Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mola Hidatidosa merupakan suatu kehamilan abnormal, dengan ciriciri stroma villus korialis langka vaskularisasi dan edematous. Janin biasanya
meninggal, akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematous itu hidup
dan tumbuh terus-menerus sehingga memberikan gambaran segugus buah
anggur. Jaringan trofoblas pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan
dan kadang pula keras serta mengeluarkan hormone, yakni human chorionic
gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan
biasa. 1
Mola hidatidosa biasanya disertai keluhan uterus membesar lebih
cepat dari biasa serta mengeluh mual dan muntah yang lebih hebat dan tidak
jarang pula terjadi perdarahan per vaginam serta gejala tirotoksikosis.
Kadang-kadang pengeluaran darah disertai pengeluaran beberapa gelembung
villus yang memastikan diagnosis mola hidatidosa.

Frekuensi mola

umumnya pada wanita Asia lebih tinggi (1:120 kehamilan) dibandingkan di


Negara barat (1:2000 kehamilan). Mola dapat keluar sendiri dapat pula keluar
melalui suatu tindakan, pengeluaran sendiri biasanya disertai perdarahan yang
banyak. 1
Dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi, mola hidatidosa
dapat didiagnosis secara dini. Pada pemeriksaan histopatologi akan tampak
sebagai kehamilan yang abnormal dengan karakteristik proliferasi sel
trofoblas dan villi korialis yang hidropik dengan atau tanpa adanya fetus.
Diagnosis mola hidatidosa dapat ditegakan dengan temuan klinis lainnya. 1,2,3
Insidensi dari penyakit trofoblas ganas (PTG) setelah mola hidatidosa
mencapai 15-28%. Beberapa factor dapat mempengaruhi terjadinya PTG yaitu
factor klinis dan factor molecular. Factor klinis yang dapat menjadi factor
resiko diantaranya kadar HCG yang tinggi dan ukuran uterus. Ukuran uterus

yang melebihi uterus gestasional umur 20 minggu merupakan factor resiko


yang mudah untuk dinilai. 2
Sel trofoblas memiliki beberapa aktivitas, 2 yang utama yaitu aktivitas
proliferative dan apoptosis. Apabila proliferasi masih terjadi setelah proses
kuretase, degenerasi malignan akan terjadi yang dikenal sebagai mola
hidatidosa persisten atau penyakit trofoblas ganas (PTG). Apabila aktivitas
apotosis yang lebih dominan, regresi spontan akan terjadi. 2
Etiologi dari mola hidatidosa masih belum diketahui secara pasti.
Factor molecular yang menginduksi siklus sel dicurigai sebagai factor resiko.
Gen c-ERB2 adalah reseptor gen pada epithelial growth factor (EGF).
Gangguan pada ekspresi c-ERB2 ini diduga berkorelasi kuat terhadap
terjadinya PTG setelah mola hidatidosa. PCNA (proliferating cell nuclar
antigen) adalah salah satu gen yang berperan terhadap proses metastasis. PTG
yang mengikuti mola hidatidosa memiliki potensi untuk bermetastasis ke
paru. Manifestasi dari ekspresi PCNA adalah suatu marker pada resiko
keganasan pada sel trofoblas. 2
Ekspresi dari human telomerase reverse transcriptase (hTERT) dan
ribonucleoprotein telomerase memainkan peran dalam kemampuan survival
atau karsinogenesis. Ekspresi telomerase ditemukan hanya pada mola
hidatidosa dan koriokarsinoma, dan tidak ditemukan pada mola hidatidosa
parsial ataupun kehamilan normal. Aktivasi enzim ini secara frekuen
ditemukan pada kasus keganasan. Peran dari telomerase pada mola hidatidosa
masih belum diketahui. Namun diduga enzim ini memiliki peran dalam
kemungkinan terjadinya keganasan setelah pasca mola. 2
Apoptosis dikontrol dan distimulasi oleh beberapa gen, seperti Bcl-2
serta gen lain yang bekerja mencegah apoptosis. Ekspresi gen apoptosis lebih
tinggi pada sel mola hidatidosa trofoblastik dibandingkan dengan sel trofoblas
pada plasenta normal.

Vitamin A bekerja mengontrol proliferasi sel serta

menstimulus apoptosis sel. Vitamin A yang dikonsumsi akan dimetabolisme


menjadi Retinol. Di dalam liver,vitamin A berubah menjadi bentuk retinil
ester. Retinol di plasma akan berikatan dengan reseptor pada permukaan sel.
2

Pada sitoplasma retinol akan masuk ke dalam sel dengan bantuan reseptor.
Pada sitoplasma, retinol dimetabolisme menjadi retinoic acid. Retinoic acid
kemudian akan masuk ke dalam nucleus dan membentuk komplek reseptor
retinoik. 2
Retinoic acid memainkan peran dalam mengendalikan siklus sel
dengan menghentikan siklus sel pada fase G1 dan S. Penghentian siklus sel
oleh retinoic acid dicapai melalui aktivasi p53, p21,p27, serta menghambat
cyclin. Retinoic acid juga berperan dalam menginduksi apoptosis melalui
induksi caspase, dab dan p53. 2
Proliferasi dan apoptosis adalah aktivitas utama dari sel trofoblas dan
hal tersebut terdapat pada aktivitas vitamin A. Oleh sebab itu dimungkinkan
terdapat hubungan antara intake vitamin A dan mola hidatidosa. Hubungan ini
diidentifikasi pada sebuah studi epidemiologi pada kadar vitamin A pasien
yang mengidap mola lebih rendah dibandingkan pada wanita hamil yang
normal. Pada penelitian lain, resiko PTG pada wanita berusia kurang dari 24
tahun dengan defisiensi vitamin A adalah 6.29 kali lebih tinggi. Resiko ini
meningkat menjadi 7 kali lipat apabila kehamilan yang terjadi adalah
kehamilan pertama. 2
1.2 Tujuaan
Tujuaan penelitian dalam jurnal ini adalah untuk mengetahui apakah vitamin
A menjadi satu dari factor yang berperan terhadap terjadinya mola hidatidosa,
dan dapatkah terapi vitamin A mengurangi resiko berkembangnya mola
menjadi PTG.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Vitamin A
Vitamin A atau retinol adalah salah satu vitamin larut lemak yang
bersifat mudah rusak oleh sinar ultraviolet dan oksidasi dan tahan terhadap
pemanasan. Ada 2 golongan vitamin A, yaitu preform vitamin A dan
provitamin A (karotenoid. Preform terdiri dari 3 bentuk aktif vitamin A yaitu
retinol pada gugus alcohol, retinal/ retinaldehid pada gugus aldehid dan asam
retinoat pada gugus asam. Vitamin A berasal dari precursor provitamin A yang
dikonsumsi hewan, saat dikonsumsi oleh manusia menjadi preform vitamin A.
Beberapa karotenoid yang mempunyai aktivitas vitamin A disebut provitamin
A yang akan diubah menjadi retinol dalam tubuh. 4
Preform vitamin A dan karotenoid akan dibebaskan dari protein
makanan dalam gaster. Dalam usus halus retinil aster akan dihidrolisis
menjadi retinol yang lebih efisien untuk diabsorbsi. Karotenoid akan diubah
menjadi retinaldehid menjadi retinol. Vitamin A sebagai bagian dari
kilomikron akan ditransport melalui jalur limfatik intestine melalui pembuluh
darah akan disimpan di hati. Bentuk retinol yang tidak di metabolism atau
ditranspor dari hati akan diesterifikasi kembali untuk kemudian disimpan
(stotage) di parenkim sel hati atau 80-95% disimpan sebagai cadangan
(reverse) pada sel stelat peri-sinusoidal. Vitamin A di deposit di hati (50-80%)
juga di jaringan adiposa, paru-paru, ginjal dalam bentuk retinil ester,
khususnya retinil palmitat. Cadangan vitamin A di hati terikat pada cellular
retinol binding protein (CRBP). Cadangan vitamin A dibutuhkan untuk
mencegah defisiensi terutama pada asupan vitamin A rendah. Kadar vitamin
plasma menggambarkan asupan sehari-hari dan cadangan vitamin A di hati. 4
Distribusi vitamin A dari hati ke jaringan perifer melalui proses
deesterifikasi retinil ester kemudian diangkut berikatan kompleks retinol
binding protein (RBP) transthyretin (TTR). RBP retinol akan ditangkap
oleh reseptor jaringan lain yang kemudian memperantarai transfer retinol dari
RBP ke CRBP. Sebagian retinol yang akan disimpan diubah menjadi retinal
4

kemudian asam retinoat atau terkonjugasi sebagai retinil glukoronat atau


retinil fosfat. Setelah sasam retinoat terbentuk maka akan berkonversi menjadi
bentuk yang siap untuk dikeluarkan melalui urin (30%) atau empedu dalam
bentuk feses (70%). 4

.
4

2.

Gambar 1. Metabolism vitamin A.


Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang sebagian
atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi, edematous, dan
mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur.
1,5

Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa,


yang ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan
menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit. 6
A. Etiologi Mola Hidatidosa
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola hidatidosa.
Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh terhadap patogenesis
mola hidatidosa. Faktor-faktor tersebut menghasilkan proliferasi tak terkontrol
pada trofoblas. 5
5

B. Faktor Risiko Mola Hidatidosa


1. Usia reproduksi
Mola hidatidosa (MH) dapat terjadi pada semua wanita dalam masa
reproduksi. Kehamilan pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengalami MH. 5
2. Status gizi
Status gizi dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH. MH sebagai
suatu kehamilan abnormal yang berasal dari ovum patologis. Keadaan
tersebut disebabkan oleh adanya defisiensi protein berkualitas tinggi
(highclass protein). Beberapa peneliti mengaitkan hal ini dengan
kenyataan bahwa di Asia banyak kejadian MH pada penduduk yang
termasuk golongan sosioekonomi rendah dengan tingkat konsumsi protein
yang minim. Secara empiris, teori tersebut didukung dengan tingginya
angka kejadian MH pada beberapa daerah dengan pola konsumsi rendah
protein, seperti di Indonesia dan Filipina. Meski demikian, teori tersebut
belum menjawab kenyataan bahwa terdapat daerah-daerah dengan angka
kejadian MH tinggi pada penduduk yang mengonsumsi protein tinggi,
seperti seperti di Alaska dan Hawai. Defisiensi asam folat dan histidine
pada wanita hamil juga dianggap sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian MH. Pada wanita dengan defisiensi asam folat
dan histidine, terutama pada hari ke-13 dan 21 kehamilan, akan
mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan bagian
penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini aka.,n menyebabkan
kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan
menimbulkan perubahan hidropik. Teori gizi sebagai faktor risiko yang
banyak dianut saat ini adalah teori yang diajukan oleh Parazzini &
Berkowitz, yaitu bahwa berdasarkan studi kasus kontrol, MH banyak
terjadi pada wanita dengan defisiensi -Carotene/vitamin A. Hal ini pula
yang dapat menerangkan mengapa terjadi variasi dalam insidensi secara
regional. 5
6

3. Riwayat Obstetri
Menurut WHO, riwayat obstetrik juga mempengaruhi kejadian MH. Hal
ini disebabkan pada wanita dengan riwayat MH sebelumnya berisiko
mengalami MH pada kehamilan selanjutnya. Begitu pula pada wanita
dengan riwayat

melahirkan gemelli. Namun, multiparitas

bukan

merupakan faktor risiko MH.


