Anda di halaman 1dari 1

MINGGU WAGE, 23 AGUSTUS 2015

( 8 DULKAIDAH 1948 )

BUDAYA

ULU, sebelum dia kehilangan wajah dan memutuskan jadi boneka. Tokoh
cerita kita seorang gadis jelita. Kita
sebut saja namanya Djelema. Sebab
begitulah suaminya yang berdarah
Belanda itu memanggilnya: Djelema.
Ini dongeng kuno. Jadi jangan terhenyak bila kukatakan Djelema mengoek dari selakangan emaknya pada tahun 1881, di dusun Sukajadi, Bandung.
Mungkin bila bisa memilih, Djelema tak ingin dilahirkan di zaman itu.
Tapi begitulah takdirnya, Tuhan tak
pernah bermufakat ihwal itu. Dia
memecah langit subuh yang temaram
dengan tangisnya yang melengking
panjang di atas bale-bale bambu kasar. Djelema tumbuh dalam kekurangan. Bapaknya bekerja serabutan
dan lebih kerap bekerja tanpa gaji di
bawah todongan senapan tentara
Hindia Belanda. Sementara emaknya? Ah, penuh air mata. Aku benci
menceritakan sesuatu yang membuatku menangis. Anak-anakku tak suka aku menangis. Bila aku menangis,
Marie, Caroline, James, dan Pieter
akan meraung-raung tiada henti.
Sejak berumur delapan tahun dan
ketika otot-ototnya sudah mampu untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga, tangan emaknya yang
kapalan itu melempar Djelema ke
rumah Tuan Edwar. Seorang komandan militer Belanda yang tinggal di
Bandung.
Tapi Djelema tidak menangis, dia
tak mengutuk emaknya jadi batu karena sudah membuangnya ke sini.
Dia tahu emaknya tak punya pilihan.
Bila saja dia yang di posisi emaknya,
dia akan melakukan hal yang sama.
Daripada anaknya mati kelaparan di
luar sana, lebih baik dia jadi babu di
rumah orang Belanda, walau pun
kadang harus makan bersama anjing
yang dipelihara tuannya.
Begitulah, beberapa tahun ke depan
cerita hidup tokoh kita cukup menyenangkan. Setidaknya, sebelum malam
jahanam itu datang. Oh Tuhan, aku
tak tahu. Haruskah aku mengisahkan
bagian ini? Tapi inilah bagian penting
dari dongeng Djelema-ku.
Pertama kali Tuan Willem (dia
anak Tuan Edwar yang berusia delapan belas tahun) menyeretnya ke dalam bilik, lalu meremas dadanya yang
belum tumbuh sempurna, menyantap
bibirnya dengan beringas dan menarik kain serta kebayanya dengan paksa, Djelema baru berumur tiga belas
tahun. Dia sangat ketakutan. Benarbenar takut. Dia mengira Tuan Willem akan membunuhnya, mencincang tubuhnya, lalu membagikan potongan-potongan badannya pada anjing-anjing yang ada di halaman belakang. Ternyata, kematian itu jauh
lebih baik daripada apa yang Djelema
alami. Tuan Willem melakukan hal
yang jauh lebih mengerikan. Sangat
mengerikan. Sampai-sampai Djelema
mimpi buruk sangat lama.
Sejak malam jahanam itu, hidupnya
berubah. Beberapa malam dalam sepekan, akan ada seseorang yang meng-

endap-endap ke dalam biliknya, lalu


menindihnya, dan menghujamkan
sesuatu yang keras dalam tubuhnya.
Djelema tak bisa menolak, sebab bila
menolak artinya dia meminta mati.
***
ENTAHLAH, apa ini bagian cerita
bahagia dalam hidup Djelema atau
sesungguhnya awal dari kemalangan
demi kemalangan lainnya yang tak
kunjung usai menderanya? Setelah
cukup lama mengendap-endap ke da-

lam biliknya, perangai busuk Tuan


Willem terbongkar. Ibunya, Nyonya
Edwar, mengetahui kebiasaan anaknya yang suka makan daging mentah
dari babu itu. Harusnya Djelema bahagia, Nyonya Edwar akan mengakhiri mimpi buruknya. Ternyata, keliru. Djelema salah menyangka. Kakinya sampai gemetar ketika harus
berdiri dengan wajah tertunduk dan
badan nyaris bugil ketika Nyonya
Edwar menangkap basah anak laki-

lakinya sedang menindih Djelema.


