Anda di halaman 1dari 5

PENDIDIKAN MORAL MATEMATIKA DAN MORAL PENDIDIK

Akhir-akhir ini marak terjadi tindak kejahatan. Hebatnya tindak kejahatan tersebut dilakukan hampir semua
kalangan baik itu orang berpendidikan maupun tidak berpendidikan, pejabat maupun rakyat jelata, orang
kaya maupun orang miskin, termasuk para orang suci (katanya). Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa
sedemikian parahnya moralitas bangsa? apakah ini bangsa binatang? ataukah sebangsa binatang?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kedengarannya sangat ekstrim, tapi faktanya memang demikian. Buktinya
Tidak hari di negeri ini media cetak maupun elektronik tidak memberitakan tindakan kejahatan atau
kriminal, misalnya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, kasus pembunuhan, pemerkosaan di
angkutan umum, pelecehan seksual oleh guru di sekolah. Pertanyaan-pertanyaan di atas mari kita renung
bersama-sama, untuk dapat memahami siapa kita sebenarnya, dan bangsa ini yang sebenarnya.

ilustrasi: karakterbangkit.blogspot.com

Menanggapi perilaku-perilaku buruk ini, orang-orang prihatin melempar sebuah wacana untuk
disertakannya pendidikan moral dalam kurikulum sekolah. Ini salah satu reaksi orang yang menyadari
kondisi bangsa. Yang menjadi persoalan pendidikan moral seperti apa yang mau disertakan dalam
kurikulum?. Bagi saya wacana tersebut kurang tepat, mungkin saya dikemukakan oleh orang yang tidak
mengerti pendidikan yang utuh. Sebab pendidikan itu sejatinya merupakan proses pembentukan moral

masyarakat. Menurut Prof. Schoorl (1982) berpendapat bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan
wahana terbaik dalam menyiapkan sumber daya manusia dengan derajat moralitas tinggi. Jadi, tidak perlu
ada penyertaan pelajaran baru tentang moral dalam kurikulum pendidikan, yang perlu dilakukan ialah,
menjadikan moralitas manusia sebagai tujuan pendidikan bukan hanya standar nilai. Perlu diketahui oleh
para pendidik bahwa, yang diterima umum oleh masyarakat ialah moral bukan nilai. yang diperhatikan
orang dalam kehidupan sehari-hari bukan nilai indeks prestasi yang kita miliki, melainkan seberapa baik
kita berperilaku. Intinya ialah moral dan prestasi akademik harus seimbang karena disaat-saat tetentu kita
butuh keduanya.

Masih terkait dengan pendidik moral, saya membaca beberapa artikel tentang pendidikan moral, saya
menemukan pernyataan yang kurang lebihnya seperti ini, "... guru matematika yang hanya bisa bermain
dengan angka pun harus terlibat dalam pendidikan moral". Bagi saya, ini adalah pernyataan yang keliru
dan saya meyakini bahwa orang yang mengatakannya bukan orang matematika. Perlu dipahami secara
luas bahwa matematika tidak sesederhana yang anda bayangkan, matematika itu bukan hanya soal angka
dan bermain angka. Matematika itu luas dan universal, tidak berlebihan jika saya katakan : " matematika
adalah ilmu paling komplit dan paling lengkap dari seluruh ilmu yang pernah ada di dunia ini". Saya
boleh katakan "saya, anda, dan dunia ini adalah matematika. Tidak satu sisi kehidupan pun di dunia yang
tidak dapat dipahami dengan matematika. Contoh, Mathematic is language: matematika adalah bahasa,
dan matematika adalah satu-satunya bahasa yang berlaku universal, misalnya ada pernyataan 3+7, maka
orang Indonesia, Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Australia atau dari mana saja, pasti mempunyai pemkiran
dan bayangan yang sama dalam otaknya, sebaliknya jika ada kata "air", apakah orang Indonesia dan
orang inggris mempunyai bayangan yang sama dalam otaknya?. Hal lain Mathematic is a rule, satusatunaya ilmu yang konsisten dan taat asas. Dalam hukum-hukum atau aturan-aturan matematika tidak

ada satu butir pernataan yang saling bertentangan dalam satu struktur pengetahuan, berbeda dengan
undang-undang di negeri ini satu pasal saja bertentangan. dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bicara tentang moral, bagi pendidikan moral paling sempurna ada dalam matematika. Matematika
mengajarkan tentang kedisiplinan, taat asas, konsistensi, intinya dalam anda melanggar aturan main maka
konsekuensinya anda akan memperoleh output yang keliru. Akibat orang matematika memiliki
kecenderungan untuk tidak melanggar aturan sehingga kesannya orang matematika perfeksionis. Inilah
sesungguhnya dasar moral yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang termasuk bangsa ini, yakni
keinginan untuk tidak melanggar aturan yang ada, memiliki ketakutan membuat kesalahan, memiliki
keinginan untuk tidak gagal. Dalam matematika yang utuh semuanya sudah tersedia, yang diperlukan ialah
bagaimana kita menghayatinya sehingga tidak keliru. Pendidikan moral yang paling nyata ada dalam
pelajaran logika matematika. Yang anda masih memahami matematika sebagai permainan angka, saya
nyatakan matematika anda gatal (gagal total).

Moral Pendidik.
Mana yang lebih penting, tuntutan profesionalitas atau tuntutan perut?.
Bagi seorang guru kedua tuntutan tersebut sama pentingnya, jadi tidak boleh ada salah satunya
terabaikan. Tuntutan perut menyangkut keberlangsungan hidupnya, dan profesionalitas menyangkut
kebergunaannya sebagai manusia yang memanusiakan manusia yang lain. Tetapi yang terjadi saat ini
ialah guru melupakan fungsinya sebagai manusia yang memanusiakan manusia yang lain, ia
meninggalkan kodratnya sebagai guru, ia bekerja tak ubahnya seorang upahan yang semata-mata
mengharapkan gaji untuk kebutuhan perut. Dampak yang terjadi ialah guru tidak lagi bekerja sebagai
seorang pendidik, ia hanya seorang pengajar yang mengajarkan materi-materi pembelajaran yang tekstual,
salinan dari buku yang sebenarnya bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Ilmu kependidikan tidak dipergunakan

lagi. Nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terkandung dalam pelajaran menjadi terabaikan dan
hilang, yang tersisa hanya angka-angka kosong yang digoreskan oleh sang kuli dalam buku yang namanya
laporan pendidikan.

ilustrasi: uniksaja92.blogspot.com

Yang paling menyedihkan, semakin hari makin tidak karuan saja perilaku perilaku yang ditunjukkan oleh
para patriot bangsa ini (oknum). Hal-hal tidak senonoh mereka pertontonkan kepada publik dan para siswa
didiknya, sering kita melihat di tv atau baca di koran, oknum guru yang melakukan kekerasan terhadap
siswa, atau oknum guru yang berbuat mesum di sekolah atau guru yang melakukan pelecehan seksual
terhadap siswa. Tindakan kekerasan seringkali diarahkan pada siswa yang dianggap bodoh. hal ini
sebenar bukanlah langkah tepat dari seorang guru dengan dasar ilmu pendidikan yang baik. Dalam
menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar perlu memperhatikan prosedur-prosedur tertentu,
misalnya, untuk siswa memiliki kesulitan dalam pelajaran tertentu, guru dalam melakukan penanggulangan
diharapkan menggunakan langkah-langkah diagnosis dan remediasi. Hukuman pada kasus tertentu
mungkin diperlukan tapi sangat sedikit membawa efek positif. Tindakan yang manusiawi dari seorang guru
membawa kesan tersendiri bagi para siswa.
Yang mengherankan, mengharukan, menjengkelkan ialah tindakan beberapa oknum guru yang melakukan
tindakan pelecehan seksual terhadap para siswa didiknya sendiri, yang dikenal oleh masyarakat dengan

ungkapan pagar makan tanaman. Wajar kalau masyarakat menyebutnya sebagai pagar makan tanaman,
sebab para siswa itu seyogianya merupakan titipan dari orang tua pada guru yang bersangkutan, karena
guru tersebut dianggap mampu mendidik, mengajar, dan menjaga anaknya. Tetapi fakta yang didapat
berkata lain, kepercayaan yang diberikan dirusak oleh moralitasi guru yang buruk. Untuk kasus seperti ini
seharus pihak-pihak terkait perlu mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang bersangkutan.
Melakukan pembiaran terhadap yang bersangkutan ibarat menyembunyikan luka yang pada akhirnya
mematikan. Tindakan mereka tersebut sudah merusak tatanan dan kultur pendidikan dari sekolah sebagai
institusi pendidikan (tempat pembentukan moral manusia). Dan juga sebenarnya yang bersangkutan sudah
tidak lagi mempunyai kredibiltas sebagai seorang guru. Solusi terbaik berhenti dan tidak pernah bermimpi
lagi untuk menjadi seorang guru. Pada dirinya tak berlaku lagi ungkapan filosofi jawa: " Guru digugu lan
ditiru", ungkapan yang pantas baginya ialah "Guru wagu lan saru".

Segala tindakan manusia adalah cerminan dari kompetensi pendidikan yang ia miliki, nilai akademik yang
tinggi tidak menjamin seseorang akan menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Pantaskanlah diri kita
sebagai manusia yang berkualitas sesuai dengan nilai kita miliki dengan perilaku yang manusiawi.
"educate with love"

Anda mungkin juga menyukai