Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Kejang adalah malfungsi / gangguan mendadak pada sistem listrik otak
yang diakibatkan oleh pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari saluran
cortex (Wong, 1997, hal 476).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu yang tinggi, suhu
badan yang tinggi menyebabkan gangguan neurologist. (Lumbon Tobing, 1995,
hal 3).
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi / anak yang biasanya terjadi
antara umur 3 bulan sampai dengan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi
tidak pernah terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab tertentu.
(Consensus Statement on Febrile Seizures, 1980).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak
mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat (1,2). Hal ini dapat terjadi
pada 2 5% populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada umur 6
bulan sampai 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia
<6 bulan atau >3 tahun. (Guideline).
Jadi kejang demam adalah kejadian kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh lebih dari 380C, banyak terjadi pada bayi atau anak usia 3 bulan
sampai 5 tahun tanpa terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab tertentu.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Anatomi
a. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena
merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral
yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh
selaput otak yang kuat.
Hipotalamus terletak pada anterior dan inferior thalamus. Berfungsi
mengatur dan mengontrol system syaraf autonom. Hipotalamus juga
bekerja sama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan
cairan, mempertahankan pengaturan suhu tubuh melalui peningkatan
fasokontriksi atau vasodilatasi dan mempengaruhi sekresi hormonal
dengan kelenjar hipofisis. Hipotalamus juga sebagai pusat lapar dan
mengontrol berat badan. Sebagai pengatur tidur, tekanan darah, perilaku
agresif dan seksual dan pusat respons emosional (mis. Rasa malu, marah,
depresi, panik dan takut).
b. Saraf Kepala (Saraf Otak)
Susunan saraf terdapat pada bagian kepala yang keluar dari otak dan
melewati lubang yang terdapat pada tulang tengkorak berhubungan erat
dengan otot panca indera mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.
Di dalam kepala ada dua saraf cranial, beberapa diantaranya adalah
serabut campuran gabungan saraf motorik dan saraf sensorik tetapi ada

yang terdiri dari saraf motorik saja atau hanya sensorik saja, misalnya alatalat panca indera. Saraf kepala terdiri dari:
1) Nervus Olfaktorius
Sifatnya sensorik menyerupai hidung membawa rangsangan aroma
(bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
Fungsinya: saraf pembau yang keluar dari otak di bawah dahi yang
disebut lobus olfaktorius, kemudian saraf ini melalui lubang yang ada
di dalam tulang tapis akan menuju rongga hidung selanjutnya menuju
sel-sel pancaindera.
2) Nervus Optikus
Sifatnya, sensoris, mensyarafi bola mata membawa rangsangan
penglihatan ke otak.
Fungsinya, serabut mata yang serabut-serabut sarafnya keluar dari
bukit IV dan pusat-pusat didekatnya serabut-serabut tersebut memiliki
tangkai otak dan membentuk saluran optik dan bertemu di tangkai
hipofise dan membentang sebagai saraf mata, serabut tersebut tidak
semuanya bersilang.
Sebagian serabut saraf terletak di sebelah sisi serabut yang berasal dari
saluran optik. Oleh sebab itu serabut saraf yang datang dari sebelah
kanan retina tiap-tiap mata terdapat di dalam optik kanan begitu pula
sebaliknya retina kiri tiap-tiap mata terdapat disebelah kiri.

3) Nervus Okulomotoris
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola
mata). Di dalam saraf ini terkandung serabut-serabut saraf otonomi
(para simpatis).
Fungsinya: saraf penggerak mata keluar dari sebelah tangkai otak dan
menuju ke lekuk mata dan mengusahakan persarafan otot yang
mengangkat kelopak mata atas, selain dari otot miring atas mata dan
otot lurus sisi mata.
4) Nervus Troklearis
Sifatnya motoris ia mensarafi otot-otot orbital.
Fungsinya: saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang
pusat saraf penggerak mata, dan saraf penggerak mata masuk ke dalam
lekuk mata menuju orbital miring atas mata.
5) Nervus Trigeminus
Sifatnya majemuk (sensoris motoris), saraf ini mempunyai 3 buah
cabang yaitu:
a) Nervus optalmikus. Sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala
bagian depan kelompok mata atas, selaput lendir kelopak mata dan
bola mata.
b) Nervus maksilaris. Sifatnya sensoris, mensarafi gigi-gigi atas, bibir
atas, palatum, batang hidung, rongga hidung dan sinus maksilaris.
c) Nervus mandibularis. Sifatnya majemuk (sensori dan motoris),
serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot pengunyah, serabut-

serabut sensorinya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan


dagu. Serabut rongga mulut dan lidah dapat membawa rangsangan
cita rasa ke otak.
Fungsinya: sebagai saraf kembar 3 dimana saraf ini merupakan saraf
otak terbesar yang mempunyai 2 buah akar saraf besar yang
mengandung serabut saraf penggerak. Dan di ujung tulang belakang
yang terkecil mengandung serabut saraf penggerak. Di ujung tulang
karang bagian perasa membentuk sebuah ganglion yang dinamakan
simpul saraf serta meninggalkan rongga tengkorak.
6) Nervus Abdusen
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital.
Fungsinya: sebagai saraf penggoyang sisi mata dimana saraf ini keluar
disebelah bawah jembatan pontis menembus selaput otak sela tursika.
Sesudah sampai di lekuk mata lalu menuju ke otot lurus sisi mata.
7) Nervus Fasialis
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris), serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir rongga mulut. Di dalam
saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonomi (parasimpatis) untuk
wajah dan kulit kepala.
Fungsinya: sebagai mimik dan menghantarkan rasa pengecap, yang
mana saraf ini keluar di sebelah belakang dan beriringan dengan saraf
pendengar.

8) Nervus Auditorius
Sifatnya sensoris, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak.
Fungsinya: sebagai saraf pendengar, yang mana saraf ini mempunyai 2
buah kumpulan serabut saraf yaitu: rumah keong (koklea), disebut akar
tengah adalah saraf untuk mendengar dan pintu halaman (vestibulum),
disebut akar tengah adalah saraf untuk keseimbangan.
9) Nervus Glossofaringeus
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris), ia mensarafi faring, tonsil
dan lidah.
Saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak, di dalamnya
mengandung saraf-saraf otonomi. Fungsinya: sebagai saraf lidah tekak
dimana saraf ini melewati lorong diantara tulang belakang dan karang,
terdapat dua buah simpul saraf yang di atas sekali dinamakan ganglion
jugularis atau ganglion atas dan yang dibawah dinamakan ganglion
petrosum atau ganglion bawah.
Saraf ini (saraf lidah tekak) berhubungan dengan nervus-nervus fasialis
dan saraf simpatis ranting 11 untuk ruang faring dan tekak.
10) Nervus Vagus
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris), mengandung serabut-serabut
saraf motorik, sensoris dan para simpatis faring, laring, paru-paru,
esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam
abdomen dan lain-lain.

Fungsinya: sebagai saraf perasa, dimana saraf ini keluar dari sumsum
penyambung dan terdapat di bawah saraf lidah tekak.
11) Nervus Assesorius
Sifatnya motoris, ia mensarafi muskulus sternokloide mastoid dan
muskulus trapezius.
Fungsinya: sebagai saraf tambahan, terbagi atas dua bagian, bagian
yang berasal dari otak dan bagian yang berasal dari sumsum tulang
belakang.
12) Nervus Hipoglosus
Sifatnya motoris, ia mensarafi otot-otot lidah.
Fungsinya: sebagai saraf lidah dimana saraf ini terdapat di dalam
sumsum penyambung. Akhirnya bersatu dan melewati lubang yang
terdapat di sisi foramen oksipital.
Saraf ini juga memberikan ranting-ranting pada otot yang melekat pada
tulang lidah dan otot lidah. (EP. Solomon, 478).

10

Gambar 1.
Anatomi Otak

Gambar Permukaan basalis otak yang memperlihatkan timbulnya saraf-saraf kranial.


(Dari: Eldra Pearl Solomon, et alHuman Anatomy & Physiology, hal. 478, 1990,
Harcourt Brace College Publisher Orlando, Florida.)

11

2. Fisiologi
Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme
(virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi
seperti komplek imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya. Ketika virus atau
bakteri masuk ke dalam tubuh, berbagai jenis sel darah putih atau leukosit
melepaskan zat penyebab demam (pirogen endogen), yang selanjutnya
memacu produksi prostaglandin E2 di hipotalamus anterior, yang kemudian
meningkatkan nilai ambang temperatur dan terjadilah demam.

Selama

demam, hipotalamus cermat mengendalikan kenaikan suhu tubuh sehingga


suhu tubuh jarang sekali melebihi 410C.
Suatu proses pengaturan berbagai kondisi fisiologis yang membantu
mempertahankan keadaan normal, disebut juga homeostatis dimana terdapat
empat faktor yang dapat mempengaruhi jalannya metabolisme dalam tubuh
adalah :
1. Adanya ketersediaan substrat
2. Pemindahan produk
3. Ketersediaan kofaktor
4. Pengaturan feedback yang terkait dengan jumlah produk dan aktifitas
enzim.

12

Gambar 2.
Alur metabolisme nutrient dan komponen tubuh

PAKAN

FESES
ENZIM PENCERNAAN

POOL NUTRIEN TUBUH


URIN & CO2

PANAS
KERANGKA TUBUH
KERJA

HORMON
ENZIM
KOENZIM

HASIL
KOMPONEN TUBUH

C. ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti, demam sering disebabkan
infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih, kadang-kadang demam tidak begitu tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Namun demikian ada beberapa faktor yang mungkin berperandalam
menyebabkan kejang demam, misalnya:
1. Demam itu sendiri.

13

2. Efek produk toksik daripada mikro organisme terhadap otak.


3. Respon alergik yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5. Ensefalitis Viral yang ringan yang tidak diketahui.
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas (Lumban Tobing, 1995).

D. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah Oksidasi, dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi adalah glukosa yang melalui oksidasi
dipecah menjadi karbondioksida dan air.
Sel dikelilingi suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
Lipoid dan permukaan luar adalah Ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida (Cl-), akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Sedangkan di luar
sel terdapat keadaan sebaliknya, karena perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini perlu energi dan bantuan
enzim Na-K.AT Pose yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

14

1. Perubahan konsentrasi ion dirubah ekstraseluler.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan (Hassan & Alatas, 1985).
Pada keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 10C pun bisa
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 15 % dan otak sebesar 20 %.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu akan terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion K+ dan Na+
melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 380C, sedang anak dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi
bila suhu mencapai 400C.
Bangkitan kejang demam tergantung pada ambang kejang tersebut yaitu
lebih banyak pada anak dengan ambang kejang rendah. Kejang demam yang
terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala
sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai

15

apnea. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot seklet
sehingga dapat terjadi juga hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan
metabolisme anaerob, hipotensi, dan denyut jantung yang tidak teratur,
meningkatnya suhu tubuh juga dapat terjadi.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga timbul edema otak yang mengakibatkan
rusaknya sel neuron otak.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat

menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.

E. MANIFESTASI KLINIK
Umumnya kejang demam berlangsung singkat berupa serangan kejang
klonik atau tonik klonik bilateral. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti
mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan gerakan sentakan
berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan.
Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI RSCM Jakarta, kriteria
Livingstone yang telah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat
diagnosis kejang demam sederhana ialah:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang berlangsung sebentar tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

16

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal


tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
(Ngastiyah, 1997, hal 231).

F. KOMPLIKASI
Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada
para orangtua, sebagian besar kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan
jangka panjang. Kejang demam simple tidak mengakibatkan kerusakan otak,
keterbelakangan mental atau kesulitan belajar, ataupun epilepsi.
Epilepsi pada anak diartikan sebagai kejang berulang tanpa adanya demam.
Kecil kemungkinan epilepsi timbul setelah kejang demam. Sekitar 2 4 % anak
kejang demam dapat menimbulkan epilepsi, tetapi bukan karena kejang demam
itu sendiri. Kejang pertama kadang dialami oleh anak dengan epilepsi pada saat
mereka mengalami demam. Namun begitu, antara 95 98% anak yang
mengalami kejang demam simple tidak menimbulkan epilepsi.
Komplikasi yang paling umum dari kejang demam, adalah adanya kejang
demam berulang. Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka
demam kembali. Resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika:
1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu
tinggi.
2. Jarak waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit.
3. Ada faktor turunan dari ayah-ibunya.

17

Namun begitu, faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah
usia. Semakin muda usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin
besar kemungkinan mengalami kejang berulang.

G. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan Fase Akut
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping,
bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau
penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa
ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada
pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan
secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.

18

f. Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui
dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher,
muntah-muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan
selain poin-poin di atas adalah sebagai berikut:
1. Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
2. Pemberian oksigen melalui face mask
3. Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau
jika telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
4. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
5. Dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan

hipoglikemia.

Adapun

sumber

lain

menganjurkan

pemeriksaan ini dilakukan pada anak yang mengalami kejang cukup lama
atau keadaan pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.
Berikut adalah tabel dosis diazepam yang diberikan:
Terapi awal dengan diazepam
Usia

Dosis IV (infus)

Dosis per rektal

(0.2mg/kg)

(0.5mg/kg)

< 1 tahun

12 mg

2.55 mg

15 tahun

3 mg

7.5 mg

510 tahun

5 mg

10 mg

> 10 years

510 mg

1015 mg

19

Jika kejang masih berlanjut :


1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kg per infus diulangi. Jika belum terpasang
selang infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Jika kejang masih berlanjut :
3. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kg per infus dalam 30 menit atau
fenitoin 15-20 mg/kg per infus dalam 30 menit.
4. Pemberian fenitoin hendaknya disertai dengan monitor EKG (rekam
jantung).
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang
perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan.
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Setelah penanganan akut kejang demam, sumber demam perlu diteliti.
Dalam sebuah penelitian, sumber demam pada kejang demam antara lain
infeksi virus (tersering), otitis media, tonsilitis, infeksi saluran kemih,
gastroenteritis, infeksi paru-paru (saluran napas bagian bawah), meningitis,
dan pasca imunisasi.
Beberapa pemeriksaan lanjutan hanya diperlukan jika didapatkan
karakteristik khusus pada anak.
a. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada
di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi (usia

20

< 12 bulan) karena gejala dan tanda meningitis pada bayi mungkin sangat
minimal atau tidak tampak. Pada kejang demam pertama di usia antara 1218 bulan, ada beberapa pendapat berbeda mengenai prosedur ini. Berdasar
penelitian yang telah diterbitkan, cairan serebrospinal yang abnormal
umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang :
1) Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
2) Mengalami complex partial seizure
3) Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48
jam sebelumnya)
4) Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
5) Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk
hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
Kejang pertama setelah usia 3 tahun. Pada anak dengan usia > 18
bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput
otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf
pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada
kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat

21

kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat


memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan
datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal
setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap
risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium,
fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang
demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari
sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
d. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CTscan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang
demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

3. Risiko dan Keuntungan Penanganan Jangka Panjang Pada Kejang


Demam
Pemberian obat-obatan jangka panjang untuk mencegah berulangnya kejang
demam jarang sekali dibutuhkan dan hanya dapat diresepkan setelah
pemeriksaan teliti oleh spesialis. Beberapa obat yang digunakan dalam
penanganan jangka panjang adalah sebagai berikut:

22

a. Antipiretik
Antipiretik tidak mencegah kejang demam. Penelitian menunjukkan tidak
ada perbedaan dalam pencegahan berulangnya kejang demam antara
pemberian asetaminofen setiap 4 jam dengan pemberian asetaminofen
secara sporadis. Demikian pula dengan ibuprofen.
b. Diazepam
Pemberian diazepam per oral atau per rektal secara intermiten (berkala)
saat onset demam dapat merupakan pilihan pada anak dengan risiko tinggi
berulangnya kejang demam yang berat. Namun, edukasi orang tua
merupakan syarat penting dalam pilihan ini. Efek samping yang
dilaporkan antara lain ataksia (gerakan tak beraturan), letargi (lemas, sama
sekali tidak aktif), dan rewel. Pemberian diazepam juga tidak selalu efektif
karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat
diberikan. Efek sedasi (menenangkan) diazepam juga dikhawatirkan dapat
menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat.
c. Profilaksis (obat pencegahan) berkelanjutan
Efektivitas profilaksis dengan fenobarbital hanya minimal, dan risiko efek
sampingnya (hiperaktivitas, hipersensitivitas) melampaui keuntungan yang
mungkin diperoleh. Profilaksis dengan carbamazepine atau fenitoin tidak
terbukti efektif untuk mencegah berulangnya kejang demam. Asam
valproat dapat mencegah berulangnya kejang demam, namun efek
samping berupa hepatotoksisitas (kerusakan hati, terutama pada anak
berusia < 3 tahun), trombositopenia (menurunnya jumlah keping darah

23

yang berfungsi dalam pembekuan darah), pankreatitis (peradangan


pankreas yang merupakan kelenjar penting dalam tubuh), dan gangguan
gastrointestinal membuat penggunaan asam valproat sama sekali tidak
dianjurkan sebagai profilaksis kejang demam.
Dari berbagai penelitian tersebut, satu-satunya yang dapat dipertimbangkan
sebagai profilaksis berulangnya kejang demam hanyalah pemberian diazepam
secara berkala pada saat onset demam, dengan dibekali edukasi yang cukup
pada orang tua. Dan tidak ada terapi yang dapat meniadakan risiko epilepsi di
masa yang akan datang.
4. Imunisasi dan kejang demam
Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang
diikuti kejang demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko
kejang demam pada beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
a. DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi,
dan menurun setelahnya.
b. MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14
setelah imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang
lebih besar daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca
imunisasi kemungkinan besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya.
Jadi kejang demam bukan merupakan kontra indikasi imunisasi.

24

H. PENGKAJIAN FOKUS
1. Aktifitas dan istirahat
Gejala

: keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktifitas atau


bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat
atau pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.

Tanda

: perubahan tonus atau kekuatan otot, gerakan involunter atau


kontraksi otot ataupun sekelompok otot.

2. Sirkulasi
Gejala

: ikfal, hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.

Postiktal : tanda-tanda fital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3. Eliminasi
Gejala

: inkontinensia episodik

Tanda

: a. Iktal adalah peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus


spingter.
b. Postiktal

adalah

otot

relaksasi

yang

mengakibatkan

inkontinensia ( baik urin atau fekal )


4. Makanan dan cairan
Gejala

: sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang


berhubungan efektivitas kejang.

Tanda

: kerusakan jaringan atau gigi ( cedera selama kejang )

5. Nyeri atau kenyamanan


Gejala

: sakit kepala, nyeri otot atau punggung, nyeri abdominal.

25

Tanda

: tingkah laku yang berhati-hati, perubahan pada tonus otot,


tingkah laku distraksi atau gelisah.

6. Pernafasan
Gejala

: iktal : gigi mengatup,sianosis, pernafasan menurun atau cepat,


peningkatan sekresi mukus.

7. Keamanan
Gejala

: riwayat terjatuh atau trauma, fraktur.

Tanda

: trauma pada jaringan lunak atau ekimosis


Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan cairan serebrospinalis, terutama untuk bayi yang berumur
kurang dari 6 bulan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis.
2. Pemeriksaan darah rutin, gula darah, elektrolit.
3. Pemeriksaan CT Scan.
4. Pemeriksaan elektro encephalo grafi, roentgen foto tengkorak.
( Lumbantobing, 1995 )

26

I. PATHWAYS KEPERAWATAN
Exogenus pyrogene

Sel host Inflamasi

Pusat termoregulator

Meningkatkan termostat

Perubahan Fisiologi dan Tingkah Laku

Proses peradangan

Demam

Suhu

Evaporasi (keringat

anoreksi

Resiko kekurangan
nutrisi

Gangguan pemenuhan
cairan

Mengubah keseimbangan
Membran sel neuron

Dehidrasi
Melepaskan muatan listrik yang besar

Resiko Injury

Kejang

Defisit Volume
Cairan

Resiko kerusakan
sel otak

Cemas

Kurang pengetahuan

Sumber: Suradi, 2001 & Ngastiyah, 1997

27

J. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus kejang demam
adalah:
1. Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi / inflamasi. (Carpenito, 1999,
hal 21).
Kriteia Hasil:
a. Suhu tubuh normal (36oC 37oC).
b. Klien bebas dari demam (Effendy, 1995).
Intervensi :
a. Beri kompres dingin atau hangat.
b. Beri dan anjurkan klien untuk banyak minum.
c. Anjurkan klien istirahat dengan tirah baring.
d. Anjurkan klien memakai pakaian tipis dan menyerap keringat.
e. Ciptakan suasana yang nyaman (atur Ventilasi).
f. Awasi suhu dan nadi tiap 6 jam.
g. Kalaborasi dengan medis untuk pemberian obat anti mikroba, antipiretik
dan pemberian cairan per infuse.
2. Resiko terjadi kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang. (Ngastiyah,
1997, hal 236).
Tujuan :
a. Tidak terjadi kerusakan sel otak.
b. Tidak terjadi komplikasi.

28

Kriteria Hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda kejang.
b. Peredaran darah lancar.
c. Suplai oksigen lancar.
d. Tidak ada tanda-tanda apnoe.
Intervensi :
a. Bila terjadi kejang, tidurkan pasien di tempat yang rata, miringkan kepala.
b. Pasang sudip lidah.
c. Longgarkan pakaian yang mengikat.
d. Isap lendir sesuai indikasi.
e. Berikan oksigen.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan anti kejang.
3. Resiko Injury berhubungan dengan kejang. (Suriadi, 2001, hal 52).
Kriteria Hasil :
Anak selalu aman dan terbebas dari injury.
Intervensi :
a. Hindarkan anak dari benda-benda yang membahayakan.
b. Gunakan alat pengaman.
c. Bila terjadi kejang, pasang sudip lidah di mulut.
d. Lakukan isap lendir.
e. Kalaborasi pemberian obat anti kejang.

29

4. Resiko kurang nutrisi berhubungan dengan anoreksia. (Carpenito, 1999, hal


259).
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil :
a. Klien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang disajikan.
(Effendy, 1995).
b. Mempertahankan berat badan yang stabil. (Doenges, 1999).
Intervensi :
a. Kaji berat badan pasien.
b. Sajikan makanan selagi hangat.
c. Beri makan porsi kecil tapi sering.
d. Libatkan orang tua dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
e. Beri makanan sesuai dengan diet.
5. Kecemasan berhubungan dengan dampak hospitalisasi. (Suradi, 2001).
Tujuan :
Menurunkan kecemasan anak.
Kriteria Hasil :
a. Anak kooperatif
b. Anak tidak rewel
Intervensi :
a. Instruksi agar orang tua tetap menemani anak.
b. Gunakan komunikasi therapeutik.

30

c. Berikan terapi bermain sesuai usia.


d. Jelaskan semua suasana yang aman dan nyaman.
6. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakit berhubungan dengan
kurangnya informasi. (Doenges, 1999).
Tujuan :
Ibu menyertakan pemahaman tentang proses penyakit dan kebutuhan
pengobatan.
Kriteria Hasil :
a. Keluarga mampu menyebutkan pengertian, penyebab, gejala dan
perawatan pasien demam.
b. Keluarga mampu memberikan pertolongan pertama pada pasien kejang
demam.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan keluarga untuk belajar.
b. Jelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala penyakit serta
penanganannya.
c. Anjurkan cara pertolongan pertama pada kejang demam.
d. Tekankan pentingnya kontrol secara rutin untuk mencegah kekambuhan.

31

Anda mungkin juga menyukai