( 8 DULKAIDAH 1948 )
BUDAYA
ULU, sebelum dia kehilangan wajah dan memutuskan jadi boneka. Tokoh
cerita kita seorang gadis jelita. Kita
sebut saja namanya Djelema. Sebab
begitulah suaminya yang berdarah
Belanda itu memanggilnya: Djelema.
Ini dongeng kuno. Jadi jangan terhenyak bila kukatakan Djelema mengoek dari selakangan emaknya pada tahun 1881, di dusun Sukajadi, Bandung.
Mungkin bila bisa memilih, Djelema tak ingin dilahirkan di zaman itu.
Tapi begitulah takdirnya, Tuhan tak
pernah bermufakat ihwal itu. Dia
memecah langit subuh yang temaram
dengan tangisnya yang melengking
panjang di atas bale-bale bambu kasar. Djelema tumbuh dalam kekurangan. Bapaknya bekerja serabutan
dan lebih kerap bekerja tanpa gaji di
bawah todongan senapan tentara
Hindia Belanda. Sementara emaknya? Ah, penuh air mata. Aku benci
menceritakan sesuatu yang membuatku menangis. Anak-anakku tak suka aku menangis. Bila aku menangis,
Marie, Caroline, James, dan Pieter
akan meraung-raung tiada henti.
Sejak berumur delapan tahun dan
ketika otot-ototnya sudah mampu untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga, tangan emaknya yang
kapalan itu melempar Djelema ke
rumah Tuan Edwar. Seorang komandan militer Belanda yang tinggal di
Bandung.
Tapi Djelema tidak menangis, dia
tak mengutuk emaknya jadi batu karena sudah membuangnya ke sini.
Dia tahu emaknya tak punya pilihan.
Bila saja dia yang di posisi emaknya,
dia akan melakukan hal yang sama.
Daripada anaknya mati kelaparan di
luar sana, lebih baik dia jadi babu di
rumah orang Belanda, walau pun
kadang harus makan bersama anjing
yang dipelihara tuannya.
Begitulah, beberapa tahun ke depan
cerita hidup tokoh kita cukup menyenangkan. Setidaknya, sebelum malam
jahanam itu datang. Oh Tuhan, aku
tak tahu. Haruskah aku mengisahkan
bagian ini? Tapi inilah bagian penting
dari dongeng Djelema-ku.
Pertama kali Tuan Willem (dia
anak Tuan Edwar yang berusia delapan belas tahun) menyeretnya ke dalam bilik, lalu meremas dadanya yang
belum tumbuh sempurna, menyantap
bibirnya dengan beringas dan menarik kain serta kebayanya dengan paksa, Djelema baru berumur tiga belas
tahun. Dia sangat ketakutan. Benarbenar takut. Dia mengira Tuan Willem akan membunuhnya, mencincang tubuhnya, lalu membagikan potongan-potongan badannya pada anjing-anjing yang ada di halaman belakang. Ternyata, kematian itu jauh
lebih baik daripada apa yang Djelema
alami. Tuan Willem melakukan hal
yang jauh lebih mengerikan. Sangat
mengerikan. Sampai-sampai Djelema
mimpi buruk sangat lama.
Sejak malam jahanam itu, hidupnya
berubah. Beberapa malam dalam sepekan, akan ada seseorang yang meng-
val tahunan 14-17 Agustus lalu menyelenggarakan festival yang ke-14. Selama ini festival yang melibatkan masyarakat lima gunung ini diselenggarakan dengan seluruh biaya yang ditanggung sepenuhnya oleh masyarakat desa yang tergabung dalam komunitas itu.
Festival ini digelar di Gunung Andong, Mantran dan Tutub Ngisor, Merapi. Selain diikuti kelompok-kelompok kesenian dari daerah-daerah lima
gunung seperti tahun-tahun sebelumnya melibatkan juga berbagai pelaku
seni dari institusi pendidikan seni,
sanggar, dan seniman-seniman dari luar komunitas. Jenis-jenis keseniannya
tidak terlalu banyak berubah dari tahun ke tahun, akan tetapi yang menarik lebih pada pergerakan konsep yang
mengikuti aktualitas zaman.
Komunitas Lima Gunung dengan
festival tahunannya ini menjadi salah
satu contoh kuat sebuah komunitas antimainstream tumbuh dan berkembang
lebih kuat dari keberadaan kelompok
kesenian mapan karena konsep lakunya lebih pada ritualisasi ke-manusiaan
secara umum yang diolah oleh isu-isu
kemanusiaan yang spesifik.
Salah satu kekuatan KLG adalah
bagaimana mereka membangun jaringan dan menanamkan pemahaman tentang aspek bebrayan yang sesungguhnya sudah merupakan dasar dari bentuk kehidupan sosial masyarakat desa.
Kekuatan yang lain pendirian yang kuat dari penggerak komunitas ini dan
seperti apa isi kepala dan bagaimana
penggeraknya mengolah isi kepala dan
menjadi respons jenius atas kenyataan
KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16
Pelipis Matamu
- Ipit Juarsih Biarlah pelipis matamu dijaga oleh
doadoa yang selalu tabah
pada segenap cemas di ujung pembaringan.
Setelah tiga benang dijahitkan pada pelipis
matamu yang sayu, aku bernaung pada ujung
benang, agar aku tahu betapa merasa terluka
hati dipintal kesedihan.
Biarlah pelipis matamu menyimpan
kenangan yang selalu keluar
rangkaian lukaluka dan tibatiba
menjerat mata untuk bicara
Aku memiliki harapan untuk mampu seberangi waktu,
tersebab dalam luka itu sendiri menggenang
cinta dan kerinduan
Biarlah pelipis matamu menjadi cinta
yang tak lekas hilang
seperti malammalam yang silam.
Dan biarlah pula
pelipis matamu menjadi kerinduan
yang menemukan luka telah mati
saat dini hari.
Pasir Luhur, 13 Juni 2015
Orang-orang Desa
memang kami tak suka kebisingan kota
terlebih kebisingan pabrikpabrik
yang kerap kali jadi penghidup orangorang desa
memang kami orangorang desa
namun, kami sendiri bukan bagian
orangorang desa yang menggantungkan diri pada industri
tersebab, desa itu sendiri mampu
tumbuhkan berpuluhpuluh rumah kehidupan
rumahrumah tanpa kebisingan
rumahrumah beratap
rumahrumah dengan kebun singkong di halaman belakang
rumahrumah berpagar bambu
rumah dengan burung perkutut di beranda depan
tak sama seperti rumahrumah orangorang kota
rumah yang terlampau tumbuh tinggi
tak punya atap
tak punya kebun
tak punya pagar apa lagi burung perkutut di beranda depan
memang kami orangorang desa
yang begitu hidup sederhana
tersebab itu, kami hanya bangun
rumahrumah tanpa habis banyak biaya
Pasir Luhur, Agustus 2015
*) Faiz Adittian, lahir di Banyumas, 21 Oktober 1994.
Tempat tinggal di Pasir Kidul RT 02 RW 05 Purwokerto
Barat 53135. Saat ini sedang menempuh Pendidikan S1
Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama
Islam di IAIN Purwokerto. Pegiat komunitas sastra
Gubug Kecil. Puisinya terantologikan dalam buku
Cahaya Tarbiyah (Forum Mahasiswa Tarbiyah, 2013),
Kampus Hijau (Stain Press), lima puisinya termuat
di Zine Indonesian Literary Collective (ILIC) Festival
Berlin Book Fair tahun 2014 di Jerman, dua puisinya
terantologikan dalam buku Potret Langit (Oase Pustaka,
2015) sekaligus menjadi juara dua dalam lomba
cipta puisi remaja Oase Pustaka 2015.