurotransmiter katekolamin (norepinefrin),
berinteraksi dengan reseptor membran sel, merangsang sintesis estrogen
seluler dan reseptor androgen.5
Woo et al menyatakan bahwa melatonin mempengaruhi fungsi
reproduksi wanita dimana kadar tinggi melatonin menyebabkan amenorea,
pengurangan sekresi gonadotropin dan sekresi prolaktin pada respon
fotoperiod. Studi lainnya menunjukkan adanya hubungan melatonin dan
prolaktin. Konsentrasi melatonin diurnal berkorelasi positif dengan prolaktin,
kenaikan nokturnal dan penurunan kadar prolaktin pagi hari sejalan dengan

31

perubahan kadar melatonin, juga pemberian melatonin merangsang sekresi


prolaktin.14,40

2.6.2. Pengaruh Melatonin pada Maturasi Seksual


Interaksi melatonin dengan sistem neuroendokrin terjadi sewaktu
pubertas.

Beberapa

studi

menunjukkan

melatonin

penting

pada

perkembangan pubertas normal. Pubertas prekoks atau pubertas terlambat


sering berkaitan dengan kadar melatonin abnormal. Walaupun belum ada
data yang menunjukkan peranan melatonin dalam pubertas, mungkin
perbedaan konsentrasi melatonin dalam perubahan sekresi gonadotropin
atau mekanisme sekresi GnRH pulsatil dapat mempengaruhi maturasi
seksual.9,41
Heubner et alpada 100 tahun lalu mengamati pengaruh kelenjar
pineal terhadap pubertas dari seorang laki-laki usia 4,5 tahun yang
menderita tumor pineal dengan pubertas prekoks melalui sekresi produknya
mempengaruhi maturasi seksual. Hal tersebut dapat diterima bahwa kelenjar
pineal mempengaruhi perkembangan pubertas melalui kadar melatonin dan
mendukung hipotesis bahwa melatonin sebagai antigonad pada manusia.
Artinya, defisiensi melatonin dapat mengaktivasi fungsi gonad-hipofisis.
Lebih lanjut disimpulkan bahwa penurunan sekresi nokturnal menjadi salah
satu faktor yang mendasari permulaan pubertas.9,41
Jika melatonin menghambat aktivitas generator pulsatil GnRH
hipotalamus (domba betina) atau mengurangi respon kelenjar hipofisis
32

terhadap perangsangan GnRH (tikus neonatus) saat permulaan pubertas,


pada manusia mungkin terkait dengan penurunan sekresi melatonin sewaktu
pertumbuhan anak. Tidak ada data yang mendukung studi pada manusia
untuk mekanisme ini, sehingga beberapa anak dengan pubertas prekoks
memiliki nilai melatonin yang rendah seusia mereka. Studi lain melaporkan
laki-laki dengan hipogonadotropik hipogonadisme, pubertas terlambat dan
tingginya konsentrasi melatonin serum, dimana sekresi gonadotropin
meningkat dan pubertas berkembang setelah penurunan sekresi melatonin.
Perlu diketahui, bahwa tidak semua peneliti dari beberapa studi mempunyai
kesimpulan

yang

sama,

karena

itu

diperlukan

studi

longitudinal

selanjutnya.20,41-43
Gupta et al menyimpulkan ketika laki-laki mengalami pubertas,
kenaikan konsentrasi LH terjadi bersamaan dengan sekresi melatonin.
Selama interval terkait dengan maturasi aksis neuroendokrin, secara
mendasar kadar melatonin nokturnal berkurang. Oleh karena efek
penekanan melatonin pada fisiologi reproduksi yang menurun bersamaan
dengan fase perkembangan, tidak menghambat generator pulsatil GnRH dan
akhirnya melepaskan FSH dan LH serta pertumbuhan organ reproduksi
perifer. Secara keseluruhan, kadar melatonin malam hari atau metabolit di
urin diamati pada berbagai tahap Tanner, keduanya dilaporkan menurun
antara tahap Tanner 1 dan 5. Sementara hubungan ini tidak membuktikan
hubungan kausa melatonin dan pubertas, temuan bersifat sugestif. Apakah
berkurangnya melatonin darah hanya akibat sekresi pineal berhubungan
33

dengan peningkatan berat badan atau apakah sebenarnya mewakili


penurunan aktivitas biosintesis kelenjar pineal manusia selama pubertas
masih diperdebatkan; data terakhir menyebutkan faktor-faktor tersebut
mungkin karena penurunan kadar melatonin terkait pubertas. 20,41
Suatu kasus yang dilaporkan seorang laki-laki usia 30 tahun belum
mengalami pubertas dan memiliki kadar hormon melatonin yang sangat
tinggi saat pengukuran. Hal terpenting adalah pada periode 7 tahun, selama
kadar melatonin nokturnal menurun ke nilai normal dewasa, subjek
mengalami maturasi seksual. Sementara sugestif, laporan ini bukan
merupakan bukti bahwa penurunan melatonin menyebabkan maturasi
seksual, meskipun kejadian ini terjadi bersamaan. 41
Tumor pineal yang dijumpai pada pria dan sering terjadi sebelum atau
saat pubertas, mungkin mendorong atau menunda perkembangan seksual.
Hal tersebut diasumsikan bahwa pubertas prekoks akibat tumor pineal terjadi
karena individu menjalani pinealektomi oleh tumor karena kadar melatonin
berkurang, sedangkan pubertas terlambat akibat tumor di pinealosit yang
menyebabkan sekresi melatonin meningkat. Namun demikian, tidak ada
dukungan klinis untuk pernyataan ini, karena baik peningkatan atau
penurunan kadar melatonin pernah diukur pada berbagai jenis tumor pineal.
Selain itu, kadar melatonin serum meningkat pada wanita dengan amenorea
hipotalamik, amenorea sekunder dan anoreksia nervosa. 41-44
Mekanisme yang tepat untuk mengontrol permulaan pubertas tidak
dipahami sepenuhnya. Kemungkinan melatonin, sejak adanya penurunan
34

konsentrasi nokturnal dari hormon tertentu sebelum dan setelah pubertas.


Dengan demikian, ada hipotesis menyatakan kadar melatonin yang tinggi
menghambat fungsi hipotalamus pada manusia. Perubahan gonad terkait
melatonin melalui hipotalamus dan menekan sekresi GnRH pulsatil. 4,5,15,44,45

2.7.

Kerangka Teori
Sinyal Lingkungan Eksternal
Fotoperiod

Hipotalamus
Suprachiasmatic Nucleus
Generator Pulsatil GnRH

GnRH

Hipofisis

Pineal

Melatonin

FSH

LH

Ovarium

35

Inhibin

Estradiol

Maturasi seksual :
- Telarche
- Pubarche
- Menarche

2.8. Kerangka Konsep

BELUM MENARCHE

MELATONIN
SALIVA

MENARCHE

Ket:
Variabel tergantung
Variabel bebas

36

2.9.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan literatur tersebut maka didapatkan hipotesis pada

penelitian ini adalah: terdapat hubungan antara kadar melatonin dengan


kejadian menarche pada remaja usia 12-14 tahun.

37

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan

rancangan potong lintang.

3.2.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dimulai bulan April 2016 hingga jumlah sampel

terpenuhi. Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Medan.


Pemeriksaan kadar melatonin saliva dilakukan di Laboratorium Terpadu FK
USU.

3.3.

Populasi Penelitian
38

3.3.1. Populasi Target


Populasi target adalah remaja usia 12-14 tahun yang belum menarche
dan telah menarche.
3.3.2. Populasi Terjangkau
Remaja usia 12-14 tahun.

3.4.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi


a. Remaja usia 12-14 tahun yang belum menarche dan telah
menarche.
b. Bersedia

ikut

dalam

menandatanganiformulir

penelitian
kesediaan

dan
dan

telah

memenuhi

persyaratan untuk diteliti.


3.4.2. Kriteria Eksklusi
a. Menderita gangguan tidur.
b. Mengalami gangguan kejiwaan.

3.5.

Sampel dan Besar sampel


Objek penelitian pada penelitian ini adalah remaja usia 12-14tahun

dan diperiksakan kadar melatonin, apakah ada perbedaan pada yang belum
menarche dan telah menarche.
39

Metode sampling digunakan consecutive sampling, untuk besar


sampel digunakan rumus besar sampel dengan variable numerik 2 kelompok
tidak berpasangan.
Rumusnya:
n1=n2=2(Z+ Z) SD

x1-x2
Keterangan:
n1=n2 =Besar sampel minimal
Z= Derifat baku alfa, kesalahan tipe I sebesar 5 %, hipotesisdua arah
= 1,96
Z

=Derifat baku beta, power penelitian sebesar 80 %,hipotesis


dua arah = 0,84

SD= Standar deviasi (dari kepustakaan)= 83 pg/mL


x1-x2= Selisih kadar yang dianggap bermakna (ditetapkan peneliti)
= 80 pg/mL
Didapatkan nilai n1= n2 = 16,8 jadi total sampel minimal n =34 remaja

3.6.

Bahan dan Cara Kerja Penelitian

3.6.1 Anamnese
Semua peserta yang ikut dalam penelitian ini dilakukan wawancara
dan dicatat dalam status penelitian meliputi: usia, indeks massa tubuh, apa
telah mengalami menarche (bila sudah, kapan menstruasi pertama kali),
apakah memiliki riwayat gangguan tidur dan penggunaan obat tidur dan
apakah ada mengalami gangguan hormonal.
40

3.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah, berat badan dan
tinggi badan.

3.6.3. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan

laboratorium

dilakukan

dengan

mengukur

kadar

melatonin saliva pukul 02.00-04.00 a.m.

3.7.

Etika Penelitian
Untuk izin penelitian, persetujuannya diperoleh dari subyek penelitian

dan Komite Etik FK-USU yang akan melakukan penilaian kelayakan proposal
penelitian.

3.8.

Alur Penelitian
Remaja usia 12-14 tahun
Subyek harus memenuhi
kriteria Inklusi

Proses perekrutan
sampel dengan
Pedoman data.

Pemeriksaan kadar
melatonin saliva

Analisis data

41

Data di analisa secara deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi dari


karakteristik, nilai mean, standar deviasi dan data numerik.
Untuk analisis dilakukan uji t independen untuk mengetahui
perbedaan kadar kelompok subjek penelitian dan uji korelasi spearman
untuk mengetahui korelasi kadar melatonin dengan usia remaja yang telah
menarche.

3.9. Definisi Operasional

Menarche
a. Definisi: masa perubahan menuju pubertas yang ditandai
dengan timbulnya haid pertama kali sebagai salah satu tanda
maturasi seksual.
b. Cara ukur: anamnesa.
c. Alat ukur: usia 12-14tahun yang belum menarche dengan yang

telah menarche.
Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung sebagai berat badan dalam
satuan kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam satuan meter
dikuadratkan (m2). Klasifikasi IMTberdasarkan kriteria WHO untuk

regio Asia-Pasifik tahun 2000 adalah sebagai berikut:


Underweight
: < 18,5
Normal Range
: 18,5 22,9
Overweight at risk : 23 24,9
Obese I
: 25 29,9
Obese II
: >30
Melatonin adalah suatu hormon peptida dan prototip dari senyawa
metoksi-indol. Hormon ini merupakan produk utama dan hormon
42

pineal yang paling aktif yang memungkinkan kelenjar pineal menjadi


organ neuroendokrin aktif yang merespon cahaya dan rangsangan
hormonal serta menunjukkan ritme sirkadian. Adapun salah satu
pengaruh dari melatonin sebagai maturasi seksual dan reproduksi

yang ditandai dengan terjadinya menarche.


Kadar melatonin
Definisi: konsentrasi hormon melatonin dari saliva yang diambil pada
pukul 02.0004.00 a.m.

43

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.

Tabel karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia dan indeks


massa tubuh.

Karakteristik
Usia

IMT

4.2.

Belum menarche
n
%

Sudah menarche
n
%

12 tahun
13 tahun
14 tahun
Underweight
Normoweight
Overweight
Obese

Tabel perbedaan kadar melatonin berdasarkan usia subjek


penelitian.

Kelompok
penelitian
12 tahun
13 tahun
14 tahun

4.3.

Mean

SD

Kadar melatonin
Min-max

Nilai p

Tabel perbedaan kadar melatonin remaja yang belum menarche


dan yang sudah menarche.

Kelompok
penelitian

Mean

Kadar melatonin
SD
Min-max

Nilai p
44

Belum menarche
Sudah menarche
4.4.

Tabel perbedaan kadar melatonin berdasarkan IMT subjek


penelitian.

Kelompok
penelitian
Underweight
Normoweight
Overweight
Obese

Mean

Kadar melatonin
SD
Min-max

Nilai p

45

DAFTAR PUSTAKA
1. Boswell HB. Normal Pubertal Physiology in Females. Dalam: Dietrich
JE, editor. Female Puberty: A Comphrensive Guide for Clinicians. New
York: Springer Science+Business; 2014. H. 7-26.
2. Speroff L, Fritz MA. Abnormal Puberty and Growth Problems. Dalam:
Speroff L, Fritz MA, editor. Clinical Gynecology Endocrinology and
Infertility. Ed. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. H.
361-371.
3. Bose K. Concept of Human Physical Growth and Development. H. 1018.
4. Melatonin, the Pineal Gland and Circadian Rhythms; an Introduction.
H. 3-52.
5. Speroff L, Fritz MA. Neuroendocrinology. Dalam: Speroff L, Fritz MA,
editor. Clinical Gynecology Endocrinology and Infertility. Ed. 7.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. H. 176-177.
6. Yonei Y, Hattori A, Tsutsui K, et al. Effects of Melatonin: Basic Studies
and Clinical Applications. Anti Aging Medicine 2010;7:85-91.
7. Claustrat B, Brun J, Chazot G. The Basic Physiology and
Pathophysiology of Melatonin. Sleep Medicine Reviews 2005;9:11-24.
8. Cagnacci A. Melatonin in Relation to Physiology in Adult Humans. J
Pineal Rez 1996;21:200-213.
9. Brzezinski A. Melatonin in Humans. The New England Journal of
Medicine 1997;336:186-195.
10. Reiter RJ, Tan DX, Fuentes-Bruto L. Melatonin: A Multitasking
Molecule. Progress in Brain Research 2010;181:127-151.

46

11. Gall VC, Stehle JH, Weaver DR. Mammalian Melatonin Receptors:
Molecular Biology and Signal Transduction. Cell Tissue Res
2002;309:151-162.
12. Reppert M. Melatonin Receptors: Molecular Biology of a New Family
of G Protein-Coupled Receptors. Journal of Biological Rhytms
1997;12:528-531.
13. Zawilska JB, Skene DJ, Arendt J. Physiology and Pharmacology of
Melatonin in Relation to Biological Rhytms. Pharmacological Reports
2009;61:383-410.
14. Karasek M, Winczyk K. Melatonin in Humans. Department of
Neuroendocrinology; 2006.
15. Jacoeb TZ. Endokrinologi
Winkjosastro

H,

Saifuddin

Reproduksi
AB,

pada

Rachimhadhi

Wanita.
T,

Dalam:

editor.

Ilmu

Kandungan. Ed. 2. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;


2009. H. 44-54.
16. Mundy LK, Simmons JG, Allen NB, et al. Study Protocol: the
Childhood to Adolescence Transition Study. Bio Med Central
2013;13:160.
17. Adolescent Physical Development. Dalam: Developing Adolescents: A
Reference for Professionals. Washington: American Psychological
Association.
18. Stang J, Story M. Adolescent Growth and Development. Dalam: Stang
J, Story M, editor. Guidelines for Adolescent Nutrition Services; 2005.
H. 1-7.
19. Jacoeb TZ. Gangguan pada Masa Bayi, Kanak-kanak, Pubertas,
Klimakterium dan Senium Dalam: Winkjosastro H, Saifuddin AB,

47

Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Ed. 2. Jakarta: Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo; 2009. H. 236-237.
20. Luboshitzky R, Lavie P. Melatonin

and

Sex

Hormone

Interrelationships-A Review. Journal of Pediatric Endocrinology and


Metabolism 1999;12:355-362.
21. Zhdanova IV, Wurtman RJ. The Pineal Hormone (Melatonin). Dalam:
Melmed S, Conn PM, editor. Endocrinology: Basic and Clinical
Principles. Ed. 2. Totowa: Humana Press Inc. H. 256-265.
22. Macchi MM, Bruce JN. Human Pineal Physiology and Functional
Significance

of

Melatonin.

Frontiers

in

Neuroendocrinology

2004;25:177-195.
23. Comprehensive Melatonine Profile Application Guide. Dalam: Genova
Diagnostics; 2004.
24. Grivas TB, Savvidou OD. Melatonin the light of night in Human
Biology and Adolescent Idiopathic Scoliosis. Bio Med Central
2007;2:1-14.
25. Karasek M. Melatonin, Human Aging and Age-Related Diseases.
Experimental Gerontology 2004;39:1723-1729.
26. Wurtman R. Physiology and Clinical use of Melatonin. Up to Date
2009;20:1-4.
27. Vakkuri O. Melatonin The Hormone of Darkness. Physiology and
Maintenance 2005;3:1-5.
28. Carlberg C. Gene Regulation by Melatonin. Annals New York of
Sciences:387-395.
29. Eduardo AA, Paolo DM, Tatsuo H, et al. Measurement of Melatonin in
Body Fluids: Standards, Protocols and Procedures. Publicado en
Childs Nervous System 2011;27:1-15.
30. Benloucif S, Burgess HJ, Klerman EB. Measuring Melatonin in
Humans. Journal of Clinical Sleep Medicine 2008;4:66-69.
48

31. Dubocovich

M,

Markowska

M.

Functional

MT 1

andMT2

MelatoninReceptors in Mamals. Endocrine 2005;27:101-110.


32. Arendt J. Melatonin: Characteristics, Concerns, and Prospects.
Journal of Biological Rhythms 2005;20:291-303.
33. Pandi-Perumal SR, Srinivasan V, Maestroni GJM, et al. Melatonin:
Natures

most

Versatile

Biological

Signal.

FEBS

Journal

2006;273:2813-2838.
34. Masana MI, Dubocovich L. Melatonin Receptor Signaling: Finding the
Path Through the Dark. Sciences STKE 2001:1-5.
35. Cajochen C, Krauchi A, Justice W. Role of Melatonin in the Regulation
of Human Circadian Rhytms and Sleep 2003;15:432-437.
36. Reiter RJ, Tan DX, Manchester LC, et al. Melatonin and Reproduction
Revisited. Biology of Reproduction 2009;81:445-456.
37. Aleandri V, Spina V, Morini A. The Pineal Gland and Reproduction.
Human Reproduction Update 1996;2:225-235.
38. Webb SM, Domingo MP. Role of Melatonin in Health and Diseases.
Clinical Endocrinology 1995;42:221-234.
39. Srinivisan V, Spence WD, Pandi-Perumal SR, et al. Melatonin and
Human Reproduction: Shedding Light on the Darkness Hormone.
Gynecological Endocrinology 2.
40. Tenorio F, Simoes MJ, Teixeira VW, et al. Effects of melatonin and
Prolactin in Reproduction: Review of Literature. Rev Assoc Med Bras
2015;61:269-274.
41. Reiter RJ. Melatonin

and

Human

Reproduction.

Ann

Med

1998;30:103-108.
42. Ebling FJP, Foster DI. Pineal Melatonin Rhytms and the timing of
Puberty in Mammals. Exporientia 1999;45:946-948.
43. Rojansky N, Brzezinski A, Schenker JG. Seasonality in Human
Reproduction: an Update. Human Reproduction 1992;7:735-745.
49

44. Cavallo A. The Pineal Gland in Human Beings: Relevance to


Pediatrics. The Journal of Pediatrics 1993;123:843-848.
45. Lampiao F, Plessis SSD. New Developments of the Effect of
Melatonin on Reproduction. World J Obstet Gynecol 2013;10:15-22.

50

Anda mungkin juga menyukai