plop dari Pak Syamsudin dan menghitungnya: lima puluh juta rupiah. Dia
dan Maimunah saling pandang. Sebab, awalnya, dia hanya berniat
membantu mencarikan tanah buat
usaha properti Pak Syamsudin. Tak
lebih dari itu. Tapi, berkat bantuan
itu Haikal ternyata mendapatkan
bagian.
***
SEBENARNYA, tak hanya kali itu
Haikal mendapatkan uang dalam
jumlah besar. Uang yang bisa disebut
rezeki tak terduga. Tiga tahun lalu,
saat Maimunah hendak melahirkan
Noura, anak pertamanya, dia sempat
digulung cemas. Usia kandungan
Maimunah, waktu itu sudah menginjak delapan bulan. Tapi, dia tak punya tabungan untuk biaya persalinan. Padahal, istrinya diperkirakan
dokter akan melahirkan lewat operasi caesar.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Haikal mendapatkan rezeki tak
terduga. Dia memenangkan undian,
dan mendapat uang tunai dua puluh
juta rupiah. Bagi Haikal, yang hanya
karyawan rendahan di sebuah pabrik
kertas dengan gaji tiga jutaan, tentu
uang dua puluh juta itu sangat banyak. Apalagi, waktu itu Haikal sedang butuh biaya kelahiran anaknya.
Uang itu akhirnya bisa menyelamatkan kegetiran hidup Haikal.
Rezeki tak terduga yang kedua
datang tatkala Haikal kembali digulung masalah. Haikal dililit banyak
utang. Beruntung, saat tagihan itu
hampir jatuh tempo, sementara dia tidak punya apa pun yang bisa dijual,
KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16
umum masyarakat.
Kuntowijoyo dan Umar Kayam juga melakukan riset baik secara sosial maupun secara pustaka untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan. Dengan riset tersebut
Kuntowijoyo mampu melahirkan cerpencerpen yang memiliki kekuatan ide dan
tema-- misalnya Anjing-anjing Menyerbu
Kuburan, Laki-laki yang Kawin dengan Peri
dan Pistol Perdamaian . Dalam tiga cerpen
tersebut, Kuntowijoyo sangat menguasai
tema dan persoalan yakni tentang mitologi
masyarakat Jawa (misalnya soal pesugihan,
daya linuwih dan jimat bertuah) yang dibenturkan dengan nilai-nilai modern (pandangan rasional) dan moralitas.
Umar Kayam dengan kemampuan riset
dan merekam pengalaman personal, sosial,
politik dan kultural mampu melahirkan
cerpen-cerpen yang kuat, indah, menyentuh
dan memiliki masa depan kultural. Sebut
misalnya Bawuk yang berlatar belakang revolusi sosial 1965 yang memakan banyak
korban dan menyimpan tragedi besar dan
memilukan. Umar Kayam pernah bercerita
kepada saya bahwa cerpen itu ditulis sebagai refleksi diri atas gebalau revolusi yang
mengantarkan lahirnya sebuah rezim
(Orde Baru). Di situ ia mengungkapkan kebimbangan dan ketidakmengertiannya dengan pergantian Orde Lama menjadi Orde
Baru pada masa itu.
Perubahan Kualitatif
Terkait gaya penyampaian atau gaya