Anda di halaman 1dari 1

BUDAYA

MINGGU LEGI, 4 OKTOBER 2015


( 20 BESAR 1948 )

AHUN lalu ibu berangkat


haji, dan sampai tahun ini
ia belum kembali. Humaira
merindukan ibu. Ia merindukan senyumnya, merindukan suara dan cerita-ceritanya menjelang tidur. Humaira benar-benar takut kalau wajah
ibu menghilang dari ingatannya. Oleh
sebab itu, semenjak ibu berangkat haji tahun lalu dan tak kunjung kembali, humaira memajang foto ibu lebih
banyak lagi. Di dinding-dinding, di
atas buffet, di daun lemari, di pintu
kamar, di ceruk jendela, di dalam tas
sekolah, dan bahkan di atas meja makan.
Ayah tak pernah berkomentar atas
hal itu. Misalnya menanyakan, mengapa foto ibu ada di mana-mana?
Dan sebelum ayah atau kakek atau
nenek bertanya seperti itu, Humaira
telah menjelaskan bahwa foto ibu
harus ada di mana-mana sebelum ibu
kembali dari tanah suci. Sederhana,
Humaira hanya ingin melihat dan
mengingat wajah ibu. Senyum itu.
Tatapan mata itu. Dan lekuk wajah
yang lembut itu.
Humaira tahu, diam-diam ayah suka menatap foto yang dipajang Humaira di mana-mana itu. Ayah selalu
menatapnya dengan mata nyaris menutup. Seperti mata yang terkena ke-

lilip. Suatu malam, menjelang tidur,


ketika Humaira bertanya untuk ke
sekian kalinya kapan ibu akan kembali dari tanah suci, ayah terdiam
menatap mata Humaira. Mata ayah
begitu dalam. Hingga mata air tiba-tiba menyembul dari sana.
Ayah, apakah pergi haji memang
butuh waktu yang lama? Tanya Humaira, sambil melirik foto ibunya. Seakan ia ingin ibunya ikut mendengar
pertanyaan yang selalu diulang-ulang
itu.
Iya, Nak. Tentu saja pergi haji butuh waktu yang lama, balas ayah.
Ayah paham, Humaira tak akan pernah puas dengan jawaban seperti itu.
Mengapa? itulah pertanyaan
Humaira berikutnya.
Karena ada banyak hal-hal baik
yang harus dilakukan ibumu. Dan
itulah jawaban ayah, jawaban yang
juga pernah ia sampaikan sebelumnya.
Apakah ibu tidak akan lupa pada
oleh-oleh yang kupesan?
Oh, pasti ibumu takkan lupa. Mukena berwarna langit, kan?
Humaira mengangguk, tanpa senyum, Lalu kapan ibu akan kembali?
Ayah benar-benar jenuh dengan
pertanyaan itu. Jenuh karena ia tak
tahu harus menjawab apa. Jenuh ka-

rena ia harus memberi jawaban bohong terus menerus. Sebenarnya,


ayah sangat ingin menjelaskan pada
Humaira, bahwa ibunya tak akan
pernah kembali dari tanah suci. Ibunya telah dimakamkan di tanah haram itu setahun lalu. Sebuah musibah yang tidak diinginkan siapa pun
terjadi. Musibah yang tak ingin dikenang oleh siapa pun. Musibah yang
menelan ratusan nyawa jemaah haji,
termasuk ibu Humaira. Jenazah ibu
memang tidak dibawa pulang. Itu
adalah wasiat mendiang sang ibu, beberapa jam sebelum ia meninggal: ia
ingin dimakamkan di tanah itu.
Sungguh, tak pernah terpikirkan
sebelumnya di benak ayah, bagaimana ia harus menjelaskan semua itu
pada Humaira. Mungkin bocah enam
tahun itu sudah memahami apa itu
mati. Hanya saja, ayah tak pernah
sampai hati untuk menyampaikannya. Ia takut sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada psikis bocah itu.
Humaira begitu dekat dengan ibunya.
Dan kepergian ibu yang tiba-tiba itu,
bagi ayah seperti mimpi buruk yang
tak pernah selesai. Terkadang, ayah
masih merasa bahwa ibu Humaira
benar-benar akan kembali dari tanah
suci.
Maka, selama hampir setahun ter-

akhir, terus menerus ayah membohongi Humaira dengan mengatakan,


suatu saat ibu pasti akan kembali.
Suatu saat yang mustahil. Setiap malam, ayah menemani Humaira tidur.
Dan setiap malam pula, Humaira berdoa menjelang tidur lalu menggumamkan sebuah doa khusus, Semoga ibu cepat kembali. Aku kangen
sekali.
Ayah selalu membisu ketika
Humaira menggumamkan doa itu.
Doa yang diulang-ulang saban hari,
saban malam menjelang tidur, dari
bulan ke bulan. Terkadang ayah merasa aneh sekaligus sedih. Kalau pun
doa Humaira didengar Tuhan, Tuhan
tak mungkin mengabulkan doa itu.
Meski Tuhan berkuasa atas apa pun,
rasanya tetap mustahil ibu Humaira
bangkit dari makam dan pulang untuk menemui Humaira.
Apakah Tuhan akan mendengar
doaku? Tanya Humaira suatu malam, barangkali saat itu ia merasa
bosan karena doa yang ia panjatkan
selama puluhan bahkan ratusan kali
masih belum membuahkan hasil.
Tentu saja, Tuhan Maha Mendengar, pasti ia mendengar doamu, jawab ayah, sambil menambahkan dalam hati, Dia memang mendengarmu, Nak, tapi Dia tak akan mengabulkannya. Tak akan.
Setelah Humaira terlelap, ayah memeluk bocah itu dan mencium keningnya lama sekali. Terkadang sampai ayah tertidur. Sesekali sumber air
dari mata ayah yang dalam itu masih
saja menyembul.
Tepat jelang setahun kepergian ibu
Humaira, ayah memutuskan untuk
menjelaskan semuanya kepada Humaira. Dengan jujur, tanpa ada yang
disembunyikan. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun, malam itu, ketika
ayah hendak menjelaskan segala sesuatunya pada Humaira, Humaira
malah tertidur lebih awal hingga penjelasan yang sulit itu harus tertunda.
Namun, esok paginya, pagi-pagi sekali Humaira menemui ayah dan mengatakan, bahwa semalam ibu pulang dan menemui Humaira. Kata
Humaira, ibu bilang, bahwa Humaira
tak perlu lagi menunggu ibu. Karena
ibu yang akan menunggunya. Menunggu Humaira. Di sebuah tempat
yang sangat tinggi dan indah. Suatu
saat pasti Humaira akan bertemu
kembali dengan ibu.
Ayah tersenyum tak percaya. Barangkali anak ini semalam bermimpi,
pikir ayah. Namun ayah terpaku dan
tenggorokannya bagai tercekat ketika
ia menyadari bahwa Humaira tengah
mengenakan sebuah mukena berwarna langit. Ayah tak ingat Humaira punya mukena seperti itu.
Ketika ayah bertanya, mukena siapa yang kau kenakan itu, Sayang?
Indah sekali.
Dengan wajah jernih dan riang,
Humaira menjawab, oleh-oleh dari
ibu. Semalam ibu datang dan mengantarkannya padaku.
Seperti yang sudah-sudah. Ayah
hanya bisa membisu. Dan seperti
yang sudah-sudah, sepasang mata air
kembali menggenang dari mata ayah
yang dalam itu. - k
Malang, 2015

KEDAULATAN RAKYAT
HALAMAN 16

Jumari HS - Kudus
CATATAN KEMATIAN
Ini kabar kematian yang kau lupakan ;
Ia tertidur membunuh perasaannya dengan sebilah kepalsuan
Setelah pikirannya dikuasai kejumawaan
Tak ada manusia kekal di dalam pencarian
Saat mimpi tinggal igauan menyesatkan kata
Ibu yang melahirkan pun sengsara dilupa
Dan air susunya mendidih, beku
Menyerupai jiwa yang dirajam
Saat ada suara menghiba
Airmatanya bergulir di jatungmu
Dan rintihnya yang pilu penuh iba
Lalu menadahkan tangannya, tersayat
Pisau tajam yang bersarang di jiwamu
Ia bukan lagi manusia
Kau memang telah hilang ;
Setelah cinta dikalahkan nafsu
Di setiap jejak pencarianmu yang banal
Doa, airmata dan keringat kering di matamu
Menggumpal keras meleleh sakit di pijar cahaya abadimu.
Kudus, 08 September 2015

ELEGI AIRMATA
Merdeka! Makan pagi, makan siang
Dan makan malam lalu anak-anak tidur bermimpi
Kehilangan negeri sendiri
Airmata menetes, meratap di kibaran merah putih
Dalam wajah angkuh kekuasaan
: Aku menatapnya di atas bebatuan
zaman tersayat kemunafikan.
Kudus, 19 Agustus 2015

MENCINTAI BURUNG-BURUNG
Di hutan tinggal pohon-pohon plastik
Menyisakan rintih angin di nafasmu
Di sini, burung-burung pergi ketakutan
Mendengar suara gergaji
Kemana burung-burung itu pergi? tanya anak-anak zaman
Wajahmu pucat melihat bayang-bayang sendiri
Kudus, 20 Agustus 2015

ZAMAN EDAN
Ini zaman edan!, kata jam dinding di kamar hotel
Menyaksikan seorang kakek berduaan
dengan seorang wanita
Mereka saling bercumbu melukai usianya
Harga diri lebih terhomat kenikmatan sementara!
Pencarian di sini tanpa peta :
Orang mudah melupakan kelahirannya sendiri
Bayang-bayang menjadi sayapnya,
lalu terbang meluka langit
Rintik gerimis terasa perih di urat nadi
Ini zaman edan!, keluh air warnanya coklat
ditinggalkan pohon-pohon
Ketika sungai menampung bayang-bayang
dan tanah membatu di pelataran
Anak-anak tidak bisa bermain ombak sodor,
petak umpet, matanya kosong
Dibiarkan orang tuanya yang mengejar mimpi kepalsuan
Sulit menemukan cinta, dan pencarian kehilangan peta!
Ini zaman edan!, geram buku yang tergeletak kaku di mejamu
Setelah segelas kopi menyisakan sebait puisi
mengabarkan kematian
Lalu tak mengenal Tuhan.
Kudus, 12 September 2015

AKU MILIK SIAPA?

Eskapisme Tradisi di Jawa


Bandung Mawardi
REDEFINISI tradisi di Jawa perlu
dilakukan agar pengetahuan lokal
tak sekadar sebagai nostalgia. Tradisi
dalam basis lokalitas sudah mengalami pelbagai intervensi dan pendiktean akibat pola pergaulan peradaban
mutakhir dan hukum-hukum globalisasi. Eksistensi tradisi di Jawa tak
mungkin dipasrahkan pada hukum
alam saja. Dunia mutakhir terbentuk
dan dijalankan melalui kalkulasi
strategi kultural dan politik-ekonomi.
Kehendak merawat dan mengembangkan tradisi di Jawa bisa menjelma fanatisme dalam godaan-godaan
modernitas. Rendra (1983) mengartikan fanatisme sebagai penghalang
kehidupan tradisi. Sikap fanatisme
justru memihak pada kematian.
Perubahan sikap atas tradisi adalah keharusan agar tak lekas menemui ajal.
Potensi Hidup
Tradisi di Jawa tetap diharapkan
memiliki potensi hidup di komunitaskomunitas lokal. Ignas Kleden (1987)
menengarai bahwa fanatisme terhadap tradisi sering menimbulkan sakralitas buta dan tak tanggap atas
perubahan zaman. Ignas Kleden
mengusulkan mesti ada tindakan
membangun tradisi tanpa sikap tradisional. Sikap modern jadi jawaban
ampuh untuk memerkarakan tradisi

sebagai acuan kepemilikan identitas


kultural dan pandangan hidup dalam
progresivitas globalisasi.
Sikap modern bisa ditunjukkan dengan pribumisasi rasionalitas modern
untuk menggerakkan tradisi sebagai
spirit hidup. Sikap tradisional kadang melemahkan fungsi tradisi:
menjebak berdalih belenggu atau pakem. Rasionalitas diajukan demi meredefinisi tradisi dengan model pengembangan secara kontekstual. Unsur lapuk dalam tradisi tak mungkin
dipertahankan saat terbukti tidak
fungsional. Hukum memilih menjadi
konsekuensi atas model selebrasi tradisi secara progresif dan kontributif.
Sikap modern tidak harus menjadi
kemutlakan sekularisasi atas tradisi.
Mempertimbangkan Tradisi
Rendra (1983) mengingatkan bahwa kearifan diperlukan agar agenda
mempertimbangkan tradisi memiliki
orientasi pencerahan.
Wacana tradisi di Jawa sering menimbulkan polemik tanpa henti: sejak
masa kolonialisme sampai abad XXI.
Fakta globalisasi atas nama ekonomi,
pengetahuan, ideologi, politik, pendidikan, seni atau teknologi telah menebar sihir dan ancaman. Pemahaman
ruang hidup berubah drastis karena
mobilitas manusia dan pengetahuan
terjadi secara intensif. Tradisi di Jawa
susah hidup-bertumbuh dalam dalih
otentisitas atau keperawanan. Peta
telah terbuka dan pintu-pintu tradisi

selalu diketuk oleh tamu modernitas.


Irwan Abdullah (2006) menjelaskan
bahwa globalisasi dalam bentuk pasar telah mengubah tatanan nilai dan
praktik kehidupan pada komunitaskomunitas lokal. Tradisi jadi pertaruhan karena susah menutup diri
(isolasi) dari hukum perubahan atau
transformasi. Redefinisi tradisi di
Jawa mesti dilakukan agar tradisi
tetap produktif dan memberi jaminan
pada individu bisa mengafirmasi globalisasi dalam konteks lokalitas. Lokal dan global adalah pilihan sikap
dalam relativisme demi mencapai
konsensus dalam kearifan. Fanatisme justru menjadi momok keruntuhan atau kematian.
Kesadaran meredefinisi tradisi dan
pengembangan tradisi dengan sikap
modern tentu memberi kemungkinan
persemaian nilai-nilai tradisi secara
kontekstual.
Ketidakmampuan
mengurusi tradisi dalam fanatisme
kadang melahirkan eskapisme. Ingat,
eskapisme mengandung arti kehendak menghindari atau melarikan diri
dari fakta-fakta zaman. Pelarian
mungkin dilakukan dengan mencari
hiburan atau penyelamatan dalam jagat angan atau larut dalam nostalgia.
Eskapisme membuat tradisi di Jawa
mirip nostalgia tulen tak membumi.
Eskapisme masih sering tampak dalam pelbagai bentuk dan pola proteksi
tradisi. Bentuk-bentuk seni, ritual,
atau praktik sosial dalam anutan tra-

disi direalisasikan berdalil kekolotan,


mengacu ke pakem. Perubahan atau
pengingkaran terhadap tradisi bisa
menimbulkan petaka atau kutukan.
Fanatisme justru membuktikan tradisi tak mengambah bumi.
Eskapisme biasa ditunjukkan dengan anggapan bahwa tari, gamelan,
atau sastra klasik selalu adiluhung.
Konsep adiluhung membuat orang
merasa memiliki sikap tunduk atas
tradisi tanpa mencoba melakukan
kritik dalam alur sejarah, kekuasaan,
atau penerapan hierarki sosial. Penentuan seni tradisi adiluhung tak
mungkin bebas dari desain dan otoritas kraton dan kolonial. Eskapisme
diekspresikan sebagai hiburan untuk
pelarian diri realitas.
Globalisasi menggoda tradisi dengan tawaran nilai dan praktik-praktik kehidupan melampaui lokalitas.
Eskapisme membuat tradisi di Jawa
kehilangan spirit sebagai acuan identitas diri. Hasrat untuk memiliki dan
semaian identitas global melampaui
ranah tradisi jadi pilihan tak terelakkan. Sikap inklusif mesti diajukan
agar tak berkubang dalam fanatisme
atau absolutisme. Tradisi di Jawa memiliki otonomi: terus bertumbuh meski globalisasi selalu menebar sihir
mematikan. Eskapisme tradisi mesti
ditinggalkan agar tak menghancurkan dan melenakan! - k
*) Bandung Mawardi,
Pengelola Jagat Abjad Solo.

Aku milik siapa?


Di ujung senja banyak kota merampas kata dari mulutku
Sampai lidahku kaku, dan mataku berkunang-kunang
setiap melihat kebenaran
Menyerupai iklan yang diusung kebohongan-kebohongan
Aku milik siapa? Jiwaku lelah dikejar
bayang-bayang yang datang dari segala penjuru
Jejak angin pun telah kehilangan cinta lalu luruh
di peradaban batu-batu
Aku milik siapa?
Dalam tanya aku rindu kelahiran sendiri
Diriku, negeriku, bahkan Tuhanku
Siapa yang telah mengusirnya?
Kudus, 15 September 2015

AKU SUKA
Sejak kecil aku suka hutan
Hawanya sejuk dan banyak pepohonan
Aku tidak takut dengan binatang
Meski tabiatnya buas dan liar
Yang penting harga diriku tak terancam
Sejak kecil aku suka sawah
Tanahnya subur dan banyak tanaman
Aku tidak resah dengan panas maupun hujan
Meski kulitku sampai hitam legam
Yang penting hatiku cahaya Tuhan
Sejak kecil aku suka laut
Airnya berombak dan penuh ikan-ikan
Sebab ombak itu angin dan nafasku
Sebab ikan-ikan itu rejeki dan gairahku
Dalam pengembaraan hidupku
Aku suka!
Kudus, 14 September 2015

*) Jumari HS, Penyair otodidak, lahir di Kudus,


24 November 1965. Karya puisi dan cerpen terhimpun
dalam antologi bersama. Jadi Ketua Teater Djarum,
sehari-hari berkerja sebagai supervisor bagian produksi
rokok PT Djarum Kudus. Buku puisi tunggalnya berjudul
Tembang Tembakau dan 'Tentang Jejak Yang Hilang.

Anda mungkin juga menyukai