Anda di halaman 1dari 3

Dari Zine ke Tindes Art: Pengalaman Wirogunan dan Ganjuran

Oleh: Alia Ruray & Audhe Novita


Pagi 30 Agustus 2016 menjadi pagi hari yang tidak biasa bagi warga binaan wanita lapas
wirogunan Jogjakarta. Dibalik tembok tinggi dan sudut-sudut menara pemantau wirogunan,
muncul lah keceriaan dan kebersamaan yang jarang terekspos ke dunia luar.
Kami tim paperu mendapatkan kesempatan untuk mengadakan lokakarya di lapas wanita
wirogunan Jogjakarta. Lokakarya kali ini mengusung tema Kepada Kebebasan Kami Rayakan
Kerinduan. Kerinduan menjadi sejenis rasa yang sangat membekas bagi warga binaan lapas
wirogunan. Kebebasan ruang gerak yang dibatasi membuat mereka tidak lagi bisa
menyampaikan rasa rindu kepada rumah, keluarga, bahkan kebebasan itu sendiri.
Dengan mengusung tema tersebut, Garda Belakang Koridor sebagai pemberi materi lokakarya
menyampaikan penjelasan tentang zine, yang kali itu diperlakukan sebagai jembatan untuk
menyampaikan rasa rindu.
Zine adalah sebuah buletin yang dicetak sederhana. Sebanyak 122 warga binaan diberikan
waktu untuk mencurahkan isi pikiran dan hati mereka pada selembar kertas. Mereka bebas
membuat puisi, curhatan, cerita, dan kolase. Semua yang mereka tuangkan kedalam tulisan dan
coretan di kertas menceritakan tentang kerinduan terhadap dunia di luar tembok lapas
wirogunan.
Adalah Ngunyen Thi My Hanh, berusia 28 tahun, seorang warga binaan yang merupakan warga
Negara asing asal Vietnam. Dalam karyanya yang dia tujukan kepada duta besar Vietnam, dia
menyampaikan keberadaannya. Selama ini dia tidak memiliki siapapun di Indonesia, dia
berusaha menghubungi duta besar Vietnam untuk mempermudah aksesnya dalam
menghubungi Ibu serta anaknya yang masih berusia 10 tahun yang tinggal di sebuah kota di
Vietnam. Didasari oleh rasa rindu terhadap Ibu dan anaknya, karya Ngunyen memiliki arti
penting baginya, yaitu sebuah kebebasan dan pulang. Di dalam lapas, ngunyen yang tidak
memiliki keluarga di Indonesia membuka jasa laundry untuk biaya hidup dan keperluannya
selama di lapas, karena tidak seperti warga binaan lainnya, Ngunyen tidak memiliki pengunjung
tetap pada jam besuk lapas.
Dia telah melewati 5 tahun 3 bulan masa tahanannya dari 12 tahun yang dijatuhkan atas nama
dirinya. Dengan keterbatasan bahasa yang dia miliki, Ngunyen tetap menulis surat yang dia
tujukan kepada duta besar Vietnam namun tidak pernah mendapat balasan berarti. Dengan
adanya Lokakarya ini, kita bisa melihat masih adanya harapan yang besar untuk terus berusaha
meskipun kita dalam keadaan dibawah sekalipun. Masih ada harapan dan kepedulian dalam
sebuah pertemuan-pertemuan yang hadir. Sebuah harapan yang kecil setidaknya bisa
mengobati kerinduan mereka dan menjadi semangat untuk mereka agar menjadi lebih baik.
Karya-karya warga binaan lainnya juga tidak kalah menarik, salah satunya adalah puisi karya
Mary Jane dengan judul Moment Bertemu Keluarga. Di tuliskan dalam puisi tersebut betapa
Mary Jane merindukan sebuah pertemuan dan keakraban keluarga. Semua karya yang mereka
buat akan dibukukan menjadi satu agar kita dapat menikmati seperti apa sebuah kerinduan dan
harapan.

Tindes Art: Antara Sepi dan Berkesenian


Lain padang, lain pula belalang. 1 September 2016 tim Paperu mengunjungi panti asuhan Santa
Maria guna melangsungkan lokakarya Tindes Art berjudul Menyemai Sepi, Menunda Seni.
Hal pertama yang kentara ketika tiba di panti asuhan Santa Maria yang terletak di Ganjuran
ialah suasana tenang yang dilengkapi hijaunya pepohonan. Terdengar tawa beberapa anak kecil
yang sedang asyik bercengkrama sembari menikmati hembusan angin sore di bangku ayunan.
Terdapat halaman luas yang seakan berbicara bahwa ialah tempat anak-anak selalu berlarian
tak tentu dengan senda gurau. Semua bersatu padu menghilangkan rasa jenuh dalam
perjalanan berkendara ke lokasi panti yang cukup jauh dari pusat kota Yogyakarta ini.
Perlu ditekankan bahwa pada tatanan ini terdapat sebuah kekeluargaan yang partikular;
tak sama dengan kekeluargaan lumrah di balik atap sebuah rumah. Panti yang terdiri dari 63
orang anak asuhan serta beberapa suster sebagai pengurus ini merupakan tempat di mana
berbagai identitas berbeda terfasilitasi secara beriringan. Dengan jangkauan usia 5-18 tahun,
ada anak berperanakan Bali, Lampung, Sorong, Yogyakarta, Papua, hingga Sumbawa dan
Flores. Mungkin ini merupakan daya tarik tersendiri yang membuat FKY 28 memilih untuk
mengadakan lokakarya Tindes Art pada 1 September 2016 di lokasi ini.
Adapun tindes merupakan suatu cabang seni rupa yang menggunakan prinsip cetak
tinggi, yakni kegiatan mencetak secara manual tanpa teknologi, melainkan dengan alat roll
untuk mengaplikasikan tinta cetak pada gambar sebelum gambar dipindahkan ke media kertas
melalui proses penekanan. Jika pada seni cukil yang juga menggunakan prinsip cetak tinggi
memerlukan hardboard kayu dan alat cukil, seni tindes berusaha menyederhanakan proses
berkarya melalui karton dan pensil sebagai alat alternatif. Tak hanya sampai situ, seni tindes
juga dikembangkan menjadi lebih kaya dengan penggunaan kain sebagai media cetak pengganti
kertas
Kembali ke perihal penempatan, tajuk lokakarya Menyemai Sepi, Menunda Seni telah
dirancang sedemikian rupa agar bertepatan dengan lingkungan panti. Cak Udin selaku salah
satu pelopor acara mengaku bahwa berkesenian tidak bisa lepas dari jiwa yang luhur. Lantas
jiwa yang luhur menurutnya tentunya harus ditempa melalui kehadiran sepi, sebagai suatu yang
mematangkan perkembangan jiwa. Di sini lah lingkungan panti asuhan memiliki benang merah
dengan perkara berkesenian, di mana anak-anak sejak dini dididik dan bahkan mendidik diri
sendiri untuk menjadi mandiri untuk berani memeluk sepi dan menaklukannya. Bisa

dikatakan bahwa kondisi psikis anak-anak panti sebagai peserta sertamerta adalah hak istimewa
untuk berkesinian.
Tajuk dengan diksi sepi yang berkonotasi muram ternyata tidak muram dalam proses
berlangsungnya lokakarya. Peserta yang dibagi menjadi grup-grup kecil berisi 6 orang dengan
kakak pembinbing sibuk tenggelam dalam proses berkarya dalam ruang aula panti. Namun
begitu menarik melihat bagaimana dalam keseriusan berkarya, suasana masih sangat ramai
dengan adanya teriakan dan senda gurau anak-anak yang kedua tangannya sudah dihiasi coreng
moreng tinta cetak warna-warni. Semua seakan berkata bahwa memang benar bahwa anakanak ini adalah yang berani memeluk sepi karena sungguh sepi sendiri tidak harus menjadi hal
yang buruk.
Biasanya pengunjung hanya mengadakan acara ulang tahun, tidak pernah belajar
bersama seperti ini. Asyik juga bisa ngobrol dengan banyak kakak-kakak, aku Theresia yang
berusia 8 tahun sembari tertawa malu. Antusiasmenya begitu kentara sembari ia melakukan
proses tindes sampai tiga kali. Bahkan Beya, salah satu anak yang berusia 5 tahun sampai sibuk
berlarian kesana dan kemari sambil melakukan proses tindes lima kali berturut-turut dengan
gambar yang berbeda pula.
Selebihnya, sebagaimana apa yang sudah terjadi akan mempunyai dampaknya
tersendiri, maka lokakarya Tindes Art ini akan menjadi suatu yang berpengaruh kepada anakanak panti asuhan Santa Maria.
Cukupkah untuk menyebut Tindes Art maupun Zine sebagai seni? Rasanya itu bukan
soal utama yang perlu dibahas. Keduanya seni atau bukan, tidaklah menjadi soal. Apa yang
penting untuk dibahas kemudian adalah status keduanya, baik Tindes Art maupun Zine, sebagai
bentuk komunikasi, dimana melaluinya ide-ide disalurkan dan harapannya bisa diresapi oleh
lebih banyak orang dari berbagai macam kalangan.

Anda mungkin juga menyukai