Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
telah diberikan penjelasan yang tertera bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Dalam rangka mempelancar pengurusan, penggunaan
serta pemanfaatan kekayaan negara, maka seluruhnya diserahkan kepada negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yang bertindak selaku Badan
Penguasa berdasarkan wewenang dari rakyat serta mempergunakan wewenang itu
untuk sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat.
Adapun arti dikuasai atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik
maupun jugs dalam arti yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik.
Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang
dilindungi hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang
hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan tanah miliknya untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut,
pemilik tanah menjual tanah dengan tanda bukti segel sebagai pernyataan jual bell
tanah antara pemilik (penjual) dengan pembeli.
Dari kasus-kasus yang menyangkut tanah tersebut terlebih lagi dalam hal
sengketa tanah yang mungkin terjadi dapat dikatakan tidak pernah surut, hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya pertumbuhan aktifitas manusia dan semakin
kompleksnya masalah yang terjadi antara sesama sehingga dapat menimbulkan
kecenderungan konflik dan sengketa tanah dikarenakan peningkatan jumlah

penduduk yang bertolak belakang dengan kondisi tanah karena luas tanah tidak
mungkin mengalami peningkatan atau perluasan, kontradiksi inilah yang sering
memicu timbulnya gesekan-gesekan kepentingan yang berkaitan dengan
penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria sendiri yang merupakan peraturan
bidang pertanahan, memang mengandung 2 (dua) dimensi, yaitu :
1.

Hak Publik yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari
negara, hal ini terkait dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan

2.

Hak Perorangan berupa hak-hak yang dapat dipunyai/dimiliki seseorang untuk


menjual, menghibahkan, dan lain-lain.
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita hams mengenal arti dari
"Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti yuridis,
beraspek privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai secara fisik tanah
yang dimilikinya.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA):
Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak
Menguasai Negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, hubungan antara
negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan
perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan
perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut.
Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat
diperlukan untuk pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar
hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas
tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi
haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi
tolak ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai
tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah
melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara
harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak
saling merugikan.

Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap
hak publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria. Hak publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan
Pertanahan Nasional, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dalam proses
peralihan haknya.
Sebagai gambaran, pada saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan
bisnis properti terpuruk, maka kasus-kasus yang timbul dan sering mencuat ke
permukaan adalah berkaitan dengan tanah baik itu mengenai penggusuran tanah
untuk keperluan pembangunan, perumahan maupun industri yang didominasi oleh
pihak-pihak yang kuat terhadap pihak-pihak yang lemah ekonominya.
Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik
individu antar sesama terlebih dalam hal kepentingan masing-masing yang
berbeda, hal-hal inilah yang menimbulkan dan mendatangkan dampak baik itu
secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa tanah yang
timbul telah memaksa pihak-pihak yang saling terlibat untuk mengeluarkan biaya
dimana semakin lama proses penyelesaian sengketa/konflik ini maka semakin
besar pula biaya yang hams dikeluarkan. Dalam hal ini dampak kelanjutan yang
berpotensi terjadi adalah penurunan produktifitas kerja atau usaha disebabkan
karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang bersengketa hams
mencurahkan tenaga dan pikiran dan meluangkan waktunya secara khusus.
Disatu sisi dalam masyarakat yang pluralisme yang mempunyai berbagai
macam budaya adat dan istiadat di Indonesia, mereka yang masih memegang
teguh dan mempercayai kebiasaan dari warisan nenek moyang/leluhur mereka
dalam bersosialisasi atau bermasyarakat dan amat begitu kokoh dan penuh dengan

kekeluargaan yang tinggi antara sesamanya sehingga dalam melakukan segala hal
mengenai jual beli mereka masih menggunakan sistem tukar-menukar hasil tanah
atau hasil kebun (barter) hal ini masih melekat disebagian kecil masyarakat kita di
daerah pedalaman dan hal ini pula yang sebagian besar terjadi di dalam
masyarakat kita dalam jual beli tanah yang masih menggunakan surat bukti atas
hasil dari transaksi jual beli tanah dari si pemilik tanah dengan si pembeli tanah
yang biasa disebut dengan segel.
Segel atau surat bukti jual beli dari penjual ke pembeli tanah tersebut masih
merupakan suatu tanda sahnya jual beli di antara pars pihak yang berkepentingan
tetapi surat bukti ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat jika tidak
diterbitkan sertifikat tanah yang merupakan bentuk dari surat kepemilikan resmi
dari pemerintah bahwa tanah tersebut telah tercantum dan terdaftar di kantor
pertanahan setempat dimana letak tanah itu berada.
Hal ini yang sering menimbulkan konflik di masyarakat kita di Indonesia
bahwa tanah yang mereka miliki dari pembelian mereka atas tanah tersebut
ternyata diserobot oleh pihak lain yang juga mempunyai kepentingan di atas tanah
itu, akibatnya timbullah konflik/ sengketa tanah mengenai perebutan status
kepemilikan yang sah atas tanah tersebut dan hal ini amat sangat memprihatinkan
di kalangan masyarakat kita, karena masih minimnya pengetahuan masyarakat
Indonesia akan pentingnya pendaftaran tanah yang mereka miliki agar dapat
terhindar ataupun dapat mengurangi resiko tumpang tindih kepemilikan atas tanah
yang sama.
Untuk menghindari sengketa suatu peralihan hak atas tanah dalam hal jual
beli haruslah dipenuhi syarat formil dan syarat materiil yaitu :

1. Syarat Formil harus ditempuh sesuai dengan prosedur dan syarat yang
ditetapkan yaitu dibuat oleh/ dihadapan PPAT sebagai pejabat umum yang
ditunjuk dan juga hams dipenuhi pula syarat administrasi lainnya seperti
diserahkannya sertifikat asli bagi yang sudah bersertifikat ataupun bukti
lain seperti segel dan surat bukti lainnya.
2. Syarat Materiil :
a. Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya
b. Pembeli adalah orang yang berhak untuk membeli hak atas tanah yang
akan dibelinya.
c. Tanah yang akan dijual (boleh diperjual belikan dan tidak dalam
keadaan sengketa)
Nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif dan nomor 3 sebagai syarat
objektif. Penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam bidang perdata, yang
pada umumnya ditempuh adalah melalui jalur peradilan umum sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang disebutkan bahwa
kewenangan dari peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal
sebagai berikut :
1. Pasal 2 menyatakan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu
pelaksana kekuatan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya.
2. Pasal 6 Pengadilan terdiri dari :
-

Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat


Pertama

Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat


Banding

3. Pasal 50, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,


memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di
tingkat pertama.
4.

Pasal 51 :
- Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana
dan perkara perdata di tingkat banding.
- Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar pengadilan negeri
di daerah hukumnya

Ini merupakan suatu jalan tempuh penyelesaian melalui jalur litigasi yang
memakan waktu yang panjang dan lama disamping itu juga memakan biaya yang
banyak dan ini merupakan hambatan bagi para pihak yang ingin mencari keadilan,
terlebih bagi masyarakat yang berada pada golongan ekonomi menengah ke
bawah yang tidak mampu membayar biaya perkara. Maka hendaknya sengketasengketa pertanahan yang terjadi diselesaikan secara komprehensif dan terintegral
dengan lebih mengedepankan prinsip win-win solution melalui jalur non-litigasi.
Begitu pula dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat
yang lebih dikenal dan telah berakar di dalam masyarakat Indonesia sebagai
bentuk penyelesaian yang telah hidup dan dihormati dalam pergaulan antar sosial,
pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional melalui
musyawarah dan mufakat lebih ditekankan kepada untuk menjaga keharmonisan
kelompok atau persatuan dan kesatuan bangsa, penyelesaian sengketa ini memiliki
ragam bentuk misalkan mediasi atau arbitrase, mediasi dipandang lebih efektif
sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak.
Penyelesaian sengketa melaui ADR secara implisit dimuat dalam Perpres
Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam struktur
organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan

Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dan BPN telah menerbitkan


Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui
Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 dan dalam menjalankan tugas
tersebut BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi setelah berlakunya
Perpres Nomor 10 Tahun 2006.
Pada era baru yang dikatakan sebagai zaman reformasi layaknya saat ini
banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, dalam arti perkembangan di
masyarakat yang semakin lama semakin maju, perubahanperubahan di atas baik
itu di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta hukum khususnya dalam
bidang investasi. Imbas dari adanya perkembangan dalam bidang hukum
berdampak pula pada makin meningkatnya kesadaran hukum dimasyarakat dalam
berinteraksi antar sesama.
Kesadaran ini lah yang melahirkan adanya suatu proses hukum yang
dilakukan oleh masyarakat jika terjadi sengketa dengan menggunakan mediasi
untuk menyelesaikan permasalahan agar dapat mencapai suatu kesepakatan yang
menguntungkan bagi kedua belah pihak dengan melalui jalur perundingan. Dalam
perkembangannya penyelesaian sengketa kemudian digunakan istilah Dispute
Resolution (DR) atau mekanisme Penyelesaian Sengketa (MPS) pada UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tata cara penyelesaian sengketa melalui
ADR yakni sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat
melalui predur yang disepakati para pihak dengan penyelesaian diluar pengadilan
salah satunya dengan cara mediasi.
Latar belakang adanya proses mediasi ialah dengan penyelesaian diluar
pengadilan masyarakat dapat lebih cepat ketimbang dengan berperkara di

pengadilan yang memakan waktu yang lama, selain itu biaya yang mahal dapat
ditekan, selain itu terkadang putusan di pengadilan tidak menyelesaikan perkara.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah
yuridis yang akan dibahas dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:
1.Bagaimana bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui
Peradilan Umum?
2.Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui mediasi di
pengadilan?

C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Tujuan penelitian sebagai berikut:
1.

Untuk mengetahui bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas

tanah melalui Peradilan Umum.


2.

Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui

mediasi di pengadilan.
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara teoritik untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya
pengernbangan aspek hukum yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa
dalam bidang hukum perdata khususnya dalam hal penyelesaian sengketa hak-hak
atas tanah dengan melalui jalur mediasi.
2. Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran bagi sekaligus memperkaya
perspektif mengenai hukum di positif, khususnya di bidang hukum perdata
mengenai alternatif penyelesaian sengketa perdata (ADR) atau disebut dengan
Alternative Dispute Resolution.
D.

Tinjauan Pustaka

1.

Penguasaan Atas Tanah Sebagai Bentuk dan Kewenangan Pemegang Hak


Kembali kepada pengertian penguasaan terhadap suatu tanah berarti
dikuasai atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun juga dalam
arti yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti

yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya
untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah
dengan tanda bukti segel sebagai pernyataan jual beli tanah antara pemilik
(penjual) dengan pembeli.
Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti
yuridis, beraspek privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai secara fisik tanah
yang dimilikinya.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan:
Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 Pasal ini memberikan
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak
Menguasai Negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, hubungan antara
negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan
perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan

perlindungan hak-hak yang timbul dan hubungan-hubungan hukum tersebut.


Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat
diperlukan untuk pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar
hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas
tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi
haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi
tolak ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai
tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah
melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara
harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak
saling merugikan.
2.

Bentuk Hak-Hak Atas Tanah dan Wewenang yang Dimiliki Oleh Pemegang
Hak Atas Tanah.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan peraturan bidang
pertanahan, mengandung dua dimensi, yaitu :
a. Hak Publik, yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai"
dari negara,
b. Hak perorangan, berupa hak-hak yang dapat dipunyai/ dimiliki seseorang
untuk menjual, menghibahkan, dan lain-lain.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambii manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.
Hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hakhak perseorangan atas tanah, adalah hak yang memberikan wewenang kepada
pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara besamasama, badan
hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau
mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.
Selanjutnya, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah
terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi
dan air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2)
UUPA).
b. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalka wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan.
Macam-macam hak atas tanah termuat dalam Pasal 16 jo Pasal 53 UndangUndang Pokok Agraria, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap


Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan Undang-Undang yang barn. Macam-macam hak atas tanah
ini adalah :

Hak milik;
Hak Guna Usaha;
Hak Guna Bangunan;
Hak Pakai;
Hak Sewa Unuk Bangunan;
Hak membuka tanah, dan
Hak memungut hasil hutan;

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang


Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dalam
undang-undang
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara dan dalam waktu yang singkat akan
dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat
feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah :
a. Hak Gadai;
b. Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian bagi hasil);
c. Hak Menumpang, dan
d. Hak Sewa Tanah Pertanian.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas
tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang

menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16
Pasal 53 UUPA, antara lain:

Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa
Hak Membuka Tanah
Hak Memungut Hasil Hutan
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya dua hak

yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan
hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk
mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut
tetap dicantumkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hak
atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum
adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak
ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga
lembagalembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional
diberi sifat "sementara". Hak-hak yang dimaksud antara lain :
a. Hak gadai,
b. Hak usaha bagi hasil,
c. Hak menumpang,
d. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Anda mungkin juga menyukai