Anda di halaman 1dari 46

my blog is my life

Rabu, 04 September 2013


MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH MELALUI
MEDIASI DI PENGADILAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah diberikan
penjelasan yang tertera bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam
rangka mempelancar pengurusan, penggunaan serta pemanfaatan kekayaan negara, maka
seluruhnya diserahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yang
bertindak selaku Badan Penguasa berdasarkan wewenang dari rakyat serta mempergunakan
wewenang itu untuk sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat.
Adapun arti dikuasai atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun jugs
dalam arti yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut,
pemilik tanah menjual tanah dengan tanda bukti segel sebagai pernyataan jual bell tanah antara
pemilik (penjual) dengan pembeli.
Dari kasus-kasus yang menyangkut tanah tersebut terlebih lagi dalam hal sengketa tanah

yang mungkin terjadi dapat dikatakan tidak pernah surut, hal ini disebabkan oleh semakin
banyaknya pertumbuhan aktifitas manusia dan semakin kompleksnya masalah yang terjadi antara
sesama sehingga dapat menimbulkan kecenderungan konflik dan sengketa tanah dikarenakan
peningkatan jumlah penduduk yang bertolak belakang dengan kondisi tanah karena luas tanah
tidak mungkin mengalami peningkatan atau perluasan, kontradiksi inilah yang sering memicu
timbulnya gesekan-gesekan kepentingan yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan
tanah.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria sendiri yang merupakan peraturan bidang
pertanahan, memang mengandung 2 (dua) dimensi, yaitu :
1.

Hak Publik yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari negara, hal ini
terkait dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan

2.

Hak Perorangan berupa hak-hak yang dapat dipunyai/dimiliki seseorang untuk menjual,
menghibahkan, dan lain-lain.[1]
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu kita hams mengenal arti dari "Penguasaan"
yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti yuridis, beraspek privat dan beraspek
publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi
oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai
secara fisik tanah yang dimilikinya.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA):
Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,


air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak Menguasai Negara
hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah, hubungan antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan
menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orangorang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan
perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut.
Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk
pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanah mereka tidak
dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan bagi pemegang hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah
yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak
ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah oleh negara.
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat dan
hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga
hak tersebut menjalin secara harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya
dan tidak saling merugikan.
Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak publik
dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak publik antara lain
wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional, sedangkan yang menyangkut

hak perorangan dalam proses peralihan haknya.


Sebagai gambaran, pada saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan bisnis properti
terpuruk, maka kasus-kasus yang timbul dan sering mencuat ke permukaan adalah berkaitan
dengan tanah baik itu mengenai penggusuran tanah untuk keperluan pembangunan, perumahan
maupun industri yang didominasi oleh pihak-pihak yang kuat terhadap pihak-pihak yang lemah
ekonominya.
Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik individu antar
sesama terlebih dalam hal kepentingan masing-masing yang berbeda, hal-hal inilah yang
menimbulkan dan mendatangkan dampak baik itu secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Secara ekonomis, sengketa tanah yang timbul telah memaksa pihak-pihak yang saling terlibat
untuk mengeluarkan biaya dimana semakin lama proses penyelesaian sengketa/konflik ini maka
semakin besar pula biaya yang hams dikeluarkan. Dalam hal ini dampak kelanjutan yang
berpotensi terjadi adalah penurunan produktifitas kerja atau usaha disebabkan karena selama
sengketa berlangsung, pihak-pihak yang bersengketa hams mencurahkan tenaga dan pikiran dan
meluangkan waktunya secara khusus.
Disatu sisi dalam masyarakat yang pluralisme yang mempunyai berbagai macam budaya
adat dan istiadat di Indonesia, mereka yang masih memegang teguh dan mempercayai kebiasaan
dari warisan nenek moyang/leluhur mereka dalam bersosialisasi atau bermasyarakat dan amat
begitu kokoh dan penuh dengan kekeluargaan yang tinggi antara sesamanya sehingga dalam
melakukan segala hal mengenai jual beli mereka masih menggunakan sistem tukar-menukar hasil
tanah atau hasil kebun (barter) hal ini masih melekat disebagian kecil masyarakat kita di daerah
pedalaman dan hal ini pula yang sebagian besar terjadi di dalam masyarakat kita dalam jual beli
tanah yang masih menggunakan surat bukti atas hasil dari transaksi jual beli tanah dari si pemilik

tanah dengan si pembeli tanah yang biasa disebut dengan segel.


Segel atau surat bukti jual beli dari penjual ke pembeli tanah tersebut masih merupakan
suatu tanda sahnya jual beli di antara pars pihak yang berkepentingan tetapi surat bukti ini tidak
mempunyai kekuatan hukum yang kuat jika tidak diterbitkan sertifikat tanah yang merupakan
bentuk dari surat kepemilikan resmi dari pemerintah bahwa tanah tersebut telah tercantum dan
terdaftar di kantor pertanahan setempat dimana letak tanah itu berada.
Hal ini yang sering menimbulkan konflik di masyarakat kita di Indonesia bahwa tanah yang
mereka miliki dari pembelian mereka atas tanah tersebut ternyata diserobot oleh pihak lain yang
juga mempunyai kepentingan di atas tanah itu, akibatnya timbullah konflik/ sengketa tanah
mengenai perebutan status kepemilikan yang sah atas tanah tersebut dan hal ini amat sangat
memprihatinkan di kalangan masyarakat kita, karena masih minimnya pengetahuan masyarakat
Indonesia akan pentingnya pendaftaran tanah yang mereka miliki agar dapat terhindar ataupun
dapat mengurangi resiko tumpang tindih kepemilikan atas tanah yang sama.
Untuk menghindari sengketa suatu peralihan hak atas tanah dalam hal jual beli haruslah
dipenuhi syarat formil dan syarat materiil yaitu :
1. Syarat Formil harus ditempuh sesuai dengan prosedur dan syarat yang ditetapkan yaitu
dibuat oleh/ dihadapan PPAT sebagai pejabat umum yang ditunjuk dan juga hams
dipenuhi pula syarat administrasi lainnya seperti diserahkannya sertifikat asli bagi yang
sudah bersertifikat ataupun bukti lain seperti segel dan surat bukti lainnya.
2. Syarat Materiil :
a. Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya
b. Pembeli adalah orang yang berhak untuk membeli hak atas tanah yang akan dibelinya.

