PENDAHULUAN
pembangunan berkelanjutan secara umum sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai (Annonymous, 2001 dan 2004).
Konsep tersebut muncul sebagai upaya jalan keluar dalam menekan masalah kerusakan lingkungan yang
sudah dirasakan penduduk dunia sejak tahun 1960-an. Permasalahan ini ternyata menjadi isu utama pada
konferensi lingkungan hidup PBB tahun 1972 di Stokholm (Commonwealth Government,1990 dan World
Commission on Envirnment and Development, 1990). Penguatan isu ini muncul pada tahap persiapan konferensi
tersebut, dimana negara dunia ketiga mengemukakan bahwa kerusakan lingkungan terjadi akibat rendahnya
pembangunan (under-development) di negara berkembang dan sebaliknya di negara maju telah terjadi
pembangunan yang berlebihan (overdevelopment). Ketimpangan tersebut harus diatasi dengan melakukan
pembangunan yang berwawasan lingkungan (eco-development).
Isu pembangunan berkelanjutan ini semakin kuat dan disebutkan secara eksplisit pada tahun 1992 di
konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nation Conference on Environment and Development,
UNCED) di Rio de Janeiro Brasil yang antara lain menghasilkan Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan di
seluruh dunia. Selanjutnya pada tahun 2002, PBB menyelenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World
Summit on Sustainable Development) di Johannesburg Afrika Selatan, nama konferensi itu jelas-jelas menekankan
pembangunan sebagai perhatian utama (Annonymous; 2001, 2002 dan 2005).
Di Indonesia, issu pembangunan berkelanjutan mulai dikenal pada tahun 1980-an yang selanjutnya
dijadikan azas dalam Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Kepedulian tersebut diwujudkan dengan
meratifikasi Agenda 21 sebagai salah satu pedoman perencanaan pembangunan nasional. Harapan tersebut,
selanjutnya diikuti oleh penyusunan rencana dan kebijakan sektoral yang mencakup sektor pertambangan, energi,
perumahan, pariwisata, dan kehutanan.
Oleh karena itu, dalam rangka mengevaluasi implementasi program pembangunan tersebut, diperlukan
alat ukur kriteria kriteria yang berpihak kepada bidang lingkungan, ekonomi dan sosial serta secara kuantitatif
dapat memberikan gambaran penilaian bahwa pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan itu berhasil
atau perlu dilakukan upaya-upaya penyempurnaan. Satuan alat ukur tersebut disebut sebagai Indeks
Pembangunan Berkelanjutan, dimana indeks menggambarkan nilai dari sejumlah variabel resultante yang
berpengaruh terhadap perubahan hasil pembangunan. Perbedaan nilai atau besaran skala indeks, menunjukkan
perbedaan hasil pembangunan.
Beberapa jenis Indeks, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), Indeks Pendapatan, Indeks
Kepekaan Lingkungan yang sering dikemukakan dalam berbagai media pemeberitaan, ternyata satu sama lain
saling melengkapi, bahkan adapula yang merupakan hubungan sebab dan akibat. Selanjutnya, bila ditelaah lebih
mendalam, ternyata indikator dan parameter yang digunakan pada masing-masing indeks tersebut, secara
substansial terangkum dalam rumusan indeks pembangunan yang dikenal sebagai Indeks Pembangunan
Lingkungan Berkelanjutan (Environmental Sustainability Index/ESI). ESI diprakarsai oleh Badan Dunia UNEP. World
Economic Forum, Lembaga Regional European Community, Universitas Yale dan Columbia (Bappenas, 2006;
Batelmus, 2002; Esty et.all, 2005 dan Annonymous; 2001, 2002 dan 2005).
Dengan demikian, penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) Indonesia, merupakan upaya bertahap
dalam mempersiapkan suatu sistem penilaian pembangunan berkelanjutan berdasarkan resultante dari
pemanfaatan atau perubahan kualitas sosial, ekonomi dan lingkungan.
1.2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan metodologi atau perangkat penyusunan Indeks
Pembangunan Berkelanjutan (IPB) disesuaikan dengan kondisi Indonesia, digunakan untuk mengukur status
perubahan (Indikasi Perubahan) hasil pembangunan di wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada tataran setingkat
Propinsi, kabupaten dan kota dalam rangka melakukan pembangunan yang menjamin keberlanjutan sumberdaya
yang tersedia.
2.
