Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus

Trauma Medula Spinalis

Oleh
Aulia Azizaturridha, S.Ked
I4A012002

Pembimbing
dr. H. Zainuddin Arpandy, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FK UNLAM-RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN
September, 2016

STATUS PENDERITA
I. DATA PRIBADI
Nama

: Tn. Y

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 47 tahun

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Banjar

Agama

: ISLAM

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Wiraswasta

Status

: Menikah

Alamat

: Banjarmasin

MRS

: 20 Agustus 2016

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 24 Agustus 2016 pukul 14.30
WITA
Keluhan Utama
Kelemahan tungkai dan tidak merasa dari dada hingga tungkai.
Keluhan yang berhubungan dengan keluhan utama
Tidak bisa BAB, BAK tidak merasa.
Perjalanan Penyakit
Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan kedua
tungkainya kanan dan kiri tidak bisa digerakkan sama sekali dan tidak bisa

merasakan apapun. Kelemahan pada kedua tungkai muncul secara perlahanlahan sejak 1 tahun yang lalu, dan secara berngasur-angsur semakin
memburuk, awalnya masih bisa berjalan dengan bantuan tongkat namun pada
4 hari terakhir kedua tungkai sudah tidak dapat digerakkan sama sekali.
Penurunan rasa awalnya juga hanya terasa sebagai sensasi kebas saja namun,
akhir-akhir ini bersamaan dengan kelumpuhan, dari dada hingga kedua
tungkai sudah tidak merasakan apapun lagi. Lokasi penurunan sensorik ini
mulai dari 6 cm di bawah niple payudara sampai ke ujung kaki. Selain itu,
pasien juga mengeluh tidak bisa BAB sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit dan tidak bisa merasakan lagi jika ingin BAK. Sebelum terjadi
kelumpuhan dan kehilangan rasa pada kedua tungkai dan badan, yaitu 4 hari
yang lalu pasien mengalami terjatuh dari kursi dengan posisi jatuh terduduk
dan terlentang, setelah ini kelemahan kaki pasien semakin memburuk dan
hilang rangsang rasa. Pasien juga memiliki riwayat jatuh dari motor pada
kecelakaan motor dan setelah itu pasien mengalami kelemahan pada kedua
tungkai namun masih bisa berjalan dengan tongkat, dan sempat berobat di RS
Ansari Shaleh sebelum dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien juga
mengonsumsi jamu-jamuan terutama jamu sarigading selama kurang lebih 10
tahun.
Riwayat Penyakit Dahulu
Kelemahan pada kedua tungkai (+) dengan riwayat jatuh dari motor

Intoksikasi
Tidak ditemukan riwayat keracunan obat, zat kimia, makanan dan minuman.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Keadaan Psikososial
Pasien tinggal bersama dengan istri dan 3 orang anaknya. Rumah kayu,
ventilasi rumah baik. Air minum dan MCK berasal dari air ledeng. Jarak
dengan rumah tetangga baik. Hubungan dengan tetangga baik.
III.

STATUS INTERNA SINGKAT


1. Keadaan Umum :

Keadaan sakit
Tensi
Nadi
Respirasi
Suhu
Status gizi

: tampak sakit sedang


: 100/70 mmHg
: 72 kali /menit
: 23 kali/menit
: 36,3 oC
: normal

2. Kepala/Leher :
-

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, ptosis (-/-)

Mulut

: Mukosa bibir cukup lembab


-

Leher

: peningkatan JVP (-), pembesaran

KGB (-)
3. Thoraks
- Pulmo

: Bentuk dan pergerakan simetris, suara napas vesikuler,


wheezing (-), rhonchi (-)

- Cor

: BJ I/II tunggal, murmur (-)

4. Abdomen: hepar dan lien tidak teraba, perkusi hipertimpani, bising usus
normal
5. Ekstremitas :

Edema

Plegi

Akral hangat

D S

D S

+
+

+
+

Paresis
D S
+
IV.

STATUS PSIKIATRI SINGKAT


Emosi dan Afek

: Eutim (sesuai afek dan mood)

Proses Berfikir

: Realistik

Kecerdasan

: Sesuai dengan tingkat pendidikan

Penyerapan

: Baik

Kemauan

: Baik

Psikomotor

: Hipoaktif

V. NEUROLOGIS
A. Kesan Umum:
Kesadaran :
GCS
:
Pembicaraan :

Afasia

Compos Mentis
E4V5M6
Disartri
Monoton
Scanning
Motorik

: (-)

Sensorik

: (-)

Anomik

: (-)

: (-)
: (-)
: (-)

Kepala

Muka

B.

Besar

: Normal

Asimetri

: (-)

Sikap paksa

: (-)

Tortikolis

: (-)

Mask/topeng

: (-)

Miophatik

: (-)

Fullmooon

: (-)

Pemeriksaan Khusus
1.

2.

Rangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk

: (-)

Kernig

: (-)/(-)

Laseque

: (-)/(-)

Bruzinski I

: (-)

Bruzinski II

: (-)/(-)

Saraf Otak
a. N. Olfaktorius

Kanan

Kiri

Hyposmia

(-)

(-)

Parosmia

(-)

(-)

Halusinasi

(-)

(-)

Kanan

Kiri

Visus

6/6

6/6

Lapang pandang

normal

normal

Funduskopi

tidak dilakukan

tidak dilakukan

b. N. Optikus

c. N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducens


Kedudukan bola mata

Kanan

Kiri

tengah

tengah

Pergerakan bola mata ke


Nasal

Normal

Normal

Temporal

Normal

Normal

Atas

Normal

Normal

Bawah

Normal

Normal

Temporal bawah :

Normal

Normal

Eksopthalmus

Ptosis

Pupil
Bentuk

bulat

bulat

Lebar

3 mm

3 mm

Perbedaan lebar

isokor

isokor

Reaksi cahaya langsung

(+)

(+)

Reaksi cahaya konsensuil (+)

(+)

Reaksi akomodasi

(+)

(+)

Reaksi konvergensi

(+)

(+)

d. N. Trigeminus
Kanan

Kiri

Normal

Normal

Cabang Motorik
Otot Maseter

Otot Temporal

Normal

Normal

Otot Pterygoideus Int/Ext

Normal

Normal

Cabang Sensorik
I.

N. Oftalmicus

Normal

Normal

II.

N. Maxillaris

Normal

Normal

III.

N. Mandibularis

Normal

Normal

Refleks kornea langsung

Normal

Normal

Refleks kornea konsensuil

Normal

Normal

e. N. Facialis
Kanan
Waktu Diam
Kerutan dahi

sama tinggi

Tinggi alis

sama tinggi

Sudut mata

sama tinggi

Lipatan nasolabial

simetris

Waktu Gerak
Mengerutkan dahi

sama tinggi

Menutup mata

kuat

Bersiul

bisa

Memperlihatkan gigi

normal simetris

Pengecapan 2/3 depan lidah

tidak dilakukan

Sekresi air mata

tidak dapat dilakukan

Kiri

Hyperakusis

(-)

(-)
f. N. Vestibulocochlearis
Vestibuler
Vertigo

: (-)

Nystagmus

: (-)

Tinitus aureum : Kanan: (-)

Kiri : (-)

Uji Romberg: tidak dapat dilakukan


Cochlearis
Mendengar suara bisikan

normal

normal

Tes Rinne

tdl

tdl

Tes Webber

tdl

tdl

Tes Swabach

tdl

tdl

g. N. Glossopharyngeus dan N. Vagus


Bagian Motorik:
Suara

: normal

Menelan

: normal

Kedudukan arcus pharynx

: normal

Kedudukan uvula

: normal

Detak jantung

: normal

Bising usus

: normal

Bagian Sensorik:
Pengecapan 1/3 belakang lidah

: tidak dilakukan

Refleks muntah: (+)


h. N. Accesorius
Kanan

Kiri

Mengangkat bahu

normal

normal

Memalingkan kepala

normal

normal

i. N. Hypoglossus

3.

Kedudukan lidah waktu istirahat

: di tengah

Kedudukan lidah waktu bergerak

: di tengah

Atrofi

: tidak ada

Kekuatan lidah menekan pada bagian

: kuat/kuat

Fasikulasi/Tremor pipi (kanan/kiri)

: -/-

Sistem Motorik
Kekuatan Otot
Tubuh :

Otot perut

: menurun

Otot pinggang

: menurun

Kedudukan diafragma : Gerak


Istirahat
Lengan (Kanan/Kiri)
M. Deltoid

: 5/5

M. Biceps

: 5/5

M. Triceps

: 5/5

Fleksi sendi pergelangan tangan

: 5/5

Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5/5

: normal
: normal

Membuka jari-jari tangan

: 5/5

Menutup jari-jari tangan

: 5/5

Tungkai (Kanan/Kiri)
Fleksi artikulasio coxae

: 0/0

Ekstensi artikulatio coxae

: 0/0

Fleksi sendi lutut

: 0/0

Ekstensi sendi lutut

: 0/0

Fleksi plantar kaki

: 0/0

Ekstensi dorsal kaki

: 0/0

Gerakan jari-jari kaki

: 0/0

Besar Otot :
Atrofi

:-

Pseudohypertrofi

:-

Respon terhadap perkusi

: normal

Palpasi Otot :
Nyeri

:-

Kontraktur

:-

Konsistensi

: Normal

Tonus Otot :
Lengan

Tungkai

Kanan

Kiri

10

Kanan

Kiri

Hipotoni

Spastik

Rigid

Rebound

phenomen
Gerakan Involunter
Tremor :

Waktu Istirahat

: -/-

Waktu bergerak

: -/-

Chorea

: -/-

Athetose

: -/-

Balismus

: -/-

Torsion spasme

: -/-

Fasikulasi

: -/-

Myokimia

: -/-

Koordinasi :
Telunjuk kanan kiri

normal

Telunjuk-hidung

normal

Gait dan station : tidak dapat dilakukan

4. Sistem Sensorik
Tungkai Kanan/kiri
Rasa Eksteroseptik

11

Rasa nyeri superfisial

: Tidak merasa/Tidak merasa

Rasa suhu

: Tidak merasa/Tidak merasa

Rasa raba ringan

: Tidak merasa/Tidak merasa

Rasa Proprioseptik
Rasa getar

: tidak dilakukan

Rasa tekan

: abnormal/abnormal

Rasa nyeri tekan

: abnormal/abnormal

Rasa gerak posisi

: abnormal/abnormal

Rasa Enteroseptik
Refered pain

: tidak ada

5. Fungsi luhur
Apraxia

: Tidak ada

Alexia

: Tidak ada

Agraphia

: Tidak ada

Fingerognosis

: Tidak ada

Membedakan kanan-kiri

: Tidak ada

Acalculia

: Tidak ada

6. Refleks-refleks
Refleks kulit
Refleks kulit dinding perut : abnormal
Refleks cremaster : Tidak dapat dilakukan
Refleks gluteal

: Tidak dapat dilakukan

12

Refleks anal

: Tidak dapat dilakukan

Refleks Tendon/Periosteum (Kanan/Kiri):


Refleks Biceps

: 2/2

Refleks Triceps

: 2/2

Refleks Patella

: 1/1

Refleks Achiles

: 1/1

Refleks Patologis :
Tungkai
Babinski

: -/-

Chaddock

: -/-

Oppenheim

: -/-

Rossolimo

: -/-

Gordon

: -/-

Schaffer

: -/-

Lengan
Hoffmann-Tromner : -/Reflek Primitif :

7.

Grasp

tidak dilakukan

Snout

tidak dilakukan

Sucking

tidak dilakukan

Palmomental

tidak dilakukan

Susunan Saraf Otonom


Miksi

: inkontinensi (+)

Defekasi : konstipasi (+)


Sekresi keringat : menurun di daerah bawah lesi
Salivasi : normal
8.

Columna Vertebralis

13

Kelainan Lokal
Skoliosis

: tidak ada

Khypose

: tidak ada

Khyposkloliosis
Gibbus

: tidak ada
: tidak ada

Gerakan Servikal Vertebra


Fleksi

: tidak bisa

Ekstensi

: tidak bisa

Lateral deviation

: tidak bisa

Rotasi

: tidak bisa

Gerak Tubuh: tidak dapat dilakukan


Hasil laboratorium tanggal 20 Agustus 2016 :
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
MCV, MCH, MCHC
MCV
MCH
MCHC
Hitung Jenis
Gran%
Limfosit%
MID %
Gran#
Limfosit #
MID#

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

10,4
8,8
3,34
31,1
178
18,0

12.0 - 15.60
4.65 - 10.3
4.00 5.30
37.00 47.00
150 356
12.1 - 14.0

g/dl
ribu/ul
juta/ul
vol %
ribu/ul
%

93,2
29,0
31,1

75.0 - 96.0
28.0 - 32.0
33.0 - 37.0

Fl
Pg
%

84,7
8,4
6.9
7.50
0.7
0.6

50.0 70.0
25.0 40.0
4.011.0
2.50 - 7.00
1.25 4.0

%
%
%
ribu/ul
ribu/ul
ribu/ul

14

KIMIA
GULA DARAH
Glukosa
Darah
Sewaktu (GDS)
SGOT
SGPT
Ginjal
Ureum
Creatinin

162

<200

mg/dl

29
12

0 46
0 45

U/l
U/I

83
1.1

10 50
0.6 - 1.2

mg/dl
mg/dl

Hasil CT-Scan Kepala tanggal 20 Agustus 2016

Hasil CT-Scan Thorakolumbal tanggal 20 Agustus 2016

15

16

17

Hasil Bone Survey tanggal 26 Agustus 2016

18

19

20

RESUME
1. ANAMNESIS:
-

Kelemahan tungkai kanan dan kiri sejak 1 tahun yang lalu dan

mendadak menjadi lumpuh 4 hari yang lalu, dengan riwayat jatuh.


Penurunan sensorik dari dada hingga kedua tungkai secara mendadak

bersamaan dengan kelumpuhan tungkai.


Tidak bisa lagi mengontrol BAB dan BAK.
Riwayat jatuh dari motor 1 tahun yang lalu dan memakai tongkat

dalam 1 tahun terakhir karna kelemahan tungkai.


Tidak ada riwayat stroke, tidak ada riwayat DM, dan tidak ada
hipertensi.

2. PEMERIKSAAN
Interna
Kesadaran

: Compos Mentis, GCS E4 V5 M6

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 72 kali /menit

Respirasi

: 23 kali/menit

Suhu

: 36,3oC

Kepala/Leher

: normal

Thorax

: tidak ada kelainan

Abdomen

: Acites (+)

Ekstremitas

: paraplegia

Status psikiatri

: tidak ada kelainan

Status Neurologis

21

Kesadaran : somnolen GCS 4-5-6


Pupil isokor, diameter 3/3mm, refleks cahaya +/+, gerak mata
simetris
Rangsang selaput otak: tidak ada kelainan
Saraf kranialis: tidak ada kelainan.
Motorik: lengan 5/5, tungkai 0/0
Tonus: Lengan : normal/normal, Tungkai : normal/normal
Sensorik: Lengan : normal/normal, Tungkai : menurun/menurun,
dari dada setinggi T6 hingga tungkai kehilangan sensorik.
Reflek fisiologis BPR : 2/2, TPR: 2/2, KPR : 1/1, APR : 1/1
Refleks patologis : babinski -/ Susunan saraf otonom : inkontinensia urine dan alvi
Columna Vertebralis : tidak ada kelainan
3. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis

: Paraplegia, anestesia, gangguan saraf otonom


(inkontinensia urine dan alvi).

Diagnosis Topis
Diagnosis Etiologis

: Lesi Medulla Spinalis setinggi Vertebra Thorakal 4


: Trauma Medulla Spinalis (fraktur kompresi VT

4,6,8,10 VL1-5 dan osteoporosis)


4.

PENATALAKSANAAN
-

IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin
Inj. Metilprednisolon
Inj. Mecobalamin

2x50 mg
3x125 mg
1x1 amp

22

PEMBAHASAN
Pada kasus, pasien laki-laki usia 47 tahun mengalami kelemahan tungkai
dengan onset kronis dan kelumpuhan tungkai dengan onset akut, kehilangan
sensasi sensorik dari dada hingga tungkai, kehilangan kesadaran untuk BAB dan
BAK serta sulit BAB, tidak terdapat riwayat hipertensi dan tidak ada riwayat
stroke sebelumnya, terdapat riwayat jatuh dari motor satu tahun sebelumnya, dan
jatuh daru kursi 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan penunjang
CT-scan kepala normal, CT-scan torakolumbal didapatkan fraktur kompresi
multiple pada VT 4,6,8,10 VL 1-5 dan diffuse osteoporosis, serta pada foto bone
survey didapatkan diffuse osteoporotic pada seluruh tulang. Foto thorax
didapatkan lesi litik pada hampir semua os costae dan proksimal humerus. Foto
cervikal AP/L didapatkan lesi litik hampir seluruh corpus cervicalis. Berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pasien dalam kasus ini mengalami trauma medula spinalis dengan topis lesi
medula spinalis setinggi Vertebra Thorakal 4.
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang yang
menyebabkan penekanan pada medula spinalis sehingga menimbulkan myelopati
dan merupakan kedaruratan neurologi yang memerlukan tindakan yang cepat,
tepat dan cermat untuk mengurangi kecacatan.1
Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma
langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya,

23

seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun
inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan
pada era modern, dengan 8000-10.000 kasus pertahun pada populasi penduduk
USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan. 2
Pusat data nasional cedera medula spinalis (National Spinal Cord Injury Statistical
Center/ NSCISC 2004) memperkirakan setiap tahun di Amerika serikat ada
11.000 kasus cedera medula spinalis. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa
muda (usia 16-30 tahun), dan biasanya lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan wanita. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50,4%),
jatuh (23,8%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (9%). Sisanya
akibat kekerasan terutama luka tembak dan kecelakaan kerja.1,2,3
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme sebagai
berikut:2
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi
medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya
usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu
aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat
kompresi tulang.

24

Gangguan traumatik terhadap tulang belakang bisa mengakibatkan


kerusakan pada medula spinalis. Lesi traumatik pada medula spinalis tidak selalu
bersama-sama dengan adanya fraktur dan dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata
pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di
medula spinalis. Kompresi medula spinalis karena dislokasi medula spinalis bisa
terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis di tempat dislokasi. Suatu segmen
medula spinalis bisa tertekan oleh hematom ekstramedular traumatik, bisa juga
tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip antara duramater dan
kolumna vertebralis. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi
medula spinalis akibat tumor, kista, dan abses di dalam kanalis vertebralis.3
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer pada trauma
medula spinalis: (1) gaya impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa
kompresi, (3) tarikan medula spinalis, dan (4) laserasi dan medula spinalis
terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan terjadi kekacauan proses
intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga
menipis, sehingga transmisi saraf terganggu baik karena efek trauma ataupun oleh
masa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan
ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, dan substansia alba akan
mengalami kerusakan setelah 72 jam setelah trauma.2
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8:
a. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti
yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,
merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula
spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam

25

defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American Board of
Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord
Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi
dan kontusio dari kolum vertebra.
b. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti
penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,
atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh
gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup
penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan
inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan
metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Pada pasien dalam kasus ini, gejala klinis yang muncul adalah kelumpuhan
pada kedua tungkai kanan dan kiri, anestesia dari dada (dermatom T6-T7) hingga
ujung kaki, tidak bisa merasakan keinginan BAB dan BAK. Kelumpuhan kedua
tungkai tersebut terjadi karena lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras
kortikospinalis lateralis menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian
tubuh yang terletak di bawah lesi. Pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN dan
di bawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN di tingkat
lesi melanda kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskular toraks
atau abdomen. Pada gambaran CT-Scan torakolumbal didapatkan fraktur
kompresi pada VT 4, yang menyebabkan kelemahan dan gangguan sensorik serta
otonom pada organ di bawahnya. Akan tetapi mengingat peranan otot perut dan

26

dada tidak begitu menonjol pada kelumpuhan LMN ditingkat lesi sehingga sulit
dievaluasi, berbeda jika yang terganggu pada lesi LMN berupa anggota gerak.
Pada toraks tanda UMN tidak dapat diungkapkan dan refleks dinding otot perut
meningkat. Kelumpuhan yang tergambar pada uraian di atas adalah paraplegia.3
Anestesia setinggi T6-T7 hingga ujung tungkai juga terjadi karena trauma
yang mengenai beberapa segmen medula spinalis yang rusak sama sekali, lesi
yang seolah-olah memotong medula spinais ini dinamakan lesi transversal. Lesi
transversal berada di bawah intumesensia servikobrakialis, maka timbullah
paraplegia yang disertai anestesia di bawah tingkat lesi. Hal ini karena impuls
motorik tidak dapat disampaikan kepada motorneuron yang berada di bawah lesi,
lalu impuls sensorik dari permukaan badan di bawah dermatom T6-T7 tidak dapat
disampaikan kepada korteks sensorik primer di korteks serebri lobus parietal.3
Gangguan pada proses BAB dan BAK yang tidak merasakan lagi juga
karena terjadi kerusakan pada sistem saraf otonom akibat kerusakan medula
spinalis. Karena impuls asendens dan desendens lainnya juga tidak dapat
disampaikan kepada tempat tujuannya, maka perasaan ingin kencing dan berak
hilang serta daya untuk mengosongkan kandung kemih dan rektum hilang.3
Pada kasus ini jenis lesi yang terjadi adalah tipe lesi tranversa komplit,
yaitu yang mengenai gangguan traktus piramidalis, gangguan sensibilitas dan
gangguan saraf otonom. ASIA/ISCoS Exam Chart (ASIA Impairment Scale)
adalah grade A, yaitu complete lack of motor and sensory function below the level
of injury (including the anal area).1

27

Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu


berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma
Klasifikasi Impairment Scale2
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E. Pembagiannya
adalah sebagai berikut :5
Grade
A

Tipe
Komplit

Gangguan Medulla Spinalis


Tidak ada fungsi motorik dan sensorik

Inkomplit

sampai S4-S5
Fungsi sensorik masih baik tapi motorik

Inkomplit

terganggu sampai segmen S4-S5


Fungsi motorik terganggu dibawah level,
tapi

Inkomplit

otot-otot

Normal
Tabel 1.1

utama

masih

memiliki kekuatan <3


Fungsi motorik terganggu dibawah level,
otot-otot

motorik

motorik

utama

memiliki

kekuatan >=3
Fungsi motorik dan sensorik normal

Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA

Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma5


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya
sebagai berikut :
i)
ii)
Sindroma

Complete spinal cord injury (Grade A)


a. Unilevel
b. Multilevel
Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
Kausa Utama

28

Gejala Klinis

Brown-Sequard

Trauma tembus,

1. Paresis UMN ipsilateral di bawah

Syndrome

Kompresi

lesi dan LMN setinggi lesi


2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan
suhu) kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan

Sindroma

Spinalis Cedera

Anterior

yang

menyebabkan
HNP pada T4-6

Sindroma

Spinalis Hematomielia,

Sentral Servikal

tekan) ipsilateral
1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN
dibawah lesi
2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan
eksteroseptif,
proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
1. Paresis lengan > tungkai
2. Gangguan sensorik bervariasi di

Trauma spinal
ujung distal lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan

Sindroma
Posterior
Sindroma
Medullaris

Spinalis Trauma,
arteri

infark

seksual
1. Paresis ringan
2. Gangguan eksteroseptif punggung,

spinalis

posterior
Konus Trauma

lower

leher, dan bokong


3. Gangguan propioseptif bilateral
1. Gangguan motorik ringan, simetris
2. Gangguan
sensorik,
bilateral,

sacral cord
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative

ringan,

simetris, bilateral pada perineum


dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan
Sindroma

Kauda Cedera

akar

29

ejakulasi.
1. Gangguan motorik sedang sampai

Equina

saraf

berat, asimetris
2. Gangguan sensibilitas, asimetris,

lumbosakral
tidak ada disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat,
ringan, jarang terdapat disfungsi
seksual
Pasien pada kasus ini diberikan tatalaksana sebagai berikut:
-

IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin
Inj. Metilprednisolon
Inj. Mecobalamin

2x50 mg
3x125 mg
1x1 amp

Pemberian cairan dengan ringer laktat pada kasus ini sedikit tidak sesuai
dengan kondisi pasien pada saat perawatan. Pada saat perawatan, pada
pemeriksaan kimia darah, ditemukan sedikit peningkatan ureum dan kreatinin
yang salah satu penyebabnya adalah fungsi ginjal yang menurun. Pemberian
cairan ringer laktat yang mengandung beberapa jenis elektrolit terutama kalium
tidak dianjurkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang tidak baik, karena dapat
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Terapi cairan rumatan yang
dapat menjadi pilihan pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun adalah
NaCl 0,9%.4
Metilprednisolon 3x125 mg diberikan untuk menstabilkan membran,
menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki
sawar darah medulla spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan
menghambat respon radang. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid
lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat,

30

lebih efektif menetralkan komplemen yang beredar, prevensi iskemia pasca


trauma. Study NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study)
menyarankan dosis tinggi sebesar 30mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi
lipid,

diberikan

sesegera

mungkin

setelah

trauma

karena

distribusi

metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis


pada mekanisme kerusakan sekunder.2
Menurut National Acute Spinal Cord Injury Studies (NASCIS-2) dan
NASCIS-3, pasien dewasa dengan akut, nonpenetrating cedera medula spinalis
dapat diterapi dengan metilprednisolon segera saat diketahui mengalami cedera
medula spinalis. Pasien diberikan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan secara
intravena dalam delapan jam, dan terutama dalam tiga jam setelah cedera,
dilanjutkan dengan infus metilprednisolon 5,4 mg/kg berat badan tiap jam 45
menit

setelah

pemberian

pertama.

Jika

pasien

mendapatkan

bolus

metilprednisolon antara 3-8 jam setelah cedera, maka seharusnya pasien tersebut
menerima infus metilprednisolon selama 48 jam sedangkan jika pemberian
metilprednisolon dalam tiga jam setelah cedera, maka pemberian infus
prednisolon diberikan selama 24 jam.1,6 Penelitian menunjukkan akan terjadi
pemulihan motorik dan sensorik dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 tahun pada pasien
yang menerima metilprednisolon. Akan tetapi, penggunaan kortikosteroid belum
jelas kesepakatannya, hal ini karena timbulnya efek samping berupa pneumonia.
Steroid dosis spinal juga kontra indikasi untuk pasien dengan luka tembak atau
cedera radiks dorsalis (kauda ekuina), atau hamil, kurang dari 14 tahun, atau

31

dalam pengobatan steroid jangka panjang, serta hipotermi (salah satu gejala yang
timbul pada cedera medula spinalis).6
Penatalaksaan pada trauma medula spinalis sebagai berikut:1
1. Umum
a. Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera
pasang collar neck, jangan gerakkan kepala atau leher.
b. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkut pasien dalam
keadaan tertelungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset).
c. Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.
d. Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah
menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik, akibatnya
tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau darah. Sebaiknya
jangan berikan cairan isotonik seperti NaCl 0,9% atau glukosa 5%.
e. Jika ada gangguan miksi, pasang kondom kateter atau dauer kateter dan
jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma.
2. Medikamentosa
a. Berikan metilprednisolon
b. Bila terjadi spastisitas otot, berikan:
- Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
- Bakloven 3-5 mg atau 3x20 mg perhari
c. Bila ada rasa nyeri dapat diberikan:
- Analgetika
- Antidepresan: Amitriptilin 3x10 mg/hari
- Antikonvulsa: gabapentin 3x300 mg/ hari
3. Operasi, jika:
a. Ada fraktur, atau pecahan tulang menekan medula spinalis
b. Gambaran neurologis progresif memburuk
c. Fraktur, dislokasi yang labil
d. Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan

32

kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis
dapat sembuh dan mandiri.7

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin Moch. Neurologi klinis. Malang: Universitas Muhammadiyah


Malang, 2013.
2. Gondowardaja Yoanes, Purwata Thomas Eko. Trauma medula spinalis:
patobiologi

dan

tatalaksana

medikamentosa.

Continuing

Medical

Education 2014, 8(41):567-571.


3. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian
Rakyat, 2014.
4. Quershi I, Endres JR. Citicoline: A novel therapeutic agent with
neuroprotective neuromodulator, and neurogenerative. Nat Med J, 2010.
5. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
6. Manley , Geoffrey T; Rosenthal, Guy; Papanastasio, Alexande M; Pitts,
Larry H;. (2006). Spinal Cord Injury. In G. M. Doherty, Current Surgical
Diagnosis & Treatment (Vol. 37). California: McGraw-Hill.
7. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Myelitis. Semin Neurol 2008;28:105-120.

34

Anda mungkin juga menyukai