Anda di halaman 1dari 1

BUDAYA

MINGGU PAHING, 20 SEPTEMBER 2015


( 6 BESAR 1948 )

ERIMIS menyudahi dirinya. Desa Manisrenggo hanyut dalam suasan


mencekam. Seluruh daun pintu
dan jendela memejam, begitu erat;
enggan terbuka seakan menampik
malapetak yang bisa kapan saja
datang. Doa-doa gelisah tak putus
mendengung; mengawang, seperti
mengusir kedatangan para hantu
dan iblis. Perkampungan benar-benar menjelma menjadi tempat angker yang mengerikan.
Banyak pemuda desa yang mendadak menghilang beberapa hari
terakhir. Tidak tahu ke mana rimba para pemuda tersebut. Beberapa
minggu lalu pun, dua orang pemuda dan seorang pria parahu baya diangkut oleh kendaraan hijau milik
aparat di tengah malam. Wajah mereka rusak; bopeng, karena popor
dan tendangan. Darah tak luput
meleleh melumuri tubuh.
Nasib malang memang sedang
menghantui warga desa. Kericuhan
politik di kota ikut terseret hingga
ke daerah-daerah. Sebuah kutukan
yang mengerikan. Kerisuhan yang
dapat membuat tubuh bergetar bila
membayangkannya. Tarno pun demikian. Sebenarnya, ia ingin meninggalkan rumah: menyalamatkan diri. Tetapi melihat ibunya
yang tak berdaya di atas rancang
karena sakit, membuatnya tak
sanggup untuk meninggalkan. Pria
itu hanya berharap supaya nasib
baik menyertainya malam ini.
***
Semua kekacauan dimulai dari
tuntutan warga desa yang meminta hak atas hasil tanah yang mereka gadai kepada para saudagar kaya di kampung. Gerakan protes petani miskin ini dinggap langkah paling tepat setelah janji yang dicitacitakan oleh pemerintah melalui
Undang Undang No 2 Tahun 1960,
tentang perjanjian bagi hasil, atau
yang lebih dikenal Undang Undang
Pokok Bagi Hasil (UUPBH); yang
diselewengkan dari mandat awal.
Para tuan tanah seakan membutakan mata dan kuping. Mereka
bertindak tak sesuai dengan kesepakatan awal; mengenai tanah-tanah yang mereka modali agar digarap oleh para petani miskin desa.
Hasil penen yang melimpah, dan
kemakmuran yang terlihat di depan mata, tidak dapat dirasakan
oleh para petani. Kelaparan masih
saja menghuni perut. Hidup penuh
kekurangan.
Karena merasa ditipu, Tarno,
bersama para pemuda, serta petani
miskin gencar melacarkan tuntutan. Mereka meminta hak atas hasil
yang seharusnya diberikan. Bersama sebuah organisasi yang berge-

rak membela hak-hak petani


miskin, Tarno dan seluruh warga
secara pelan mulai mendapatkan
hasil dari tuntutan.
Namun seiring waktu, gerak sosial itu malah menjadi sebuah pertikaian politik yang melibatkan
partai-partai besar. Cukup pelik.
Para tuan tanah yang merasa dirugikan karena banyak lahannya
dirampas dari aksi-aksi sepihak
petani; menggambungkan diri dalam PNI. Begitu juga para petani
miskin, bersama: BTI/PKI. Saling
culik dan bunuh terjadi setiap hari.
Karto misalnya, petani miskin itu
ditemukan mati dengan leher digorok di tepi rel kereta minggu lalu.
Bahkan, kekacauan itu semakin
meruncing ketika pusat kota mengabarkan tentang: para jenderal

yang diculik dan dibunuh. Sebuah


tragedi politik yang pada akhirnya
menyeret Tarno dan warga desa ke
dalam penistaan.
***
Tujuh kali kentong gebyok bertalu. Remang tubuh Tarno mendengarkan. Ia tahu suara itu adalah
pertanda: baru saja ada seorang
yang ditangkap oleh para aparat.
Sudah tujuh kali pula ia mendengar derak truk yang melintas di
depan rumahnya. Di dalam rumah,
Tarno pun hanya dapat merapal
doa; pasrah menyerahkan dirinya
pada nasib yang tak tentu.
Ia memandang ibunya. Sangat
tenang wanita itu tertidur. Keringat dingin sudah tidak membasuhnya.
Apakah kita memang ditakdir-

kan untuk terus hidup dalam penderitaan seperti ini ibu?


Ibunya tidak menjawab. Semakin lelap wanita itu tidur.
Ayah mati menahan lapar. Ia
rela tidak makan berhari-hari demi
menyisihkan ubi untuk kita, lanjut
Tarno.
Ia raih tangan ibunya. Dingin
menyergap. Begitu beku.
Kau pun demikian ibu. Habis
tenagamu menjadi babu pada tanahmu sendiri; yang kau gadai kepada seorang tuan tanah. Hidup ini
sudah begitu malang bagi kita.
Tarno menggenggam erat tangan
ibunya. Dan ia menemukan tak ada
detak nadi yang berdenyut di tangan ibunya. Sebuah nyawa kembali hilang. Pecah tangis Tarno. Ia
tiada rela kehilangan kembali.
Begitulah. Di tengah kesedihan
yang belum mereda, mendadak terdengar derak pintu yang terbanting. Kencang. Sekelompok militer
menyeretnya keluar; menghajarnya.
Dasar bandit!
Pengkhianat negara!
Lemas tubuh Tarno dirajah tendangan dan pukulan. Bahkan, setelah itu ia diangkut sebuah truk ke
suatu tempat yang entah...
***
Kini Tarno tahu ke mana para
pemuda menghilang. Mereka semua berada dalam satu kamp konsentrasi militer. Setiap malam mereka disiksa dan dipaksa mengakui
kesalahan yang tak pernah dilakukan. Banyak wanita yang diperkosa; dianggap sebagai pelacur oleh
para introgator. Wajah-wajah terpampang pucat dan putus asa.
Seperti tiada gairah untuk hidup.
Pun, memasuki malam ke-70, sekitar seratus orang digiring; dibariskan di tepi Kretek Kebo Mati.
Deras arus kali Pandansimping
mengalir merah. Tarno mendengar, satu persatu tembakan melejit; memecah kepala. Satu persatu,
kepala menggelinding dipenggal di
tepi sungai. Seratus kepala itu pun
mengenang dengan tenang di bawah cahaya rembulan. Tarno termenung, menggigil menunggu giliran. - g

*) Risda Nur Widia. Belajar


di Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa. Pernah juara dua
sayambera menulis sastra
mahasiswa se-Indonesia UGM
(2013), Nominator Sastra Profetik
Kuntowijoyo Uhamka (2013).
Buku Kumpulan Cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian
(2015). Cerpennya telah tersiar
di berbagai media.

Menyingkirkan Literasi
Aguk Irawan MN
LITERASI tak cuma menafsirkan kenyataan,
tapi juga mengubahnya. Thomas Bartholin,
teolog Denmark mengemukakan ini. Lalu ia
melanjutkan, tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan
literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa
terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban
suatu bangsa akan tercipta. Statemen ini masih
terus bergema, bahkan pembuktiannya bisa
lebih jauh dari hadirnya statemen ini.
Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya Al-Fihrist,
menyebutkan, ketika Islam pernah menggapai
abad kejayaan pada abad 7 M, penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah Al-Mamun
(813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar
tiap marhalah (desa) dibangun perpustakaan,
lengkap dengan ribuan literasi, penjual literasi
disubsidi dari uang negara, agar harganya tak
lebih mahal dari sepotong roti. Berkat kebijakan
ini, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya masih sempat berdiskusi sementara sebagian yang lain
sibuk menulis dan menerjemahkan karya Yunani Kuno.
Dampak dari ini menjamurnya akademi- akademi, seperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Imi, dan
lain sebagainya.
Dari Kebijakan
Tak sampai satu tahun berjalan dari kebijakan itu, lahirlah sarjana brilian seperti AlKindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga
banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka,
penemu Al-Jabar. Al-khawarizmi menulis karya
monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.
Kebijakan ini juga diterapkan di Kairo. Menurut
catatan Sardar, di hampir marhalah (kampung)
di Kairo, juga terdapat perpustakaan, yang terbesar adalah perpustakaan Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan di
Aleksandariyah oleh salah seorang pejabat
Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan
itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari
1,6 juta literasi, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.
Masih di Bagdad, pada 1227, khalifah Muntasir Billah, dikisahkan lebih dari itu, ia justru
mencetak literasi dan dibagi-bagikan sendiri secara percuma, di tiap kunjungan kenegaraan-

nya. Bahkan ia mendirikan jumlah perpustakaan lebih banyak ketimbang pendirian tempat
ibadah. Dari situ, perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk membaca literasi, tapi juga
ajang penyelenggaraan riset secara intensif, juga
ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai
spesifikasi.
Begitulah sepenggal kisah literasi yang mendampingi lahirnya suatu peradaban. Mengingat
peran literasi yang signifikan itu, dalam sejarah,
sebelum literasi diterbitkan, pastilah melalui
banyak pertimbangan dan tahapan-tahapan.
Agar kelak setelah terbit, ia tak sekadar ada, tapi juga menjadi mutiara, dan siapa saja yang
bisa masuk menjelajah ke dalamnya, akan menemukan mutiara terpendam yang tak ternilai
itu.
Ada Literasi
Jika saja ada literasi yang telanjur terbit, tapi
ia dianggap tak bermutiara, segera saja pustakawan menyortir dan segera menyingkirkan
literasi itu dari rak ke gudang belakang.
Dalam Dokumen Velician dijelaskan, bahwa
Ibnu Rusydlah yang melakukan kerja penyortiran buku-buku yang dianggap mutiara atau tidak itu pada tahun 494 M. Dalam data itu diklasifikasi mana buku-buku yang dianggap bermanfaat dengan label harthaqiyyah dan mana
yang dianggap hanya menghambur-hamburkan
kertas saja syubhattiyah. Hasilnya banyak
ditemukan buku-buku yang dianggap tak bermanfaat, seperti buku pendokumentasian biografi tokoh-tokoh ilmuwan yang dihukum mati
oleh Dewan Gereja Konstantinopel dilengkapi
dengan sejumlah dalil suci dari uskup Agung
yang membenarkan perbuatan hukuman itu.
Bukti gemilangnya dampak literasi bagi kemajuan (peradaban) suatu bangsa, itu kini bisa
kita saksikan sendiri di negara-negara maju,
hampir semua negara maju memberi subsudi
besar pada literasi, sebutlah misalnya di sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang,
sehingga tak sedikit kita saksikan, orang terbiasa mengisi waktu kosong atau waktu luangnya dengan membaca, apakah itu suratkabar, majalah, novel, atau buku non-fiksi. Jika
bepergian kemana pun, mereka terbiasa selalu
menyelipkan buku di dalam tas atau menentengnya di tangan. Sebab itu, bukan pemandangan aneh jika di dalam subway, di tamantaman, di halte bus, di bank, di depan loket berbagai instansi, di pinggir jalan, maupun di pantai, mereka selalu asyik mengisinya dengan kegiatan membaca. Itu semua terjadi karena pemer-

intahnya sadar bahwa literasi perlu disubsidi.


Bagaimana dengan pemerintah kita di era ini?
Alih-alih memberi subsudi pada literasi, agar
harga literasi bisa terjangkau oleh rakyat, justru
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 158/PMK.010/2015 yang diterbitkan pada 12 Agustus 2015, dinyatakan bahwa industri
literasi dikenai wajib pajak ganda, yaitu PPN literasi 10% dan PPH royalti penulis 15%. Ironisnya, dalam peraturan menteri itu, jasa kesenian
dan hiburan dimasukkan dalam kelompok yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Jasa kesenian ini termasuk tontonan kontes kecantikan, kontes binaraga, dan kontes sejenisnya, juga termasuk tempat hiburan seperti diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya. Ini
benar-benar bencana! Bencana bagi literasi, juga
bencana pada peradaban, kenapa?
Di negeri ini, tanpa dikenai pajak ganda saja,
masyarakat sudah begitu malas mengapresiasi
literasi. Bahkan kemalasan itu sejalan lurus dengan dunia pendidikan kita, misalnya penelitian
Taufik Ismail di tahun 1997-2015 menunjukkan
betapa sastra tidak diperkenalkan pada siswasiswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurut Taufik Ismail, sebagian besar siswa-siswi
di Indonesia berhasil menyelesaikan NOL karya!
Betapa mengenaskannya nasib sastra dalam
pendidikan kita, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia misalnya,
mewajibkan 6 judul karya, Swiss dan Jepang 15
judul, dan Amerika Serikat 32 judul. Misalnya
lagi, betapa siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan
novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan
karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya,
sedangkan siswa-siswa di Indonesia sendiri justru hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Dalam dekade terakhir, bangsa besar ini hanya mengalami kebudayaan lisan, lalu melompat ke kebudayaan audio-visual, dan sekarang
begitu kaget dengan kebudayaan cyber (gadget).
Kebudayaan literasi (baca-tulis) terlewati, dan
sedihnya, terlupakan. Karena itu hampir di mana-mana, bahkan di gang-gang kecil, seluruh pelosok di negeri ini orang hanya sibuk menenteng
gad-getnya dan nyaris tak ada yang peduli dengan literasi. Jadi melalui ini, kami ingin ingatkan pesan Thomas Bartholin kepada pemerintah: Literasi tak cuma menafsirkan kenyataan,
tapi juga mengubahnya! Karena itu jangan pernah gegabah! - g
Yogyakarta, September 2015

KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16

Sigit Sugito
Jelok, Suatu Hari
Sungai oya mengaliri batu-batu
Pohon-pohon yang rindu
Aroma masakan Lombok ijo
Mengabarkan pada kita
Ayo kita kesana !
( aku jadi ingat Edy Lirysacra, Joko Junaeidi dan Wage Daksinarga)
Kampung masih seperti dahulu
Biasa saja, sederhana dan apa adanya
Masih ada orang-orang lugu
( aku jadi ingat Edy Lirysacra, Joko Junaeidi dan Wage Daksinarga)
Telpon genggam seperti Jalan setapak
Memberi garis seperti kompas menunjuk arah
Lekuk kampung menikung di peluk perbukitan
Di tanah jejak pelarian Brawijaya
Di bumi Mataram
Yogyakarta, 2015

Kampung Gilang Pandak Malam Hari


Aku seperti mencari arah kembali
Jejak Mangir dan Pembayun di kampung ini
Bakmi jawa di sudut pasar Jodog malam hari
Sekelebat bayangan menuju masa lalu
Ketika Mataram dan Mangir berseteru
Batik menjadi upacara
Setiap hari semua warga menggeluti
Seni tradisi yang menjadi akar
Semangat di kampung ini
Bantul,2015

Tirto Martani, Hari Minggu di Bulan Februari


Sekokoh candi kampung-kampung berbenah
Gerobak sapi seperti cambuk menggugah sejarah
Roda gerobak berjalan lambat dan pasti
Membangun jati diri
Walau kalah oleh cepatnya laju mobil di seluruh badan jalan raya
wajahmu serasa gagah walau tidak bisa mengubah
mengganti alat transportasi yang sudah tidak punya nurani di kota ini
gerobak dan sapi bagi petani
adalah sehati memilih hidup dengan penuh teliti dan hati-hati
tidak tergesa di pacu dan di hela
kokohnya seperti candi.
Sorosutan Tahun 2015

Banjaroyo, di Musim Durian


Musim durian di bukit kulonprogo
Seperti mengajak semuanya untuk hadir disini
Sedikit berkelok ke arah sendang sono dan lurus ke arah candi Borobudur
Sambil menikmati lekuk jalan
Membayangkan gerak tangan para penari angguk
Dan matahari pagi yang dinikmati oleh para petani
Durian yang tumbuh hasil menanam yang berpeluh
Menunggu bertahun-tahun dan ketika Tuwuh
Seperti memberi Dhawuh menunggu durian runtuh
Sekarang orang-orang menikmati
Gurih dan lezat seperti mukjizat
Melihat orang-orang menjadi semangat
Membenahi kampung sendiri.
Yogya 2015

Sorosutan
(... hening heneng henang)
Seperti derap langkah kaki para prajurit
Bergerak tanpa alas kaki menapaki jalan-jalan kampung
Mencari jejak para penghuni sejarah
Mangir dan Pembayun seperti melewati jalan ini
Berhenti di kampung Nalen dan Sorogenen
Seperti bimbang menunggu waktu pulang ke Mataram
Menelusuri kampung sorosutan suatu malam
Dalam hening kutatap kampung tanpa lampu
tanpa suara hanya obor dan percakapan orang-orang
Terdengar jauh suara rebana di tabuh bertalu dan berirama
Di sudut lain para pemuda bermain musik
Irama keroncong menyapa malam yang larut
Ada yang membaca puisi di sudut kampung yang sepi
Ada yang menari di dekat kebun
Seperti mimpi di rumah sendiri
Sorosutan akhir Tahun 2014

Perempuan Bakul Pasar Jodog


(... Sejak pagi senyum pembeli
menawar waktu beranjak menjelang subuh
Sambil menggendong hasil bumi...)
Perempuan tua itu tetap kokoh berjalan
Ke arah utara menuju pasar Jodog
Tangan tak lelah terus menguji sayur mayur di tali
Sambil menunggu pembeli , brambang, cabai terus di uli
Berharap dagangan habis dibeli
Pagi yang beranjak
Terasa sesak tukang rentenir antri
penagih kredit harian terhitung tiga jari
ditambah tukang karcis pasar, dan uang sarapan yang harus terlunasi
tidak hanya menghitung untung dan rugi
Bati sanak Bati Kadang menjaga kekerabatan
Kembali ke rumah seusai bedug tiba
Mengatur napas bersyukur dan bersujud berserah diri
Selepas salat Asar kembali bergegas
Menyusul suami ke sawah menyiangi tanaman agar lekas berbuah
Hingga Magrib tiba kembali bercengkerama dengan anak
Menikmati sajian makan malam yang sederhana
Dalam Tahajud ia minta ampunan
Agar bisa kuat dan bertahan
Bukan menata hidup tetapi melakoni hidup seperti yang ditakdirkan.

*) Sigit Sugito, Penyair, tinggal di Kampung Sorosutan.


Aktif di berbagai organisasi dan lembaga sosial.
Penggerak Koperasi Seniman dan Direktur Festival 5 Kampung se-DIY.

Anda mungkin juga menyukai