4. Suku bangsa dan Ras
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insidensi pada wanita kulit
hitam lebih rendah dibandingkan yang lain. Insidensi MH pada wanita
Euroasian dua kali lebih tinggi dari wanita Cina, Melayu, dan India.
5. Genetik
Hasil penelitian sitogenetik menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih
banyak ditemukan kelainan balance translocation dibandingkan dengan
populasi normal. Pada wanita dengan kelainan sitogenik tersebut lebih
banyak mengalami gangguan meiosis berupa nondisjunction sehingga
lebih banyak ovum kosong atau ovum dengan inti inaktif. 5
C. Gambaran Klinis Mola Hidatidosa
Mola dibedakan menjadi 2 jenis utama, yaitu mola hidatidosa komplit
(MHK) dan mola hidatidosa parsial (MHP) yang memiliki karakteristik
klinis yang sedikit berbeda.
MHK adalah suatu kehamilan patologis, sehingga pada bulan-bulan
pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa, seperti
diawali dengan amenore, mual, dan muntah. Terdapat beberapa laporan
yang menyatakan bahwa pada MHK lebih sering terjadi hyperemesis, dan
keluhan kehamilan lebih berat daripada kehamilan normal. Pada MHK,
vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik berkembang dengan
cepat mengisi seluruh cavum uteri, sehingga uterus membesar lebih cepat
dengan ukuran yang lebih besar dari usia kehamilan atau lamanya
amenore. 5
Pada kehamilan normal, segmen bawah rahim (SBR) baru terbentuk
pada trimester tiga kehamilan. Sedangkan pada MHK, dengan pengisian
cavum uteri yang terlalu cepat, maka pembentukan SBR dapat terjadi pada
7

usia kehamilan yang lebih muda, sekitar usia 24 minggu. SBR ini
terbentuk bentukan berupa penonjolan yang disebut dengan ballooning,
dan merupakan ciri khas dari MHK. Ballooning dapat diraba pada
pemeriksaan dalam sebagai penonjolan SBR ke arah depan, dengan
konsistensi yang lunak. 5
Perdarahan pervaginam terjadi oleh karena tubuh berusaha
mengeluarkan hasil konsepsi pada kehamilan abnormal ini. Perbedaan
dengan abortus adalah pada besarnya uterus. Perbesaran uterus sesuai
dengan usia kehamilan atau lamanya amenore pada abortus. Perdarahan
yang timbul pada MHK dapat berupa bercak sedikit-sedikit, intermiten,
atau perdarahan massif sehingga dapat terjadi syok hipovolemik.
Perdarahan dapat disertai dengan keluarnya gelembung mola, sehingga
mempermudah diagnosis. 5
Selain perbesaran uterus yang lebih menonjol, pada MHK ditemukan pula
dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal, yaitu kadar hCG dan
kista lutein. Kadar hCG pada kehamilan normal kadarnya akan meningkat
hingga usia kehamilan 60-80 hari, kemudian akan turun pada usia
kehamilan lebih dari 85 hari, dengan kadar puncak hCG berkisar 600.000
mIU/ml. Sedangkan pada MHK tidak ada penurunan kadar hCG. Selama
ada pertumbuhan sel trofoblas dan selama gelembung mola belum
dikeluarkan dari uterus maka kadar hCG akan terus meningkat hingga
dapat mencapai kadar di atas 5.000.000 mIU/ml. Hormon hCG terdiri dari
dua subunit dan . Subunit mengadakan reaksi silang dengan
gonadotropin yang berasal dari hipofisis, yaitu LH, FSH, dan TSH. Oleh
karena itu dalam pengukuran selanjutnya yang digunakan adalah -hCG.
Kadar -hCG juga mengalami peningkatan, tetapi tidak setinggi pada
MHK. Hal ini kemungkinan karena pada MHP masih ditemukan vili
korialis yang normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi ini tidak
menyebabkan rangsangan pada ovarium, sehingga pada MHP jarang
ditemukan kista lutein. Selain itu, MHP jarang sekali disertai dengan
komplikasi seperti preeklampsia, tirotoksikosis, atau emboli paru.
8

Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan


gejala maupun tanda-tanda yang khas. Keluhan yang muncul sama dengan
kehamilan normal. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar uterus
melebihi ukuran usia kehamilan atau lamanya amenore. Biasanya sama
atau bahkan lebih kecil, disebut dengan dying mole.
Tabel 2.1. Perbedaan Mola Hidatidosa Komplit dengan Mola Hidatidosa
Parsial
Jenis

Gambaran Klinik
Janin
Uterus
Penyul
it

MHK

Proses

Gambaran

Sitogeni

PA

Tidak

Lebih besar

Sering

k
Andro-

ada

dari usia

terjadi

genetik

kehamilan

diploid

Vili
normal (-)
Hiperlasi

Transforma Progno
si

sis

Keganasan
Tinggi

Dubia

(15%-20

et

%)

bonam

Rendah

Bonam

trofoblas
MHP

Ada

Sama dengan

Jarang

Diandro

(+++)
Vili

usia

terjadi

-genetik

normal (+)

kehamilan/

triploid

lebih kecil
Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein,
sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap ovaruim oleh hCG
yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat unilateral maupun bilateral
dengan besar yang bervariasi. Umumnya kista ini akan mengecil kembali
setelah jaringan mola dievakuasi. Dengan demikian, kista tidak perlu
diangkat kecuali jika ditemukan komplikasi berupa torsio atau ruptur, bila
memberikan keluhan mekanis dapat dilakukan dekompresi atau aspirasi. 5
Seperti pada kehamilan normal, pada MHK juga dapat terjadi
komplikasi kehamilan. Bentuk komplikasi kehamilan yang dapat terjadi
pada MHK antara lain, preeklampsia, tirotoksikosis (hipertiroidism) dan
emboli paru. Preeklampsia pada MHK tidak berbeda dengan kehamilan
biasa, dengan derajat yang bervariasi, ringan, berat, bahkan eklampsia.
9

Hanya saja pada MHK kejadiannya dapat lebih dini. Jika preeklampsia
ditemukan pada usia kehamilan 24 minggu dapat dicurigai adanya MHK.
Preeklampsia pada kehamilan mola timbul akibat sirkulasi faktor anti
angiogenik yang berlebihan. Penanganan preeklampsia pada MHK tidak
berbeda dengan preeklampsia pada kehamilan normal, selain evakuasi
jaringan mola. 5
Perubahan pada kelenjar tiroid ditemukan sebagai komplikasi pada
MHK. Perubahan tersebut dapat berupa anatomis maupun fungsional.
Kelainan dapat berupa hipertiroidisme biokimia saja, dengan kadar
hormon tiroksin (T3) dan triiodotironin (T4), sedangkan TSH menurun,
atau

disertai

dengan

gejala

klinis

tirotoksikosis.

Pada

MHK,

perkembangan perubahan tiroid dapat berlangsung sangat cepat, dari


status eutiroid sampai krisis tiroid, dapat berlangsung beberapa jam saja
dan dapat menyebabkan kematian. 5
Pada kehamilan normal, dapat terjadi migrasi sel-sel trofoblas ke
dalam peredaran darah menuju ke paru ibu. Hal ini dimulai pada usia
kehamilan 18 minggu, pada akhirnya akan direabsorpsi oleh tubuh, dan
merupakan gejala normal pada kehamilan. Namun, pada MHK fenomena
ini terjadi dengan jumlah sel trofoblas yang sangat banyak sehingga
menyebabkan tanda emboli paru akut dan menyebabkan kematian. Kasus
ini jarang terjadi. Diagnosis MHK dapat ditegakkan pada kehamilan sedini
mungkin sehingga penyulit kehamilan dapat dipantau sejak awal. 5
D. Penegakan Diagnosis Mola Hidatidosa
a) Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan haid
(amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari
lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya
perbesaran rahim.
b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut
jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c) Laboratorium
10

Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar -hCG yang lebih


tinggi dari normal
d) USG
Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri.
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi
(PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang
edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai
hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA
dapat pula diprediksi prognosis MH, akan mengalami transformasi
keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel trofoblas.
Proliferasi yang berlebihan memungkinkan transformasi ke arah
keganasan lebih besar. 5
Gambaran USG pada MHP tidak selalu khas. Namun diagnosis dapat
ditegakkan apabila tampak gambaran yang menyerupai kista-kista
kecil pada plasenta disertai peningkatan diameter transversa dari
kantong janin. Pada kasus-kasus dengan janin yang besar, gambaran
USG tampak lebih jelas. 5
E. Terapi Mola Hidatidosa
a) Perbaikan Keadaan Umum
b) Evakuasi jaringan
MHK merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan
penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi
secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret vakum
(suction curretage) dan histerektomi total. 5
c) Profilaksis
Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada
golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan
histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang
mencurigakan. 5
d) Follow up
Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MHK dapat mengalami
transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional (TTG).
11

Tujuan dari follow up adalah untuk melihat proses involusi berjalan


normal baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi
uterus, turunnya kadar -hCG, dan kembalinya fungsi haid. Selain itu,
untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada
tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung
selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita
datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian dalam tiga bulan
berikutnya, penderita datang setiap satu bulan. Selanjutnya dalam
enam bulan terakhir, penderita datang tiap dua bulan. Bila dalam tiga
kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah satu dari tiga tanda
tersebut, penderita harus dirawat untuk pemeriksaan yang lebih
intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-lain. 5
Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah
mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada
keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar -hCG dalam batas normal. 5
F. Prognosis Mola Hidatidosa
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar
penderita MHK akan sehat kembali. Keganasan menjadi PTG dapat
dialami sekitar 15%-20% wanita dengan riwayat MHK sebelumnya.
Umumnya yang berkembang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk
golongan risiko tinggi dengan kriteria meliputi usia > 35 tahun, kadar hCG di atas 105 mIU/ml, serta gambaran PA yang mencurigakan. Saat ini
dapat dikatakan hampir tidak ada kematian akibat MHK. Prognosis MHP
lebih baik daripada MHK. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penyulit
dan derajat keganasannya rendah (4%). Meski demikian, terdapat laporan
kasus MHP yang disertai metastasis ke tempat lain. Sehingga penderita
pasca-MHP juga harus melakukan follow up seperti pada MHK.

12

BAB III
METODE DAN HASIL

3.1 Metode
Dalam rangka menunjukan manfaat vitamin A dalam mengurangi insiden
Penyakit Trofoblast Ganas (PTG), perlu dilakukan serangkaian penelitian. rangkaian
penelitian ini perlu dipublikasikan, setelah beberapa penelitian sebelumnya belum
dipublikasikan.
Penelitian terhadap ekspresi reseptor retinol dalam sel trofoblas. Keberadaan
dari reseptor retinol dalam sel trofoblas sangatlah penting karena retinol dapat
memasukan sel trofoblas oleh mekanisme aktif dengan bantuan reseptor, sedangkan
mekanisme difusi sulit untuk ditunjukan. Mekanisme aktif dapat dibuktikan dengan
adanya reseptor retinol di sel trofoblas oleh pemerikssaan imunohistokimia. Dengan
tidak adanya reseptor retinol, peran vitamin A di sel trofoblas menjadi kecil.
Keberadaan reseptor retinol di sel trofoblas harus di buktikan, karena belum ada yang
membuktikan pada penelitian sebelumnya.
Terdapat 2 jenis subjek yang diteliti:
1.

Pemeriksaan imunohistokimia
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur dan mengidentifikasi karakteristik
dari sel, seperti proses proliferasi sel, dan apoptosis sel secara tidak langsung,
yaitu dengan menggunakan antibody sekunder yang berikatan dengan antibody
primer yang berhubungan langsung dengan antigen. Penelitian ini menggunakan
antibody sekunder dari Retinol Binding Protein (RBP), dan sudah dinilai di Lab
Patologi Anatomi FKUI. Variabel dievaluasi dari hasil keberadaan RBP,
kekuatan, dan posisi dari reseptor RBP dalam sel trofoblas.7,8
Penelitian terhadap sinyal apoptosis dengan asam retinoat di sel trofoblas. Sinyal
apoptosis lebih dapat dikenali lewat aktivitas obat yang digunakan sebagai
chemoprevention. Apoptosis dianggap lebih baik karena akan terjadi jika
menangkap tempat saat siklus sel berlangsung. Keberadaan reseptor retinol di sel
13

trofoblas menunjukan bahwa retinol bisa masuk kedalam sel. Penelitian pada
berbagai sel menunjukan bahwa aktivitas dari retinoat dapat menyebabkan
apoptosis. Aktivitas dari retinoat didalam sel trofoblas belum dilaporkan oleh
penelitian sebelumnya. Sampel penelitian ini adalah sel trofoblas, keberadaan
dari sel trofoblas didalam kultur sel telah dibuktikan dengan pemeriksaan kultur
media hCG. Sel yang telah dikultur diberikan

ATRA pada dosis 50mcg/ml,

100mcg/ml, 150mcg/ml, dan 200mcg/ml. hasil variabel dievaluasi berupa


persentase dari sel yang mengalami apoptosis. ATRA adalah obat anti-kanker
atau chemotherapy drug, diklasifikasikan sebagai retinoit yang biasa digunakan
untuk mengobati kanker darah, kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker
ginjal dengan cara kerja sebagai cara kerja retinoit. Evaluasi dari apoptosis
dibuat oleh pemeriksaan flowcytometri dalam 24 jam setelah pelaksanaan.
Persentase sel yang mengalami apoptosis telah tercatat dalam cytogram.9
2.

Pemeriksaan terhadap pasien dengan mola hidatidosa


Penelitian tentang pencegahan keganasan pasca mola hidatidosa dengan
vitamin A. vitamin A dapat dikategorikan sebagai chemoprevention. Sebagai
obat, vitamin A juga merupakan metabolisme bahan alami, mudah diberikan,
murah dengan efek samping ringan, dan bekerja pada stadium prakanker.
Mekanisme kerja vitamin A dalam sel trofoblas ditunjukkan dalam penelitian
laboratorium. Jika vitamin A berperan dalam sel trofoblas, maka diperlukan
untuk menunjukan bahwa vitamin A mampu bekerja sebagai chemoprevention
dalam mola hidatidosa. Desain penelitian ini adalah randomized clinical trial dan
double blind. Sampel dari penelitian ini adalah pasien dengan mola hidatidosa.
Kriteria Inklusi adalah pasien mola hidatidosa komplit. Kriteria eksklusi adalah
pasien mola hidatidosa tidak komplit. Kami melakukan pengobatan dengan
pemberian placebo dan vitamin A 200.000 IU perhari sampai regresi atau
degenerasi dari PTG telah diamati. Diagnose dari PTG dan regresi ditegakkan
atas dasar kriteria WHO. Variabel yang mengganggu adalah usia, pendidikan,
usia kehamilan, ukuran uterus, dan retinol yang tersimpan di hati. Variabel juga
bergantung pada angka kejadian dari regresi dan PTG.
14

3.2 Hasil
Ekspresi dari reseptor retinol di sel trofoblas
Kami

menunjukkan

pemeriksaan

dari

reseptor

dengan

pemeriksaan

imunohistokimia. Sebanyak 21 spesimen dari paraffin blocks didapatkan.


Ekspresi dari reseptor RBP ditemukan disemua specimen. Ekspresi dari reseptor
RBP di sinsitiotrofoblas lebih kuat daripada di sitotrofoblas. Ekspresi reseptor
RBP juga ditemukan di membrane sel dan sitoplasma dari sel trofoblas.
Sinyal apoptosis dari asam retinoat di sel trofoblas
Kultur dari sel trofoblas dilakukan pada stadium berikut : Sel Mola diperoleh
melalui kuretase. Specimen diambil dari gelembung mola dengan mengguakan
jarum suntik. Gelembung cairan dimasukkan kedalam tabung yang berisi media
RPMI 10% (FBS). Sel mola dibilas dua kali dengan PBS, dan di kultur selama 24
jam di incubator 5% CO pada suhu 37 oC. Setelah 24 jam, menunjukan sel
berproliferasi, kemudian media dibuang dari tempat kultur jaringan, dan dibilas
kembali dengan PBS sebanyak dua kali dalam 10ml. ATRA diberikan pada dosis
50 mcg/ml, 100mcg/ml, 150mcg/ml, 200mcg/ml. Lalu diinkubasi dalam
incubator CO2 selama 24 jam. Dibilas dengan PBS dingin dan di setrifugasi.
tambahkan 1 ml media dan hitung jumlah sel hingga mencapai 4-6x10 7/ml
dengan hematocytometry. Dan sel siap untuk dianalisa dengan flow cytometry.
Cytogram adalah hasil dari pemeriksaan Flowcytometry
Hasil dari pemeriksaan cytogram menunjukan bahwa apoptosis pada kontrol
mencapai 60,64%. Apoptosis pada pemberian 50mcg/ml mencapai 89,45%.
Apoptosis pada pemberian 100mcg/ml mencapai 87,23%. Apoptosis pada
pemberian 150mcg/ml mencapai 94,63%. Apoptosis pada pemberian 200mcg/ml
mencapai 94,83%. Presentase dari apoptosis sel trofoblas meningkat dengan
peningkatan dosis pada ATRA.
15

16

Gambar . Cytogram Diagram A: Control (DMSO), B: ATRA 50, C: ATRA 150,


D:ATRA 200

Pencegahan Keganasan Pasca Mola Hidatidosa dengan Vitamin A


Analisis variabel penelitian berlawanan antara insiden dari regresi dan keganasan
pasca mola hidatidosa yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan insiden
keganasan pasca mola hidatidosa antara kelompok kontrol dan kelompok terapi.
Distribusi dari Karakteristik Subjek
Test ini dilakukan untuk melihat distribusi dari angka variabel dari dua kelompok dari
penelitian yang berdasarkan nilai median dan mean. Hasil uji distribusi dengan
persamaan populasi (Kruskai-Wallis) dan dua sampel T-test dengan varian yang sama,
dan hasil yang diperoleh menunjukkan persamaan distribusi dari angka variabel di
kedua kelompok penelitian.
17

Karakteristik

Control (n=35)

Therapy (n=32)

Median

Median

Mean

(25-75 pct) (95% IK)

(25-75 pct)

(95% IK)

25

26

28,31

Mean

27,03

Usia

0,488
(21;30)

(24,42;29,64)

(23;33)

(25,63;31)

1.23

2,06

(0;2)

(0,62;1,84)

(0;3,5)

(1,18;2,95)

8,63

8,5

8,00

(6;12)

(7,40;9,86)

(6;10,5)

(6,71;9,29)

Pendidikan

9,40

9,31

suami

(6;12)

(8,20;10,60)

(6;12)

(7,88;10,75)

Usia

12

11,06

12,5

11,38

Kehamilan

(0;16)

(8,48;13,63)

(4,5;16)

(8,73;14,02)

16

14,86

16

16

(12;19)

(12,95;16,76)

(12;20)

(14,36;17,64)

Paritas

Pendidikan

Sounding

P value

0,113

0,475

0,924

0,863

0,363

Table . Distribution of Median and Mean Values in Each Group of Intervention


According to Characteristic
Variables

Distribusi Sparty dari Variabel Normal


Uji dari perbedaan proporsi terhadap variabel nominal dilakukan, untuk melihat
distribusi variabel nominal dalam kedua kelompok penelitian dengan menggunakan
uji proporsi perbedaan. Hasil uji dari distribusi fundus uteri menggunakan Pearson
Chi Test (memenuhi persyaratan dari chi square test) menunjukkan persamaan
distribusi dari hasil.

18

Hal ini dirancang untuk memahami hubungan dari insiden PTG dan waktu dari test
survival berdasarkan test Kaplan-Meier selesai dilakukan. Tabel analisa survival
dirancang untuk mengidentifikasi waktu terjadinya PTG, angka atau presentase
pasien yang berkembang menjadi PTG yang terkait dengan satuan waktu pada
kelompok kontrol dan kelompok terapi.
Characteristic

Control

Therapy

(N=35)

(N=32)

P value

<20 weeks

23

65,71

23

71,88

>20 weeks

12

34.29

28.13

Fundus height

Retinol deposit in

0.587

0.759

the liver
No sample

8.57

3,13

Sufficient

20

21,88

Insufficient

25

71,43

24

75

End result

0.029

Regression

24

68,57

26

81,25

MTD

10

28,57

6,25

Loss to follow up

6,25

Pregnancy

2,86

6,25

Table . Distribution of Proportion in the Control and Therapy Groups According to


Characteristic Variables

Efek Samping

19

Nilai SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol tidak
berbeda dari orang-orang yang di kelompok terapi. Tidak ada perbedaan yang
signifikan ditemukan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol. Tidak
ada perbedaan yang signifikan yang berarti ditemukan dalam perubahan nilai SGPT
sebelum dan sesudah intervensi. Namun, perbedaan ditemukan dalam perubahan dari
nilai SGOT sebelum dan sesudah intervensi di kelompok terapi (p = 0,0092).

20

BAB III
PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk membuktikan bahwa vitamin A


sebagai kemoprevensi keganasan pasca mola hidatidosa. Angka kejadiaan Penyakit
Trofoblas Ganas (PTG) setelah kejadiaan pasca mola yaitu 15 -28 %. Sel trofoblas
mempunyai beberapa aktivitas yaitu proliferasi dan apoptosis. Vitamin A berperan
dalam mengkontrol proliferasi dan meningkatkan apoptosis yang dapat mencegah
proses proliferasi sel trofoblas lebih lanjut.
Vitamin A yang terkandung dalam makanan di metabolisme menjadi retinol.
Retinol merupakan bentuk alkohol dari vitamin A. Bersirkulasi dalam darah dengan
cara terikat pada RBP (Retinol Binding Protein). Retinol disimpan dalam hepar dalam
bentuk retynil ester. Retinol dimetabolisme menjadi menjadi asam retinoid yang
merupakan kandungan penting dalam vit A. Asam retinoid merupakan substansi aktif
dalam vitamin A. Vitamin A akan di metabolisme menjadi asam retinoid jika vitamin
A dapat masuk ke dalam sel trofoblas. Asam retinoid akan memasuki nukleus sel
trofoblas dan membentuk kompleks reseptor retinoid.
Suatu zat dapat memasuki sel karena mekanisme bantuan reseptor. Suatu cara
menunjukan proses masuknya vitamin A dalam sel trofoblas dengan bantuan aktif
oleh reseptor. Dengan menunjukkan adanya reseptor retinol dalam membran sel
trofoblas dan sitoplasma, itu menunjukkan bahwa retinol bisa masuk sel trofoblas.
Penelitian terhadap ekspresi reseptor RBP dalam sel trofoblas menunjukkan bahwa
sel trofoblas mempunyai reseptor retinol. Keberadaan reseptor retinol pada membran
dan sitoplasma sel trofoblas menunjukan bahwa retinol dapat masuk sel trofoblas
dengan bantuan reseptor.
Pada penelitian dalam jurnal ini menunjukan bahwa tedapat ekspresi reseptor
retinol pada sel trofoblas. Penelitian ini menggunakan pemeriksaan imunohistokimia
21

indirek. Ekspresi dari RBP reseptor pada sinsitiotrofoblas lebih kuat dibandingkan
pada sitotrofoblas. Ekspresi RBP ditemukan pada membran sel dan sitoplasma sel
trofoblas. Pemberian asam retinoid dalam sel trofoblas menunjukan bahwa asam
retinoid dapat memasuki sel trofoblas. Masuknya asam retinoid ke dalam sel trofoblas
bisa ditunjukkan oleh adanya penghentian siklus sel dan aktivitas apoptosis.
Setelah Asam retinoid masuk kedalam sel trofoblas dengan bantuaan reseptor,
maka asam retionoid akan memasuki nukleus dan mengkontrol proliferasi,
meningkatkan diferensiasi sel, dan meningkatakan apoptosis. Asam retinoid
mengendalikan proliferasi sel dengan menghambat siklus sel. Siklus sel dihambat
melalui p53, p21 p27, dan melalui efek menghambat aktivitas cyclin yang
menyebabkan proliferasi sel terhambat.
Siklus sel terdiri atas dua fase aktif, yaitu fase M (mitosis) dan S (sintesis) dan
prepatory phase yaitu G1 (Gap 1) dan G2 (Gap 2). Fase S adalah fase replikasi DNA
yang umumnya terjadi selama 8 jam. Fase M (mitosis) adalah fase replikasi
kromosom yang terpisah menjadi dua inti anak sel dan fase M umumnya berlangsung
selama 1 jam. Fase Gap adalah fase sintesis komponen sel. Sel pada fase G1 dapat
memanjang dengan aktivitas metabolisme, tetapi tidak ada aktivitas proliferasi.
Aktivitas siklus sel dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Kedua faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya aktivitas kanker.
Aktivitas siklus sel dimungkinkan karena adanya faktor yang merangsang
siklus sel, enzim intrinsik yang berperan adalah cyclin-dependent kinase (CDKs).
Setiap siklin disintesis terutama pada akhir fase siklus sel. Siklin E disintesis pada
akhir fase G1 dana wal fase S. Siklin A disintesis pada fase S dan G2, sedangkan
sintesis B disintesis di fase G2 dan M. Regulasi siklus sel dipengaruhi oleh faktor
inhibitor antara lain CDKs-activating kinase (CKIs). CKIs mempunyai aktivitas
menghambat CDKs. Beberapa gen yang bekerja sebagai CKIs, yang bekerja
menghambat multiple CDKs, antara lain p21 dan p27 sedangkan yang bekerja
menghambat CDKs secara spesifik antara lain p16, p15, p18 dan p19. P53 merupakan

22

faktor tanskripsi yang mempunyai efek utama yaitu mengeblok siklus sel sehingga
DNA yang rusak dapat direparasi. Fungsi lain dari p53 adalah mereparasi kerusakan
DNA dan menstimulasi ekspresi gen yang dapat menghambat angiogenesis.

Apoptosis merupakan kematian sel yang terencana. Ia merupakan proses yang


aktif dan bermanfaat terutama pada proliferasi dan diferensiasi sel. Pada proses
tersebut dapat saja terjadi kerusakan dan bila tidak dimusnahkan akan menimbulkan
gangguan dalam pertumbuhan sel. Dalam proses ini ikut terlibat proto-onkogen
seperti MYC, E1A, AKT, RAS, REL, sedangkan sel supresor yang terlibat adalah
PTEN, RB1, p53 dan ARF. Pengaturannya melalui jalur (pathway) yang berujung
pada penghentian caspase.
Asam retinoid menstimulasi atau menginduksi apoptosis melalui stimulasi
p53, p21, caspase, dan dab. Sel trofoblas memiliki aktivitas apoptosis yang tinggi.
Dalam penelitian laboratorium aktivitas apoptosis yang diamati pada sel trofoblas
relatif tinggi, yaitu 60.64%. Hasil laboratorium menunjukan adanya aktivitas
23

apoptosis dalam sel trofoblas setelah pemberian asam retinoid. Persentase


meningkatnya aktivitas apoptosis berbanding lurus dengan peningkatan dosis asam
retinoid. Hasil penelitian laboratorium menunjukan pemberian asam retinoid dalam
sel trofoblas meningkatkan aktivitas apoptosis sel trofoblas.
Hubungan antara mola hidatidosa dengan vitamin A pertama kali di lakukan
dalam studi epidemiologi dimana kadar vitamin A dalam darah pada pasien mola
hidatidosa lebih rendah dibandingkan dengan kadar vitamin A dalam darah wani
ta hamil. Kadar retinol dalam darah yang rendah berhubungan dengan data yang
menunjukan deposit retinol pada hepar pada pasien dengan mola hidatidosa sekitar
73,31 %. Data ini menunjukan kekurangan vitamin A dalam jangka waktu lama
Mola hidatidosa memiliki dua aktivitas utama, yaitu proliferasi dan apoptosis.
Peningkatan proliferasi sel dan penurunan apoptosis merupakan risiko terjadinya
proliferasi lanjutan oleh sel trofoblas yang secara klinis dikenal sebagai Penyakit
Trofoblas Ganas. Vitamin A memiliki dua aktivitas utama, yaitu mengendalikan dan
menghentikan proliferasi sel dan menginduksi apoptosis . Kedua peran aktivitas
vitamin A ini merupakan alasan untuk pemberian terapi

vitamin A sebagai

pencegahan keganasan pasca mola hidatidosa.

24

Pemberian vitamin A akan meningkatkan kadar retinol dalam serum.


Peningkatan kadar retinol dalam serum akan meningkatkan jumlah retinol yang
masuk ke dalam sel trofoblas Peningkatan retinol dalam sitoplasma sel trofoblas akan
meningkatkan metabolisme asam retinoid. Peningkatan asam retinoid akan
meningkatkan sinyal untuk mengkontrol proliferasi sel dan meningkatkan aktivitas
apoptosis. Secara klinis, penghentian siklus sel dan peningkatan apoptosis dianggap
sebagai suatu mekanisme yang mengurangi insidensi kejadian mola hidatidosa.
Peningkatan insidensi penurunan keganasan pasca mola hidatidosa oleh
vitamin A ditunjukkan dengan menurunnya kejadian keganasan pasca mola hidatidosa
selama pemberian Vitamin A. Tingkat kejadian keganasan setelah mola hidatidosa
pada kelompok kontrol adalah 28,57%, dan pada kelompok yang mendapat terapi
vitamin A adalah 6,25%. Hasil penelitian ini hampir sama dengan yang diperoleh
pada penelitian padakemoprevensi pasca mola hidatidosa dengan actinomycin
(Kelompok kontrol dengan hasil 29% dan kelompok terapi 6,9%) .
Resiko untuk berkembang menjadi keganasan pasca mola hidatidosa pada
pasien yang tidak diberikan terapi vitamin A 8,4 kali lebih tinggi dibandingkan
25

dengan pasien yang mendapat terapi vitamin A. Selain itu, pemberian vitamin A tidak
menimbulkan efek samping yang berbeda ketika vitamin A tidak diberikan. Namun,
pemberian vitamin A menyebabkan peningkatan kadar SGOT pada pasien mola
hidatidosa.
Berdasarkan uji klinis acak dengan metode double blind menunjukan bahwa
tingkat kejadian keganasan pasca mola hidatidosa yang mendapatkan terapi vitamin
A lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan vitmain A.

26

BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk membuktikan bahwa vitamin A
sebagai kemoprevensi keganasan pasca mola hidatidosa. Mola hidatidosa memiliki
dua aktivitas utama, yaitu proliferasi dan apoptosis. Peningkatan proliferasi sel dan
penurunan apoptosis merupakan risiko terjadinya proliferasi lanjutan oleh sel
trofoblas yang secara klinis dikenal sebagai Penyakit Trofoblas Ganas. Vitamin A
memiliki dua aktivitas utama, yaitu mengendalikan dan menghentikan proliferasi sel
dan menginduksi apoptosis . Kedua peran aktivitas vitamin A ini merupakan alasan
untuk pemberian terapi

vitamin A sebagai pencegahan keganasan pasca mola

hidatidosa.
Hasil penelitian dalam jurnal ini menunjukkan ada reseptor retinoid dalam sel
trofoblas. Hasil laboratorium dalam penelitiaan ini menunjukkan bahwa sel trofoblas
dari mola hidatidosa memiliki aktivitas apoptosis sebesar 60.64% dan asam retinoid
meningkatkan aktivitas apoptosis dari sel trofoblas. Percobaan klinis menunjukkan
bahwa tingkat insiden keganasan pasca mola hidatidosa pada pasien yang
mendapatkan vitamin A adalah 6,25%, dan kelompok kontrol adalah 28,57%.

5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut harus dilakukan dengan menggunakan dosis vitamin A,
hubungan vitamin A dengan gangguan ovulasi, hubungan vitamin A dengan kelainan
ovum, hubungan vitamin A dengan mola invasif, dan hubungan vitamin A dengan
koriokarsinoma.

DAFTAR PUSTAKA
27

1. Saifuddin, AB., Rachimhadhi, T. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina pustaka


Sarwono Prawirohardjo. 2007; 10; 262-66
2. Andrijono A, Muhilal M, Taufik E, Hariati M, Kodariah R, Heffen W L.
Hidatidation of Malignancy Following Hidatidiform Mole with Vitamin A. Maj
Kedokt Indon. 2009; 59; 251-9
3. Moore, Lisa. Hydatidiform Mole. Emedicine Article. 2012.
4. Permadhi,
Inge.
Vitamin
Larut
Lemak.
2013.

Available

on

http://staff.ui.ac.id/internal/131949782/material/S2VITAMINA.pdf
5. Martadhisubrata 2005
6. Berkowitz dan Goldstein 2009.
7. Ramos-Vara, JA. 2005. Technical Aspects of Immunohistochemistry. Vet Pathol
42 (4); 405-426. Doi: 10. 1354/vp. 42-4-405. PMID 16006601
8. Rantam. Fedik A. 2003. Metode Imunologi Airlangga University Press. Surabaya.
145-155
9. http://Chemocare.com/chemotherapy/drug-info/atra.aspx

28

Anda mungkin juga menyukai