METODOLOGI
Kajian kualitas lingkungan ini dilakukan dengan berpedoman kepada tiga pilar pembangunan
berkelanjutan yang dikenal sebagai bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Selanjutnya dilakukan penetapan
parameter kunci bidang lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan lingkungan, menetapkan parameter
kunci bidang sosial yang berkaitan dengan pembangunan sosial masyarakat serta menetapkan parameter kunci
bidang ekonomi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Selanjutnya dari masing-masing bidang akan tersusun dibawahnya sebagai aspek pembangunan, di bawah
masing-masing aspek pembangunan akan tersusun sejumlah indikator pembangunan dan di bawah indikator
pembangunan akan tersusun sejumlah parameter kunci yang diperlukan dalam penilaian status pembangunan
berkelanjutan, sebagaimana digambarkan pada bagan hirarki Indeks Pembangunan Berkelanjutan Gambar 1.
Dalam penentuan Indeks Pembangunan Berkelanjutan di atas, diperlukan penentuan indikator dan
parameter secara lebih fokus dengan mempertimbangkan bahwa indikator dan parameter harus representatif
dalam arti mencerminkan indikator maupun parameter kunci yang memiliki makna yang luas, indikator dan
parameter harus valid, indikator dan parameter mudah didapat dan mudah dihitung serta indikator dan parameter
tersedia secara kontinyu.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka masing masing parameter kunci ke tiga pilar pembangunan ditetapkan dan
selanjyutnya dilakukan analisis hubungan interaksi antara parameter kunci masing masing pilar (bidang lingkungan,
ekonomi dan sosial) sehingga diperoleh suatu resultante parameter kunci sebagai penyusun Indeks Pembagunan
Berkelanjutan (IPB).
b)
c)
d)
3.
Nilai IPB berkisar: 60 IPB < 80 dikatakan baik, artinya kegiatan pembangunan pada umumnya sudah
berwawasan lingkungan, namun demikan masih ada beberapa sektor pembangunan yang harus tetap
dipantau perkembangannya, apakah cenderung merusak lingkungan atau tidak.
Nilai IPB berkisar: 40 IPB < 60 dikatakan Kurang baik , artinya kegiatan pembangunan terutama pada
sektor-sektor yang bertumpu pada sumber daya alam, dan dampak lingkungan dari kegiatan pembangunan
tersebut telah berakibat pada semakin menurunnya kaulitas lingkungan. Sehingga perlu segera dilakukan
pengendalian dan pemulihan pada sektor-sektor yang merusak lingkungan tersebut.
Nilai IPB berkisar 0 IPB < 40 dikatakan Tidak baik, artinya mayoritas sumberdaya pembangunan telah
diekspliotasi dengan cara yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan, dan dampak pembangunan sudah
sangat merusak lingkungan, sehingga pengambil kebijakan perlu segera melakukan reorientasi dan
peninjauan ulang strategi dan kebijakan pembangunannya, karena apabila diteruskan dalam jangka pendek
akan berpotensi penurunan produktivitas di hampir semua sektor pembangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Air
Udara
Lahan
Pendidikan
Tenaga Kerja
Indikator.
Parameter
Bidang Lingkungan
Hunian,
Industri,
COD
Pertanian
Hunian,
Industri,
CO2
Pertanian
Hunian,
Industri,
Land Cover
Pertanian
Bidang Ekonomi
% Investasi Thd PDRB
PDRB
PDRB / kapita
Pendapatan
Distribusi Pendapatan
perKapita
Bidang Sosial
Angka
Harapan Angka Kematian Anak Anak
Hidup (AHH)
Dibawah 5 Tahun
Jumlah Anak Yang Mencapai
Tingkat Pendidikan
Wajib Belajar 9 Tahun
KetenagaKerjaan
Angka pengangguran
Sebagaimana telah dirumuskan bahwa interaksi seluruh parameter terpilih dalam bidang pembangunan
(lingkungan, ekonomi dan sosial) telah memperlihatkan sejauhmana hubungan keterkaitan itu menjadi penting
dalam menyusun penilaian indeks pembangunan. Pola keterkaitan antar parameter dengan pilar pembangunan
dijelaskan pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 2. Keterkaitan Parameter Bidang Lingkungan dengan Bidang Sosial dan Bidang Ekonomi
Sebagai suatu ilustrasi bahwa angka harapan hidup merupakan salah satu parameter penting dalam
pembangunan sosial karena mempunyai keterkaitan dengan masalah ekonomi dan lingkungan suatu wilayah,
sedangkan lama sekolah merupakan parameter penting dan menentukan kemajuan suatu bangsa dalam suatu
wilayah dan merupakan modal jangka panjang dalam mengelola ekonomi dan lingkungan. Demikian halnya, angka
pengangguran merupakan ciri khas suatu bangsa maju yang memikirkan masa depan untuk kemajuan ekonomi
bangsanya, dan menentukan besarnya kerusakan pada sumberdaya alam dan lingkungan.
Selanjutnya, pengeluaran perkapita merupakan pendekatan terbalik dalam menentukan besarnya
pendapatan perkapita yang mencirikan kecukupan minimal bangsa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari, dan hal ini tentunya dibarengi dengan hitungan distribusi pendapatan yang tersebar dalam setiap tingkat
sosial masyarakat. Sedangkan persen investasi dari besarnya PDRB suatu daerah menicirikan keberlanjutan dan
mendorong terjadinya penurunan angka pengangguran penciptaan lapangan kerja di masa yang akan datang.
Hal lain adalah pola kerusakan fisik suatu wilayah dapat ditentukan oleh besarnya hutan yang tersisa dari
jumlah minimal yang harus dipenuhi untuk mempertahankan stabilitas lingkungan, ekonomi dan gejolak sosial
masyarakat. Selain itu, besarnya kadar CO2 juga merupakan penentu penting dalam kerusakan fisik dari hasil
pembakaran energi yang digunakan untuk pembangunan, lebih efisien pembangunan tentunya akan mengurangi
keluaran CO2. Sedangkan terakhir faktor penentunya adalah COD (Chemical Oxygen Demand) yaitu kebutuhan
oksigen untuk mendegradasi atau menetralisir bahan-bahan kimia dalam air.
Gambar 3. Keterkaitan Parameter Bidang Ekonomi dengan Bidang Sosial dan Bidang Lingkungan
Gambar 4. Keterkaitan Parameter Bidang Sosial dengan Bidang Ekonomi dan Bidang Lingkungan
Dengan demikian, berdasarkan hubungan interaksi tersebut, maka Indeks Pembangunan Berkelanjutan
(IPB) dapat diformulasikan sebagai berikut :
IPB
= (COD, CO2, landcover, pengeluaran perkapita, % investasi PDRB,
distribusi pendapatan angka kematian balita, lama sekolah,
angka pengang-guran,)
Formula IPB di atas tersusun sampai pada tataran formula yang masih bersifat semi kuantitatif, sehingga untuk
mendapatkan indeks yang qualified perlu disempurnakan menjadi formula kuantitatif berbasis skala prioritas pada
setiap pilar/bidang pembangunan berkelanjutan, serta mempertimbangkan kondisi spesifik masing-masing daerah.
3.2. Rekapitulasi Nilai Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB)
Penghitungan nilai IPB ini adalah sebagai suatu pengujian penghitungan, mengingat formula ini belum
dilengkapi dengan pembobotan masing masing parameter kunci. Untuk menetapkan nilai IPB, sebagai suatu
contoh perhitungan, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan data parameter yang diperlukan, maka
wilayah contoh yang dipilih adalah setingkat Provinsi yakni Provinsi Bali, Lampung dan Sumatera Barat.
Setelah dilakukan perhitungan nila indeks masing masing parameter kunci, maka hasil perhitungan
parameter kunci bidang lingkungan, bidang ekonomi dan bidang sosial dirangkum sebagaimana disajikan pada
Tabel 2 dan selanjutnya dimasukkan kedalam formula persamaan IPB sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Proses perhitungan dengan formula IPB dilakukan dengan menjumlahkan nilai indeks semua parameter kunci
dibagi jumlah parameter kunci itu sendiri dengan asumsi bahwa semua parameter memiliki bobot yang sama.
Tabel 2. Rekapitulasi perhitungan Indeks Pembangunan Bekelanjutan (IPB)
ANGKA
KEMATIAN
LAMA
PENGANG
BALITA
SEKOLAH GURAN
PROVINSI
DAYA BELI
GINI RASIO
PERTUMBUHAN
PDRB
LAND
COVER
BALI
62.56
67
46.2
78
53.3
73.4
27
92.85 100
66.70
LAMPUNG
59.12
63
50.7
62
46
66.2
17
87.84 100
61.32
SUMBAR
60.62
70
54.7
56
51
55.3
51
COD
100
CO
100
IPB
66.51
Hasil perhitungan nilai IPB ketiga Provinsi tersebut adalah 66.70 untuk Provinsi Bali, 61.32 untuk Provinsi
Lampung dan 66.51 untuk Provinsi Sumatera Barat. Ke tiga nilai IPB tersebut termasuk dalam kategori baik,
artinya bahwa kegiatan pembangunan tiga Provinsi tersebut sudah berwawasan lingkungan, namun demikan
masih ada beberapa sektor pembangunan yang harus tetap dipantau perkembangannya, apakah cenderung
merusak atau tidak tatanan pilar pembangunan yaitu bidang lingkungan, bidang ekonomi dan bidang sosial. Untuk
memberikan gambaran tersebut secara sederhana ditampilkan pada peta Gambar 5.
Meskipun nilai indeks IPB masing masing Provinsi > 60 termasuk kategori baik (lihat Tabel 2), sudah
memperhatikan nilai nilai pembangunan berwawasan lingkungan, tetapi ditinjau dari beberapa parameter
pembangunan berkelanjutan, ternyata beberapa parameter menunjukkan nilai yang kurang baik sampai tidak
baik, seperti penutupan lahan (land cover) Propinsi Sumbar 51; Propinsi Lampung 17 dan Propinsi Bali 27
termasuk nilai indeks IPB tidak baik sampai kurang baik (Nilai IPB berkisar: berkisar 0 IPB < 40 kategori Tidak baik
dan Nilai IPB berkisar 40 IPB < 60 kategori kurang baik). Demikian halnya pertumbuhan PDRB Propinsi Sumbar
54,7; Propinsi Lampung 50,7 dan Propinsi Bali 46,2. termasuk nilai indeks IPB kurang baik (Nilai IPB berkisar: 40
IPB < 60 kategori kurang baik).
Dengan nilai indeks masing masing parameter tersebut, maka masing masing Propinsi dapat memfokuskan
rencana pembangunannya kedepan kepada nilai indeks parameter yang dianggap masing kurang baik atau atau
nilai indeks masih rendah.
Ada beberapa hal yang kemungkinan menyebabkan nilai IPB ketiga Provinsi itu sama yakni :
1) Penetapan selang status nilai indeks belum tepat, misalnya selang yang digunakan masing masing status
indeks relatif sama menggunakan selang 20 skala (kurang baik 40 IPB < 60, baik 60 IPB < 80 dan sangat
baik 80 IPB 100), kecuali kategori tidak baik menggunakan selang 40 skala (0 IPB < 40), padahal
semakin tinggi status akan semakin sukar mencapainya.
2) Belum ditetapkannya bobot masing masing parameter kunci terhadap perubahan hasil pembangunan.
PENUTUP
1. Dari proses analisis dan sintesis, ditetapkan beberapa indikator dan parameter kunci masing masing pilar
pembangunan :
a. Parameter kunci bidang lingkungan meliputi; COD, CO2 dan land cover
b. Parameter kunci bidang ekonomi meliputi; pengeluaran perkapita, % investasi PDRB, distribusi pendapatan
c. Parameter kunci bidang sosial meliputi; angka kematian balita, lama sekolah, angka pengangguran .
2. Berdasarkan parameter kunci terpilih, disusun Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) sebagai resultante dari
beberapa parameter kunci Bidang Lingkungan, Sosial dan Ekonomi.:
IPB
= (COD, CO2, landcover, pengeluaran perkapita, % investasi PDRB,
distribusi pendapatan angka kematian balita, lama sekolah,
angka pengang-guran,)
3. Nilai IPB Provinsi Bali, Lampung dan Sumater Barat termasuk dalam kategori baik, dengan nilai masing masing
66.70 untuk Provinsi Bali, 61.32 untuk Provinsi Lampung dan 66.51 untuk Provinsi Sumatera Barat.
4. Namun demikian, hasil perhitungan indeks tersebut dinilai masih kurang peka, karena meskipun beberapa
parameter menunjukkan nilai yang kurang baik bahkan tidak baik, ternyata secara kumulatif nilai IPB yang
dihasilkan masih masuk dalam kategori baik. Untuk itu penyempurnaan selang status nilai dan perhitungan
dengan pembobotan perlu diupayakan sehingga diperoleh hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA