MedanBisnis
Minggu, 30 Agustus 2015
MAYAT
Oleh: Erby Er
Sudah tiga hari ini, mayat istriku
terbaring bersamaku di atas ranjang
berdarah. Tanpa bercinta, tanpa
bersendau gurau dan tanpa apapun
itu.
Ijinkan aku menulis kata mayat,
yang selalu membawa ketenangan
bagi diriku dengan rasa
ketidakadilan dalam arti mengarungi
cinta sejati. Ijinkan aku pula
memanggul mayat istriku yang bau
busuknya yang menyengat, tidak
akan pernah tercium bagi insan yang
mau berbagi cinta bersamanya.
Antara sebab dan akibat selalu
menjadi penjelasan terutama yang
akan aku beritahu kepada kalian.
Aku mencintai dia sebab cinta juga
mencintai aku. Aku menyayangi
dirinya akibat kasih sayang yang juga
menyayangi diriku. Semuanya sudah
aku berikan untuknya, semuanya
sudah aku kisahkan bersamanya,
semuanya sudah aku ungkapkan
sebelum dirinya menjadi sesosok
mayat. Sebelum dirinya menjadi
bangkai. Sebelum dirinya
meninggalkan aku untuk selamalamanya.
Tiada lagi kata-kata yang terucap
dengan rangkaian kata terindah
untuk sesosok mayat, tiada lagi
perjamuan makan malam yang
menghidangkan sajian makanan dan
minuman yang nikmat. Seperti yang
sudah terjadi sebelumnya, seperti
yang sudah aku tuliskan di atas
sebelumnya. Sekarang istriku sudah
menjadi mayat. Terbujur kaku, lusuh,
bengis, kelam, suram, mencekam
namun terkesan hidup. Terutama
sebuah kesan hidup yang begitu
berati untuk diriku, untuk suami
yang selalu merawat cintanya, untuk
suami yang selalu mengukir kata
cinta lewat sebuah bukti, untuk
suami yang akan selalu membawa ke
mana-mana mayat istrinya sampai
kapan pun.
Aku akan tetap menjadi aku.Tapi
kau! Akan selalu menjadi bagian dari
hidupku bukan dirimu. Karena aku
adalah suami yang mencintai wanita
layaknya mencintai seorang ibu.
``Mengerti mayat?``
Biasanya setiap hari aku dan
istriku selalu ke pasar, di situ kami
akan membeli madu dan roti, juga
bila ada uang lebih kami tidak lupa
membeli makanan untuk anjing
peliharaan kami. Wahai istriku! Kini
dirimu sudah menjadi mayat yang
hanya gemar mendatangkan
sekelompok lalat bahkan belatung.
Meskipun dirimu kini sudah terbujur
kaku dan terbungkus kain, aku akan
tetap selalu pergi ke pasar, hanya
sekedar ingin memudar dalam
ketidakaturan yang mengatur
pandanganku yang mulai kabur. Di
mana pasar itu akan selalu
menghadirkan para-para pedagang
yang berdagang dengan tertib dan
ramah tamah. Saat pergi ke pasar,
aku selalu membawa serta dan
memanggul mayat istriku yang aku
bungkus dengan kain sutra berwarna
hitam, kelam, legam, dan suram. Di
mana aku menyandingkan kasih
sayangku dengan mayat istriku.
Untuk mayat istriku tercinta!
Masihkah dirimu ingat! Saat kita
duduk berdua di sebuah teras
bangunan tua yang bergaya arsitektur
kuno itu, kita selalu menghadirkan
sejuta kata cinta yang kita ukir di hati
Galeri PUISI
Muhammad A
sqalani Enes
te
Asqalani
Eneste
Jalan P
erempuan
Perempuan
di altar sebuah ruang ia
mengadu
di latar sebuah raung ia
mengibu
lalu lengang menganal mahkota
hanyuti lubang kekalkan nyawa
kepada kelahiran Isa namanya
kepada pengasingan Maryam nasibnya
kepada pengembara Masehi sejarahnya
ini setapak jalan berawal wanita
telapak berujung alamat surga:
anak yang berpijak di kakiNya
Pekanbaru, Villa 20
13
2013
Sebutlah N
aman
ya Adwi
Naman
amanya
sebutlah namanya Adwi
dunia tak lebih akbar dari biji sawi.
seorang pejalan kaki harus sampai pada
duri,
sebelum sampai kepada diri.
berenang-renang ke tepian
dian nurani seluas keyakinan.
#
seandainya kau dengar suara,
itulah kecupan Tuhan bagi seluruh bunga.
bibir-bibir doa mekar,
seorang perempuan menyanggul belukar.
ular terbakar,
dalam cerita-cerita
dalam penderitaan seluruh agama.
#
perempuan berdiri setinggi mata hati,
disambutnya pagutan Tuhan paling murni,
berseri-seri, bersemi-semi.
surga, cukup sampai di sini!
di F
ebr
yan 20
15
Febr
ebryan
2015
panah asmara.
Yar
y
ary
begitukah sabda dalam kitab-kitab
barahmu?
meledak seamis nafsu, meruyak sengeri
hantu,
melukaiku lagi dan lagi.
di bawah pohon merah.
di bawah lindungan lindu cinta.
pita percakapan kita sehitam harap.
cacing-cacing hening kita pelihara.
kita ciptakan kitab prahara, hingga aku
percaya;
kitab-kitab barahmu fiktif belaka.
tokohnya hanya aku dan kau;
kau si protagonis yang manis,
aku si antagonis yang manis.
lalu kenapa cinta kita pahitkan seperti kopi
tua?
20
15
2015
Kepada HF
wajah bisumu, wajah yang sukar kukenang
seperti wajah bayang-bayang. cinta itu,
cinta yang kutakar dengan tengkar. rasa itu,
yang kutangkal dengan tinggal. rahasia itu,
kini menjadi luka-luka baru.
padahal telah kaunisbatkan, ajaran
kepergian
yang paling dalam; dalam kitab suciku,
kitab sunyi yang penuh
bercak darahmu.
kebencian atas pengkhianat ayah dan ibu.
begitu pantaskah aku memujamu,
seperti bayang-bayang hantu itu?
tapi kau Adoni, Pan, atau Cupid
yang stupid mengabadikan
di F
ebr
yan 20
15
Febr
ebryan
2015
Ranum Sederhana
pohon yang pernah kau panjat dalam kepala
seperti rimbun doa, kini tumbang.
batangnya
kian lapuk. kian menyatu dengan tanah.
sementara buahnya yang merah marun.
mulai menggelinding, mencaricari waktu
yang belum juga terjenguk dalam kenangan
ketika Adam dan Hawa melepas jabat
tangan.
buruburu menggenggam buah kesukaan
Iblis
Pekanbaru, 20
13
2013
Bintang I
bintang, kenapa kamu takut pada sinarmu
sendiri,
aku hanya penanti malam yang berharap
hidup
di bawah remang-remang cahyamu. jika
turun hujan
dan kamu bercumbu bersama awan,
aku membayangkan seribu bayi kunangkunang
adalah rindu yang kautitipkan pada
pancaran,
bahwa aku harus lebih gigih lagi menunggu.
mungkin setabah rahim batu, yang
melahirkan lumut
yang tampak pekat bila malam, kau sedang
memendam
sinar dan pejam.
Najm NN 20
15
2015
Bintang II
apa yang harus kukatakan padamu,
malam-malamku membutuhkanmu,
ketika kaujatuhkan cahaya tubuhmu
L epas Bulkashi
aku teringat Disporia yang suka nusuk
nalarku,
ia tahu cara lukai bathinku; jadi perempuan
pusar di taman tiruan.
kadang aku terpekur, hingga tertidur
bak mabuk anggur. mimpi-mimpi aneh
hambur,
menghibur rasa salahku
gembur.
pada ibu, pada ayah, kakak-kakakku,
serta doa yang kadang kedinginan takut
kucelaki.
dalam kaca, aku copot jantung bayangan.
mataku jelma tatapan hina, membiar iblis
semena-mena
menarik testikel puncak hasratku.
aku musti temani daun-daun merah yang
meriah,
warnanya tiduri birahi hara-hara. di sana
kubayangkan
daun nama lindur, lepas tangkai dan dunia
bebas memusar
Meng
eluarkan Diri
engeluarkan
kita kadung mencopot jantung sendiri
mengusungnya dalam bingung menali
menjadikan diri semakin tak terkenali
lalu berkalikali kita menikam nurani
dengan gerigi maha runyam doa keji
kabut pun melarut ngeri langit nun melarat
nyeri
banjir tenggelamkan seisi hati
kesedihan bagi yang kehilangan
kesudahan bagian tak berbadan
Simpang Tiga, P
ekanbaru 20
13
Pekanbaru
2013
Ca
ta
tan
Cata
tatan
Muhammad Asqalani Eneste. Kelahiran
Paringgonan, 25 Mei 1988. Alumnus Pend.
Bahasa Inggris - Universitas Islam Riau
(UIR). Menulis sejak 2006. Pernah menjadi
Redaktur Sastra Majalah Frasa.Puisipuisinya dimuat di: Pikiran Rakyat, Suara
Merdeka, Suara NTB, Minggu Pagi, Fajar
Makassar, Riau Pos, Batam Pos, Pos Bali,
Sastra Sumbar, Medan Bisnis, Waspada,
Metro Riau, Haluan Riau, Koran Riau, Koran
Madura, Inilah Koran, Dinamika News,
Ruang Rekonstruksi, Majalah Sabili,
Majalah Frasa, Majalah Noormuslima
(Hongkong), Majalah Sagang, Koran Cyber,
KOMPAS.com, Kuflet.com, Detak UNSYIAH,
AKLaMASI, Bahana Mahasiswa, dll. Penulis
adalah mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia