Tugas Jumat

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

Definisi

Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka


dinding perut dan dinding uterus untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Emir,2011).

Sejarah
Istilah sectio caesarea dihubungkan ke pendeta Jesuit Theophilus Raynaudus di
abad ke tujuh belas (1637) yang memperbaharuinya untuk kemudian menggantikan
pengucapannya dalam penggunaannya, partus caesareus dan persalinan seksio, yang
rupa-rupanya untuk tujuan psikologik. Kata caesar maupun kaiser Jerman, menurut Pliny
berasal dari caedere, memintas karena kaisar pertama memintasi badan ibunya (Martius,
1997).
Teori kedua adalah bahwa nama operasi ini berasal dari hukum Romawi, konon
dibuat pada abad ke-8 SM oleh Numa Pompilius, memerintahkan bahwa prosedur bedah
dalam melahirkan anak dilakukan pada perempuan yang telah meninggal dalam beberapa
minggu terakhir kehamilan dengan harapan dapat menyelamatkan sang anak. Hukum ini
dibuat oleh ini raja Romawi sat itu, Lex Regia, yang kemudian dikenal menjadi lex caesarea,
dan operasi itu sendiri dikenal sebagai operasi caesar. Penjelasan ketiga adalah bahwa kata ini
muncul pada abad pertengahan , yang berasal dari caedere , kata kerja latin, yang berarti
untuk memotong. Penjelasan ini tampaknya adalah yang paling logis. Di Amerika Serikat,
huruf ae di suku kata pertama caesar diganti dengan huruf e. Di Inggris, Australia, dan
sebagian besar negara persemakmuran, huruf ae ini tetap dipertahankan (Emir,2011).
Jenis jenis operasi sectio caesarea
1. Sectio caesarea transperitonealis
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri 10 cm.
a. Kelebihan :
Mengeluarkan janin dengan cepat
Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distalb.
b. Kekurangan
Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis

yang baik
Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan

2. SC ismika atau profundal


Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim
(low servical transversal) kira-kira 10 cm.

Kelebihan :
penjahitan luka lebih mudah
Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi
uterus ke rongga peritoneum
Perdarahan tidak begitu banyak
Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga
menyebabkan

uteri

uterine

pecah

sehingga

dapat

mengakibatkan perdarahan

banyak
Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

Epidemiologi
Sectio Caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada
dinding abdomen dan uterus. Akan tetapi, persalinan melalui Sectio Caesaria bukanlah
alternatif yang lebih aman karena di perlukan pengawasan khusus terhadap indikasi di
lakukannya Sectio Caesaria maupun perawatan ibu setelah tindakan Sectio Caesaria, karena
tanpa pengawasan yang baik dan cermat akan berdampak pada kematian ibu (Wiknjosastro,
2005).
Sekitar 15% persalinan di seluruh dunia dilakukan melalui seksio sesarea. Amerika
latin dan Caribbean memiliki angka seksio sesarea tertinggi (29,2%), dan Afrika memiliki
angka terendah (3.5%). Di negara-negara berkembang, proporsi seksio sesarea sebesar
21.1%, sedangkan di negara yang kurang berkembang hanya sebesar 2% kelahiran dilakukan
melalui seksio sesarea. Analisis menunjukkan perbandingan terbalik antara angka kejadian
seksio sesarea dengan mortalitas maternal, anak, dan neonatus di negara-negara dengan
tingkat mortalitas tinggi (Betran , 2007).

Indikasi

Persalinan sesar dibutuhkan ketika kehamilan tidak aman baik bagi ibu maupun bagi
janinnya, ketika persalinan tak dapat diinduksi, ketika persalinan per vaginam gagal, dan
ketika keadaan gawat yang mengharuskan persalinan segera dilakukan. Banyak indikasi yang
diterima, namun sejumlah penyebab bersifat subjektif atau selektif diaplikasikan pada
individu dan penyebab lainnya masih controversial. Mayoritas seksio sesaria dilakukan atas
dasar indikasi janin, beberapa dari indikasi maternal, dan banyak keuntungan diperoleh untuk
janin dan ibunya. Sesaria yang berulang sekarang terhitung 35% di USA. Distosia, distress
fetal, bokong, dan kondisi obstetric lainnya merupakan indikasi bagi sebagian besar kasus
seksio sesaria (Gibbs, et al. 2008).
Berikut ini merupakan tabel tentang indikasi kelahiran dengan bedah sesar (absolut
maupun relatif) (Norwitz, Schorge. 2007)
INDIKASI KELAHIRAN DENGAN BEDAH SESAR
Absolut
Relatif
Ibu
Induksi persalinan yang gagal
Bedah sesar elektif berulang
Proses persalinan tidak maju Penyakit ibu (pre-eklamsia berat,
(distosia persalinan)
Disproporsi sefalopelfik

penyakit jantung, diabetes, kanker

serviks)
Uteroplasent Bedah uterus sebelumnya (sesar Riwayat bedah uterus sebelumnya
a

Janin

klasik)
(miomektomi dengan ketebalan
Riwayat ruptur uterus
penuh)
Obstruksi jalan lahir (fibroid)
Presentasi funik (tali pusat) pada
Plasenta previa, abruptio plasenta
saat persalinan.
berukuran besar
Gawat janin/hasil pemeriksaan Malpresentasi janin (sungssang,
janin yang tidak meyakinkan
presentasi
alis,
presentasi
Prolaps tali pusat
gabungan)
Malpresentasi
janin
(posisi Makrosomia
Kelainan janin (hidrosefalus)
melintang)

Kontra Indikasi seksio sesarea :

Status maternal yang kurang baik (misalnya penyakit paru-paru berat) sehingga
operasi dapat membahayakan keselamatan ibu. Pada situasi yang sulit seperti itu,
tentukan keputusan bersama keluarga melalui pertemuan multidisiplin(Gibbs, et al.
2008).

Seksio sesarea dapat tidak direkomendasikan jika fetus memiliki abnormalitas


kariotipik yang diketahui (trisomy 13 atau 18) atau anomaly kongenital yang dapat
menyebabkan kematian (anencephali) (Gibbs, et al. 2008).

Teknik Pelaksanaan Seksio Caesarea


1. Insisi Abdominal
Biasanya digunakan baik pada insisi vertical di titik tengah atau insisi transversal
suprapubis. Hanya pada keadaan yang membutuhkan paramedis atau medial transversal
teknik ini bisa dikerjakan (Cunningham, 2005).
2. Insisi Vertikal
Insisi vertical pada garis tengan merupakan cara tercepat untuk melakukan irisan.
Insisi haruslah memiliki panjang yang adekuat untuk memungkinkan persalinan terutama
yng bisa dilewati kepala bayi tanpa ada kesulitan. Oleh karen itu, penting untuk
memperkirakan ukuran kepala bayi. Diseksi tajam digunakan untuk merobek lapisan
pelindung otot rektus, yang bebas dai lemak subkutan untuk memaparkan sepoting fascia
pada garis tengah sekitar 2 cm. Beberapa ahli bedah lebih suka menginsisi selaput rektus
dengan skalpel melalui insisi panjang fascia. Yang lainnya lebih suka membuat bukaan
kecil dan mereka akan menginsisi lapisan fascia dengan gunting. Otot rektus dan
piramidalis dipisahkan pada garis tengah oleh sayatan tajam dan diseksi tumpul untuk
membuka fascia transversalis dan peritoneum (Cunningham, 2005).
Fascia transversalis dan lemak preperitoneal dipotong secara hati-hati untuk mencapai
peritoneum. Peritoneum berada dekat bagian atas akhir insisi dibuka secara hati-hati, atau
secara tumpul, atau dengan mengelevasikannya dengan dua hemostat ditempatkan sekitar
2 cm terpisah. Lipatan peritoneum antara apitan dievaluasi dan dipalpasi untuk
meyakinkan posisi omentum, usus, atau kandung kemih agar tidak berdekatan. Pada
wanita yang memiliki riwayat pembedahan intraabdominal, termasuk persalinan sesar,
omentum atau usus bisa melekat pada permukaan bawah peritoneum. Peritoneum diinsisi
secara superior ke polus atas bagian insisi dan ke bawah di atas refleksi peritoneal the
peritoneal dab berakhir di kandung kemih (Cunningham, 2005).
3. Insisi Transversal

Dengan modifikasi insisi Pfannenstiel, jaringan kulit dan subkutan diiris melalui
transversal bagian bawah, insisi kurvalinier. Insisi akan membuat posisi batas rambut
pubis dan memperluas batas lateral otot rektus. Setelah jaringan subkutan terpisah dari
fascia yang melekat sekitar 1 cm dan sama pada tiap sisinya, fascia dinsisi secara
transversal panjang total insisi. Secara sekuen, pertama bagian superior dan selanjutnya
sisi inferior fascia dipegang dengan kelm yang cocok dan diangkat oleh asisten sementara
operator memisahkan lapisan fascia dari otot rektus baik secara tumpul maupun tajam.
Pembuluh darah berjalan di antara otot dan fascia diklem, dipotong dan diligasi, atau bisa
menggunakan elektrokauter. Pada insisi ini, otot rektus dibagi secara tajam atau dengan
elektrokauter. Insisi juga berguna khususnya

pada wanita dengan

riwayat insisi

transversal sebelumnya. Hemostasis meticulous sangat dibutuhkan. Pemisahan fascia


dibawa dekat dengan umbilikus untuk memungkinkan insisi longitudinal garis tengah
peritoneum. Otot rektus kemudian dipisahkan pada garis tengahnya untuk membuka
peritoneum (Cunningham, 2005).
Keuntungan kosmetik insisi kulit secara transversal jelas terlihat. Tetapi perlu diingat
beberapa kerugian yang juga perlu dipertimbangkan. Paparan pada beberapa wanita tidak
seoptimal insisi vertical, yang belakangan dutemukan bisa lebih mudah untuk
memperluas paparan-dimana kerugian utama bagi wanita adalah obesitas. Dengan adanya
persalinan sesar yang berulang, insisi Pfannenstiel biasanya lebih banyak dipakai dan
agak sulit dikarenakan oleh lukanya (Cunningham, 2005).
4. Insisi Uterus
Sebagian besar keseringan insisi dibuat pada segmen bawah uterus secara transversal.
Adakalanya, insisi vertical pada segmen bawah juga digunakan. Disebut juga insisi klasik
yang merupakan insisi vertical ke korpus uterus di atas segmen uterus bawah dan
mencapai fundus uteri. Insisi ini jarang digunakan sekarang. Bagi sebagian besar operator
sesar, insisi transversal merupakan pilihan yang lebih baik. Keuntungannya adalah (1)
mudah disembuhkan, (2) bertempat pada sisi uterus yang kemungkinan terjadinya rupture
uteri paling kecil dan (3) tidak menimbulkan perlekatan usus atau omentum pada garis
insisi. Jika presentasi janin bukan vertex, jika janin gemeli, atau jika janin imatur dan ibu
belum juga melahirkan, insisi vertical pada segmen bawah atau bahkan insisi klasik
mungkin lebih menguntungkan (Cunningham, 2005).

