Anda di halaman 1dari 1

BUDAYA

MINGGU KLIWON, 9 AGUSTUS 2015


( 24 SAWAL 1948 )

EJAK satu bulan yang lalu,


Haikal sudah berjanji tak
akan menyentuh uang itu
lagi. Uang yang ia sebut-sebut uang
bau tanah, dan telah membuat celaka
dua orang yang telah dia tolong dengan tulus. Tetapi, pagi ini Haikal
bimbang.
Semua itu bermula dari dering telepon ibunya. Awalnya, Haikal tak peduli nada handphone berdering kencang dari dalam rumah. Haikal tetap
khusyuk membaca koran di teras,
hingga tiba-tiba, dia dikejutkan istrinya yang berlari tergopoh-gopoh dari
dalam rumah dengan suara mengagetkan.
"Mas, ada telepon dari ibu."
Haikal sempat terdiam beberapa
detik. Perasaannya seperti digulung
gelombang dahsyat yang mencemaskan. Sebab dia tahu ibunya tak pernah menelepon, kecuali ada hal penting. Spontan dia meletakkan koran,
menerima handphone dari tangan
Maimunah, istrinya. Tangan Haikal
bergetar, dia seperti sudah merasakan ada isyarat berita sedih. Dan,
dugaan Haikal tak keliru.
Setelah mengucap salam, Haikal
tak bersuara. Ia diam mendengarkan
ibunya bercerita. Maimunah masih
berdiri di samping Haikal, samar-samar mendengar pembicaraan mertuanya dan lelaki yang menikahinya
lima tahun silam itu: pembicaraan seputar ibu mertuanya yang sudah terkena katarak, dan dalam waktu dekat dokter menyarankan untuk operasi.
"Ibu sudah menelepon Kakak?"
"Belum. Ibu hanya menceritakan
hal ini kepadamu!"
"Ibu tak perlu cemas soal biaya
operasi," tegas Haikal "Saya nanti
yang akan menanggung biayanya.
Ibu harus mengikuti saran dokter untuk menjalani operasi!"
Dari seberang, Haikal seperti melihat seulas senyum yang merambat
dari mulut ibunya.
Tetapi sebelum ibunya menutup
telepon, Haikal sempat bimbang. Bukan lantaran Haikal tak punya uang,
tapi Haikal sudah berjanji tak akan
menggunakan uang itu. Tapi, kini
Haikal harus melanggar janjinya.
Wajar, saat Haikal menutup telepon, istrinya langsung bertanya, "Jadi, Mas besok akan pulang dengan
membawa uang bau tanah itu?"
"Tak ada pilihan lain," jawab Haikal.
***
DUA bulan lalu, Haikal mendapat
rezeki tak terduga. Rezeki yang dianggapnya turun dari kolong langit.
Tanpa dia duga, Pak Syamsudin, teman SMA Haikal datang dan mengucapkan rasa terima kasih atas bantuannya. Dan, saat mau pulang, Pak
Syamsudin memberi salam tempel
amplop putih tebal.
"Uang dalam amplop ini tak seberapa, tolong diterima," ujar Pak Syamsudin seraya pamit pulang.
"Ini apa-apaan, Pak," Haikal sempat bingung.
"Kau pasti tak lupa kejadian enam
bulan lalu saat aku datang ke sini
minta bantuan dicarikan tanah.
Anggap ini persen dariku," tegas Pak
Syamsudin.
Haikal meletakkan amplop itu di
atas meja, mengantar Pak Syamsudin sampai pintu pagar rumah dan
menunggu hingga mobil Pak Syamsudin hilang di tikungan jalan.
Tapi, betapa terkejutnya Haikal
setelah masuk rumah, membuka am-

