Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah suatu peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlachs tonsil). Peradangan pada tonsila palatine
biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), sekitar
30% kasus tonsillitis pada anak dan sekitar 10% kasus dewasa dan juga
merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi

membentuk

formasi

batu

tonsil.4

Terdapat

referensi

yang

menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi tiga bulan dengan
kejadian tonsilitis kronik.5 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang
paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda.
Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur
menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi
berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume
tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan
adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan
limfadenopati servikal dan submandibula.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatina atau bahasa umumnya
dikenal dengan radang amandel.7 Peradangan biasanya terjadi pada area adenoid
dan tonsil lingual sehingga istilah faringitis mungkin digunakan. Sebagian besar
kasus tonsillitis bakteri disebabkan oleh Streptococcu beta-hemolytic grup A8.
Tonsil palatina merupakan salah satu dari cincin waldeyer. Tonsil bertindak
seperti garis pertama sistem kekebalan tubuh yang berguna untuk menjaring
bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi. Lokasi tonsil sangat
memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke
sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan timbul
inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis.7
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik dari tonsil sebagai lanjutan
peradangan akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman penyebab
nonspesifik. Peradangan kronik ini dapat mengakibatkan pembesaran tonsil yang
menyebabkan gangguan menelan dan gangguan pernapasan.9
2.2

Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya yang terdapat di rongga orofaring. Ada
tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila
lingual yang ketiganya kemudian membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa
tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat
pada dasar lidah.1
Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral
rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot
palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot

palatofaringeus.15

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan

mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi
pada tonsilektomi.1

Gambar.
Cincin
Waldeyer
Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens,
cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis
dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.15
Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung
dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe
pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus
yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di
bawah dan belakang angulus mandibulae.15
4

2.3

Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Insiden tertinggi berada pada

kelompok umur 5-10 tahun. Tonsilitis kronis dalam satu studi dilaporkan di
Negara Norwegia, anak-anak yang menderita tonsilitis sekitar 11,7% sedangkan
anak-anak yang berada di Negara Turki dilaporkan sekitar 12,1%. 7 Menurut
Depkes, RI (2006) menyatakan bahwa jumlah penderita tonsilitis di Indonesia
terus meningkat berdasarkan data yang diperoleh, jumlah pasien rawat inap yang
disebabkan oleh penyakit tonsilitis akut berjumlah 4.714 orang dengan jumlah
penderita laki-laki mencapai 2.401 orang dan jumlah penderita perempuan
mencapai 2.313 orang, sedangkan pasien yang meninggal dunia akibat tonsilitis
berjumlah 61 orang. Data morbiditas pada anak yang menderita tonsilitis kronis
menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada umur 5-14 tahun
menempati urutan kelima (10,5% laki-laki dan 13,7% perempuan). Hasil
pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada telinga
hidung dan tenggorokan berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan didapati
38,4% diantaranya merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis.10 Berdasarkan
data epidemiologi penyakit telinga hidung dan tenggorokan (THT) di Indonesia
pada tahun 2009, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut
(4,6%) yaitu sebesar 3,8%.11
2.4 Etiologi
Etiologi tonsillitis kronis berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan
dari Commission on Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan
Surgeon General of the Army, dimana dari 169 kasus didapatkan12:
1. 25% disebabkan oleh Streptokokus b hemolitikus yang pada masa
penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam
serum penderita.
2. 25% disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan
kenaikan titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita.
3. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.

Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut:


1. Streptokokus b hemolitikus Grup A
2. Hemofilus influensa
3. Streptokokus pneumonia
4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5. Tuberkulosis (pada immunocompromise)
Faktor Predisposisi
1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
2.5 Patogenesis
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet aerogen
maupun lewat makanan dimana kuman menginfiltrasi lapisan epitel tonsil.
Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi suatu
fokal infeksi (sarang infeksi) yang pada suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar secara sistemik saat kesehatan tubuh menurun.13
Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Akibat proses
radang berulang secara kronik maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinis kripti ini tampak terisi oleh detritus. Proses tersebut berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini biasanya disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1

Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga


penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas
antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan
tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis
kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.13
2.6 Gejala Klinis
Manifestasi klinis tonsillitis kronis sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna
adalah nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam
namun tidak dominan.14
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1
Pada tonsillitis kronik

juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul

servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik. Pertama, pembesaran tonsil
karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di
atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. Kedua, tonsil tetap kecil atau
biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsil bed
dengan
bagian
tepinya

hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.15,16

Gambar 1. Tonsilitis Kronis


7

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi17 :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa tonsilar
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar2. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring


2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronis dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat
membingungkan diagnosis. Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan
keluhan tonsillitis berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa
seperti ada yang mengganjal di tenggorok, rasa kering di tenggorok, napas berbau,
iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang
paling sering disebabkan oleh hipertrofi adenoid. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun bukan gejala dominan. Pada anak-anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,14,16
Pada pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pemeriksaan
penunjang seperti biakan jaringan tonsil dengan penyakit kronis biasanya
menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relative rendah dan pada
kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.15,16
2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding tonsillitis kronis berkaitan dengan penyakit-penyakit


yang umumnya bergejala klinis nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Beberapa
diagnosis

banding

tonsillitis

kronis

yaitu

tonsillitis

difteri,

stomatitis

ulseromembranosa, faringitis leutika, dan faringitis tuberculosis. Diagnosa pasti


berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringanatau kultur, X-ray dan
biopsy.
Tonsilitis difteri disebabkan oleh kuman Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif yang dapat hidup di saluran napas bagian atas
yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini
akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah
seseorang, dikatakan bahwa titer antitoksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsilitis difteri biasanya ditemukan
pada anak berusia kurang dari 10 tahun dengan frekuensi terbanyak pada usia
sekitar 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita
penyakit ini. Gejala klinis tonsillitis dapat meliputi suhu tubuh subfebris, nyeri
kepala, nyeri menelan, tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang bias
meluas dan membentuk membrane semu, gejala akibat eksotoksin kuman dapat
menimbulkan miokardistis.1

Gambar 3. Tonsillitis difteri


Angina Plaut Vincent (stomatitis
ulseromembranosa)

disebabkan

oleh

bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan


hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Tanda dan gejala penyakit
ini dapat berupa demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, nyeri di mulut,
hipersalivasi, mukosa mulut dan faring hiperemis, mulut berbau, pembesaran
kelenjar submandibula, serta tampak

membran

putih keabuan di atas tonsil dan

dinding

faring.1
9

Gambar 4. Angina Plaut Vincent


Faringitis leutika disebabkan infeksi kuman Treponema palidum di daerah
faring, gambaran penyakit ini tergantung stadiumnya. Pada stadium primer dapat
ditemukan bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung makan dapat menimbulkan ulkus
namun tidak nyeri, dapat pula terjadi pembesaran kelenjar mandibula yang tidak
nyeri tekan. Pada stadium sekunder didapatkan eritema pada dinding faring yang
menyebar kea rah laring. Pada stadium tersier terdapat guma dengan predileksi
pada tonsil dan palatum. Guma yang terdapat pada palatum mole, bila sembuh
akan membentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
palatum secara permanen.1
Faringitis tuberculosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru.
Pada infeksi kuan tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberculosis faring
primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung
kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu melalui
darah pada tuberculosis miliaris atau bisa juga secara limfogen. Gejala yang dapat
timbul yaitu penurunan kesadaran karena anoreksia dan odinofagia, nyeri hebat
pada tenggorok, otalgia serta pembesaran kelenjar linfa servikal.1
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:
2.9.1 Medikamentosa
Medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur.
Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis
Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama jika
disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
2.9.2

klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis).18


Operatif

10

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,


gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma. Tonsilektomi juga
merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered
Breathing (SDB) serta untuk tonsillitis rekuren yang lebih sering terjadi

pada anak anak.18


Indikasi Tonsilektomi
The American academy of otolaryngology head and neck surgery clinical
indicators compendium tahun 1995 menetapkan:
a) serangan tonsillitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
b) tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.
c) sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor
pulmonale.
d) rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
e) napas berbau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f) tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptoccoccus

hemolitikus.
g) hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h) otitis media efusi/ otitis media supuratif.19
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni:
gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat,

anemia, dan infeksi akut yang berat.20


Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada
abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari
tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi. Diseksi: Dikerjakan dengan
menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan forsep dan
ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi

11

dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah


dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil. Guilotin:
Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil
dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan
pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar. Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada
penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan
namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang
dilakukan pada tehik diseksi.21
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi18:
a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai
jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan
otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan
serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi
yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses
b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi
servikal
c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi
tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut.
Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan
merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses
jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis
bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut
dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil.
12

Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman
lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.
Dapat dengan mudah didrainasi.
e) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis . Dalam penelitiannya
Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita
Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
2.11 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat. Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi
pada telinga dan sinus. Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber
dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.22

2.12 Pencegahan Tonsilitis


Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau
beberapa anak pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang sama,
khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya. Risiko penularan
dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderta Tonsilitis atau yang

13

memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga
untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan
air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang talah lama
sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang
merupakan karier Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk
mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1Identitas Pasien
Nama

: DKNM

Umur

: 9 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Pelajar

Suku Bangsa

: Bali

Agama

: Hindu

Alamat

: Renon

Tgl Pemeriksaan

: 10 Mei 2016

3.2Anamnesis
Keluhan Utama

: Demam sejak 4 hari yang lalu

Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Wangaya dengan keluhan demam
sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini muncul setelah pasien mengalami sakit
tenggorokan. Pasien mengatakan sakit pada tenggorokan berupa rasa yang
mengganjal di tenggorokan yang sudah lama ia rasakan tetapi hilang timbul.
Keluhan sakit tenggorokan pasien saat ini sudah membaik. Pasien juga
mengatakan ia juga mengalami pilek dengan lendir berwarna bening dan disertai
hidung tersumbat. Ibu pasien mengatakan pasien sering mengalami gejala yang
sama sejak lama sekitar 1 bulan yang lalu. Ibu pasien juga mengatakan pasien
mengorok saat tidur. Pasien tidak mengeluh nyeri pada tenggorokan dan tidak ada
batuk.

14

Riwayat Penyakit Terdahulu :


Pasien mengatakan bahwa keluhan demam sering muncul namun hilang
timbul dan membaik dengan pengobatan. Riwayat penyakit lainnya disangkal
pasien. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan :
Pasien mengobati keluhan demamnya dengan mengkonsumsi Paracetamol
dan amoxcycilin. Pasien belum ada mengobati keluhan pilek sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Kakak kandung pasien pernah menderita penyakit yang sama.
Riwayat Sosial :
Pasien adalah seorang pelajar SD. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi
makanan ringan yang mengandung MSG, coklat, dan minuman dingin denagn
pemanis buatan.
3.3Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah

: tidak dievaluasi

Nadi

: 80 x/menit

Respirasi

: 20x/menit

Temperatur

: 37oC

Tinggi Badan

: tidak dievaluasi

Berat badan

: 23 kg

Status Gizi

: Gizi baik

Status General :
Kepala

: Normocephali

Muka

: Simetris

Mata

: Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor

THT

: Sesuai status lokalis

Leher

: Pembesaran kelenjar limfe (-/-)


Pembesaran kelenjar parotis (-/-)

15

Kelenjar tiroid (-)


Thorak

: Cor
Pulmo

: TDE
: TDE

Abdomen

: TDE

Ekstremitas

: dalam batas normal

Status lokalis THT :


1. Telinga
Telinga

Kanan

Kiri

Daun telinga

Nyeri Tekan Tragus

Tidak ada

Tidak

Tidak ada

Tidak

Liang telinga

Lapang

Lapang

Sekret

Tidak ada

Tidak

Membran timpani

Intak

Intak

Tumor

Mastoid

ada
Nyeri Tarik Aurikuler
ada

ada

Tes Pendengaran
Kanan

Kiri

Weber

TDE

TDE

Rinne

TDE

TDE

Schwabach

TDE

TDE

2. Hidung
Hidung
Hidung luar
Cavum nasi
Septum

Kanan
N
Lapang
Tidak ada deviasi

Kiri
N
Lapang
Tidak ada deviasi

16

Discharge

Mukosa

Tumor

Konka

3. Tenggorok :
Dispneu

: Tidak ada

Sianosis

: Tidak ada

Mukosa

: hiperemi (-)

Dinding belakang faring : normal


Suara

: normal

Tonsil :

3.4

Kanan

Kiri

Pembesaran

T3

T3

Hiperemis

Permukaan mukosa

tidak rata

tidak rata

Resume
Dari anamnesis pasien mengeluh demam sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini

muncul setelah pasien mengalami sakit tenggorokan. Pasien mengatakan sakit


pada tenggorokan berupa rasa yang mengganjal di tenggorokan yang sudah lama
ia rasakan tetapi hilang timbul. Keluhan sakit tenggorokan pasien saat ini sudah
membaik. Pasien juga mengatakan ia juga mengalami pilek dengan lendir
berwarna bening dan disertai hidung tersumbat. Ibu pasien mengatakan pasien
sering mengalami gejala yang sama sejak lama sekitar 1 bulan yang lalu. Ibu
pasien juga mengatakan pasien mengorok saat tidur. Pasien tidak mengeluh nyeri
pada tenggorokan dan tidak ada batuk.
Dari hasil pemeriksaan keadaan umum pasien nampak baik dan pada pasien
ditemukan adanya demam. Hasil pemeriksaan fisik tenggorok ditemukan tonsil
kanan dan kiri membesar

berukuran T3/T3, permukaan mukosa tidak rata,

mukosa tidak hiperemi. Pemeriksaan pada telinga kanan dan kiri ditemukan

17

dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan didapatkan hasil yang
normal.
3.5

Diagnosis Kerja
Tonsilitis Kronis

3.6

Penatalaksanaan
Medikamentosa:

Paracetamol syr 3x5 ml/ hari


Operatif:

Tonsilektomi
KIE:
- Hindari makanan dan minuman yang bersifat iritatif, seperti makanan yang
mengandung

MSG,

minuman/makanan

dingin,

dan

minuman

yang

mengandung pemanis buatan.


- Meminimalisir risiko penularan dengan menjaga hygiene mulut
- Kontrol secara rutin ke poliklinik THT
3.7

Prognosis
Ad Vitam

: Bonam

Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam

: Bonam

18

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, didapatkan pasien usia 9 tahun laki-laki dengan diagnosis
tonsillitis kronis. Tahap awal dalam penentuan diagnosis adalah dari riwayat sakit
pasien melalui anamnesis. Pasien datang dengan keluhan utama demam sejak 4
hari yang lalu. Keluhan ini muncul setelah pasien mengalami sakit tenggorokan.
Pasien mengatakan sakit pada tenggorokan berupa rasa yang mengganjal di
tenggorokan yang sudah lama ia rasakan tetapi hilang timbul. Keluhan sakit
tenggorokan pasien saat ini sudah membaik. Pasien juga mengatakan ia juga
mengalami pilek dengan lendir berwarna bening dan disertai hidung tersumbat.
Ibu pasien mengatakan pasien sering mengalami gejala yang sama sejak lama
sekitar 1 bulan yang lalu. Ibu pasien juga mengatakan pasien mengorok saat tidur.
Pasien tidak mengeluh nyeri pada tenggorokan dan tidak ada batuk. Dikatakan
bahwa sebelum mengalami demam pasien memiliki riwayat mengkonsumsi
makanan ringan yang mengandung MSG, coklat, dan minuman dingin denagn
pemanis buatan. Saat ini pasien mengatakan keluhan demamnya dirasakan hilang
timbul dan terjadi berulang. Keluhan pileknya masih dirasakan oleh pasien. Saat
ini keluhan sakit tenggorokan berupa perasaan mengganjal di tenggorokan sudah
membaik. Dari anamnesis tersebut, keadaan pasien cocok dengan penyakit
tonsillitis kronis, yaitu peradangan kronis dari tonsil sebagai lanjutan peradangan
akut/subakut yang berulang/rekuren, dengan kuman penyebab nonspesifik.
Peradangan kronis ini dapat mengakibatkan pembesaran tonsil yang menyebabkan
gangguan pernapasan. Selain itu tanda peradangan yang awalnya terjadi pasien
diantaranya demam, pembesaran tonsil. Keluhan demam dan pembesaran tonsil
bisa terjadi bersamaan ataupun berurutan pada pasien tonsilitis. Berdasarkan teori,
terdapat beberapa faktor yang bisa menimbulkan tonsillitis kronis, diantaranya
rangsangan kronis oleh faktor makanan/minuman iritatif dan rokok, serta
pengaruh cuaca (udara dingin, suhu yang berubah-ubah), alergi, dan kelelahan

19

fisik. Faktor rangsangan kronis oleh makanan ada pada pasien, yakni dikatakan
bahwa pasien sering mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG, coklat dan
minuman dingin yang mengandung pemanis buatan. Keluhan tonsillitis kronis lain
yang juga ditemukan pada pasien ini adalah pasien suka mengorok saat tidur,
tetapi tidak ditemukan keluhan lain seperti batuk. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa biasanya pada anak dengan hipertropi adenoid dan tonsil merupakan faktor
risiko tertinggi timbulnya obstructive sleep apnea.
Berdasarkan teori, pemeriksaan THT pada pasien tonsillitis kronis ini,
didapatkan pembesaran tonsil kanan kiri berukuran T3/T3 dan permukaan mukosa
tidak rata. Mukosa tidak tampak hiperemi. edema kulit pada meatus akustikus
eksternus dan kemerahan. Hasil pemeriksaan ini lebih memastikan diagnosis
tonsillitis kronis. Pada pemeriksaan telinga didapatkan hasil dalam batas normal
kanan dan kiri. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hasil yang normal.
Terapi yang diberikan pada pasien ini terdiri dari terapi simtomatik dan
operatif. Jika berdasarkan teori, terapi simtomatik yang diberikan adalah
paracetamol sebagai antipiretik. Terapi operatif diindikasikan untuk pasien
dikarenakan pasien mengalami serangan tonsillitis berulang dan terjadi sumbatan
jalan napas berupa sleep apnea.
Hal yang penting untuk diajarkan kepada pasien adalah menghindari
makanan dan minuman yang bersifat iritatif, seperti makanan yang mengandung
MSG, minuman/makanan dingin, dan minuman yang mengandung pemanis
buatan. Selain itu mengingatkan pasien untuk meminimalisir risiko penularan
dengan menjaga hygiene mulut dan melakukan kontrol secara rutin ke poliklinik
THT selama pengobatan berlangsung.

BAB V
20

RINGKASAN
Telah diuraikan kasus pasien usia 9 tahun laki-laki, tonsillitis kronis.
Penegakan diagnosis pada kasus ini didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Berdasarkan anamnesis, diketahui pasien demam sejak 4 hari yang lalu
disertai pilek dengan riwayat sebelumnya rasa mengganjal pada tenggorok dan
suka mengorok saat tidur.
Pada keadaan umum dan status generalis pasien dalam kondisi baik dan
batas normal. Pemeriksaan fisik THT, pemeriksaan THT pada pasien tonsillitis
kronis ini, didapatkan pembesaran tonsil kanan kiri berukuran T3/T3 dan
permukaan mukosa tidak rata. Mukosa tidak tampak hiperemi. edema kulit pada
meatus akustikus eksternus dan kemerahan. Hasil pemeriksaan ini lebih
memastikan diagnosis tonsillitis kronis. Pada pemeriksaan telinga didapatkan
hasil dalam batas normal kanan dan kiri. Pada pemeriksaan hidung didapatkan
hasil yang normal.
Terapi yang diberikan pada pasien ini terdiri dari terapi simtomatik dan
operatif. Terapi simtomatik yang diberikan adalah paracetamol sebagai antipiretik.
Terapi operatif diindikasikan untuk pasien dikarenakan pasien mengalami
serangan tonsillitis berulang dan terjadi sumbatan jalan napas berupa sleep apnea.
Selain itu pasien diajarkan untuk menghindari makanan dan minuman yang
bersifat iritatif, seperti makanan yang mengandung MSG, minuman/makanan
dingin, dan minuman yang mengandung pemanis buatan. Selain itu mengingatkan
pasien untuk meminimalisir risiko penularan dengan menjaga hygiene mulut

DAFTAR PUSTAKA

21

1. Rusmarjono, Soepardi E. 2007. Tonsilitis kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI
Jakarta: 2007. p221-24.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. Tersedia:
URL: http://emedicine.medscape.com/ (diakses tanggal 11 Mei 2016).
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011.
Tersedia:

URL:

http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/

(diakses tanggal 11 Mei 2016)


4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online]. 2011.
Tersedia: URL: http://www.medicinenet.com/ .(diakses tanggal 11 Mei 2016).
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. 2003. Infectious Indications for
Tonsillectomy. Dalam: The Pediatric Clinics of North America. p445-58.
6. Adnan D., Ionita E. 2009. Contributions To The Clinical, Histological,
Histochimical and Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. University of
Craiova Romania. p3-7.
7. Srikandi PR, Sutanegara SWD, Sucipta. Profil Pembesaran Tonsil pada Pasien
Tonsilitis Kronis yang Menjalani Tonsilektomi di RSUP Sanglah pada Tahun
2013. vol 4 no 12(2015): E-jurnal Medika Udayana
8. Medscape. 2015. Tonsilitis and Peritonsillar

Abscess.

Tersedia

di

http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview. Diakses tanggal 10


Mei 2016
9. Perhati-KL. Panduan Praktik Klinis Tindakan Clinical Pathway di Bidang
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Perhimpunan Dokter Spesialis
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia. 2015
10. Vivit S. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan
Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi. Fakultas kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi. 2015
11. Wahyuni FA, Wahyuni S, Agustian. Hubungan antara pengetahuan dan pola
makan dengan kejadian tonsillitis pada anak usia sekolah dasar di wilayah
kerja puskesmas Minasatene Kab. Pangkep. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013.
12. Widyaswara APS. Asuhan Keperawatan Perioperatif An. M dengan tonsillitis
kronis di OK 10 Instalasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto. Pelatihan Unit Khusus Kamar Bedah RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto. 2012.

22

13. Amalia N. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik


Medan Tahun 2009. FK USU: 2011. p9-10.
14. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. 2000. Tonsil dan Adenoid.
Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Volume 2. Jakarta: ECG. p1463-4.
15. Boies AH. 1997. Rongga Mulut dan Faring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: ECG. p263-340.
16. Hassan R, Alatas H. 2007. Penyakit Tenggorokan. Dalam: Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: FKUI. p930-33.
17. Pasha R. 2001. Pharyngeal And Adenotonsillar

Disorder.

Dalam:

Otolaryngology-Head and Neck Surgery. p158-165


18. Adam GL, 1997. Disease of The Nasopharynx and Oropharynx, in: Boeis
Fundamentals of Otolaryngology. Sixth Edition. W.B. Saunders Company.
Philadelphia, p. 332-65.
19. Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher edisi ketujuh. 2012. Jakarta: FKUI
20. Kartika H, 2008. Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology in
Indonesian Language, February 23, p.4-36.
21. Dhingra PL, 2007. Acute and Chronic Tonsilitis, in Disease of Ear, Nose and
Throat 4rd ed. Elsevier. New Delhi. pp.239-43.
22. Edgren AL, Davitson T, 2004. Sore Throat. Journal of the American
Assosiation, no.13 (April 7) :1664-78.

23

Anda mungkin juga menyukai