5. Tekhnik Insisi Pada Transversal Caesarea


Umumnya, uterus dijumpai mengadakan dekstrorotasi sehingga ligamentum teres
uteri kiri lebih anterior dan lebih dekat ke garis tengah daripada yang kanan. Pada
mekonium yang kental atau
cairan

amnion

terinfeksi,

sebagian operator meletakkan


tampon laparotomi yang telah
dibasahi

di

cekungan

peritoneum

untuk

masing-masing

menyerap

lateral

cairan

dan

darah yang keluar dari uterus


yang terbuka. Biasanya lipatan
peritoneum yang agak longgar
di atas batas atas kandung kemih
dan menutupi bagian anterior
segmen bawah uterus dijepit di
garis tengah dengan forseps dan
disayat dengan skalpel atau gunting. Gunting diselipkan di antara serosa dan
miometrium segmen bawah uterus dan didorong ke lateral dari garis tengah, sembari
membuka mata gunting secara parsial dan intermiten, untuk memisahkan pita serosa
selebar 2 cm, yang kemudian diinsisi. Menjelang batas lateral di kedua sisi, gunting
sedikit diarahkan lebih ke arah cranial. Lapisan bawah peritoneum diangkat dan
kandung kemih dipisahkan secara tumpul atau tajam dari miometrium di bawahnya.
Secara umum, pembebasan kandung kemih jangan melebihi 5 cm kedalamannya dan
biasanya lebih sedikit. Terutama pada serviks yang sudah mendatar dan membuka,
pembebasan ke arah bawah dapat terjadi sedemikian dalam sehingga secara tidak
sengaja yang terpajan dan dimasuki adalah vagina bukan segmen bawah uterus
(Cunningham, 2005).

Uterus dibuka melalui segmen bawah sekitar 1 cm di bawah batas atas lipatan
peritoneum. Insisi uterus perlu dibuat relatif tinggi pada wanita dengan pembukaan
serviks yang besar atau lengkap agar kemungkinan perluasan insisi ke lateral menuju
arteri uterina berkurang. Insisi uterus dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Semuanya
dimulai dengan menyayat segmen bawah uterus yang terpajan menggunakan skalpel
secara melintang sepanjang sekitar 1 sampai 2 cm separuh jalan antara kedua a. uterina.
Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati sehingga sayatan memotong seluruh
ketebalan dinding uterus tetapi tidak cukup dalam untuk melukai janin di bawahnya.
Pembukaan otot uterus secara tumpul dengan klem mungkin bermanfaat. Apabila uterus
telah terbuka, insisi dapat diperluas dengan memotong ke lateral dan kemudian sedikit ke
atas dengan gunting perban. Cara lain, apabila segmen bawah, uterus tipis, insisi masuk
dapat diperluas hanya dengan tekanan ke lateral dan atas menggunakan kedua jari
telunjuk. Rodriguez dkk. (1994) memperlihatkan bahwa perluasan secara tumpul dan
tajam terhadap insisi awal uterus setara dalam aspek keamanan dan penyulit pascaoperasi.
Insisi uterus harus dibuat cukup lebar agar kepala dan badan janin dapat lahir tanpa
merobek atau harus memotong arteri dan vena uterina yang berjalan sepanjang batas
lateral uterus. Apabila ditemukan plasenta di garis insisi, plasenta tersebut harus
dilepaskan atau diinsisi. Apabila plasenta tersayat, perdarahan janin dapat parah sehingga,
pada kasus semacam ini, tali pusat harus secepatnya diklem (Cunningham, 2005).

Teknik Anestesi
1. Anestesia Lokal untuk Seksio Sesarea
Anestesia lokal merupakan alternatif yang aman dan dilakukan jika fasilitas anestesia
lain tidak ada. Keuntungan analgesia lokal adalah penderita tetap sadar, sehingga
refleks jalan napas tetap terpelihara. Muntah dan aspirasi bukan aspek yang terlalu
membahayakan pada teknik ini. Pengaruh obat yang mendepresi bayi dapat dicegah.
Obat analgetika lokal seperti (bupivakain) markain tidak terlalu toksik untuk janin
(Saifuddin AB, 2010).
Analgesia lokal memerlukan pengalaman dan keterampilan tersendiri supaya
dapat dilakukan dengan aman. Tindakan ini memerlukan waktu banyak, karena itu
tidak begitu tepat digunakan untuk keadaan darurat seperti gawat janin akut, tali
pusat menumbung, ruptura uteri membakat, dan perdarahan antepartum yang
hebat(Saifuddin AB, 2010).
INDIKASI
Seksio sesarea (terutama bagi
pasien dengan gagal jantung)

PERINGATAN
Jangan digunakan untuk pasien dengan
eklamsia, preeklamsia berat, atau sebelum
laparotomi

Jangan digunakan untuk pasien gemuk, atau

alergi terhadap lidokain


Jangan digunakan jika ahli bedah tidak

berpengalaman
Jangan menyuntik ke dalam pembuluh darah
Indikasi dan peringatan dalam anestesi lokal pada seksio sesarea.
Analgesia spinal lebih cepat dapat dilakukan, efek analgesia lebih nyata, cepat dan kuat,
tetapi efek samping hipotensi lebih cepat terjadi dan lebih berat dibandingkan analgesia
epidural. Analgesia epidural mempunyai keuntungan untuk mengontrol tinggi analgesia,
dengan memasukkan analgetika lokal ke dalam kateter epidural (Saifuddin AB, 2010).
Pemilihan analgetika lokal

Analgesia spinal. Obat analgetika lokal yang sering dipergunakan lalah lidokain 5%
(50-75 mg) dengan masa kerjanya 60-150 menit, bupivakain 0,5% (1520 mg) dengan
masa kerjanya 120180 menit. Karena pemberian zat analgetika lokal sangat kecil,

jarang dijumpai reaksi toksik dan transfer melalui plasenta (Saifuddin AB, 2010).
Analgesia epidural. Bupivakain 0,5% - 0,75% merupakan obat analgetika lokal yang
sering dipergunakan, karena ikatan dengan protein plasma lebih besar, sehingga sangat
kecil sekali pengaruhnya terhadap bayi. Lidokain dan mepivakain kadang-kadang
menyebabkan penurunan tonus dan kekuatan otot bayi, sehingga menurunkan adaptasi
terhadap pengaruh luar. Dianjurkan pemberian zat analgetika lokal dengan adrenalin
1/200.000, untuk mengurangi absorbsi sistemik, memperpanjang masa kerja, dan
meningkatkan blok motorik. Pemberian obat analgetika harus dikurangi 25-50% dari
dosis biasa. Dosis zat analgetika lokal yang diberikan 15 ml20 ml tergantung tinggi
badan (Saifuddin AB, 2010).

Persiapan(Saifuddin AB, 2010).

Antasid (misalnya 20 ml magnesium trisilikat).


Pemeriksaan darah.
Pemeriksaan anatomi tulang belakang.
Membawa pasien ke kamar bedah pada posisi lateral.

Periksa tanda vital. Hipotensi terlentang yang tidak dapat diatasi dengan mendorong

uterus ke kiri, tidak dianjurkan dilakukan analgesia regional.


Prahidrasi 500 - 1000 ml cairan garam berimbang.

Sebelum mulai anestesi blok harus memeriksa kelengkapan alat-alat dan obat:
o Alat anestesi.
o Alat jalan napas.
o Laringoskop
o Pipa endotrakeal, balonnya dan konektornya.
o Sungkup muka yang tepat
o Alat penghisap
o Tiopental atau diazepam kalau terjadi konvulsi.
o Efedrin untuk mengatasi hipotensi.

Teknik(Saifuddin AB, 2010).


Analgesia spinal : Pergunakan jarum yang sekecil mungkin. Berikan lidokain
5% : 50-60 mg tergantung tinggi badan, atau bupivakain 0,5% : 15 mg.
Analgesia epidural : Lidokain 2% dengan 1/200.000 adrenalin (15 - 17 ml).
Bupivakain 0,5% tanpa adrenalin (15 - 17 ml).Tahap pemberian:

Dosis uji: 2 ml, tunggu 30 dctik.


Bila tidak ada analgesia spinal, diberikan lagi 5 ml.
Bila tidak ada reaksi sistemik diberikan sampai 15 - 20 ml.
Pasang kateter.
Kalau blokade kurang dari T6 (tanakal 6) dapat diberikan dosis tambahan.

Posisi pasien terlentang dengan mendorong uterus ke kiri. Beri O2 dengan


sungkup muka plastik 4-6 1/menit. Pantau tandai vital, berupa tekanan darah tiap 1- 2
menit pada 15 menit pertama; kemudian tiap 5-10 menit.
Komplikasi anastesi
Hipotensi lebih sering terjadi pada pasien obstetri bila dilakukan analgesia
spinal atau epidural. Hal ini disebabkan oleh kompresi aortakaval, hipovolemi
karena perdarahan antepartum, dehidrasi dan vasodilatasi perifer pada ibu.
Pencegahan sangat penting dengan menempatkan posisi ibu sedikit miring ke kiri,
prahidrasi dengan cairan garam berimbang 500-1000 ml, dan harus melakukan
pemantauan yang lebih sering dan cermat.

Penanganan komplikasi (Saifuddin AB, 2010).

Bila tekanan sistolik mulai turun 10 mmHg infus dipercepat, diberi efedrin 5 mg-10

mg IV, bila perlu dapat diulang.


Bila pasien tidak tenang dan analgesia tidak rata, dapat ditambahkan diazepam 2,5 mg

IV; ketamin 0,25 mg/kgBB IV; N2O 50%+ O2 50%.


Bila analgesia tidak adekuat dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal.
Narkotika dapat diberikan kalau bayi telah lahir.

Anestesia Umum Untuk Seksio Sesarea


Induksi (Saifuddin AB, 2010).
1. Sambil memegang sungkup muka dan membiarkan bernapas dengan 02100% seorang asisten bersiap-siap meraba krikoid untuk melakukan tekanan.
2. Suntik pentotal (tiopental) 3-4 mg/kg (dikurangi kalau keadaan umum
kurang baik) agak cepat bersama-sama dengan atropin 0,25 mg. Lakukan
tekanan pada krikoid sesudah kesadaran menghilang. Suntik suksinilkolin
(scolin) 1-1,5 mg/kg.
3. Sungkup muka tetap dipegang, tetapi tidak dilakukan inflasi (tekanan positif)
paru-paru.
4. Lakukan intubasi cepat (dengan pipa endotrakeal 7,5- 8 mm). Balon pipa
endotrakeal dikembangkan.
5. Sesudah disambung dengan alat anestesi, lakukan inflasi dengan O2 - 100%
sebelum diberi campuran N2O 50% dalam O2.
6. Yakinkan pipa endotrakeal masuk trakea dan paru-paru kanan dan kiri mengembang
simetris. Dengarkan suara napas dengan stetoskop dan perhatikan dada kanan dan
kiri mengembang pada setiap inflasi. Intubasi esofagus dapat berakibat fatal.
7. Acara tersebut adalah induksi kilat digunakan untuk semua anestesi darurat dengan
lambung penuh. Tidak dilakukan inflasi (tekanan positif) paru-paru sesudah diberi
suksinilkolin (scolin) untuk mencegah udara masuk perut dan regurgitasi pasif.
Untuk

mencegah fasikulasi

otot

dapat diberikan

terlebih dulu relaksan

nondepolarisasi misalnya pankuronium (pavulon) 1 mg - 3 menit sebelum induksi.


Kemudian disusul obat induksi (pentotal 3,5 mg/kg IV) baru dosis penuh scolin agar
dapat diintubasi.
8. Kalau intubasi gagal perhatikan segera apakah karena asisten menekan laring terlalu
ke lateral. Sesudah diperbaiki intubasi dilakukan lagi tetapi tekanan krikoid harus
diperhatikan.
Mempertahankan anestesi (Saifuddin AB, 2010).
1. Anestesi dengan campuran N2O 50% dalam O2 dengan halotan 0,5 vol%
(atau

enfluran

atau

isofluran)

dilakukan

sampai

bayi

lahir. Napas

dikendalikan dengan ventilasi tekanan positif dan obat pelemas otot


nondepolarisasi (pavulon 4 mg atau aloferin 10 mg) yang diberikan sesudah
scolin mulai habis.
2. Pemantauan (monitoring) dilakukan secara teratur terhadap EKG, tekanan
darah, nadi dan warna kulit.
3. Hipotensi harus segera diobati dengan mempercepat infus cairan kristaloid atau
darah dan konsentrasi halotan kalau perlu dikurangi.
4. Sesudah tali pusat diklem biasanya diminta untuk memberi metergin atau
sintosinon IV atau perinfus. Pemberian obat ini menyebabkan takikardi dan
sedikit hipotensi. Harus diyakini bahwa kontraksi uterus baik sebelum luka
operasi ditutup.
5. Sesudah bayi lahir konsentrasi obat anestesi dapat dinaikkan atau ditambah dengan
pentotal; N2O dapat ditambah (60%) dan dikombinasi dengan petidin (25 mg IV)
atau fentanil (50 - 100 ug) IV.

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi mengikuti seksio sesarea, antara lain
(Cunningham FG, 2014). :

Sekitar 2 kali peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu secara relatif terhadap
persalinan pervaginam. Sebagian terkait dengan prosedur itu sendiri, dan sebagian

terkait dengan kondisi yang menjadi indikasi dilakukannya seksio sesarea


Infeksi (Misalnya endomyometritis postpartum, dehisensi fasia, luka, dan traktus
urinarius). Luka yang mengalami infeksi sebaiknya dibuka, didebridemen, dan

ditutup kembali dalam lingkungan steril.


Penyakit tromboembolik (Misalnya deep venous thrombosis, tromboflebitis pelvis
sepsis). Beberapa faktor risiko terjadinya pembentukan thrombus antara lain
obesitas, umur ibu yang lanjut (>35 tahun), paritas yang tinggi (>3), dan ambulasi

post operatif yang kurang baik.


Komplikasi anestesi
Cedera operatif (Misalnya laserasi uteri, buli, usus, uretra)
Atonia uteri

Perlambatan kembalinya fungsi usus. Narkotika post operaitf dapat memperlambat


kembalinya fungsi normal usus pada beberapa pasien. Status elektrolit dan cairan pasien
harus menjadi prioritas(Cunningham FG, 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Martius, Gerhard. 1997. Bedah Kebidanan Martius, Edisi 12, Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Betran AP, Merialdi M, Lauer JA, Bing-Shun W, Thomas J, Van Look P, Wagner M.,
2007. Rates of Caesarean Section: Analysis of Global, Regional, and National
Estimates.

United

States

of

America.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17302638

Winkjosastro, H. 2009.
Prawirohardjo: Jakarta.

Ilmu Kebidanan.

Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Gibbs, Ronald S.; Karlan, Beth Y.; Haney, Arthur F.; Nygaard, Ingrid E. 2008,
Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition, Lippincott Williams & Wilkins,

Baltimore
Emir, F. 2011. Perkembangan Teknik Seksio Sesarea Menurut Evidence-Based.
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Refrat Iii Ppds I Obgyn Rsmh/Fk Unsri.
Available

from:

https://ml.com/doc/56006242/PERKEMBANGAN-TEKNIK-

SEKSIO-SESAREA-MENURUT-EVIDENCE-BASED
Norwitz, Schorge. 2007. At A Glance: Obstetri dan Ginekologi. 2 nd ed. Penerbit
Erlangga : Jakarta.

Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH., 2010. Ilmu bedah kebidanan


Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, Casey
BM, et al., 2014. Williams obstetrics, 24th Edition. United States of America:
McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai