Menyingkirkan Literasi
Aguk Irawan MN
LITERASI tak cuma menafsirkan kenyataan,
tapi juga mengubahnya. Thomas Bartholin,
teolog Denmark mengemukakan ini. Lalu ia
melanjutkan, tanpa literasi, Tuhan diam, keadilan terbenam, sains macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan
literasi, kepribadian seseorang, juga sosial bisa
terbentuk, dan lantaran literasi pula, peradaban
suatu bangsa akan tercipta. Statemen ini masih
terus bergema, bahkan pembuktiannya bisa
lebih jauh dari hadirnya statemen ini.
Ibnu Al-Nadim dalam kitabnya Al-Fihrist,
menyebutkan, ketika Islam pernah menggapai
abad kejayaan pada abad 7 M, penggeraknya tidak lain adalah literasi. Khalifah Al-Mamun
(813-833) saat itu menerapkan kebijakan agar
tiap marhalah (desa) dibangun perpustakaan,
lengkap dengan ribuan literasi, penjual literasi
disubsidi dari uang negara, agar harganya tak
lebih mahal dari sepotong roti. Berkat kebijakan
ini, tradisi literasi begitu hebat, masyarakat setelah sibuk bekerja di pasar misalnya masih sempat berdiskusi sementara sebagian yang lain
sibuk menulis dan menerjemahkan karya Yunani Kuno.
Dampak dari ini menjamurnya akademi- akademi, seperti Bait Al-Hikmah, Dar Al-Imi, dan
lain sebagainya.
Dari Kebijakan
Tak sampai satu tahun berjalan dari kebijakan itu, lahirlah sarjana brilian seperti AlKindi (801-873), filsuf Arab pertama yang juga
banyak menerjemahkan karya-karya Aristoteles; kemudian Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka,
penemu Al-Jabar. Al-khawarizmi menulis karya
monumental kitab Al-Jabr wa Al-Muqabillah.
Kebijakan ini juga diterapkan di Kairo. Menurut
catatan Sardar, di hampir marhalah (kampung)
di Kairo, juga terdapat perpustakaan, yang terbesar adalah perpustakaan Khazain Al-Qusu, sebuah perpustakaan megah yang didirikan di
Aleksandariyah oleh salah seorang pejabat
Fatimiyah, al-Aziz ibn al-Muizz. Perpustakaan
itu terdiri dari 40 ruangan yang diisi lebih dari
1,6 juta literasi, dan sudah tersusun dengan sistem klasifikasi canggih.
Masih di Bagdad, pada 1227, khalifah Muntasir Billah, dikisahkan lebih dari itu, ia justru
mencetak literasi dan dibagi-bagikan sendiri secara percuma, di tiap kunjungan kenegaraan-
nya. Bahkan ia mendirikan jumlah perpustakaan lebih banyak ketimbang pendirian tempat
ibadah. Dari situ, perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk membaca literasi, tapi juga
ajang penyelenggaraan riset secara intensif, juga
ajang berpolemik para ilmuwan dari berbagai
spesifikasi.
Begitulah sepenggal kisah literasi yang mendampingi lahirnya suatu peradaban. Mengingat
peran literasi yang signifikan itu, dalam sejarah,
sebelum literasi diterbitkan, pastilah melalui
banyak pertimbangan dan tahapan-tahapan.
Agar kelak setelah terbit, ia tak sekadar ada, tapi juga menjadi mutiara, dan siapa saja yang
bisa masuk menjelajah ke dalamnya, akan menemukan mutiara terpendam yang tak ternilai
itu.
Ada Literasi
Jika saja ada literasi yang telanjur terbit, tapi
ia dianggap tak bermutiara, segera saja pustakawan menyortir dan segera menyingkirkan
literasi itu dari rak ke gudang belakang.
Dalam Dokumen Velician dijelaskan, bahwa
Ibnu Rusydlah yang melakukan kerja penyortiran buku-buku yang dianggap mutiara atau tidak itu pada tahun 494 M. Dalam data itu diklasifikasi mana buku-buku yang dianggap bermanfaat dengan label harthaqiyyah dan mana
yang dianggap hanya menghambur-hamburkan
kertas saja syubhattiyah. Hasilnya banyak
ditemukan buku-buku yang dianggap tak bermanfaat, seperti buku pendokumentasian biografi tokoh-tokoh ilmuwan yang dihukum mati
oleh Dewan Gereja Konstantinopel dilengkapi
dengan sejumlah dalil suci dari uskup Agung
yang membenarkan perbuatan hukuman itu.
Bukti gemilangnya dampak literasi bagi kemajuan (peradaban) suatu bangsa, itu kini bisa
kita saksikan sendiri di negara-negara maju,
hampir semua negara maju memberi subsudi
besar pada literasi, sebutlah misalnya di sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang,
sehingga tak sedikit kita saksikan, orang terbiasa mengisi waktu kosong atau waktu luangnya dengan membaca, apakah itu suratkabar, majalah, novel, atau buku non-fiksi. Jika
bepergian kemana pun, mereka terbiasa selalu
menyelipkan buku di dalam tas atau menentengnya di tangan. Sebab itu, bukan pemandangan aneh jika di dalam subway, di tamantaman, di halte bus, di bank, di depan loket berbagai instansi, di pinggir jalan, maupun di pantai, mereka selalu asyik mengisinya dengan kegiatan membaca. Itu semua terjadi karena pemer-
KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16
Sigit Sugito
Jelok, Suatu Hari
Sungai oya mengaliri batu-batu
Pohon-pohon yang rindu
Aroma masakan Lombok ijo
Mengabarkan pada kita
Ayo kita kesana !
( aku jadi ingat Edy Lirysacra, Joko Junaeidi dan Wage Daksinarga)
Kampung masih seperti dahulu
Biasa saja, sederhana dan apa adanya
Masih ada orang-orang lugu
( aku jadi ingat Edy Lirysacra, Joko Junaeidi dan Wage Daksinarga)
Telpon genggam seperti Jalan setapak
Memberi garis seperti kompas menunjuk arah
Lekuk kampung menikung di peluk perbukitan
Di tanah jejak pelarian Brawijaya
Di bumi Mataram
Yogyakarta, 2015
Sorosutan
(... hening heneng henang)
Seperti derap langkah kaki para prajurit
Bergerak tanpa alas kaki menapaki jalan-jalan kampung
Mencari jejak para penghuni sejarah
Mangir dan Pembayun seperti melewati jalan ini
Berhenti di kampung Nalen dan Sorogenen
Seperti bimbang menunggu waktu pulang ke Mataram
Menelusuri kampung sorosutan suatu malam
Dalam hening kutatap kampung tanpa lampu
tanpa suara hanya obor dan percakapan orang-orang
Terdengar jauh suara rebana di tabuh bertalu dan berirama
Di sudut lain para pemuda bermain musik
Irama keroncong menyapa malam yang larut
Ada yang membaca puisi di sudut kampung yang sepi
Ada yang menari di dekat kebun
Seperti mimpi di rumah sendiri
Sorosutan akhir Tahun 2014