Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paham kebangsaan secara fundamental diawali perintisan Boedi Oetomo
(1908), gerakan-gerakan pemuda seperti Jong Java dan sebagainya (1920),
Pemuda Indonesia (1925) kemudian disusul Sumpah Pemuda (1928).Sudah
semenjak lahirnya paham kebangsaan bukanlah cetusan tekad para pejuang
bangsa, melainkan strategi yang kelak menjadi ideologi perjuangan untuk
merdeka.
Pancasila dapat diperuntukkan kepada negara, masyarakat dan pribadi
bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain pancasila itu sebagai norma hukum
dasar negara Republik Indonesia, sebagai social ethics bangsa Indonesia dan
sebagai pegangan moral rakyat atau negara Republik Indonesia.Lahirnya
pancasila itu dalam penamaan pidato Ir. Soekarno selaku anggota Dokuritzu
zunbi Tyoosakai atau badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan Indonesia
yang di tetapkan oleh sidangnya yang pertama pada tanggal 28 s/d 1 juni 1945 di
Jakarta. Yang di ucapkannya dalam Sidang,dipimpin oleh ketuanya Dr. K. R. T
Radjiman Wedyodiningrat.
Dikenal didalam pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 juni 1945 di Jakarta.
Pancasila sebagai dasar negara asal mulanya itu dari pengambilan pancasila,
panca=lima dan sila=asas atau dasar, dan didirikannya negara Indonesia.
Presiden Soekarno menganggap bahwa pancasila sebagai dasar negara dari
Negara Republik Indonesia, ditegaskan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945, dan kemudian disusun oleh kemerdekaan Bangsa
Indonesia itu dalam Undang-Undang Republik Indonesia untuk mengatur
pemerintahan negara dengan yang lain.
Bersumbernya dari segala hukum dan sumber tertib hukum yang secara
konstitusional mengatur negara publik Indonesia, asas kerohanian, kebatinan, dan
cita-cita hukum.
Dari pemaparan diatasdapat di ketahui bagaimana arti pancasila itu secara
umum, dan anggapan pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar Republic Indonesia 1945 menurut Presiden Soekarno.


Sehingga untuk lebih jelasnya tentang pancasila sebagai dasar negara akan
dibahas dalam bab selanjutnya.
1.1.Rumusan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
a.

Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara?

b.

Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia?

1.2. Tujuan Penulisan


Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan,
yaitu:
a.

Penulis ingin mengetahui Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara


Pada hakikatnya, Pancasila mempunyai dua fungsi yaitu sebagai
pandangan hidup dan sebagai dasar negara oleh sebab itu penulis ingin
menjabarkan keduanya.

b.

Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara

BAB II
PEMBAHASAN
Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara
(Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno diminta
ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945,
menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai
dengan

permintaan

ketua.

Menurut

Soekarno,

pembicaraan-pembicaraan

terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno


menyatakan :
Pada

bagian

pidato

berikutnya,

Soekarno

menyatakan,

bahwa

Philosofische Groundslag diatas mana kita mendirikan negara Indonesia, tidak


lain adalah Waltanschauung. Bahkan Soekarno lebih menegaskan lagi
Waltanschauung yang kita harapkan tidak lain adalah persatuan philosofische
graoundslag. Untuk itu Soekarno menegaskan sebagai berikut :
Apakah itu ? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya : apakah kita
hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan ? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saya Indonesia
Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi pada satu golongan
bangsawan ? Apakah maksud kita begitu ? Sudah tentu ! Baik saudara saudara
yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang
dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang
demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendidikan suatu negara semua
buat semua Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan
bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semau buat semua. Inilah salah
satu dasar pikiran yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di
salam saya punya jiwa, bukan saja didalam beberapa hari didalam sidang
Dokuritsu zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1981, 25 tahun lebih,

ialah : dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar
kebangsaan. (sekretariat negara, 1995 : 71)
Paparan berikut Soekarno menyatakan filosofische principe yang kedua
adalah internasionalisme. Pada saat menegaskan pengertian internasionalisme,
Soekarno menyatakan bahwa internasionalisme bukanlah berarti kosmopolitisme,
yang menolak adanya kebangsaan, bahkan beliau menegaskan :
Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup
dalam taman sarinya internasionalisme. Seraya mengutip ucapan Gandhi, beliau
menegaskan my nasionalisme is humanity. Pada saat menjelaskan prinsip dasar
ketiga, Soekarno menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara Semua buat
semua, satu buat semua, semua buat satu, oleh karenanya saya yakin bahwa
syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan
perwakilan. Demikian berikutnya untuk prinsip dasar yang keempat Soekarno
mengusulkan prinsip kesejahteraan ialah prinsip tidak akan ada kemiskinan
didalam Indonesia merdeka. Prinsip dasar kelima adalah prinsip Indonesia
merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan itu,
Soekarno menjelaskan :
Prinsip-prinsip filsafati Pancasila sejak awal kelahirannya diusulkan
sebagai dasar negara (philosofische grondslag, Weltanschauung) Republik
Indonesia, yang kemudian diberi status (kedudukan) yang tegas dan jelas dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
2.1. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Generasi Soekarno-Hatta telah mampu menunjukkan keluasan dan
kedalaman wawasannya, dan dengan ketajaman intelektualnya telah berhasil
merumuskan

gagasan-gagasan

vital

sebagaimana

dicantumkan

didalam

pembukaan UUD 1945, dimana Pancasila sebagai dasar negara ditegaskan dalam
satu kesatuan integral dan integratif. Oleh karena itu para tokoh menyatakan
bahwa

Pembukaan

Undang-Undang

1945

merupakan

sebuah

dokumen

kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah kontemporer setelah American

Declaration of Independent 1976. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 nyaris


sempurna, dengan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, oleh karenanya
Pancasila merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa
Indonesia.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah
bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan
Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu : (1) tahap 1945-1968
sebagai tahap politis, (2) tahap 1969-1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi,
dan (3) tahap 1995-2020 sebagai tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini
memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan
penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu : (1) 1945-1949 masa
Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ; (2) 1949-1950 masa konstitusi RIS ;
(3) 1950-1959 masa UUDS 1950 ; (4) 1959-1965 masa orde lama ; (5) 1966-1998
masa orde baru dan (6) 1998-sekarang masa reformasi. Hal ini patut dipahami,
karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus
diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan
pada dimensi-dimensi yang melekat padanya yaitu :
Realitasnya

bahwa

nilai-nilai

yang

terkandung

didalamnya

dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang


dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan
sollen im sein
Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah
sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk
membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari
depan secara prospektif menuju hari esok yang lebih baik.
Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan
terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus
menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya

Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang


penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
Reposisi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan
dan pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan
arah untuk mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas Pancasila harus disertai
penegakkan (supremasi) hukum.
2.2. Peranan Pancasila Di Era Reformasi
2.2.1.

Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan


Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa
setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh silasila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik
dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya
tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

2.2.2.

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang sosial politik


Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik
mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia
merdeka di implementasikan sbb :

a.

Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,


agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

b.

Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan


keputusan ;

c.

Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan


konsep mempertahankan kesatuan ;

d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan


kemanusiaan yang adil dan beradab ;
e. Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan
toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.
2.3. Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari melalui
pembentukan BPUPKI dan PPKI. Generasi Soekarno-Hatta menunjukan
ketajaman intelektual dengan merumuskan gagasan vital seperti yang tercantum di
Pembukaan UUD 1045 dimana Pancasila ditegaskan sebagai kesatuan integral dan
integratif. Prof. Notonagoro sampai menyatakan Pembukaan UUD 1945 adalah
dokomen kemanusiaan terbesar setelah American Declaratiom of Independence
(1776).
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah nilai-nilai luhur yang universal sehingga
Pancasila di dalamnya merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan
bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi Pancasila sebagai dasar negara merupakan
jawaban kepribadian bangsa sehingga dalam kualitas awalnya Pancasila
merupakan dasar negara, tetapi dalam perkembngannya menjadi ideologi dari
berbagai kegiatan yang berimplikasi positif atau negatif. Pancasila bertolak
belakang dengan kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak
realitas keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai
tahap semenjak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu :
1.

Tahun 1945-1948 merupakan tahap politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada


nation and character building. Semangat perstuan dikobarkan demi keselamatan
NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman dalam negeri dan luar negeri. Di
dalam tahap dengan atmosfer politis dominan, perlu upaya memugar Pancasila
sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati. Pancasila mampu dijadikan pangkal
sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang dalam karyakaryanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik dan aksiologiknya sebagai
raison detre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950)

Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun tecantum pada Tap
MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan kesatuan nasional
sebagai suatu state building.
2.

Tahun 1969-1994 merupakan tahap pembangunan ekonomi sebagai upaya


mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I).
Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi cenderung ekonomi menjadi
ideologi
Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak sekedar bahaya
latent sisa G 30S/PKI, tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan ketidak merataan
pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial
yang mengancam pada disintegrasi bangsa. Distorsi di berbagai bidang kehidupan
perlu diantisipasi dengan tepat tanpa perlu mengorbankan persatuan dan kesatuan
nasional. Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana
pelakasanaan Pancasila secara murni dan konsekuen harus ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi negara ibu yaitu
Uni Sovyet dan ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia beserta hak-hak
asasinya sehingga perlahan komunisme membunuh dirinya sendiri. Negara-negara
satelit mulai memisahkan diri untuk mencoba paham demokrasi yang baru.
Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat semakin meluas seolah
menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak
hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.

3. Tahun 1995-2020 merupakan tahap repostioning Pancasila. Dunia kini sedang


dihadapkan pada gelombang perubahan yang cepat sebagai implikasi arus
globalisasi.
Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah berlangsung jauh
sebelum abad ke-20 sekarang, yaitu secara bertahap, berawal embrionial di abad
15 ditandai dengan munculnya negara-negara kebangsaan, munculnya gagasan
kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan aufklarung.
Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif menunjukkan suatu
proses dalam kesadran manusia yang melihat dirinya sebagai partisipan dalam

masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkana kenyataan obyektif


globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu, menciutnya
dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks. Menghadapi arus
globalisasi yang semakin pesat, keurgensian Pancasila sebagai dasar negara
semakin dibutuhkan. Pancasila dengan sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir
baru kita jadikan pengawal dan pemandu kita dalam menghadapi situasi yang
serba tidak pasti. Pancasila mengandung komitmen-komitmen transeden yang
memiliki mitosnya tersendiri yaitu semua yang mitis kharismatis dan
irasional yang akan tertangkap arti bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir
secara teknis-positivistik dan pragmatis semata.
2.4. Makna Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia
Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk sejak pergerakan nasional kini telah
tersapu oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama mengembangkan
Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai sesuatu substantif, melainkan diinstumentalisasi-kan sebagai alat politik semata. Demikian pula di Orde Baru
yang berideologikan ekonomi, Pancasila dijadikan asas tunggal yang
dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan mengatasnamakan sebagai
Mandatoris MPR. Kini terjadi krisis politik dan ekonomi karena pembangunan
menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga timbul sebagai implikasi
adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan orientasi nilai dan arena
kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam kemiskinan budaya dan
kekeringan piritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi suatu satire, ejekan dan
sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai luhurnya menjadi suatu kesatuan
integral-integratif dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jika itu diletakkan
kembali,

maka

kita

akan

menemukan

landasan

berpijak

yang

sama,

menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini sedang mengalami


disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mengandung makna
bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan, di-eksplorasi-kan
dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :

Realitasnya: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya


dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan kondisi obyektif yang tumbuh dan
berkembang dlam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im
sollen dan sollen im sein. Idealitasnya: dalam arti bahwa idealisme yang
terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan
diobjektivasikan sebagai kata kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme
para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari
esok lebih baik. Fleksibilitasnya: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi
yang sudah selesai dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan
terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang
berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya, Pancasila
menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi
kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat Bhinneka tunggal Ika
Revitalisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada
pembinaan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan
arah dalam upaya mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan
hukum karena keduanya terdapat korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh
hukum kondusif akan terjadi penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum
disusun tanpa alasan moral akan melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila.
2.5. Arti Pentingnya Peran Pendidikan Tinggi
Dalam upaya merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara maka
disiapkan tenaga dosen yang mampu mengembangkan MKU Pancasila untuk
mempersiapkan lahirnya generasi sadar dan terdidik. Sadar dalam arti generasi
yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti generasi yang
mempunyai

kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan


demikian akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar dalam
mengembangkan Pancasila.

Hanya dengan pendidikan bertahap dan berkelanjutan, generasi sadar dan


terdidik akan dibentuk, yaitu yang mengarah pada dua aspek. Pertama, pendidikan
untuk memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman akademis, ketrampilan
profesional, dan kedalaman intelektual, kepatuhan kepada nilai-nilai (it is matter
of having). Kedua, pendidikan untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana yang
selalu komitmen dengan kepentingan bangsa (it is matter of being). Bangsa
Indonesia dihadapkan pada perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya
lama. Sekuat-kuatnya tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu
mendambakan kemajuan. Setiap bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu
pihak daya progresi di lain pihak. Kita membutuhkan telaah-telaah yang
kontekstual, inspiratif dan evaluatif. Perevitalisasikan Pancasila sebagai dasar
negara dalam format MKU, kita berpedoman pada wawasan :
1.

Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan arah
pengembangan profesi

2.

Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak


sekedar aspek having

3.

Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme

4.

Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya


perkembangan dalam mayaraka dunia yang terbuka.

Hubungan Pancasila dengan pasal-pasal dalam UUD 1945


Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi
bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur
kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum
yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana
kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila.
Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih
lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-

undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya. Jadi selain tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Pancasila merupakan sebuah ideologi dan
harapan/cita-cita bangsa. Nilai-nilai Pancasila terkandung didalam UUD 1945 dan
dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Berikut akan di jelaskan hubungan
Pancasila dengan pasal-pasal UUD 1945.

1. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa


Sila pertama dijabarkan dalam UUD
a. Pasal 29
(1) Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Penjelasan : dalam sila pertama dapat diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang beragama, mayoritas agama di Indonesia adalah Islam, namun warga
negara Indonesia bebas untuk memilih agamanya masing-masing dan beribadah
menurut ajaran agamanya karena dalam ayat yang kedua disebutkan negara
menjamin kemerdekaan....
b. Pasal 28E (amandemen)
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih

pendidikan

dan

pengajaran,

memilih

pekerjaan,

memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya,


serta berhak kembali.
Penjelasan : sama seperti di dalam pasal 29, pasal ini menuliskan bahwa setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal ini
merupakan pasal tentang Hak Asasi Manusia pada bab XA. Intinya adalah di
Indonesia, kebebasan dalam beragama seharusnya terjamin tanpa paksaan karena
menyangkut HAM. Jika terdapat pemaksaan maka itu sudah melanggar HAM.

2. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab


Sila kedua Pancasila dijabarkan dalam :
a. Pasal 27
(1) Segala Warganegara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan
Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Penjelasan : warga negara Indonesia apapun statusnya, seharusnya sama
dihadapan hukum dan pemerintahan. Baik orang biasa atau pejabat negara jika
melakukan kesalahan dan diadili, hukumannya harus setimpal. Tidak dibedabedakan dan harus adil. Dan semua warga negara, harus mematuhi hukum yang
berlaku di Indonesia tanpa terkecuali. Warga negara juga berhak untuk
mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak.
b. Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
Penjelasan : warga negara Indonesia memiliki hak untuk mengeluarkan
pendapatnya baik secara langsung atau tidak langsung. Warga negara Indonesia
bebas untuk berkumpul atau bermusyawarah dan semuanya itu sudah di tetapkan
dalam Undang-undang.
Pada bab XA tentang Hak Asasi Manusia dari pasal 28A sampai pasal 28J
(amandemen):
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih

pendidikan

dan

pengajaran,

memilih

pekerjaan,

memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya,


serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.

Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabai.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggun jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokaratis.
Penjelasan : penjabaran kemanusiaan yang adil dan beradab terlihat jelas pada
pasal-pasal diatas. Setiap orang berhak untuk hidup dan menjalankan kehidupan
yang dimilikinya. Setiap orang berhark untuk berkeluarga, setiap anak berhak
untuk berkembang, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan,
mendapat pendidikan, tidak mendapat siksaan dan banyak lagi. Semua orang
berhak mendapatkan semuanya itu agar terwujud adil dan beradab kemanusiaan di
Indonesia.

3. Sila ketiga Persatuan Indonesia

Sila ketiga dijabarkan dalam :

a. Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Penjelasan : Dari pasal diatas jelas bahwa Indonesia adalah negara kesatuan
berbentuk Republik, negara demokrasi dan negara hukum.

b. Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan

menjamin

kebebasan

masyarakat

dalam

memelihara

dalam

mengembangkan nilai-nilai budayanya.


(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
Penjelasan : negara memajukan budaya nasional, negara juga memelihara
kekayaan budaya, walaupun beragam, namun tetap satu negara.

c. Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Penjelasan : bendera Indonesia hanya satu, yaitu merah putih, disemua daerah di
Indonesia semua bendera negara sama yaitu merah-putih, jika bukan, maka itu
bukan bendera negara Indonesia.

d. Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Penjelasan : bahasa daerah di Indonesia ada banyak, sehingga untuk
berkomunikasi dengan orang dari daerah lain cukup sulit, untuk itu bahasa
Indonesia adalah bahasa pemersatu, yang mempersatukan semua rakyat di
Indonesia.

4. Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan.
Berhubungan dengan pasal pasal :

a. Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
(3 )Negara Indonesia adalah negara hukum.
Penjelasan : kedaulatan berada ditangan rakyat dan segala bentuk musyawarah
rakyat dipimpin oleh MPR.

b. Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima
tahun di ibu kota negara.

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara


yang terbanyak.
Pejelasan : MPR, DPR dan DPD anggota-anggotanya dipilih lewat pemilu dan di
atur dengan Undang-undang, segala keputusan MPR ditetapkan melalui suara
terbanyak.

c. Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Penjelasan : segala peraturan yang ada di pasal 3 harus dilaksanakan oleh MPR.

d. Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara
tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan.
Penjelasan : segala jenis perubahan Undang-undang harus berdasarkan peraturan
pada pasal diatas.

5. Sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Sila kelima berhubungan dengan pasal-pasal :

a. Pasal 23
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat.
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Penjelasan : dalam mengatur anggaran pendapatan dan belanja negara pemerintah
harus memperhatikan kemakmuran rakyat dan rakyat berhak tahu mengenai
anggarannya.

b. Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan


nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Penjelasan : hak untuk mendapatkan pendidikan termasuk ke dalam keadilan
sosial, pemerintah mengusahakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan berpegang pada nilai-nilai agama dan persatuan negara untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia.

c. Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Penjelasan : anak terlantar dan fakir miskin juga harus terjamin kehidupannya, negara
membuat sistem jaminan sosial seperti jaminan kesehatan untuk yang tidak
mampu

Hubungan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila dan pasal-pasal UUD


1945
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain
sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan
kepribadian bangsa. Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila
secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara
filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai
tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun,
sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus
pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi
dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari Barat,
namun causa materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan
kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang pada
awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara
Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem
etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan
berbangsa dan bernegara.
Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Berdasarkan ajaran Stuffen theory
dari Hans Kelsen, menurut Abdullah (1984: 71), hubungan Pancasila dengan
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar yang berbentuk piramidal di atas menunjukkan Pancasila sebagai suatu


cita-cita hukum yang berada di puncak segi tiga. Pancasila menjiwai seluruh
bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gambar piramidal tersebut
mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah cerminan dari jiwa dan cita-cita
hukum bangsa Indonesia.Pancasila sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita
hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan
bernegara dan yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai
cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis di Indonesia. Cita
hukum inilah yang mengarahkan hukum pada cita-cita bersama bangsa Indonesia.
Cita-cita

ini

secara

langsung

merupakan

cerminan

kesamaan-kesamaan

kepentingan di antara sesama warga bangsa.Dalam pengertian yang bersifat


yuridis kenegaraan, Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara tercantum
dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas
menyatakan, ...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia,
dan

Kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial


bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD


NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada
hakikatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
(Jo. Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis,
yaitu bahwa seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
(Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan
pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila.
Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh
menyimpang dari jiwa Pancasila. Berdasarkan penjelasan di atas, hubungan
Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami sebagai
hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal, seperti
dijelaskan oleh Kaelan (2000: 90-91), menunjuk pada tercantumnya Pancasila
secara formal di dalam Pembukaan yang mengandung pengertian bahwa tata
kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik,
akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya,
yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsurunsurnya terdapat dalam Pancasila.
Dalam hubungan yang

bersifat formal antara Pancasila dengan

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat ditegaskan bahwa rumusan Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Menurut Kaelan (2000: 91),
Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok Kaidah Negara yang
Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam
kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan itulah yang
memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2)
memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib

hukum

tertinggi. Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi batang


tubuh UUD NRI tahun 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum
Pembukaan berbeda dengan pasal-pasal atau batang tubuh UUD NRI tahun 1945,
yaitu bahwa selain sebagai Mukadimah, Pembukaan UUD NRI tahun 1945

mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri. Akibat hukum dari kedudukan


Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar
hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada
kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.Lebih lanjut, Kaelan (2000: 9192) menyatakan bahwa Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan
kedudukan formal yuridis dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Oleh karena
itu, rumusan dan yuridiksi Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana
terdapat dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Perumusan Pancasila yang
menyimpang dari Pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara tidak sah
atas Pembukaan UUD NRI tahun 1945.
Adapun hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945
secara material adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang
tidak lain adalah Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD
NRI tahun 1945 yang demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945
dapat disebut sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, sebagaimana
dinyatakan oleh Notonagoro (tt.: 40), esensi atau inti sari Pokok Kaidah Negara
yang Fundamental secara material tidak lain adalah Pancasila.
Menurut pandangan Kaelan (2000: 92), bilamana proses perumusan
Pancasila dan Pembukaan ditinjau kembali maka secara kronologis materi yang
dibahas oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila,baru
kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama selesai, BPUPKI membicarakan
Dasar Filsafat Negara Pancasila dan berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang
disusun oleh Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama Pembukaan UUD
NRI tahun 1945.
Dalam tertib hukum Indonesia diadakan pembagian yang hirarkis.
Undang-Undang Dasar bukanlah peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya
masih ada dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yaitu Pembukaan sebagai
Pokok Kaidah Negara yang Fundamental yang di dalamnya termuat materi
Pancasila. Walaupun Undang-Undang Dasar itu merupakan hukum dasar Negara
Indonesia yang tertulis atau konstitusi, namun kedudukannya bukanlah sebagai
landasan hukum yang terpokok.

Menurut teori dan keadaan, sebagaimana ditunjukkan oleh Bakry (2010:


222), Pokok Kaidah Negara yang Fundamental dapat tertulis dan juga tidak
tertulis. Pokok Kaidah yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai hukum
positif, dengan kekuasaan yang ada dapat diubah walaupun sebenarnya tidak sah.
Walaupun demikian, Pokok Kaidah yang tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu
memiliki formulasi yang tegas dan sebagai hukum positif mempunyai sifat
imperatif yang dapat dipaksakan.
Pokok Kaidah yang tertulis bagi negara Indonesia pada saat ini diharapkan
tetap berupa Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Pembukaan UUD NRI tahun
1945 tidak dapat diubah karena menurut Bakry (2010: 222), fakta sejarah yang
terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD NRI tahun 1945
dapat juga tidak digunakan sebagai Pokok Kaidah tertulis yang dapat diubah oleh
kekuasaan yang ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang pernah terjadi
saat berlakunya Mukadimah Konstitusi RIS 1949 dan Mukadimah UUDS 1950.
Sementara itu, Pokok Kaidah yang tidak tertulis memiliki kelemahan,
yaitu karena tidak tertulis

maka formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas

sehingga mudah tidak diketahui atau tidak diingat. Walaupun demikian, Pokok
Kaidah yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu tidak dapat diubah dan
dihilangkan oleh kekuasaan karena bersifat imperatif moral dan terdapat dalam
jiwa bangsa Indonesia (Bakry, 2010: 223).
Pokok Kaidah yang tidak tertulis mencakup hukum Tuhan, hukum kodrat,
dan hukum etis. Pokok Kaidah yang tidak tertulis adalah fundamen moral negara,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang dilanda
oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari berbagai
macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitasnya. Namun perlu
kita sadari bahwa tanpa adanya platform dalam dasar negara atau ideologi maka
suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan
dan ancaman.
Melalui revitalisasi inilah Pancasila dikembangkan dalam semangat
demokrasi yang secara konsensual akan dapat mengembangkan nilai praksisnya
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang serba pluralistik. Selain itu
melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana
telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu kita semenjak tahun 1908,
merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan kepada para
mahasiswa sekarang.
3.2. Saran
Berdasarkan uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila
merupakan falsafah negara kita Republik Indonesia, maka kita harus menjungjung
tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan
penuh rasa tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA
Astrid S. Susanto Sunario, 1999, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad ke Dua
puluh Satu, Jakarta: Ditjen Dikti.
Depdikbud. Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta:
BPFE.
Suwarno, P.J., 1993,Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius
Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M.S Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Anda mungkin juga menyukai