c. Tanah yang akan dijual (boleh diperjual belikan dan tidak dalam keadaan sengketa)
Nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif dan nomor 3 sebagai syarat objektif.
Penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam bidang perdata, yang pada umumnya ditempuh
adalah melalui jalur peradilan umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang
disebutkan bahwa kewenangan dari peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal
sebagai berikut :
1. Pasal 2 menyatakan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuatan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
2. Pasal 6 Pengadilan terdiri dari :
Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding
3. Pasal 50, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
4. Pasal 51 :
Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di
tingkat banding.
Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.[2]
Ini merupakan suatu jalan tempuh penyelesaian melalui jalur litigasi yang memakan waktu
yang panjang dan lama disamping itu juga memakan biaya yang banyak dan ini merupakan
hambatan bagi para pihak yang ingin mencari keadilan, terlebih bagi masyarakat yang berada
pada golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak mampu membayar biaya perkara. Maka
hendaknya sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi diselesaikan secara komprehensif dan
terintegral dengan lebih mengedepankan prinsip win-win solution melalui jalur non-litigasi.
Begitu pula dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat yang lebih
dikenal dan telah berakar di dalam masyarakat Indonesia sebagai bentuk penyelesaian yang telah
hidup dan dihormati dalam pergaulan antar sosial, pertimbangan penyelesaian sengketa dalam
masyarakat tradisional melalui musyawarah dan mufakat lebih ditekankan kepada untuk menjaga

keharmonisan kelompok atau persatuan dan kesatuan bangsa, penyelesaian sengketa ini memiliki
ragam bentuk misalkan mediasi atau arbitrase, mediasi dipandang lebih efektif sebagai alternatif
penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak.
Penyelesaian sengketa melaui ADR secara implisit dimuat dalam Perpres Nomor 10 Tahun
2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu
kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
dan BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan
melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 dan dalam menjalankan tugas tersebut
BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi setelah berlakunya Perpres Nomor 10 Tahun
2006.[3]
Pada era barn yang dikatakan sebagai zaman reformasi layaknya saat ini banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi, dalam arti perkembangan di masyarakat yang semakin lama
semakin maju, perubahanperubahan di atas baik itu di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan
politik serta hukum khususnya dalam bidang investasi. Imbas dari adanya perkembangan dalam
bidang hukum berdampak pula pada makin meningkatnya kesadaran hukum dimasyarakat dalam
berinteraksi antar sesama.
Kesadaran ini lah yang melahirkan adanya suatu proses hukum yang dilakukan oleh
masyarakat jika terjadi sengketa dengan menggunakan mediasi untuk menyelesaikan
permasalahan agar dapat mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah
pihak dengan melalui jalur perundingan. Dalam perkembangannya penyelesaian sengketa
kemudian digunakan istilah Dispute Resolution (DR) atau mekanisme Penyelesaian Sengketa
(MPS) pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tata cara penyelesaian sengketa
melalui ADR yakni sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui

predur yang disepakati para pihak dengan penyelesaian diluar pengadilan salah satunya dengan
cara mediasi.
Latar belakang adanya proses mediasi ialah dengan penyelesaian diluar pengadilan
masyarakat dapat lebih cepat ketimbang dengan berperkara di pengadilan yang memakan waktu
yang lama, selain itu biaya yang mahal dapat ditekan, selain itu terkadang putusan di pengadilan
tidak menyelesaikan perkara.
Tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa ke arah
penyelesaian masalah dimana putusan pengadilan bukan sebagai pemberi solusi yang terbaik di
antara para pihak yang bersengketa karena menimbulkan pemenang disatu sisi dan pihak yang
kalah di sisi lainnya. Sehingga bukan kedamaian dan ketenteraman yang timbul, tetapi malah
menimbulkan kebencian.[4] Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA HAK
ATAS TANAH MELALUI MEDIASI DI PENGADILAN.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yuridis yang akan
dibahas dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:

1.

Bagaimana bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan
Umum?

2.

Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui mediasi di pengadilan?
C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian sebagai berikut:


1.

Untuk mengetahui bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan
Umum.

2.

Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui mediasi di
pengadilan.
Kegunaan penelitian ini adalah :

1.

Secara teoritik untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya pengernbangan aspek
hukum yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perdata
khususnya dalam hal penyelesaian sengketa hak-hak atas tanah dengan melalui jalur mediasi.

2.

Secara praktis memberikan sumbangan pemikiran bagi sekaligus memperkaya perspektif


mengenai hukum di positif, khususnya di bidang hukum perdata mengenai alternatif
penyelesaian sengketa perdata (ADR) atau disebut dengan Alternative Dispute Resolution.

D.

Tinjauan Pustaka

1.

Penguasaan Atas Tanah Sebagai Bentuk dan Kewenangan Pemegang Hak


Kembali kepada pengertian penguasaan terhadap suatu tanah berarti dikuasai atau dalam
penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun juga dalam arti yuridis serta beraspek privat
dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang
dilindungi hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah
miliknya untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan
tanda bukti segel sebagai pernyataan jual beli tanah antara pemilik (penjual) dengan pembeli.
Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti yuridis, beraspek
privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk mengusai secara fisik tanah yang dimilikinya.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
yang menyatakan:
Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 Pasal ini memberikan wewenang untuk :

a.

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,


air dan ruang angkasa tersebut;

b.

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air
dan ruang angkasa;

c.

Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak Menguasai Negara
hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah, hubungan antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan
menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orangorang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan
perlindungan hak-hak yang timbul dan hubungan-hubungan hukum tersebut.
Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk
pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanah mereka tidak
dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan bagi pemegang hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah
yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak
ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah oleh negara.
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat dan
hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga
hak tersebut menjalin secara harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya
dan tidak saling merugikan.

2.

Bentuk Hak-Hak Atas Tanah dan Wewenang yang Dimiliki Oleh Pemegang Hak Atas
Tanah.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan peraturan bidang pertanahan,

mengandung dua dimensi, yaitu :


a. Hak Publik, yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari negara,
b. Hak perorangan, berupa hak-hak yang dapat dipunyai/ dimiliki seseorang untuk menjual,
menghibahkan, dan lain-lain.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai
hak untuk mempergunakan atau mengambii manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda
dengan hak penggunaan atas tanah.[5]
Hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak perseorangan
atas tanah, adalah hak yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan,
sekelompok orang secara besamasama, badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai,
menggunakan, dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.[6]
Selanjutnya, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4
ayat (2) UUPA).
b. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalka wewenang pada tanah
hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan.[7]

Macam-macam hak atas tanah termuat dalam Pasal 16 jo Pasal 53 Undang-Undang Pokok
Agraria, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu :
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan Undang-Undang yang barn. Macam-macam hak atas tanah ini adalah :
1. Hak milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Sewa Unuk Bangunan;
6. Hak membuka tanah, dan
7. Hak memungut hasil hutan;
b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dalam undang-undang
c. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara dan dalam waktu yang singkat akan dihapuskan
dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah :
a. Hak Gadai;
b. Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian bagi hasil);
c. Hak Menumpang, dan
d. Hak Sewa Tanah Pertanian.
Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang

untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-hak atas
tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo Pasal 53 UUPA, antara lain:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undangundang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UndangUndang Pokok Agraria.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya dua hak yang
sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil
hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan
tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 Undang-Undang
Pokok Agraria sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan
sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak
ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembagalembaga
hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat "sementara". Hakhak yang dimaksud antara lain :
a. Hak gadai,
b. Hak usaha bagi hasil,

c. Hak menumpang,
d. Hak sewa untuk usaha pertanian.[8]
Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan.
Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan
ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak
sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional (Pasal 11 ayat 1). Selain itu, hakhak tersebut
juga bertentangan dengan jiwa dari Pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada
dasarnya hams dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.
Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah
pemegang hak gadai.
Hak menumpang dimasukkan dalam hak-hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat
sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur
feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang
terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A,
sehingga ada hubungan tuan dan budaknya.
Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh karena
Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari
penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika
(1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang
masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan
tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari
pemerintahan yang sewenang-wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu,
Indonesia barn saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa

dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia.
[9]
Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena
pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi
haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut:
a.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
b.

Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :


Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Hak Sewa Tanah Bangunan
Hak Pengelolaan
Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1. Hak Gadai
2. Hak Usaha Bagi Hasil
3. Hak Menumpang
4. Hak Sewa Tanah Pertanian.[10]

Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan
tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari
pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak atas tanah dan benda-benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum
mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah
Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan
Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut

tali. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa
mengajukan keberatan dengan naik banding pada Pengadilan Tinggi.

BAB II
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam rangka menyusun penelitian hukum ini, peneliti menggunakan metode penelitian
hukum normatif, yaitu metode yang digunakan dengan cara mengumpulkan dan menganalisa
bahan hukum berupa bahan kepustakaan serta buku-buku literatur, majalah, surat kabar, internet
atau dokumen-dokumen resmi yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
B.

Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan peneliti untuk membahas dan menganalisis
permasalahan ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dilakukan guna mencari
pemecahan masalah atas permasalahan hukum yang timbul, adalah dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan (conseptual approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan peneliti dengan menelaah semua


peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang dibahas,
[11]

sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan peneliti dengan

mempelajari pandangan-pandangan yang berkembang di dalam ilmu hukum terutama mengenai


permasalahan yang akan dibahas.[12]

C. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti bersifat deskriptif (Deskriftive Research) yaitu
peneliti berusaha menggambarkan atau memaparkan dan menjelaskan suatu keadaan yang
didasarkan pada gejala-gejala serta fakta yang berkembang dan diperoleh di masyarakat yang
kemudian dikaji berdasarkan data-data yang berhubungan dengan masalah penyelesaian sengketa
melalui mediasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian masalah antara para pihak.
D. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Adapun bahan hukum primer yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
c) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
e) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

f) Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai, eks Pasal 130 HIR/154 Rbg.
g) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dipergunakan sebagai penunjang
atau untuk memperkuat bahan hukum primer yang ada, sehingga dapat membantu peneliti untuk
membahas dan menganalisis permasalahan hukum yang timbul. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini adalah berupa literatur-literatur hukum dan pendapat-pendapat para ahli hukum
yang berkaitan dengan pokok masalah dalam penelitian
E.

Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum


Bahan hukum primer dikumpulkan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap
peraturan perundang-undangan, setelah itu diambil peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan permasalahan hukum yang akan dibahas, sedangkan bahan hukum sekunder
yaitu bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, dikumpulan
melalui studi kasus.
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan, disusun dan
dibaca secara sistematis, kemudian bahan hukum ini dianalisis dengan berdasarkan aturan-aturan
hukum yang terkait dengan Hukum Agraria, serta dilakukan interpretasi terhadap aturan-aturan
hukum yang terkait guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang ditemukan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Peradilan Umum.

Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap mengenai
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh Para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup.
Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul
kepermukaan apabila terjadi conflik interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan
ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini
dikatakan sebagai sengketa yang secara garis besar terdapat dua kubu / pihak yang mempunyai
pendirian masing-masing.
Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak publik
dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak publik antara lain
wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa tanah yang timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan sertifikat,
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 5
(lima) kelompok:[13]
1.
2.
3.
4.
5.

Sengketa disebabkan oleh kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru


Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan tentang sumber daya agraria
Tumpang tindihnya penggunaan tanah
Kualitas sumberdaya manusia dari aparat pelaksana, dan
Berubahnya pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah.

Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan yang


umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan dan hat ini berakibat dengan
putusnya jalur komunikasi yang sehat. Agar terciptanya proses penyelesaian sengketa yang
efektif, prasyarat yang hams dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama
memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar sehingga
dapat tercipta titik temu dari penyelesaian masalah/sengketa.
Ada 3 (tiga) faktor utama yang memengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:[14]
1. Kepentingan (intersect);
2. Hak-hak (rights), dan
3. Status Kekuasaan (power)
Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya
dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam proses
penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras dan bersikukuh
mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas.
Latar belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah dikarenakan :
1.

Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan


menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan sehingga memakan biaya yang tinggi
dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.


3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan
yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
ADR merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam Bahasa

Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to


litigation dan alternative to adjudication. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara
perundingan atau mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan menempuh cara
berperkara di depan persidangan yang memakan waktu lama dan biaya yang tidaklah sedikit
disamping itu adanya krisis kepercayaan masyarakat akan kemadirian lembaga peradilan
sehingga orang enggan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum dan oleh karena itu mereka
mencari jalur alternatif penyelesaian sengketa atau konflik yang terjadi dengan harapan dapat
memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan ataupun rasa
kurang puas akan hasil dari putusan pengadilan, dan salah satu cara yang dipergunakan adalah
dengan menempuh jalur mediasi.
Mediasi dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk mensosialisasikan
pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya dimaksimalkan oleh hakim sebagai
penegak hukum dalam perkara perdata yang memiliki banyak keuntungan dalam menggunakan
atau menempuh jalur mediasi sebagai salah satu alternatif menyelesaikan sengketa di luar proses
peradilan. Keuntungan itu antara lain sengketa yang terjadi antara para pihak dapat diselesaikan
dengan prinsip win-win solution tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara
yang bersengketa tetap dapat dipertahankan dan terhindar dari publikasi berlebihan yang dapat
mempengaruhi "performance" pihak-pihak yang bersengketa Dalam mediasi atau alternatif
penyelesaian sengketa diluar proses peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan
pada kebaikan semua pihak.
Upaya damai adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851 KUH Perdata). Mahkamah

Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan Lembaga Damai yang sebelumnya telah diatur
dalam Pasal 130 HIR/ 154 R.Bg.
Diatur Pula sebelumnya di dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didalamnya kita dapat temui sekurang-kurangnya ada
enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1. Konsultasi;
2. Negosiasi;
3. Mediasi;
4. Konsiliasi;
5. Pemberian Pendapat Hukum; dan
6. Arbitrase
Negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan
pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersamasama antara para pihak yang
bersengketa dengan pihak yang memberikan konsultasi atau pendapat hukum, maupun secara
sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak yang bersengketa dengan konsultan atau ahli hukum.
Selanjutnya mediasi dan konsoliasi yang melibatkan pihak ketiga yang berperan dan berfungsi
menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa dimana di dalam mediasi berfungsi sebagai
pihak ketiga yang dibatasi hanya sebagai penyambung lidah dari pihak-pihak yang sedang
bersengketa.[15]
Pengaturan mengenai Mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Pasal 6
ayat (4), Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi
yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu proses

kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut
ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut rumusan dari Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut
bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seoarang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator sebagai
pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen yang sifatnya
netral atau tidak memihak dan berfungsi sebagai mediator dan berkewajiban melaksanakan tugas
dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, pengertian mediasi disebutkan
pada Pasal 1 butir 6 yaitu Mediasi ialah penyelesaian sengketa melaui proses perundingan para
pihak dibantu mediator (pihak yang bersifat netral dan tidak memihak (Pasal 1 butir 5), yang
berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
[16] Mediasi itu sendiri dalam praktek di masyarakat memiliki 3 (tiga) jalur penyelesaian yang
berbeda satu-sama lain diantaranya melalui mediasi adat, mediasi melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dan mediasi di pengadilan.
Musyawarah dan mufakat adalah penyelesaian sengketa yang telah berakar dan
membudaya yang telah hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang memiliki
ragam suku dan budaya sosial, penyelesaian melalui cara musyawarah antara pihak di dalam
masyarakat kita lebih ditekankan dan sangat dihormati dan dihargai untuk menjaga keakraban
kesatuan masyarakat serta keharmonisan dalam bermasyarakat yang biasanya dalam bentuk
lembaga adat contohnya di daerah Sumatera Barat penyelesaian sengketa telah diperkuat melalui
peraturan daerah yang menekankan terlebih dahulu penyelesaian melalui Kerapatan Adat Nagari
(KAN), apabila para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui lembaga adat atau

menyerahkan kepada kepala adat sebagai salah satu orang yang mempunyai wawasan dan
pemahaman akan sejarah dan perubahan yang terjadi, bijaksana, memiliki orang-orang yang
dihormati dalam masyarakat yang memiliki kedudukan penting di dalam masyarakat.
Permintaan tersebut disampaikan baik secara lisan atau tulisan kepada lembaga adat atau
kepala adat untuk meminta pertolongan dalam menyelesaikan sengketa kaum atau masyarakat
adat, misalkan dengan menggambarkan secara singkat tentang sengketa tersebut, menyebutkan
pihak-pihak yang terlibat, dan permintaan memohon bantuan penyelesaian dengan musyawarah
antara para pihak, sehingga para tokoh adat menjadi pihak penengah dalam musyawarah
tersebut.
Dengan merujuk pada Perpres No.10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dalam penyelesaian sengketa dan konflik mengenai pertanahan melalui Keputusan Kepala
BPN RI No. 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penanganan dan Penyelesaian
Masalah Pertanahan, dalam menjalankan dan melaksanakan tugas ini Badan Pertanahan Nasional
(BPN) melakukan upaya antara lain melalui mediasi.
Sedangkan dalam penyelesaian perkara di peradilan hams memegang teguh pada asas-asas
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dan salah satu bentuk pelaksanaan dari asasasas peradilan diantaranya adalah dengan upaya damai oleh hakim yang memeriksa perkaraperkara perdata yang mana bersifat imperatif dan sudah merupakan tugas penegak hukum untuk
mengusahakan semaksimal mungkin agar para pihak dapat berdamai dalam menyelesaikan
permasalahan yang terjadi diantara mereka.Adapun pola umum dari mediator sebagai pihak
ketiga di dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata, mediator tersebut dapat dipilih oleh
pihak yang bersengketa ataupun dapat Pula ditunjuk oleh hakim majelis dalam perkara yang
sedang ditanganinya, mediator ini mempunyai kewajiban untuk bertemu atau mempertemukan

para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang
dipersengketakan oleh para pihak sebagai pendalaman atas kasus apakah Jaya. Berdasarkan dari
informasi yang diperoleh lalu kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan
dan kelebihan masing-masing pihak yang bersengketa dan selanjutnya mencoba menyusun
proposal penyelesaian yang kemudian dikomunikasikan kembali kepada para pihak secara
langsung.
Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif sehingga dapat
tercipta kompromi diantara para pihak atau kedua belah pihak agar semaksimal mungkin
menghindari terjadinya saling tuduh dan saling menyalahkan dan berakibat gagalnya mediasi dan
mengusahakan dapat tercapainya kesepakatan yang dapat saling memberikan keuntungan dan
rasa puas diantara kedua pihak yang bersengketa.
Apabila dalam mediasi tersebut telah didapat kesepakatan bersama maka mediator
kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan
membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh kedua belah
pihak tersebut.
Bagi bangsa Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat yang majemuk dan
beraneka ragam budaya penyelesaian konflik atau sengketa secara musyawarah mufakat telah
membudaya yang hidup dan dihormati dalam lalu lintas pergaulan sosial, hanya saja
pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional dengan melalui musyawarah
lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kelompok dan kepentingan dari pihak-pihak yang
bersengketa.
Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang memuat
secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan ADR, Namun, demikian, hal ini tidak dapat

dijadikan alasan untuk tidak menumbuh kembangkan lembaga ADR di bidang pertanahan
berdasarkan alasan yaitu didalam setiap sengketa perdata yang diajukan di pengadilan, hakim
selalu mengusulkan untuk menyelesaikan secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana dan biaya ringan sesuai dengan asas Hukum
Acara Perdata, Pasal 130 MR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan
dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Hal ini dilatarbelakangi
oleh menumpuknya jumlah perkara yang masuk dan belum terselesaikan khususnya di
Mahkamah Agung sehingga memperlambat kerja dan proses peradilan sehingga kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, Persoalan yang menjadi beban pengadilan
selama ini, terutama pada tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang
masuk, yang setiap tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat.
Sementara hakim yang hams menyelesaikan perkara tersebut Jaya kerjanya sangat terbatas
sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai solusi telah
diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara yang diputus,
tetapi

hasilnya

tidak

memuaskan.dan

untuk

mengatasi

hal

tersebut

maka

dengan

mengoptimalkan lembaga perdamaian seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 130 HIR/154
Rbg yaitu dengan menerbitkan aturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maka setidaknya diharapkan dapat mengurangi perkara
di pengadilan sehingga dapat menyelesaikan perkara dengan lebih cepat dan efesien.
Belum lagi pada era perdagangan bebas yang rencananya akan dimulai pada tahun 2010,
kemungkinan tingkat sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan proses perekonomian
negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan kuantitasnya bertambah, juga
aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya terjadi antar kepentingan di dalam negeri,

tetapi juga mencakup kepentingan dengan pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian
perkara yang masuk ke pengadilan hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak
dapat terbayangkan betapa banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk.
Kalau tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia, maka akan
sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama pebisnis asing adalah
kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan, hams ada
penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini merupakan satu tantangan bagi pengadilan di mana suatu
penegakan hukum hams dilakukan secara cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka
pebisnis asing bukan hanya tidak mau datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia
bisa-bisa hengkang ke luar negeri.
Jika melihat kembali kepada aturan khusus yang mengatur ADR diantaranya yaitu pada
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa yang
isinya sengketa atau beda pendapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di Pengadilan Negeri dengan pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari dengan dibantu oleh seorang atau lebih penasehat ahli maupun
seorang mediator dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis dan apabila tidak
berhasil mencapai kata sepakat maka para pihak dapat menghubungi lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam pasal tersebut dapat dilihat tahapan mediasi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 yang pada intinya apabila tidak ditemukan kata sepakat atau
tidak tercapai kesepakatan maka para pihak yang bersengketa dapat menghubungi atau
menyelesaikan melalui lembaga arbitrase, hal ini justru semakin memperlambat waktu

penyelesaian suatu sengketa.


Peraturan Mahkamah Agung yang setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan
Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu
direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses
berperkara di Pengadilan dengan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang secara
fundamental telah merubah praktek peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkaraperkara perdata.
Mediasi sebagai upaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara bukan hanya
penting, tetapi hams dilakukan sebelum perkaranya diperiksa. Kalau selama ini upaya
mendamaikan pihak-pihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara,
tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada mediator
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara. Diberikan waktu dan ruang yang khusus untuk
melakukan mediasi antara pihak-pihak. Upaya perdamaian bukan hanya formalitas, tetapi hams
dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Berdasarkan pertimbangan dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008
bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian
yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses

pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) dengan hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130
HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang
dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara
di Pengadilan Negeri sehingga cukup waktu untuk mempelajari.
Berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan sebagaimana telah mengubah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02
Tahun 2003, yang mewajibkan penyelesaian perkara perdata terlebih dahulu ditempuh dengan
melalui upaya perdamaian jika tidak ditempuh dengan jalur mediasi maka putusan hakim batal
demi hukum, sebab berdasarkan Peraturan, ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. Begitu pula dalam pertimbangan putusan perkara Hakim wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi
dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Atas kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan dengan dibantu pihak
ketiga, bantuan seseorang, penasehat ahli (mediator) yang bersifat netral dan tidak memihak
yang berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan
kemauan para pihak. Mediasi di sarankan oleh Pengadilan melalui Majelis Hakim setelah sidang
pertama para pihak harus memilih mediator di antara para mediator yang oleh Pengadilan dan
yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan.
Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai mediator tersebut maka para pihak yang
bersengketa wajib menunjuk mediator dari daftar yang disediakan oleh Pengadilan, apabila hal
tersebut tidak berhasil, dalam jangka waktu satu hari kerja berdasarkan Penetapan, Ketua Majelis
yang menangani perkara pihak-pihak yang bersengketa berwenang menunjuk seseorang menjadi
mediator.

Meskipun demikian ada pola umum yang diikuti dan dijalankan oleh mediator dalam
rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang tidak
memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk mempertemukan para pihak
yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh
para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, bare kemudian mediator dapat
menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang
bersengketa.
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008
yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengerti secara konperhensip
mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga aspek dari mediasi :
1. Aspek urgensi / motivasi :
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai
dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang
mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan
dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara
pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk
mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku
mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang
mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang
berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalanpersoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan
pentingnya perdamaian antara mereka.
2.

Aspek prinsip

Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008
yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian
perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma ini
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama
tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.
3. Aspek substansi :
Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang hams dilalui untuk setiap
perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang hams dijalani
secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri
untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguh-sungguh yang hams
dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan
upaya pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri.
Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan
demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang
berperkara. Di masa depan, pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan
dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadi tenteram dan
damai, bukan malah memunculkan masalah-masalah bare yang pada gilirannya akan
mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam
kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada
gilirannya akan memacetkan rencana pemberdayaan perekonomian masyarakat
Di masa depan, pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan dan

pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadi tenteram dan damai,
bukan malah memunculkan masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan mengganggu
proses pembangunan pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam kondisi
konflik, maka secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada
gilirannya akan memacetkan rencana pemberdayaan perekonomian masyarakat. Sungguhpun
Perma Nomor 01 Tahun 2008 merupakan langkah genius dalam praktek peradilan di Indonesia
guna meningkatkan kualitas penegakan hukum, namun masih ada beberapa persoalan yang butuh
jawaban yang berkenaan dengan praktek pelaksanaan mediasi itu sendiri. Minimal sebagai bahan
renungan apabila suatu saat nanti ada revisi kembali terhadap Perma
Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan asas peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak pertanyaan dari rekan-rekan prakisi hukum,
apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan
tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Memang untuk pelaksanaan mediasi butuh waktu, butuh biaya yang akhirnya menjadi tidak
sederhana. Apabila diperhatikan secara sepintas, mungkin jawabannya pasti ya. Artinya proses
mediasi akan mengganggu proses peradilan yang hams dilakukan secara sederhana, cepat dan
biaya ringan. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan suatu pencerahan
yang luar biasa dari praktek mediasi ini. Memang, karena mediasi merupakan hukum acara bam
dalam praktek peradilan di Indonesia, maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban
dalam proses berperkara di pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang
mapan dan dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif yang ideal
bagi proses berperkara di pengadilan.
B.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan.

Dalam pemeriksaan perkara sengketa perdata yang diantaranya mengenai hak atas tanah,
hakim yang mengadili wajib mengusahakan perdamaian antara kedua belah berperkara. Dasar
hukumnya, Pasal 154 R.Bg atau Pasal 130 H1R:
1.

apabila pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan
perantaraan Ketua sidang berusaha memperdamaikan mereka;

2.

apabila perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana
kedua belah pihak dihukum akan melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian itu berkekuatan
dan dijalankan sebagai putusan yang biasa;

3.

terhadap putusan sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding;

4.

dalam usaha untuk memperdamaikan kedua belah pihak, diperlukan bantuan seorang juru
bahasa.[17]
Berdasarkan ketentuan di atas, pada hari sidang pertama apabila kedua belah pihak hadir,
pada saat itulah hakim dapat berperan secara aktif. Untuk keperluan perdamaian hakim dapat
menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak berperkara.
Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah
kepada hakim dipersidang hasil perdamaian yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah
tangah yang ditulis di atas kertas bermaterai atau acte van darling.
Berdasarkan adanya perdamaian tersebut maka hakim menjatuhkan putusannya atau acte
van vergelijk, yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang
sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan lainnya. Hanya dalam hal ini
banding tidak dapat dimungkinkan. Usaha perdamaian terbuka sepanjang pemeriksaan
dipersidangan. Dengan dicapainya perdamaian maka proses pemeriksaan perkara berakhir.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 menggariskan kebijakan internal

yang isinya :
1.

Hakim atau Majelis yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan


perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 H.I.R atau Pasal 154 Rbg, tidak hanya
sekedar formalitas menganjurkan perdamaian;

2.

Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari
segi waktu, tempat, dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka
persiapan ke arah perdamaian;

3. pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara, Hakim atau pihak lain
yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan
berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka
perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan
para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan atau win-win solution;
4. hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi Hakim
majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga objektifitas;
5. untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator, maupun mediator kepada Hakim yang bersangkutan
diberikan waktu paling lama tiga bulan, dan dapat diperpanjang, apabila ada alasan untuk itu
dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu
penyelesaian perkara sebagamana dimaksud dalam SEMA:No.6 Tabun 1992,
6.

persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian
dibuatkan Akte Perdamaian atau Dading, agar dengan Akta Perdamaian itu para pihak dihukum
untuk menepati apa yang disepakati atau disetujui tersebut;

7.

keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian atau

reward bagi hakim yang menjadi fasilitator atau mediator;


8.

apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, Hakim yang
bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mejelis dan pemeriksaan
perkara dapat dilaniutkan oleh majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak
untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung;

9.

hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat laporan kepada Ketua
Pengadilan Negeri secara teratur;

10. Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai
alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2003, tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan, yang isinya mengatur tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediator
hakim tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan tingkat pertama. Hakim mediator di sini
adalah hakim yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak
bersengketa dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama menurut Peraturan
Mahkmah Agung tersebut wajib untuk lebih dahulu dise1esaikan mela1ui perdamaian dengan
bantuan mediator. Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etik mediator.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung tersebut ada dua
tahap, yaitu :
1. Tahap Pra Mediasi yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yaitu : pada hari sidang yang telah ditentukan
kedua belch pihak yang hadir diberitahu akan kewajiban untuk menumpuh terlebih dahulu jalur
mediasi dan hakim hares menjelaskan prosedur mediasi dan berusaha mendorong dan

memotivasi para pihak atau kuasa hukum untuk berperan aktif di dalam proses mediasi intinya
para pihak yang berperkara lebih dahulu menuntut mediasi, dan hakim wajib menunda proses
persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses
mediasi. Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau
kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki
oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan termasuk biaya yang akan timbul akibat
pemilihan mediator; dan
2. Tahap Mediasi yang diatur dalam Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang intinya dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah pemilihan atau pemilikan mediator yang disepakati, para pihak wajib menyerahkan
fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan, dan halhal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. Proses mediasi berlangsung
paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
ketua Majelis Hakim. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan di tanda tangani oleh
para pihak dan mediator. Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau
pernyataan perkara telah selesai. Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim yang
mengadili perkara, pada hari siding yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah
tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, hakim mengukuhkan ksepakatan sebagai akta perdamaian.
Apabila mediasi tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu maksimal 40 hari, mediator
wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan
kegagalan tersebut kepada hakim. Setiap pihak diberi kesempatan untuk mempresetasikan suatu
outline kepada mediator. Meskipun biasanya pihak yang mengajukan kasus yang memulai

presentasi. Tujuan dari presentasi ini adalah memberikan informasi kepada mediator tentang
sengketa mereka, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk didengar dan juga memberi
kesempatan kepada setiap pihak mendengarkan kasus sengketa yang terjadi dari pihak lainnya
secara langsung.
Mediator bisa pula memerintahkan agar pihak-pihak yang bersengketa memberikan
keterangan tentang kasus yang terjadi antara para pihak lalu mediator akan membuat ringkasan
presentasi masing-masing pihak guna memastikan bahwa pihak lain telah mendengar dan
mengerti.
Peran mediator selanjutnya mengidentifikasi masalah atau hal yang sudah disepakati
bersama diantara para pihak. Hal ini akan membantu para pihak melihat aspek positif pada
permasalahan, Mediator berperan penting dalam menunjukkan beberapa masalah yang telah
disepakati para pihak yang bersengket, dalam hal yang substantif misalnya mengenai hak atas
tanah.
Setelah para pihak menguraikan semua permasalahan dari sengketa yang terjadi lalu
mediator membuat struktur untuk pertemuan mediasi, yang meliputi masalah-masalah yang
diperselisihkan dan sedang berkembang, sedang dikonsultasikan oleh para pihak, sehingga
tersusun suatu daftar isu menjadi suatu agenda.
Selanjutnya proses mediasi akan beralih kepada tahap negosiasi, mediator mempertemukan
para pihak yang bersengketa ataupun wakil-wakil yang diberi kuasa dari para pihak untuk
berbicara langsung satu sama lainnya. Mediator berperan menjaga kelangsungan acara mediasi,
mencatat kesepahaman, meringkas atau membuat kesimpulan, dan sekali-kali mengintervensi
atau memberi jalan tengah dalam proses komunikasi dalam mediasi.
Bentuk lain dari mediasi, mediator mengatur seluruh arah pembicaraan, langsung terlibat

dalam mediasi kepada para pihak dan wakil kuasa dari para pihak serta menawarkan solusi.
Pertemuan terpisah merupakan suatu cara atau jalan tengah dalam proses mediasi, mediator akan
memanggil pihak-pihak yang bersengketa secara terpisah baik itu pertemuan dengan wakil kuasa
dari pihak maupun dari pihak yang bersengketa itu sendiri. Mediator mengadakan pertemuan
secara terpisah berguna untuk :

menggali kasus sengketa yang terjadi dari pihak yang satu dengan pihak yang lain agar tercipta
kesepakatan.

Memberikan suasana dinamis pada proses mediasi apabila ditemukan jalan buntu dari suatu
permasalahan sengketa.
Para pihak dan kuasa hukum pihak dapat pula meminta terpisah, kuncinya mediator
mengadakan pertemuan secara terpisah antara satu pihak dengan pihak lain. Setelah mengadakan
pertemuan terpisah para pihak akan dikumpulkan kembali guna mendiskusikan dan membuat
negosiasi akhir dengan menyelesaikan sengketa dengan lebih cermat didampingi oleh mediator
sebagai pihak perantara atau pengawas untuk mendengar hasil akhir dari mediasi yang telah
mereka jalani, apakah berhasil atau tidak, disini pihak perantara atau mediator memiliki batasan
hanya sebagai perantara saja bukan pemutus hasil akhir dari mediasi para pihak, hasil akhir
mediasi ditentukan para pihak yang bersengketa apakah menei xii alan tengati ataukah menemui
jalan buntu, yang kesemuanya diberikan penilaian dan dicatat oleh mediator.
Hasil dari mediasi akan dituangkan dalam tulisan atau catatan sebagai nota kesepakatan
dan ditandatangani kemudian disempurnakan oleh pihak kuasa dari para pihak yang bersengketa
sehingga menjadi kesepakatan akhir. Keputusan perdamaian itu dituangkan dalam "Akta
Perdamaian" yang dibuat oleh hakim atau mediator. Kedua belah pidak dihukum untuk mentaati
isi "Akta Perdamaian" itu, dan isinya pada umumnya sudah jelas sekali dan diakhiri dengan

menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara masing-masing. Akta perdamaian
mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap atau in kracht van gewijsde.[18]
Dari hasil survey penulis dalam pendataan jumlah sengketa hak atas tanah yang terjadi
khususnya di daerah Kota Banjarbaru, baik itu dari penyelesaian melalui jalur mediasi di
masyarakat kita, melalui mediasi di Badan Pertanahan Nasional maupun sengketa tanah di jalur
Pengadilan, telah bisa disimpulkan bahwa jumlah sengketa hak tanah yang terjadi di masyarakat
kita lebih kepada sengketa kepemilikan tanah yang terkadang tumpang tindih.
Berdasarkan keterangan dari Tetua Adat/ Kampung (dalam hal ini adalah seseorang yang
diutamakan kepemimpinannya di masyakat Banjarbaru) Timbulnya sengketa hukum adalah
bermula dari pengaduan sesuatu pihak yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Jumlah perkara perdata terkait dalam kepemilikan hak atas tanah hanya sekitar 8 (delapan)
kasus yang pernah ditangani dan semuanya belum menghasilkan kesepakatan perdamaian antar
Para pihak, sehingga Tetua Adat menberi saran dan anjuran untuk lebih jelas akan kepastian
hukum yang berlaku maka membawa kasus ini ke BPN Banjarbaru (Badan Pertanahan Nasional
Banjarbaru). Junlah kasus perdata yang masuk dan ada di masyarakat kita sedikit dikarenakan
menurut Tetua Adat, masyarakat Banjarbaru telah memahami arti penting hukum dengan
menggunakan sarana Notaris / PP AT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang lebih kuat posisinya
daripada menggunakan perjanjian dibawah tangan yang banyak mempunyai kelemahan
hukumnya. Di dalamnya penyelesaian perdata hubungan hukum antar orang perorang. Adapun
Suluh lebih dekat pengertiannya kepada istilah Ishlah menurut konsep agama yang dapat

digunakan dalam pengertian penyelesaian keperdataan semisal pembagian waris, maupun


keperdataan lainnya.
Menurut Kantor Badan Pertanahan Nasioanal Banjarbaru, kasus sengketa tanah yang
terjadi di Banjarbaru mengalami peningkatan dalam tahun 2009 ini dengan jumlah 25 (dua puluh
lima) kasus dan semua kasus ini hanya 4 (empat) kasus saja yang berhasil didamaikan dengan
metode mediasi, hal ini dikarenakan sengketa pertanahan yang terjadi di masyarakat rata-rata
sulit menemui jalan tengah disebabkan ketidak hadiran salah satu pihak walaupun telah dipanggil
berkali-kali, sehingga mediasi seringkali menemui kegagalan.
Dapat disimpulkan bahwa mediasi yang selama ini dilaksanakan balk di masyarakat
ataupun di tingkat hukum positif kita tidak terealisasi dengan baik dan masih belum mencapai
apa yang dicita-citakan oleh pemerintah, sehingga penumpukan perkara masih terjadi di lembaga
peradilan kita, disamping itu masih kurangnya pemahaman arti mediasi sebagai suatu jalan
tengah yang sebenarnya merupakan alternatif terbaik bagi mereka yang bersengketa.
Dari segi prosedural, mediasi dirasakan lebih sederhana dibandingkan dengan
penyelesaian sengketa lain misalnya melalui lembaga peradilan. Hal ini disebabkan para pihak
tidak semata-mata "berlindung" dengan pembuktian-pembuktian melainkan juga mencari
pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat
sehingga dapat digali akar permasalahan yang sebenarnya. Bukan tidak mungkin dalam suatu
sengketa yang tampaknya sangat besar, sebenarnya itu bersumber dari persoalan-persoalan yang
sangat sederhana, misalnya timbulnya sengketa batas tanah antar tetangga yang tampaknya
sedemikian rumit, padahal sebenarnya berawal dari perasaan ketersinggungan salah satu pihak
saja. Hal seperti ini tidak mungkin ditemukan dalam penyelesaian sengketa di depan pengadilan
karena disana putusan penyelesaian sengketa didasarkan pengkajian atas kebenaran bukti-bukti

yang seringkali hanya dilihat dari segi formal dan segi waktu penyelesaian sengketa serta bukan
kebenaran materiil,
Dari aspek privat, hak-hak tanah mengandung kewenangan bagi pemegang hak untuk
menggunakan tanah tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Jadi, penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh pemegang hak dibatasi dengan peraturan
perundang-undangan dengan penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi oleh Badan
Pertanahan Nasional dilandasi dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yaitu Keputusan Badan Pertanahan Nasional Indonesia Nomor 34 Tahun
2007 yaitu Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007 tentang petunjuk teknis penanganan
dan penyelesaian masalah pertanahan yang mana dengan mediasi di BPN lebih sesuai dan lebih
efektif dalam penyelesaiannya ketimbang mediasi di masyarakat ataupun mediasi di pengadilan
sebab Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki kewenangan dalam hal administratif
pertanahan sehingga lebih banyak mengetahui sebelum terjadi masalah dan sengketa tanah.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang diterapakan di dalam
sengketa hak atas tanah baik di luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan,
diantaranya melalui mediasi atau lebih dikenal dengan musyawarah di dalam masyarakat adat,
dapat pula menyelesaikan masalah sengketa perdata hak atas tanah melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN) berdasarkan atas Peraturan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan

Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007, dan
penyelesaian sengketa melalui badan peradilan umum berdasarkan pada Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang di direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan
mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan dengan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 01 Tahun 2008.
2.

Berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan sebagaimana telah mengubah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003,
yang mewajibkan penyelesaian perkara perdata terlebih dahulu ditempuh dengan melalui upaya
perdamaian jika tidak ditempuh dengan jalur mediasi maka putusan hakim batal demi hukum,
sebab berdasarkan Peraturan, ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan
atau Pasal 154 Rbg. Mediasi di sarankan oleh Pengadilan melalui Majelis Hakim setelah sidang
pertama para pihak hams memilih mediator di antara para mediator yang dimiliki oleh
Pengadilan dan yang tidak tercantum dalam daftar Pengadilan penyelesaian sengketa dengan
dibantu pihak ketiga (mediator) yang bersifat netral dan tidak memihak yang berkewajiban untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Hasil
dari mediasi akan dituangkan dalam Akta Perdamaian yang dibuat oleh hakim atau mediator dan
apabila mediasi tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu maksimal 40 (empat puluh) hari,
mediator (hakim) wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim. Segera setelah diterima pemberitahuan itu,
hakim yang mengadili perkara melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara
perdata yang berlaku.

B.

Saran
Pada prinsipnya bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga mediasi adalah

merupakan terjemahan dari karakter budaya bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan
semangat kooperatif. Semangat kooperatif sudah mengakar sehingga nuansa musyawarah selalu
dihadirkan dalam setiap upaya menyelesaikan setiap sengketa dalam masyarakat melalui upaya
musyawarah untuk mencapai mufakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Muchsin, 16 Juli 2002, Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegkan Hukumnya, Makalah
Seminar Nasional Pertanahan 2002 "Pembaharuan Agraria", Yogyakarta.
Maria S.W. Sumardjono.dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan. Jakarta: Kompas.
M.Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Bandung : PT.Citra Adtya Bakti Bandung,
Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet IV, Kencana Prenada Media: Jakarta.
Suyud Margono. Juni 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum,. Jakarta : Graha Indonesia.
Gunawan Widjaja. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
K.Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata RVG/HIR, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Retnowulan Sutantio, Maret 2003, Mediasi Dan Dading, dalam Proceedings Rangkaian Lokakarya
Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Penerbit Pusat Pengkajian
Hukum bekerja sama dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI dan Konsultan Hukum Ey Rum &
Rekan.
Artikel Internet
Anonim. http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah. Diakses 12 Januari 2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
Menerapkan Lembaga Damai.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai, eks Pasal 130 HIR/154 Rbg.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

[1]Muchsin, 16 Juli 2002, Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegkan Hukumnya, Makalah Seminar
Nasional Pertanahan 2002 "Pembaharuan Agraria", Yogyakarta.
[2]Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum.
[3]Maria S.W. Sumardjono.dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan. Jakarta : Kompas, hal 7.
[4]M.Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Bandung : PT.Citra Adtya Bakti Bandung, hlm 156.
[5]Anonim. http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah. Diakses Januari 2011..
[6]Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media. Hal : 82
[7] Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet IV, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 93
[12]Ibid, hal. 95.
[13]Muchsin. Op.Cit. hlm 5.
[14]Suyud Margono. Juni 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum,. Jakarta : Graha Indonesia. hal : 35
[15]Gunawan Widjaja. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada. hal. 85-86
[16]Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, hal
: 119-120
[17]K.Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata RVG/HIR, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia, hal.23-24.
[18]Retnowulan Sutantio, Maret 2003, Mediasi Dan Dading, dalam Proceedings Rangkaian Lokakarya
Terbatas Hukum Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Penerbit Pusat Pengkajian Hukum bekerja sama
dengan Pusdiklat Mahkamah Agung RI dan Konsultan Hukum Ey Rum & Rekan, hal.36-37.

Diposkan oleh Mahyuni mukeri di 07.04


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
1 komentar:
1.
Our Journey8 April 2015 12.46

Mohon cek link http://ourjourney-for-realfreedom.blogspot.com dan


https://www.facebook.com/groups/873809475971155 ditunggu commentnnya
terimakasih....
Balas
Muat yang lain...
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2013 (9)
o September (9)

MAKALAH OPTIMALISASI PENGEMBALIAN ASET NEGARA


DALA...

ARTIKEL JURNAL Lembaga Damai dalam Proses Penyele...

LAPORAN PENELITIAN PERJANJIAN PENGGARAPAN LAHAN


PE...

Laporan Penelitian tentang Pelepasan Hak Atas Tana...

MAKALAH PENGAKUAN DAN PENGHORMATAN NEGARA


TERHADAP...

LAPORAN PENELITIAN AKIBAT HUKUM TANAH YANG DINYA...

LAPORAN PENELITIAN PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN


T...

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH


MEL...

LAPORAN PENELITIAN EKSEKUSI ATAS TANAH YANG MASI...

Mengenai Saya
Mahyuni mukeri
Lihat profil lengkapku

Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai