Anda di halaman 1dari 18

BAB II

BEDAH ELEKTIF
Bedah elektif elektif (yang berasal dari kata eligere, bahasa Latin, berarti
untuk memilih) adalah operasi yang dijadwalkan beberapa hari sebelum tindakan
karena bukan merupakan keadaan darurat medis dan dapat ditunda dengan
tujuan optimalisasi pasien.
Bedah elektif dikerjakan apabila kondisi pasien dan persiapan tim yang
terlibat dalam operasi sudah optimal. Dokter akan menjelaskan operasi yang
dimaksud secara rinci mengenai manfaat dan risiko operasi. Eksplorasi dan
penilaian masalah-masalah medis diatasi pada tahap ini, termasuk rujukan ke
dokter ahli atau spesialis yang relevan. Penjadwalan pasien yang menjalani
operasi bedah elektif bervariasi menurut rumah sakit atau dokter bedahnya.
Bedah elektif pada pasien dengan penyakit menahun sebaiknya hanya
dikerjakan bila kondisi medis telah optimal dan risiko minimal.

II.1 PREOPERATIF
Persiapan preoperatif elektif yang meliputi konsultasi dan pemeriksaan
oleh dokter

spesialis anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang

mempunyai kompetensi harus dilakukan sebelum tindakan anestesia dengan


tujuan untuk memastikan bahwa pasien berada dalam kondisi yang layak untuk
prosedur anestesi berdasarkan keilmuan yang multidisiplin.
Untuk membantu merumuskan rencana anestesi, dilakukan suatu
penilaian menyeluruh dan sistematis sebelum operasi yang meliputi riwayat
perjalan penyakit (termasuk catatan medis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang ditunjukkan. Penilaian tersebut dilengkapi dengan klasifikasi
status fisik pasien berdasarkan ASA. Persiapan pra-anestesi elektif dilakukan
bertujuan untuk:
1. Menilai kondisi medis pasien yang dapat menyebabkan morbiditas bahkan
mortalitas selama pelayanan anestesi
2. Mengatur dan memanajemen komorbiditas yang mungkin berdampak
selama pelayanan anestesi
3

3. Menilai risiko tindakan anestesi dan pembedahan


4. Mengoptimalkan kondisi pasien
5. Mengidentifikasi pasien yang mungkin memerlukan teknik anastesi khusus
atau pelayanan paskaoperasi
6. Membuat keputusan manajemen anestesi perioperatif
7. Mengedukasi pasien dan keluarganya tentang anastesi dan kejadian yang
mungkin terjadi paskaoperasi
8. Memberikan informed consent (persetujuan tindakan medik)
9. Memfasilitasi pelayanan secara optimal dan menghindari penundaan jadwal
operasi
10. Memotivasi pasien pada tindakan pencegahan penyakit (misalnya berhenti
merokok, mengurangi berat badan atau patuh pada rencana pengobatan)
11. Mengembangkan dan melaksanakan evidence based practices
12. Melatih seseorang memberikan penilaian praoperasi untuk mengoptimalkan
kondisi pasien
Tindakan anestesi sebaiknya tidak dilakukan sampai kondisi pasien
optimal. Penilaian praoperasi menunjukkan bahwa risiko perioperasi akan
semakin besar apabila didapatkan kondisi pasien tidak optimal dan sebaliknya
risiko tersebut akan berkurang jika pasien berada dalam kondisi yang optimal.
Dalam penilaian pasien, mungkin diperlukan konsultasi dengan dokter ahli atau
spesialis yang lain untuk membantu mengoptimalkan kondisi pasien. Adapun halhal yang perlu dievaluasi pada saat penialaian praanestesi adalah sebagai
berikut:
I.

Riwayat Praoperasi
1. Masalah saat ini
2. Masalah lain yang diketahui
3. Riwayat pengobatan
4. Alergi
5. Ketidaktoleranan terhadap obat
6. Terapi saat ini: Resep dan Bukan resep
7. Non terapi: Alkohol, tembakau, dan obat terlarang
8. Anestesi terdahulu, operasi, dan bila perlu, riwayat kebidanan dan riwayat
nyeri.
9. Riwayat keluarga
10. Tinjauan tentang sistem organ
a.

Pernapasan
4

b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Kardiovaskuler
Ginjal
Usus
Hematologi
Neurologi
Endokrin
Psikiatrik
Ortopedik
Rangka otot
Dematologi

II. Pemeriksaan fisik


1. Tanda-tanda vital
2. Jalan napas
3. Jantung
4. Paru-paru
5. Abdomen (hepar, ginjal, traktus gastrointestinal, traktus genitourinarius)
6. Ekstremitas
7. Pemeriksaan neurologi
III. Evaluasi laboratorium (sesuai indikasi)
IV. Klasifikasi ASA

Riwayat Praoperasi
Anamnesis praoperasi seharusnya dengan jelas

menetapkan masalah pasien serta prosedur pembedahan. Masalah


medis, perawatan sebelumnya atau saat ini juga harus dievaluasi. Selain
itu, karena terdapat potensi terjadinya interaksi obat dengan anestesi,
maka riwayat pengobatan yang lengkap sebaiknya diperoleh dari setiap
pasien. Anamnesis riwayat tersebut meliputi konsumsi tembakau dan
alkohol serta obat-obatan terlarang. Kemudian, diupayakan untuk untuk
membedakan antara alergi obat yang sebenarnya (yang seringkali terjadi
dalam bentuk dispnea atau ruam kulit) dan intoleransi obat (biasanya
gangguan usus halus). Anamnesis terperinci mengenai operasi dan
riwayat anestesi terdahulu termasuk komplikasi terdahulu juga harus
dieksplorasi. Riwayat keluarga mengenai kejadian hipertermia maligna
harus dicari. Tinjauan umum tentang sistem organ penting dalam
mengidentifikasi masalah kesehatan yang belum didiagnosa. Anamnesis
juga diarahkan pada fungsi kardiovaskular, endokrin, hati, ginjal dan
neurologi.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ini ditujukan untuk mendeteksi

kelainan dari sistem organ. Pemeriksaan meliputi pengukuran tandatanda vital (tekanan darah, denyut jantung, denyut pernapasan, dan suhu)
dan pemeriksaan jalan napas, jantung, paru-paru, dan sistem rangka otot
dengan menggunakan teknik pemeriksaan standar berupainspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan neurologi penting pada
saat anestesi regional. Anatomi pasien dinilai seharusnya dievaluasi
secara lengkap apabila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan napas,
anestesi regional atau direncanakn pemantauan invasif.

Pemeriksaan jalan napas sangat penting. Kondisi


gigi geligi juga sebaiknya diperiksa meliputi gigi ompong, patah, atau
tumbuh tidak teratur. Pertimbangan ukuran masker disesuaikan dengan
anatomi pasien misalnya pada pasien yang ompong atau bentuk wajah
yang tidak normal. Mikrognatia, protudentia, lidah yang besar, gerakan
sendi temporomandibular yang terbatas, atau leher yang pendek
menunjukkan kemungkinan kesulitan intubasi.

Setiap

riwayat

anestesia

sebelumnya

harus

dieksplorasi mengenai kemungkinan permasalahan manajemen jalan


napas. Jika deformitas wajah sangat parah maka tidak bisa dilakukan
ventilasi tekanan positif. Selain itu, pasien-pasien dengan kelainanan
hipofaring lebih tergantung pada tonus otot selama sadar sehingga
sangat penting untuk mempertahankan patensi jalan napas. Kelompok
pasien di atas sebaiknya tidak dibuat menjadi apneu karena alasan
apapun termasuk induksi anestesi, pemberian obat penenang, atau
kelumpuhan otot sampai jalan nafas sudah dijamin aman.

Selain itu, keterbatasan pergerakan persendian


temporomandibular juga harus dicari. Tanda-tanda kesulitan laringoskopi
dan intubasi lain meliputi ekstensi leher yang terbatas (<35),

jarak

antara mandibula dan hioid dari kurang dari 7 cm, jarak sternomental
kurang dari 12,5 cm, dan visualisasi uvula selama protrusi lidah kurang
baik. Harus ditekankan bahwa tidak ada teknik penilaian yang pasti
mengenai kesulitas jalan napas sehingga dokter spesialis anestesiologi
dan terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi harus
mengantisipasi kemungkinan tersebut.

Gambar 1. Skor Mallampati (A) dan Laringoskopi


Direk (B)

Evaluasi Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien sehat tanpa

gejala tidak dianjurkan, kecuali jika terdapat riwayat penyakit dan


pemeriksaan fisik tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi abnormalitas.
Uji praoperasi yang abnormal dikaitkan dengan bertambahanya risiko
anestesi dan risiko tersebut akan berkurang apabila abnormalis tersebut
diperbaiki. Pemerikasaan laboratorium sebaiknya dilakukan berdasarkan
riwayat penyakit pasien atau sesuai dengan indikasi. Jenis prosedur atau
operasi yang akan dilakukan juga dapat dijadikan panduan pemeriksaan
laboratorium. tersebut sebaiknya dipertimbangkan.

Pemeriksaan penunjang berkaitan

dengan

uji

kehamilan pada pasien usia subur dapat dilakukan apabila ada indikasi
dengan tujuan untuk memastikan kehamilan yang tak terdiagnosa
sehingga kemungkinan efek teratogenik dari agen anestetik terhadap
janin apat dihindari. Pengujian rutin untuk AIDS (pendeteksian antibody

HIV) sangat kontroversial. Pemeriksaan koagulasi rutin dan urinalisis


tidak rutin dilakukan pada pasien yang sehat dan tidak memiliki gejala.

Penilaian Risiko Preoperatif

Sistem risiko klasifikasi ASA (American Society of


Anesthesiologists) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1941 oleh
Meyer Saklad dengan tujuan untuk mengukur risiko yang terkait dengan
anestesi dan pembedahan. Sampai sekarang alat ukur tersebut masih
belum bisa dibuat secara sempurna sehingga ASA mengadopsi sistem
klasifikasi status fisik menjadi lima kategori untuk menilai pasien
praoperasi. Status fifik ini berkaitan dengan angka mortalitas perioperatif
meskipun korelasinya tidak sempurna karena satu-satunya faktor yang
dinilai ialah penyakit penyerta (underlying diseases) pasien padahal
banyak faktor-faktor yang yang berkaitan dengan komplikasi perioperatif.
Meskipun demikian klasifikasi status fisik ASA masih tetap bermanfaat
dalam perencanaan manajemen anestesi khusus dalam pemantauan
(monitoring).

Tabel 1. Klasifikasi Status Fisik ASA

Pasien sehat tanpa kelaian organik,

biokimia, atau psikiatri.


Pasien dengan penyakit sitemik ringan
misalnya asma bronkiale ringan atau
hipertensi terkontrol. Tidak ditemukan
keterbatasan aktivitas rutin. Kondisi ini
hampir tidak mempengaruhi tindakan

anestesi dan operasi.


Pasien dengan penyakit sistemik berat
yang

dapat

menghambat

aktivitas

aktivitas rutinnya. Misalnya gagal ginjal


on dialisis atau gagal jantung kongestif
kelas

II.

Kondisi

ini

dapat

mempengaruhi tindakan anestesi dan

operasi.
Pasien dengan penyakit sistemik yang
berat

yang

mengancam

secara

konstan

kehidupan

dapat
(dapat

menyebabkan

kematian)

atau

memerlukan terapi intensif. Misalnya


infark

miokard

akut,

kegagalan

respirasi yang memerlukan bantuan


ventilasi

mekanik.

mengalami

Pasien

sangat

keterbatasan

aktivitas

rutinnya (daily activity).


Pasien
yang
diperkirakan

tidak

bertahan hidup atau meninggal dunia


dalam 24 jam dengan atau tanpa

operasi
Pasien yang telah dinyatakan mati
batang

otak

yang

akan

menjalani

operasi untuk donor organ


Jika operasi yang dilakukan adalah
operasi emergensi, status fisik diikuti
dengan E (misalnya ASA IIE)

Persetujuan Tertulis
Penilaian praoperasi diakhiri dengan pemberian

penjelasan kepada pasien mengenai pilihan-pilihan teknik anestesi yang


dapat dilakukan meliputi: umum, regional, lokal, anestesi topical, sedasi
intravena, atau kombinasi diantaranya. Tanpa melihat teknik yang dipilih,
persetujuan untuk anestesi umum harus selalu dilakukan apabila
teknikanestesi lainnya tidak berjalan lancar. Persetujuan juga harus
meliputi meliputi informasi risiko yang mungkin terjadi berkaitan dengan
teknik anestesi.

Ketika pasien belum dianggap dewasa, maka

persetujuan harus diperoleh dari seseorang yang memiliki wewenang


hukum untuk memberikan persetujuan tersebut, misalnya orang tua, wali,
atau kerabat dekat. Walaupun persetujuan secara lisan mungkin cukup,
namun

persetujuan

medikolegal.

tertulis
Selain

biasanya
meminta

disarankan
persetujuan

untuk

tujuan

tertulis,

dokter

spesialis anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang


mempunyai kompetensi juga dapat membangun hubungan
harmonis antara dokter dengan pasien.

yang

II.2 INTRAOPERATIF
Teknik Anestesi
Teknik anestesi yang dilakukan meliputi anestesi
umum, anestesi regional atau kombinasiny.(akan

dijelaskan dalam bab lain dalam buku panduan ini.)


Monitoring Selama Anestesi
Salah satu tugas utama dari seorang anestesiologi

adalah memonitor pasien yang sedang dianestesi selama operasi.


Kewaspadaan yang merupakan semboyan dari American Society of
Anesthesiologist (ASA) memerlukan pemahaman mengenai teknologi dan
cara kerja alat-alat monitoring.

1.

Standar 1:
Ada tenaga

ahli

anestesi

yang

mempunyai

kompetensi berada di kamar operasi.


2.
Standar 2:
a.
Oksigenisasi

Pemantauan

oksigenisasi

jaringan

dilakukan

secara kontinyu. Monitoring oksigenasi ini bertujuan untuk memastikan kadar


oksigen yang adekuat dalam darah selama pemberian anestesi.monitoring
ini dapat dilakukan dengan metode:
1.
Pengamatan visual dengan menilai warna dengan
2.

pencahayaan pasien yang adekuat


Pulse oxymetry

Pulse oxymetry wajib digunakan untuk memonitor

semua pasien yang dianestesi. Pulse oxymetri juga berguna khususnya


ketika oksigenasi pasien harus diukur terus menerus karena penyakit paru,
komplikasi prosedur bedah (cth repair hiatal hernia), teknik anestesia khusus
(one lung ventilation). Tidak ada kontraindikasi untuk pulse oxymetri.

Selama monitoring anestesi saturasi oksigen


dipertahankan di atas 94% (dengan udara bebas) untuk mendapatkan PaO2
lebih dari 65 mmHg. Probe saturasi dipasang pada ujung jari pasien dengan
sinar infra merah pada bagian kuku jari pasien. Hindari pemaparan cahaya
pada probe saturasi untuk menghindari gangguan iluminasi sinar infra
merah.

b.

Ventilasi

Pemantauan jalan nafas dan ventilasi dilakukan

secara kontinyu bertujuan untuk memastikan jalan nafas dan ventilasi


pasien yang adekuat selama tindakan anestesi. Monitoring ventilasi
dilakukan dengan cara:
1.
Tanda-tanda

klinis

kecukupan

ventilasi,

antara

lain:

pengembangan dada yang adekuat, pengamatan gerakan kembang


kempis kantung pernafasan.
2.

Stetoskop precordial dan ESOFAGEAL


Pada awalnya semua pasien yang dianestesi

dimonitor dengan menggunakan stetoskop prekordial dan esofageal,


namun secara perlahan digantikan oleh kapnografi dan pulse oxymetri
untuk memonitor fungsi pulmoner.

Instrumen esofagus harus dihindarkan pada pasien


dengan varises dan striktur esofagus. Monitoring dengan stetoskop
prekordial masih dipakai pada pasien pediatri untuk konfirmasi ventilasi,
kualitas suara nafas (stridor, wheezing), regularitas denyut jantung,
kualitas bunyi jantung. Konfirmasi suara nafas bilateral paska intubasi
dilakukan menggunakan stetoskop binaural.
3.

Secara kuantitatif: kebutuhan volume tidal (8cc/kgbb), laju


respirasi 12-14x/menit untuk mencapai volume semenit 100cc/kgbb.

c.

Sirkulasi

Pemantauan fungsi peredaran darah yang kontinyu

bertujuan untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien


selama anestesi. Monitoring ini dilakukan dengan cara:
1. Mengukur tekanan darah arteri

Kontraksi ritmis ventrikel kiri menghasilkan curah

jantung menuju sistem pembuluh darah. Tekanan tertinggi yang


dihasilkan selama kontraksi sistolik disebut dengan tekanan darah arteri
sistolik sedangkan tekanan selama relaksasi diastolik disebut dengan
tekanan

darah

arteri

diastolik.

Tekanan

nadi

(pulse

pressure)

merupakan perbedaan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik.


Tekanan darah arteri rata-rata selama satu siklus pulsatil dikenal

dengan nama Mean Arterial Pressure (MAP). MAP dapat dihitung


dengan rumus berikut :

Gambar 2. MAP

Pengukuran tekanan darah arteri sangat

tergantung dari tempat pengukuran. Semakin ke perifer maka terjadi


peningkatan dari tekanan darah sistolik dan diastolik misalnya tekanan
sistolik arteri radialis biasanya lebih tinggi daripada tekanan darah
sistolik aorta, karena letak dari arteri radialis lebih perifer (distal).
Perbedaan ketinggian (letak) tempat pengukuran dari jantung juga
mempengaruhi hasil pengukuran oleh karena faktor gravitasi. Pada
beberapa pasien dengan kelainan pembuluh darah yang berat dapat
terjadi perbedaan yang mencolok antara tekanan darah di lengan kanan
dan kiri.

Karena pengukuran secara non-invasif (palpasi,

doppler, auskultasi, oscillometri, plethismografi) dan invasif (kanulasi


arteri) menghasilkan perbedaan yang cukup besar, maka kedua metode
tersebut akan dibahas secara terpisah. Pemantauan tekanan darah
arteri dapat dilakukan dengan cara:

1. Pemantauan Tekanan Darah Arteri Non-Invasif


Indikasi

Anestesi

umum

maupun

regional

merupakan

indikasi absolut untuk pengukuran tekanan darah arteri. Cara dan


frekuensi pengukuran tekanan darah sangat tergantung kepada
kondisi pasien dan jenis operasi yang dilakukan. Pengukuran
dengan cara auskultasi setiap 3-5 menit biasanya cukup untuk
sebagian

besar

kasus.

Obesitas

dapat

menyebabkan

hasil

pengukuran dengan cara auskultasi kurang akurat sehingga metode


osilometri atau Doppler lebih dapat diandalkan.

Kontraindikasi
Walaupun

pengukuran

tekanan

darah

sangat

penting, metode-metode yang menggunakan manset sebaiknya

dihindari pada ekstremitas yang mengalami kelainan pembuluh


darah atau ekstremitas yang terdapat jalur infus.

2. Pemantauan Tekanan Darah Arteri Invasif


Indikasi

Indikasi pengukuran tekanan darah dengan cara

kateterisasi arteri adalah hipotensi, antisipasi perubahan tekanan


darah intraoperatif yang cepat, gangguan organ yang memerlukan
pengukuran tekanan darah secara tepat dan cepat, serta dan
keadaan-keadaan yang memerlukan pengukuran analisa gas darah
berulang.

Kontraindikasi

Kateterisasi sebaiknya dihindarkan pada arteri-

arteri yang tidak memiliki aliran kolateral atau pada ekstremitas


yang dicurigai adanya kelainan insufisiensi pembuluh darah (contoh:
fenomena Raynaud).

Penggunaan Klinis

Oleh karena kanulasi intra arteri dapat memberikan

hasil pengukuran secara kontinyu maka teknik ini dianggap sebagai


gold standard. Kesalahan membaca hasil pengukuran dapat
menyebabkan tatalaksana yang tidak adekuat. Untuk pengukuran
yang

tepat

kateter,

tubing,

dan

transducer

harus

dapat

menghasilkan gelombang arteri tertinggi atau frekuensi alat (sistem)


melebihi frekuensi pulsasi arteri (kurang lebih 16-24 Hz).

2. Elektrokardiografi

Semua pasien hendaknya dilakukan pemeriksaan

EKG intraoperatif. Penentuan lead menentukan sensitifitas dari EKG.


Aksis lead II paralel terhadap atrium, menghasilkan gelombang P besar.
Monitoring ini ditujukan untuk mendiagnosi disritmia dan iskemia
dinding inferior. Lead V5 terletak di ICS 5 pada garis aksila anterior
dapat digunakan untuk mendeteksi iskemia dinding anterior dan lateral.

Lead V5 yang benar hanya memungkinkan dengan EKG yang


menggunakan 5 lead, tetapi V5 modifikasi dapat diperoleh dengan cara
mengatur

letak

lead

three-limb.

Idealnya,

karena

setiap

lead

memberikan informasi yang berbeda, lead II dan V5 harus dipantau


secara bersamaan. Bila hanya terdapat satu pemantauan EKG maka
penentuan lead tergantung terhadap lokasi infark atau iskemi
sebelumnya. Lead esofagus lebih baik dibandingkan dengan lead II
untuk mendeteksi disritmia, tetapi penggunaannya dikamar operasi
belum sepenuhnya diterima.

EKG

bekerja

dengan

cara

merekam

potensial elektrik yang dihasilkan oleh sel-sel miokard. Penggunaannya


secara rutin dapat mendeteksi disritmia, iskemi miokard, abnormalitas
konduksi, gangguan pacemaker, dan gangguan elektrolit. Pergeseran
lead atau

pasien,

kauterisasi,

dan

kesalahan

elektrode

dapat

menyerupai disritmia. Alat penyaring dapat mengurangi artefak akan


tetapi dapat menyebabkan distorsi pada segmen ST sehingga
mengaburkan diagnosis dari iskemia. Secara umum kriteria untuk
mendiagnosis iskemi miokard adalah pendataran atau penurunan
segmen ST melebihi 1 mm, 60 atau 80 milidetik setelah titik J (akhir dari
komplek QRS). Elevasi segmen ST dengan T yang tinggi juga
menunjukkan adanya iskemia. Sindroma Wolff-Parkinson-White, bundle
branch block, dan terapi digoxin dapat menghalangi pemeriksaan
segmen ST. Suara beep

yang dihasilkan dari setiap komplek QRS

harus dibuat cukup keras untuk mendeteksi perubahan ritme dan rate.
3. Kateterisasi Vena Sentral

Kateterisasi

vena

sentral

ditujukan

untuk

pemantauan tekanan vena sentral pada manajemen cairan pada


hipovolemi dan syok, aspirasi emboli udara, insersi lead transkutan dan
sebagai akses vena pada pasien dengan vena perifer yang kecil / tidak
baik kondisinya. Kontraindikasi kateterisasi vena sentral antara lain
tumor ginjal yang metastasis ke atrium kanan atau vegetasi katup
trikuspid termasuk kontraindikasi relatif lain terhadap lokasi kateterisasi.
Contoh, kanulasi vena jugular interna relatif dikontraindikasikan pada
pasien-pasien dengan terapi aktikoagulan atau yang telah menjalani

karotis

endarterektomi

ipsilateral,

karena

dapat

menimbulkan

kemungkinan terjadinya punktur arteri karotis.

4. Diuresis

Keadaan status volume cairan tubuh dan fungsi

ginjal yang baik dapat dinilai dengan diuresis lebih dari 1cc/kgBB/jam
dengan warna kuning jernih. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
monitoring diuresis adalah sebagai berikut:
a. Dilakukan pemasangan kateter urin pada pasien yang menjalani
operasi lebih dari 2 jam dalam anestesi umum.
b. Dilakukan pemasangan kateter urin pada semua pasien yang
mendapatkan anestesi regional (spinal, epidural, kombinasi spinal
epidural, dan caudal) tanpa mempertimbangakan lama operasi.
c. Jumlah urin inisial dicatat jumlahnya dan dinilai warnanya
d. Selama operasi berlangsung urin pasien dikumpulkan dalam
kantung pengumpul urin dan dinilai jumlah serta warna.

d.

Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh bertujuan untuk membantu

mempertahankan suhu tubuh yang normotermi selama anestesi. Monitoring


ini dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan termometer. Suhu tubuh
pasien dipertahankan normotermi (36-37,5 C) kecuali pada teknis khusus
anestesi (teknik anestesi hipotermi (suhu < 35C)). Hal-hal yang sebaiknya
diperhatikan pada monitoring suhu tubuh adalah:

Probe temperatur dipasang pada nasofaring pasien yang menjalani


anestesi umum dan pada aksila pada pasien yang dilakukan anestesi

regional.
Probe dimasukkan ke nasofaring melalui mulut agar menghindari

trauma pada saluran hidung


Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 36OC (terancam hipotermi),
berikan rumatan cairan dengan kristaloid yang sudah dihangatkan.
Selain itu, dapat juga diberikan penghangat pada bagian dalam kain
penutup pasien.

II.3 POSTOPERATIF
Postoperatif merupakan periode yang kritis, dimulai

setelah pembedahan dan anestesi diakhiri sampai pasien pulih dari


pengaruh anestesi. Pemulihan rutin yang dilakukan:
1. Pemulihan dari anestesi umum

Patensi

jalan

napas,

tanda-tanda

vital,

dan

oksigenasi harus diperiksa segera pada saat pasien masuk ruang pemulihan.
Tekanan darah, denyut nadi, dan pernapasan secara rutin diperiksa setiap 5
menit selama 15 menit atau sampai stabil, dan setiap 15 menit sesudahnya.
Pulse oximetry harus dipantau terus menerus pada semua pasien pulih dari
anestesi umum, setidaknya sampai mereka sadar. Terjadinya hipoksemia tidak
selalu berkorelasi dengan tingkat kesadaran. Fungsi neuromuskular juga
sebaiknya dinilai secara klinis, misalnya, angkat kepala. Monitoring tambahan
termasuk penilaian nyeri (misalnya, skala angka atau deskriptif), ada atau tidak
adanya mual atau muntah, status volume pasien meliputi urine output, drainase,
dan

perdarahan.

Setelah

tanda-tanda

vital

awal

telah

dicatat,

dokter

anestesiologi dan terapi intensif atau dokter lain yang mempunyai kompetensi
memberikan catatan singkat kepada perawat PACU yang mencakup sejarah praanestesi (misalnya status mental dan masalah komunikasi seperti hambatan
bahasa, ketulian, kebutaan, atau retardasi mental), peristiwa intra-anestesi yang
bersangkutan (jenis anestesi, prosedur bedah, kehilangan darah, penggantian
cairan, dan komplikasi yang terjadi), masalah paska-anestesi, dan instruksi
paska-anestesia (misalnya perawatan kateter epidural, transfusi, ventilasi pasca
operasi, dan lain-lain).
2. Pemulihan dari spinal anestesi

Pasien yang mendapatkan obat sedasi atau

hemodinamik tidak stabil setelah anestesi regional harus mendapatkan


terapi oksigen tambahan di PACU. Tingkat sensorik dan motorik
sebaiknya dicatat secara berkala setelah anestesi regional dan kemudian
didokumentasikan. Tekanan darah juga harus dimonitor. Kateter urin
diperlukan pada pasien yang menjalani
selama lebih dari 4 jam.
3. Kontrol nyeri

anestesi spinal atau epidural

Kontrol nyeri dilakukan dengan mengikuti Panduan

Manajemen Nyeri RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Pemberian


obat

NSAID

atau

dengan

parasetamol

secara

signifikan

dapat

mengurangi pemberian opioid paskaoperasi untuk beberapa prosedur.


Penggunaan selektif siklooksigenase-2 inhibitor (misalnya, rofecoxib dan
parecoxib) mengurangi efek samping potensial pada fungsi trombosit dan
komplikasi gastrointestinal. Demikian pula, intraoperatif infiltrasi luka dan
blok saraf (misalnya, ilioinguinal dan caudal) untuk prosedur tertentu juga
dapat mengurangi kebutuhan analgesik operasi.

Nyeri ringan sampai sedang dapat diobati secara


oral

dengan

parasetamol

ditambah

codeine,

hydrocodone,

atau

oxycodone. Atau, opioid agonis-antagonis (butorphanol, 1-2 mg, atau


nalbuphine, 5-10 mg) atau ketorolak tromethamine 30 mg secara
intravena.

Untuk nyeri

paskaoperasi yang berat

di PACU

dapat dikelola dengan opioid parenteral atau intraepidural, anestesi


regional, atau blok saraf tertentu. Pemberian intramuskular opioid
memiliki kelemahan onset yang tertunda (10-20 menit) dan depresi
pernafasan tertunda (sampai 1 jam).
4. Agitasi

Sebelum

pasien

sadar

penuh,

nyeri

dapat

dimanifestasikan sebagai kegelisahan paskaoperasi . Gangguan sistemik


yang serius (seperti hipoksemia, asidosis, atau hipotensi), distensi
kandung

kemih,

atau

komplikasi

bedah

(seperti

perdarahan

intraabdominal) juga sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang


mengalami

agitasi.

Pada

kondisi

agitasi,

sebaiknya

diperhatikan

kemungkinan cedera pada pasien terutama pada anak-anak. Karena


pengaruh psikologis pada anak-anak, dukungan dan keberadaan orang
tua juga diperlukan. Faktor penyebab lainnya termasuk kecemasan dan
ketakutan pra-anestesi serta efek samping obat (dosis besar obat
antikolinergik, fenotiazin, atau ketamin). Fisostigmin dengan dosis 1-2 mg
intravena (0,05 mg / kg pada anak-anak), adalah yang paling efektif
dalam mencegah delirium dibandingkan atropin dan skopolamin. Setelah
gangguan sistemik yang serius dan nyeri dapat disingkirkan, agitasi

persisten mungkin memerlukan sedasi dengan dosis intravena intermiten


midazolam, 0,5-1 mg (0,05 mg / kg pada anak-anak).
5. Mual dan muntah

Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah

masalah umum setelah anestesi umum dengan angka kejadian sebanyak 2030%. Etiologi PONV multifaktorial, melibatkan agen anestesi, jenis prosedur, dan
faktor pasien. Selain itu, penting untuk diperhatikan bahwa mual adalah keluhan
umum yang dilaporkan pada awal hipotensi, terutama setelah anestesi spinal
atau epidural.
6. Menggigil dan hipotermi

Hipotermia harus dikelola dengan penghangat,


lampu penghangat, selimut dengan tujuan untuk menaikkan suhu tubuh normal.
Menggigil menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen, produksi CO 2, dan
curah jantung. Efek fisiologis ini dapat kurang bisa ditoleransi pada pasien
penyakit jantung atau paru yang sudah ada sebelumnya. Hipotermia dikaitkan
dengan peningkatan insiden iskemia miokard, aritmia, peningkatan kebutuhan
transfusi, dan memperlama efek relaksasi otot. Dosis intravena kecil meperidine
(petidin),

10-50

mg,

secara

dramatis

dapat

mengurangi

atau

bahkan

menghentikan menggigil.

Kriteria pasien yang boleh dipindahkan ke ruangan

ialah berdasarkan Skor Aldrete. Penilaian dilakukan saat pasien masuk


ruang pemulihan. Selanjutnya dilakukan penilaian setiap 5 menit sampai
tercapai nilai total 10. Nilai untuk pemindahan pasien dari ruang
pemulihan adalah 10.

Tabel 2. Skor Aldrete Paska Anestesi di Ruang


Pulih

Kriteria

Mampu menggerakkan

keempat ektremitas
Mampu menggerakkan

kedua ektremitas
Tidak mampu

Aktiifitas

menggerakkan


Respiras

ekstremitas
Mampu nafas dalam dan

batuk
Sesak atau pernafasan

terbatas
Henti nafas

Berubah sampai 20% dari

pra bedah
Berubah 20-50% dari pra

bedah
Berubah >50% dari

prabedah
Sadar baik dan orientasi

Tekanan

abik

Kesadar

Sadar setelah dipanggil

Tak ada tanggapan

terhadap ransangan

Kemerahan

Pucat agak suram

Sianosis

Warna

Anda mungkin juga menyukai