Harusnya kau meminta pada ibu,
ucapnya dengan aksen Eropa yang
membuat lubang cuping Djelema berdenging. Memang sudah masanya
kau bermain dengan perempuan. Ambillah dia jadi nyaimu. Setelah mahir,
kau akan menikah dengan gadis Eropa yang sederajat.
Bila boleh memilih. Djelema ingin
sekali menikam dadanya sendiri dengan pisau saat itu juga. Dia menatap
wajah Nyonya Edwar dengan kacakaca yang retak di bola matanya. Dan
perempuan bergaun terbuka lebar di
dada dengan bagian bokong seperti
pantat bebek itu, tersenyum demikian puas. Kuduk Djelema meriap.
Dia pikir, hanya ibunyalah perempuan di muka bumi ini yang demikian
terkutuk lantaran melempar anaknya ke rumah orang Belanda agar dia
dan suaminya bisa makan dan terus
menerus membuat anak seperti kucing. Ternyata, ada yang lebih mengerikan dari ibunya.
***
DALAM hidupnya, empat kali Djelema bertarung nyawa. Mengejankan
bayi-bayi cantik dan tampan dari selangkangannya yang hitam. Bayi-bayi itu menjelma boneka yang menarik
senyum kebahagiaan bagi Djelema.
Kemalangan demi kemalangan tak
hendak usai menyapanya. Saat dia
beranak yang ketiga kalinya, putri
pertamanya sudah berusia lima tahun. Inilah awal kepedihan yang berkepanjangan dalam hidupnya. Tuan
dan Nyonya Edwar beserta Tuan Willem, memaksanya menyetujui surat
pengakuan anak. Putri bermata perinya resmi menyandang nama Edwar.
Nama Eropa dan itu artinya dia harus segera dikirim ke Belanda untuk
masuk sekolah. Satu per satu, Djelema merelakan anak-anak bermata
perinya. Lalu, setelah semua direnggut dari dirinya. Dia dilempar seperti
anjing ke jalanan. Alasannya klise,
Tuan Willem akan menikah dengan
perempuan Eropa, dia sudah mahir
bermain perempuan, dan mereka tak
butuh lagi tenaga babu, juga tak butuh keringat seorang nyai.
Oh, kau bayangkanlah. Djelema
yang masih cantik walau perlahan
mulai keriput, tertatih-tatih pulang
ke rumah orangtuanya. Tak ada sambutan selamat datang, Djelema memang sudah dianggap antara ada dan
tiada.
Djelema ingin mengakhiri penderitaannya. Tak ada cara lain, walau wajahnya sudah hilang, ternyata tubuhnya yang menggairahkan tetap membawa sengsara baginya. Sejak itulah
dia meminta pada kegelapan untuk
mengutuknya jadi boneka.
Nek, apa aku boleh bertanya?
Tentu, tentu saja kau boleh bertanya anak manis.
Siapa nama anak-anak Djelema?
Apa mereka tak ingat dengan ibunya
yang malang?
Oya, aku hampir lupa. Nama anakanaknya itu Marie, Caroline, James,
dan Pieter. - k
Pali, 2014

Festival Lima Gunung dan Komunitas Anti-Mainstream


Damtoz Andreas
KETIKA industri kebudayaan membuka lebar pintu untuk memilih jalan
indi, sebagian kreator dan pelaku kesenian mulai merombak cara berpikir
lama tentang kemapanan. Hal ini menunjukkan bahwa keberdayaan sudah
mulai terbuka untuk lingkungan di luar institusi mapan. Serta merta ruangruang kebudayaan memungkinkan
berkembangnya otonomi individu hampir sama kuatnya dengan otonomi institusional. Terutama dengan menguatkan peran media online membuat institusi individual dalam kebudayaan dan
kesenian itu justru lebih luas ruang eksistensialnya.
Tumbuhnya komunitas kesenian
dekade terakhir ini tampaknya masih
belum menghilangkan jejak yang terjadi pada dekade sebelumnya. Bahkan
yang dibangun oleh generasi mutakhir, tidak berlebihan jika atmosfernya
masih mengadopsi yang sebelumnya
sudah diulang-ulang pendahulunya.
Motifnya tidak jauh dari niat menciptakan pencitraan dan kegelisahan eksistensi. Kalau ada bumbu, mungkin
semua yang ditumbuhsuburkan efek
teknologi komunikasi menjadi penegasan karakter, itupun masih tak beranjak dari fungsi media. Spiritnya berkembang dari provokasi fungsi media
yang tampil melalui media-media sosial. Komunitas demikian ini menguat
lebih ditentukan oleh bagaimana mereka membangun issue atau mengembangkan politik issue. Sebab besar kecilnya komunitas seperti ini di ranah

pulik ditentukan oleh besarnya massa


penguntitnya.
Kesenian sebagai kreasi dan aktivitas sebagian besar masih bersumber
pada ruang yang sama. Garis tegas
yang pantas dicatat adalah peranan
media yang sangat efektif dan fungsional untuk memungkinkan berbagai
model kreasi terutama kesenian mudah terendus oleh lapisan penyaksi
yang luas dan makin tidak terbatas.
Kendati begitu, ruang kreasi dan apresiasi yang mapan dan mungkin telah
dianggap konvensional tetap menjadi
penting.
Pertanyaan yang simpel tapi mengusik adalah mungkinkah muncul gerakan antimainstream yang melahirkan komunitas mainstream di tengah
arus deras gejala yang begitu dominan
dalam arus kebudayaan massa.
Mafia Nguri-uri
Dalam kesenian dan kebudayaan
tradisional, aktivitas seni yang dilakukan oleh masyarakat dengan pendirian lebih dari sekadar ekspresi budaya
tidak jarang terbentur pada risiko
penumpangan politis dari visi nguriuri. Dalam praktiknya, visi ini berkembang tanpa bisa lepas dari kepentingan-kepentingan. Di berbagai daerah, aktivitas serupa ini tak bisa lepas
dari itu ketika para pelaku seninya tak
mampu keluar dari jejaring kekuasaan pengemban tugas nguri-uri itu. Di
Magelang sudah lebih 16 tahun hidup
sebuah komunitas bernama Komunitas Lima Gunung, yang mungkin satusatunya yang terus bertahan tanpa
keterlibatan mafia nguri-uri itu. Komunitas ini menyelenggarakan festi-

val tahunan 14-17 Agustus lalu menyelenggarakan festival yang ke-14. Selama ini festival yang melibatkan masyarakat lima gunung ini diselenggarakan dengan seluruh biaya yang ditanggung sepenuhnya oleh masyarakat desa yang tergabung dalam komunitas itu.
Festival ini digelar di Gunung Andong, Mantran dan Tutub Ngisor, Merapi. Selain diikuti kelompok-kelompok kesenian dari daerah-daerah lima
gunung seperti tahun-tahun sebelumnya melibatkan juga berbagai pelaku
seni dari institusi pendidikan seni,
sanggar, dan seniman-seniman dari luar komunitas. Jenis-jenis keseniannya
tidak terlalu banyak berubah dari tahun ke tahun, akan tetapi yang menarik lebih pada pergerakan konsep yang
mengikuti aktualitas zaman.
Komunitas Lima Gunung dengan
festival tahunannya ini menjadi salah
satu contoh kuat sebuah komunitas antimainstream tumbuh dan berkembang
lebih kuat dari keberadaan kelompok
kesenian mapan karena konsep lakunya lebih pada ritualisasi ke-manusiaan
secara umum yang diolah oleh isu-isu
kemanusiaan yang spesifik.
Salah satu kekuatan KLG adalah
bagaimana mereka membangun jaringan dan menanamkan pemahaman tentang aspek bebrayan yang sesungguhnya sudah merupakan dasar dari bentuk kehidupan sosial masyarakat desa.
Kekuatan yang lain pendirian yang kuat dari penggerak komunitas ini dan
seperti apa isi kepala dan bagaimana
penggeraknya mengolah isi kepala dan
menjadi respons jenius atas kenyataan

zaman. Festival tahunan yang telah


memasuki tahun ke 14 menjadi bukti
betapa manusia-manusia yang bergulat di komunitas ini memiliki magnet
perekat yang biasanya menjadi modal
bagaimana mereka mampu mengolah
berbagai hal menjadi kepentingan timbang ngelangut menjadi ide kebudayaan yang luar biasa.
Kreativitas dan Niat Cipta
Komunitas seni antimainstream
mungkin bergantung bagaimana isi
kepala dan terminal bebrayan itu.
Isi kepala adalah gagasan, kreativitas, niat cipta yang tinggi, kesadaran
kemanusiaan, dan kecepatan respons
zaman. Tempat, sebagai terminal objektif yang riil sebenarnya banyak bertumbuhan termasuk yang disediakan
oleh pribadi maupun institusi yang
sesungguhnya tidak berurusan dengan kesenian. Kafe, rumah makan,
rumah tinggal kedua, dll secara bangunan fisik dan pengadaan ruang diarahkan untuk tumbuh kembangnya
kreasi dan aktivitas kesenian itu, namun tidak sedikit yang berhenti sebagai kegenitan.
Komunitas yang antimainstream ini
berciri pada penggugatan terhadap tatanan mapan. Tujuan berkesenian dalam komunitas ini menjadi lebih sekadar berkesenian, tetapi tatarannya
sudah melampaui setidaknya dua digit
fase kemanusiaan seperti bebrayan.
Seni tidak semata menjadi pijaran ekspresi estetik melainkan lebih pada ekspresi kemanusiaan. - k
*) Penulis, penggerak Forum
Kilometer Nol dan pencinta
Komunitas Lima Gunung.

KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16

Faiz Adittian Ahyar - Banyumas


Meja Makan
semalaman kita membicarakan masa depan
kau menungguku
duduk di meja makan, di tengahnya
kau gelar taplak yang memanjang
di sana kau sandingkan semangkuk
sup dan daging bakar, karena
kau memang begitu tahu
sebelum kita memulai duduk
kita musti terampil
mainkan sendok dan garpu
kau memang begitu pandai mengasuh
kasih, hingga dihidangkan pula
olehmu secangkir teko besar
biar aku tak haus di tengah jalan
yang kau tuju padaku
dan kau memang pandai menjaga
kasih, tersebab kau telah nyalakan cahaya
dari lilinlilin
sebagai penerang di tengah jalan
menuju hatimu, biar aku
betulbetul tahu mana yang musti kumakan
biar aku tak akan lapar
akan cintamu
Pasir Luhur, 07 Juni 2015

Trotoar Depan Gereja


- untuk kupukupu yang patah sayapnya hari itu, aku menjumpaimu keluar dari
toko bunga dekat setasiun kereta
di tangan kananmu menggenggam dendelion
berwarna putih bibirmu yang layu
diletakkannya di depan dadamu
langkahmu tergopoh-gopoh
tangan kirimu bergerak cepat
secepat waktu yang terus mengikutimu
dilewatinya pengamen yang memainkan musik
dari botol wine dan sepotong pipa besi:
sisa pertunjukan sepuluhtahun silam
sampaisampai toko wewangian, kafekafe
juga terlintas begitu saja, tersebab
ingatan lama telah hadirkan kembali
lewat kabel listrik yang terus menguntitinya
mencari bunyi lonceng gereja
yang menggemakan masa lalu
hingga kau berhenti mengakhiri kerinduan
dadamu lewat dendelion
pada nyala lilin dan ratusan foto
dalam toplestoples kaca
Pasir Luhur, 01 Juni 2015

Pelipis Matamu
- Ipit Juarsih Biarlah pelipis matamu dijaga oleh
doadoa yang selalu tabah
pada segenap cemas di ujung pembaringan.
Setelah tiga benang dijahitkan pada pelipis
matamu yang sayu, aku bernaung pada ujung
benang, agar aku tahu betapa merasa terluka
hati dipintal kesedihan.
Biarlah pelipis matamu menyimpan
kenangan yang selalu keluar
rangkaian lukaluka dan tibatiba
menjerat mata untuk bicara
Aku memiliki harapan untuk mampu seberangi waktu,
tersebab dalam luka itu sendiri menggenang
cinta dan kerinduan
Biarlah pelipis matamu menjadi cinta
yang tak lekas hilang
seperti malammalam yang silam.
Dan biarlah pula
pelipis matamu menjadi kerinduan
yang menemukan luka telah mati
saat dini hari.
Pasir Luhur, 13 Juni 2015

Orang-orang Desa
memang kami tak suka kebisingan kota
terlebih kebisingan pabrikpabrik
yang kerap kali jadi penghidup orangorang desa
memang kami orangorang desa
namun, kami sendiri bukan bagian
orangorang desa yang menggantungkan diri pada industri
tersebab, desa itu sendiri mampu
tumbuhkan berpuluhpuluh rumah kehidupan
rumahrumah tanpa kebisingan
rumahrumah beratap
rumahrumah dengan kebun singkong di halaman belakang
rumahrumah berpagar bambu
rumah dengan burung perkutut di beranda depan
tak sama seperti rumahrumah orangorang kota
rumah yang terlampau tumbuh tinggi
tak punya atap
tak punya kebun
tak punya pagar apa lagi burung perkutut di beranda depan
memang kami orangorang desa
yang begitu hidup sederhana
tersebab itu, kami hanya bangun
rumahrumah tanpa habis banyak biaya
Pasir Luhur, Agustus 2015
*) Faiz Adittian, lahir di Banyumas, 21 Oktober 1994.
Tempat tinggal di Pasir Kidul RT 02 RW 05 Purwokerto
Barat 53135. Saat ini sedang menempuh Pendidikan S1
Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama
Islam di IAIN Purwokerto. Pegiat komunitas sastra
Gubug Kecil. Puisinya terantologikan dalam buku
Cahaya Tarbiyah (Forum Mahasiswa Tarbiyah, 2013),
Kampus Hijau (Stain Press), lima puisinya termuat
di Zine Indonesian Literary Collective (ILIC) Festival
Berlin Book Fair tahun 2014 di Jerman, dua puisinya
terantologikan dalam buku Potret Langit (Oase Pustaka,
2015) sekaligus menjadi juara dua dalam lomba
cipta puisi remaja Oase Pustaka 2015.

Anda mungkin juga menyukai