Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN RINOSINUSITIS

A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal.
Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang
menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri pathogen yang terdapat di saluran napas
bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat
fraktur dan tumor (Benninger dan Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006)
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal, yang selalu
dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanik
atau alergi (Hwang dkk, 2009; Jorissen dkk, 2000; Baroody, 2007)
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis
apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010)
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus
paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai
rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus paranasal dan
kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis telah diganti menjadi istilah
rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis
yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee, 2008)
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai
gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada mukosa hidung
yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan berbagai etiologi dan
faktor predisposisi dan 1,2,3 berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan
tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi
serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai
dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001;
Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).
Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang tanpa
didahului rinitis dan tanpa melibatkan infl amasi mukosa hidung. Rinosinusitis menjadi
penyakit berspektrum infl amasi dan infeksi mukosa hidung dan sinus paranasal.
Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat infl amasi mukosa hidung dan sinus
paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu (Benninger
dkk, 2003)

Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery 1996, rinosinusitis
adalah peradangan kronik pada satu atau lebih mukosa sius paranasal. Secara embriologis
mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu
didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada
rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan Task force yang dibentuk oleh American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik
didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala
mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor (Hwang dkk, 2003;
Jirapongsananuruk, 1998 cit Setiadi 2009)
Rinosinusitis (maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal (sinus
maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya terdapat sumbatan hidung/obstruksi/
kongesti, atau ada sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), rasa nyeri/tertekan pada
wajah, berkurang atau hilangnya penghidu; juga temuan endoskopik: adanya sekret
mukopurulen terutama dari meatus medius, atau edema/sumbatan mukosa terutama di meatus
medius dan atau adanya perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal dan atau sinus pada
temuan tomografi komputer/ CT scan) (Fokkens dkk, 2007)

B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau dari lima
aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007) membagi
rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap
selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing
serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi rinosinusitis
menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis

infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
atas akut yang disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan dari infeksi
virus. Infeksi virus biasanya akan membaik tanpa terapi setelah 2 minggu. Virus yang biasa
menjadi penyebab adalah virus influenza, corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering
diikuti infeksi bakteri terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus)
dan haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor
lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik atau yang berkaitan dengan usia
(misalnya rinitis vasomotor dan perubahan hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk
menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan
di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund MacKay didasarkan
pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus dengan skor 0 bila tidak ditemukan
kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus,
dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu
mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus
individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich, 2004).
C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur,
semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas seperti
batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat menyebabkan edema pada mukosa
hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati
secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,
akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis maksila. Hal ini
terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi
yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus
maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang
menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak
menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi adalah suatu penyakit manifestasi reaksi

e.

f.

g.

h.

hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung
sebagai organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung
tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti bodi menimbulkan
pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat
menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya
infeksi, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terusmenerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.
Hal
ini
disebabkan
penderita
diabetes
mellitus
berada
dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan
terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Sebesar 25-30
% penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung sehingga mengganggu aliran
mukus.
Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi atau
paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran ostium sinus,
menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan menggangu clearance mukosilia
sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik dapatmengganggu
transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener atau sindrom
silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi
kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada
koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada transport
mukosiliar dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi
kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada fibrosis kistik
terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan mukus yang kental sehingga
menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan
terjadi kolonisasi kuman dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus
pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-).

Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus,
parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi udara dan
udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung, menyebabkan
perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus
dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi karena
menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya mukus terhambat dan
terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang
kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus paranasal terdiri
dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu,
membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan
udara, dan membantu produksi mucus untuk membersihkan rongga hidung.
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa
hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga hidung.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior
dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid.

Pembagian Sinus Paranasal


1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapata pada daerah tulang maksila.
Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml (34 x 33 x 23mm) saat berusia 15-18 tahun. Bentuk sinus maksila ini

adalah seperti piramida dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah
prosesus zygomatikus dari maksila.
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring dan gigi molar M3. Akar-akar gigi
tsb dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan rinosinusitis.
2. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus.
Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 67 ml (28 x 24 x 20 mm). Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran lekuklekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
3. Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Pada saat
janin yang berkembang pertama adalah sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh
secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun. Gabungan sel anterior dan posterior
mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk sinus etmoid seperti piramid dan
dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal yang
berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus
frontal dapat menyebabkan rinosinusitis frontal dan peradangan di infindibulum dapat
menyebabkan rinosinusitis maksila.
4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak berhubungan dengan
dunia luar sehingga jarang terkena infeksi. Sinus ini terletak dalam os sfenoid di belakang
sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid dibentuk di dalam kapsul rongga hidung dari hidung
janin dan tidak berkembang hingga usia 3 tahun.
Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar 7,5 ml (23 x 20 x 17
mm). Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring, sebelah lateral dengan sinus kavernosus
dan a. karotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa posterior di daerah
pons
E. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut
merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya
ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses
radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal menyebabkan
gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus
menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret
yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa
yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan
membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di
dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid
jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi
udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan
kerusakan silia.
Pathway

Pathway Rinosinusitis

F. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor
dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto
polos hidung dan sinus paranasal atau SPN (Busquets JM , 2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz,
2001)
1. Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala
Nyeri / rasa tekan pada wajah
Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
Demam, halitosis

Pada anak; batuk, iritabilitas


Sakit gigi
Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

a.

b.

c.

d.

a.

Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009)


1. Gejala Subjektif
Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara anatomi,
apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh
lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis
maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini
Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff menyatakan
bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti dan udema di ostium
sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah
suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan
dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit
sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang
bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tibatiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat
berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau
hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena
pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis
vena.
Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di sinussinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak tercium oleh
hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini
disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu
ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra
penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus
olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
Pembengkakan dan udem

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan
udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-sinuslah yang
merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya suatu
peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus
maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam
meatus medius.
G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering
ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat
timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya
dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena
disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal

Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa
sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan
tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan
udema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum
maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya batas cairan (air
fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan
aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik
untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik
tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan strukturstruktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus.
Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi
yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan
didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging
System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid
posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada
kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat
bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media,
konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.
I.

DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).

J. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum,
kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi

penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan
yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai terapi
awal. Pilihan antibiotika harus mencakup -laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke
II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua,
makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 14 atau lebih
jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti siprofloksasin,
golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada bakteri anaerob, dapat
diberi metronidazole.
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali
apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi
maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik dimukosa hidung dengan
efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter
ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena
efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung,
namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari)
akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari 50%
kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga kemungkinan
imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi,
generasi
kedua
lebih
disukai
seperti azelastine,
acrivastine,
cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid,
ada
2
jenis
kortikosteroid,
yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin,
sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan
besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.

Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi.


Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang
karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat
selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat
diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih
dahulu sehingga distribusi obat semprot merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal
serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, CaldwelLuc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat
dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan
ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka
berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang
hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi
dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih
efektif dan fungsional.
Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat
terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi
dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus
yang tersumbat diperlebar.
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan
kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT ISHIALGIA
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2. Riwayat Penyakit sekarang
Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa panas, bicara bendeng.
3. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.

4. Riwayat penyakit dahulu :


Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping.
Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik
purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan
bengkak)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status

kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura
olfaktorius

RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO KEPERAWATA
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
DX
N DAN
KOLABORASI
1 Bersihan
jalan NOC :
NIC :
nafas
tidak Respiratory status
: Airway Management
efektif
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thru
Ventilation
berhubungan
Respiratory status
: Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan mucus Airway patency
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas b
berlebih
Aspiration Control
Pasang mayo bila perlu
Kriteria Hasil :
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Mendemonstrasikan
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
batuk efektif dan suara Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
nafas yang bersih, tidak Lakukan suction pada mayo
ada sianosis dan dyspneu Berikan bronkodilator bila perlu
(mampu mengeluarkan Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
sputum, mampu bernafas Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
dengan mudah, tidak ada Monitor respirasi dan status O2
pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas Airway Suction
yang paten (klien tidak Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
merasa tercekik, irama Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
nafas,
frekuensi Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
pernafasan dalam rentang Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
normal, tidak ada suara Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasil
nafas abnormal)
nasotrakeal
Mampu
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
mengidentifikasikan dan Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam se
mencegah factor yang dikeluarkan dari nasotrakeal
dapat menghambat jalan Monitor status oksigen pasien
nafas
Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien m
bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.

2 Nyeri berhubung NOC :


NIC :
an
Pain
dengan Level, Pain
control, Pain Management
adanya sumbatan Comfort level
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif term
drainase sinus
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presip
Kriteria Hasil :
Mampu
mengontrol Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
nyeri (tahu penyebab Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
nyeri,
mampu pengalaman nyeri pasien
menggunakan
tehnik Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

nonfarmakologi
untuk Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
mengurangi
nyeri, Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan la
mencari bantuan)
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
Melaporkan bahwa nyeri Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
berkurang
dengan dukungan
menggunakan
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
manajemen nyeri
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Mampu mengenali nyeri Kurangi faktor presipitasi nyeri
(skala,
intensitas, Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
frekuensi dan tanda dan inter personal)
nyeri)
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Menyatakan
rasa Ajarkan tentang teknik non farmakologi
nyaman setelah nyeri Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
berkurang
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tanda
vital
dalam Tingkatkan istirahat
rentang normal
Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tin
tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat ny
pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekue
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari ana
pemberian lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis op
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan
teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberia
pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek sam
3 PK: Infeksi

Setelah
Pantau SDP (neutrofil dan limfosit)
dilakukan tindakan asuha Pantau tanda dan gejala infeksi primer dan sekunder
n keperawatan x 24 Pantau gejala septicemia
jam diharapkan perawat Pantau efek antibiotic
akan mencegah, menanga Pantau tanda dan gejala virus oportunistik (herpes, varic
ni
dan Pantau tanda dan gejala infeksi jamur (stomatitis
meminimalkan infeksi
meningitis)
dengan gejala:
Kaji dan pantau infeksi bakteri pada pulmonal
Suhu meningkat
Anjurkan intake nutrisi ditingkatkan
Urine buram/ bau flor Kurangi prosedur infasif
Ulser
pada
sisitem
gastrointestinal
Perubahan jumlah SDP
khususnya neutrofil dan

limfosit
Adanya
nyeri
pada
perineum
4 Cemas
NOC :
NIC :
berhubungan Anxiety control
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
dengan ancaman
Gunakan pendekatan yang menenangkan
Coping
terhadap
atau
Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
Impulse control
perubahan dalam Kriteria Hasil :
Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
status kesehatan Klien
mampu Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
mengidentifikasi
dan Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengu
mengungkapkan gejala Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan
cemas
Dorong keluarga untuk menemani anak
Mengidentifikasi,
Lakukan back / neck rub
mengungkapkan
dan Dengarkan dengan penuh perhatian
menunjukkan
tehnik Identifikasi tingkat kecemasan
untuk mengontol cemas Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecem
Vital sign dalam batas Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakut
normal
Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
Postur tubuh, ekspresi Barikan obat untuk mengurangi kecemasan
wajah, bahasa tubuh dan
tingkat
aktivitas
menunjukkan
berkurangnya kecemasan

Setelah
Kaji seberapa besar kehilangan sensasi bau pada klien
dilakukan tindakan asuha Kenalkan pasien dengan berbagai sensasi bau se
n keperawatan x 24 makanan, parfum dll
jam
diharapkan pasien Jelaskan pada pasien tentang keadaannya dan mek
dapat mempertahankan sehingga pasien jelas dengan keadaannya
fungsi
pembau
dan Kolaborasikan pemeriksaan selanjutnya dan terapi
mencegah
kerusakan Memberi helth education kepada pasien mengenai
yang lebih parah dengan fungsi pembau
kriteria hasil:
Libatkan keluarga dalam pengobatan dan perawaatan
Mempertahankan fungsi
pembau

5 Gangguan
persepsi
sensori penghidu
berhubungan
dengan
Sumbatan pada
fisura olfaktorius

6 Kurang
NOC :
NIC :
pengetahuan b.d
Kowlwdge
:
disease Teaching : Disease Process
kurangnya
Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien te
process
informasi
Kowledge
:
health penyakit yang spesifik
mengenai
Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaima
Behavior
kondisi,
Kriteria Hasil :
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara
prognosis
dan
Pasien
dan
keluarga Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pad
tindakan
menyatakan pemahaman dengan cara yang tepat
pengobatan
tentang
penyakit, Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
kondisi, prognosis dan Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang te
program pengobatan
Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, denga
Pasien
dan
keluarga tepat
mampu
melaksanakan Hindari harapan yang kosong

prosedur yang dijelaskan Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kem
secara benar
dengan cara yang tepat
Pasien
dan
keluarga Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diper
mampu
menjelaskan mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan
kembali
apa
yang pengontrolan penyakit
dijelaskan perawat/tim Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
kesehatan lainnya
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapa
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, denga
tepat
Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal,
yang tepat
Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk
pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tep

DAFTAR PUSTAKA
Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis
Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In: Itzhak
Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis Group
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah. Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT
FK Unair/RS Dr. Soetomo
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River

Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode
2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas Hasanuddin.
Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional endoscopic sinus surgery
di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes

Anda mungkin juga menyukai