plop dari Pak Syamsudin dan menghitungnya: lima puluh juta rupiah. Dia
dan Maimunah saling pandang. Sebab, awalnya, dia hanya berniat
membantu mencarikan tanah buat
usaha properti Pak Syamsudin. Tak
lebih dari itu. Tapi, berkat bantuan
itu Haikal ternyata mendapatkan
bagian.
***
SEBENARNYA, tak hanya kali itu
Haikal mendapatkan uang dalam
jumlah besar. Uang yang bisa disebut
rezeki tak terduga. Tiga tahun lalu,
saat Maimunah hendak melahirkan
Noura, anak pertamanya, dia sempat
digulung cemas. Usia kandungan
Maimunah, waktu itu sudah menginjak delapan bulan. Tapi, dia tak punya tabungan untuk biaya persalinan. Padahal, istrinya diperkirakan
dokter akan melahirkan lewat operasi caesar.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Haikal mendapatkan rezeki tak
terduga. Dia memenangkan undian,
dan mendapat uang tunai dua puluh
juta rupiah. Bagi Haikal, yang hanya
karyawan rendahan di sebuah pabrik
kertas dengan gaji tiga jutaan, tentu
uang dua puluh juta itu sangat banyak. Apalagi, waktu itu Haikal sedang butuh biaya kelahiran anaknya.
Uang itu akhirnya bisa menyelamatkan kegetiran hidup Haikal.
Rezeki tak terduga yang kedua
datang tatkala Haikal kembali digulung masalah. Haikal dililit banyak
utang. Beruntung, saat tagihan itu
hampir jatuh tempo, sementara dia tidak punya apa pun yang bisa dijual,

istrinya membawa kabar gembira


bahwa dia mendapat bagian warisan.
Haikal bisa melunasi utang-utangnya, bahkan bisa menempati rumah
baru -setelah mengajukan kredit rumah, dan bisa membayar uang muka
lima puluh persen.
Haikal selalu beruntung. Dua bulan lalu, Pak Syamsudin datang
membawa rezeki. Ia dapat amplop lima puluh juta rupiah.
Hanya saja, saat itu Haikal sedang
tak dililit masalah. Dia pun menyimpan uang itu di dalam almari. Tapi,
belum genap tiga hari uang itu dalam
genggaman Haikal, datang kabar
salah satu temannya butuh biaya
operasi usus buntu. Haikal menyumbang lima juta. Dia berharap, dari
bantuan uang itu, temannya bisa segera sembuh dari penyakit yang diderita. Tapi, harapan Haikal itu ternyata tak seperti yang dibayangkan. Temannya meninggal lima hari kemudian.
Seminggu kemudian, datang kabar
yang menyedihkan. Salah satu temannya di Surabaya menderita kanker paru-paru stadium IV dan harus
operasi. Haikal ikut solidaritas teman-teman yang lain untuk meringankan biaya operasi dengan menyumbangkan uang dari pak Syamsudin sebesar lima juta. Tiga hari
setelah itu, Haikal dikejutkan kabar
duka. Temannya itu meninggal.
Berita itu membuat Haikal langsung merenung. Dia bahkan penasaran. Malam itu, ketika istrinya sedang tidur pulas, dia mengambil uang
dalam amplop yang disimpan di al-

mari, lalu mencium lembaran uang


dari Pak Syamsudin itu. Hidung Haikal seperti menemukan aroma aneh.
Uang dari Pak Syamsudin menguar
bau tanah. Sejak malam itu, ia berjanji menyimpan uang bau tanah itu
di almari, dan tidak bersedia menyentuhnya lagi.
Tapi, telepon dari ibunya membuat
dia harus ingkar janji. Haikal tak punya pilihan lain, dia terpaksa mengambil uang bau tanah dari dalam almari, dan memberikan semua uang
itu buat biaya operasi mata ibunya.
Kemarin, saat dia menyerahkan uang
dalam amplop itu kepada ibunya
yang terbaring setelah tiga hari melakukan operasi katarak, tangan Haikal sempat gemetaran. Ia nyaris tak
bisa berkata apa pun.
"Anakku, selama ini aku tahu kamu hidup pas-pasan, dan tidak memiliki tabungan," kata ibunya, "Lalu,
dari mana engkau mendapat uang sebanyak ini?"
Haikal sempat diam, dan bingung
untuk menjelaskan asal muasal uang
itu. Tapi, sejak kecil Haikal tak pernah berbohong pada ibunya. Kemudian, Haikal bercerita jujur asal usul
uang itu. Wanita setengah baya yang
sudah ditinggal pergi ayah Haikal
sepuluh tahun yang lalu itu pun
hanya mengangguk-angguk.
"Aku berharap dengan uang ini Ibu
dalam waktu dekat bisa sehat dan bisa kembali melihat tanpa gangguan,"
ucap Haikal.
Ibunya memegang tangan Haikal
dengan erat dan Haikal membalas
memegang tangan ibunya. Air mata
ibunya menitik. Haikal merasa momen itu merupakan kebahagiaan
puncak yang dialaminya sebagai seorang anak.
"Tiga hari setelah ini, aku akan
menelepon Ibu," janji Haikal sebelum
balik ke Jakarta.
***
SEBENARNYA, Haikal tidak lupa
dengan janji yang telah diucapkan.
Dia tahu, hari ini adalah hari ketiga
setelah Haikal balik ke Jakarta. Dia
seharusnya menelepon ibunya. Tapi,
dia tak memiliki keberanian. Bayangan dua temannya yang mati setelah
dia menyumbang uang untuk biaya
operasi berkelebatan.
Haikal tak ingin ada kabar duka lagi. Apalagi, jika kabar itu menimpa
ibunya. Akhirnya, malam itu, dia memilih tidur lebih awal. Dan, tatkala
Subuh menyingsing, samar-samar
dia mendengar suara seseorang.
Bangun, bangun Mas! Ada kabar
dari rumah! Kakakmu menelepon...
Haikal terjaga dari tidur, memicingkan mata ke arah jam dinding.
Jarum pendek menunjuk angka lima.
Ada berita apa?
Ibumu... ujar istrinya. Dan begitu
panggilan untuk wanita setengah baya yang telah melahirkan Haikal itu
disebut, dia langsung lemas.
Aku tak ingin mendengar berita
duka! Apalagi, jika itu menimpa
Ibu...
Istighfar, Mas.... Istighfar! Ibu
masih sehat!
"Lalu?"
"Kakakmu menelepon mau mengatakan bahwa dia mau mengembalikan uangmu, dan bahkan akan mengembalikan sebesar tiga kali lipat
yang mas berikan kepada ibu...!"
Haikal seketika bersimpuh. Dia
merasa salah menebak rahasia Tuhan. - k
Jakarta, 2013-2015

KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16

Nurul Ilmi Elbanna


Catatan Harian Angeline
/1/
seorang ibu adalah pemberi kasih yang candu
dan anak selalu ingin memasuki pintu pelukan ibu
ayam-ayam itu berkokok nyaring setiap pagi
kokoknya sampai ke hati membuat nyeri
dari balik pintu, tanganmu yang kekar
memberi aba-aba agar aku segera keluar kamar
bertugas memberi ayam-ayam itu makan.
begitulah yang kukerjakan setiap matahari terbangun
semenjak ayah pulang ke rumah Tuhan
/2/
kawan-kawanku selalu berkisah
roti dan susu memanjakan lidah sebelum sekolah
aku sendiri mandi pun tiada sempat
salah sedikit, dia akan mengumpat
di rumah, gedung membentuk benteng
seperti penjara Cinderella memaku gerak dan pikir.
Terkurung seribu keinginan oleh tegak pekerjaan
sepi sunyi menempel di dinding dan jendela.
Ada suara menjadi ular berbisa dan melilit kaki-kaki sukma.
Sementara rumah kawan-kawanku luas tak berbatas
jendela dan pintunya terbuka dan bercabang ke mana-mana
/3/
aku merindukan ibu
meskipun ia memberikanku pada orang lain untuk diasuh
dentang lonceng dan teriakan menjadi wajar berlaku
sebab diriku lahir menjadi benalu
suatu pagi, kokok ayam terasa jauh
alarm tak cukup ampuh menggelitik pagiku
dia mulai berpenyakit seperti kemarin
mengamuk tak menambah berat berton-ton
kebencian di kepalanya
Tangannya terlatih menumbuhkan pilu yang sedu
hari esok bagiku hanyalah langit yang terus meninggi
sedang waktu bergerak dengan merangkak
hari-hari berpindah nama penuh perintah
dan sumpah serapah
Oh, Ayah, baikkah kau di sana?
/4/
hari ini piring terjatuh dari tanganku pecah landai berberaian
disusul suaranya memecah birai telinga
hanyalah sebuah boneka yang membelaku tanpa suara
/5/
kebencian mengubah tempatku di hatinya
ia mengirimku ke lubang galian di belakang rumah
sebagai tempat istirahat untuk selamanya
tanpa taburan bunga dan doa hanya boneka yang setia
lalu, wajah-wajah yang tak kukenal
tiba-tiba mendekat dan mengantarku ke pintu ajal

Rencana Setelah Hari Raya


lekat menuju hati, takbir pun mengalir. di tempat gelap
di tempat terang, ia mendekap
seluruh harap bergilir terungkap
memantul-mantul meratakan kemenangan
setelah mematahkan kewajiban
kita akan mengurai rindu kepada saudara
bibir melafal maaf ditiap pintu rumah
agar kita paham bilangan dosa
lalu berhemat akan berkah yang tercurah
ada rumah leluhur telah lama menunggu kunjungan
sepanjang tahun dikurung kesendirian
meski tanpa senyum dan pelukan
salam dan doa cukup sebagai pertanda ingatan
suatu hari, kita akan memiliki rumah serupa
entah di tanah mana
sunyi segera datang kembali melafalkan puisi
lahirlah puisi-puisi yang fitri
Banuaju, 2015
*) Nurul Ilmi ElBanna, Mahasiswi Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan
Kalijaga. Karyanya juga terkumpul dalam beberapa antologi
bersama Sebab Cinta (2013) dan Gemuruh Ingatan (2014).
Anggota LPM Arena UIN Sunan Kalijaga.

Strategi Estetik Kuntowijoyo dan Umar Kayam


Indra Tranggono
STRATEGI estetik selalu dibutuhkan
bagi setiap penulis karya sastra, baik cerpen, novel maupun puisi. Strategi estetik
bisa dipahami sebagai pendekatan secara
keseluruhan yang berkaitan dengan perwujudan/pelaksanaan gagasan, perencanaan,
dan eksekusi dalam melahirkan karya seni
(dalam hal ini sastra). Terkait dengan hal
tersebut, menarik untuk dibahas proses
kreatif dua sastrawan besar Kuntowijoyo
dan Umar Kayam.
Pendekatan secara konseptual yang paling mendasar bagi Kuntowijoyo dan Umar
Kayam adalah pemahaman bahwa karya
sastra (cerpen) bukan tiruan mentah atau
copy paste realitas, melainkan hasil penafsiran atas realitas. Dalam penafsiran terjadi transformasi estetik melalui (1) eksplorasi dunia pengalaman baik pengalaman sosial, pengalaman budaya, maupun pengalaman estetik, (2) pengolahan simbol-simbol dan (3) sudut pandang yang berbeda
dari yang sudah ada/umum. Artinya, cerpen
selalu beyond of reality atau hasil transendensi sang kreator atas realitas. Ada jarak
estetik antara cerpen dengan realitas. Cerpen akhirnya menjelma menjadi dunia alternatif atau dunia subversif dari dunia realitas, karena menyodorkan peristiwa dan
nilai yang berbeda (baca: versi lain) dengan
realitas yang sudah menjadi pengetahuan

umum masyarakat.
Kuntowijoyo dan Umar Kayam juga melakukan riset baik secara sosial maupun secara pustaka untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan. Dengan riset tersebut
Kuntowijoyo mampu melahirkan cerpencerpen yang memiliki kekuatan ide dan
tema-- misalnya Anjing-anjing Menyerbu
Kuburan, Laki-laki yang Kawin dengan Peri
dan Pistol Perdamaian . Dalam tiga cerpen
tersebut, Kuntowijoyo sangat menguasai
tema dan persoalan yakni tentang mitologi
masyarakat Jawa (misalnya soal pesugihan,
daya linuwih dan jimat bertuah) yang dibenturkan dengan nilai-nilai modern (pandangan rasional) dan moralitas.
Umar Kayam dengan kemampuan riset
dan merekam pengalaman personal, sosial,
politik dan kultural mampu melahirkan
cerpen-cerpen yang kuat, indah, menyentuh
dan memiliki masa depan kultural. Sebut
misalnya Bawuk yang berlatar belakang revolusi sosial 1965 yang memakan banyak
korban dan menyimpan tragedi besar dan
memilukan. Umar Kayam pernah bercerita
kepada saya bahwa cerpen itu ditulis sebagai refleksi diri atas gebalau revolusi yang
mengantarkan lahirnya sebuah rezim
(Orde Baru). Di situ ia mengungkapkan kebimbangan dan ketidakmengertiannya dengan pergantian Orde Lama menjadi Orde
Baru pada masa itu.
Perubahan Kualitatif
Terkait gaya penyampaian atau gaya

penulisan cerita Kuntowijoyo punya pendekatan dalam menyiasati sastra majalah


dan koran. Dalam buku kumpulan cerpen
Hampir Sebuah Subversi (Grasindo,1999)
dia mengatakan bahwa sastra koran telah
mengubah semuanya. Secara kuantitatif seorang cerpenis harus memotong separo dari
kebiasaannya: biasa menulis 12 halaman
sampai 16 halaman kemudian harus mencukupkan diri dengan enam sampai delapan halaman.
Perubahan kuantitatif itu harus disertai
dengan perubahan kualitatif supaya cerpen
menjadi karya sastra yang utuh. Kuntowijoyo pun memecahkan persoalan teknis itu
dengan mengubah cara bercerita. Yakni,
menekankan peristiwa dan menyerahkannya yang lain-lain (kejiwaan tokoh, urutan
peristiwa, lukisan lingkungan (local color)
kepada imajinasi pembaca.
Menurut Kuntowijoyo, untuk mengganti
keterbatasan sastra koran dirinya memakai
teknis deskripsi padat (thick description),
yaitu hanya dalam satu peristiwa saja cerpenis melukiskan banyak hal sekaligus.
Kisah Suasana
Umar Kayam dikenal sebagai cerpenis
yang piawai berkisah. Seperti seorang pendongeng, ia mampu berkomunikasi secara
intim hingga larut dalam cerpennya. Selain
pilihan bahasa yang sederhana namun
bernas, kekuatan cerpen Umar Kayam
adalah pada penghadiran suasana dramatik yang dibangun dari detilasi karakter

atau suasana kejiwaan tokoh utama dan


tokoh pendukung serta dunia eksterior
tokoh (ruang, benda-benda). Kekuatan
membangun suasana ini menjadikan cerpen-cerpen Umar Kayam tidak skematik
atau seperti tidak memiliki rancangan
struktur, melainkan kisah (peristiwa dramatik) yang mengalir dan membentuk
karakter tokoh-tokohnya serta membangun
struktur cerita. Pencapaian ini sangat ditentukan oleh kemampuan Umar Kayam
dalam memilih angle kisah (penceritaan)
dan pilihan adegan penting pada awal
kisah. Biasanya Umar Kayam mengawali
cerita dari peristiwa dramatik yang sangat
penting dan berpotensi membuka bagianbagian dari kisah selanjutnya. Ia pun biasa
menulis cerpen dari bagian akhir atau bagian tengah yang kemudian bergerak ke depan dan ke belakang. Jarang saya menemukan alur cerpennya yang linear (alfabetik).
Ahmad Nashih Luthfi dalam kajian atas
karya-karya Umar Kayam menyebutkan
bahwa Rachmat Djoko Pradopo memasukkan Kayam sebagai sastrawan angkatan 50
(1950-1970). Gaya bercerita pada angkatan
ini menunjukkan kebaruan dibandingkan
dengan angkatan sebelumnya. Yaitu gaya
bertutur yang hanya menyajikan cerita saja
tanpa menyisipkan komentar, pikiran-pikiran, dan pandangan-pandangan pengarang. Alur cerita menjadi padat tanpa digresi. Pembaca memiliki kebebasan untuk
menafsir. Ia sekadar memberi gambaran

suasana tertentu dan melalui suasana yang


terbias dari batin tokoh-tokohnya. Sejumlah
tema bisa muncul, pembaca dapat menemukan tema cerita dari banyak segi, sesuai dengan horizon harapan masing-masing.
Dikatakan Ahmad Nashih Luthfi, karya
Umar Kayam membawa genre baru sebagai kisah suasana. Dalam cerpen maupun
novelnya, suasana setting kisah begitu kuat
hingga pembaca tenggelam mengimajinasikannya. Ia seorang materialis radikal dalam bersastra dan dalam kesehariannya.
Properti-properti yang disajikan untuk
mendukung kisah dalam novelnya diuraikannya mendetail. Kemampuan inderawinya menyeluruh dan tajam, mampu menangkap detail-detail dan partikularis. Sebenarnya gambaran semacam ini juga untuk mengatakan style Umar Kayam sebagai
ilmuwan.
Dengan strategi estetik masing-masing,
Kuntowijoyo dan Umar Kayam telah memberikan kontribusi besar kepada perkembangan dunia cerpen di Indonesia, bukan
hanya dalam soal narasi-narasi estetiknya
melainkan juga nilai-nilai kulturalnya.
Cerpen-cerpen karya dua maestro ini juga
bisa dimaknai sebagai penanda penting kebudayaan bangsa kita, sekaligus sebagai
arsip kebudayaan di mana kita menemukan fakta-fakta mental bangsa kita di dalam jatuh bangun peradaban. - k
*) Indra Tranggono, cerpenis
dan pemerhati kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai