T1 - 312007091 - Bab Iii
T1 - 312007091 - Bab Iii
A. HASIL PENELITIAN
1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI
Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
j.
Blog: Tri Widodo H Utomo, Hukum Pertanahan Di Yogyakarta Sebelum dan Sesudah 1984, Senin 3
Mei 2010.
61
62
1. Hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan
setempat (beschikkingsrecht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Peningkatan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel
gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk
individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki
tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempunyai tanda hak
milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun
berturut-turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan
bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal
(Pasal 4).
3. Dengan pengesahan Pemerintah Pemerintah kabupaten, kalurahan
berwenang mengadakan peraturan tentang pembatasan luas tanah yang
dapat dimiliki seseorang atau peraturan tentang peralihan hak yang
bersifat sementara (Pasal 5). Sedang Pasal 6 menyatakan bahwa kalurahan
sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah yang disebut tanah
desa. Tanah desa ini dipergunakan sebagai tanah lungguh, tanah pension,
untuk kepentingan umum serta untuk kas desa sendiri.
4. Perihal peralihan hak atas tanah maka (Pasal 8) tidak diperkenankan dan
menurut hukum tidak sah (van rechtswegenietig), perbuatan-perbuatan:
-
Peralihan hak atas tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) langsung atau tidak
langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia.
d. Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah sebagai diatur
dalam Perda No. 5 Tahun 1984, dikeluarkanlah Perda No. 12 Tahun 1954.
Pasal 1 mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun
63
temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan
Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang
ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY.
Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut
biaya oelh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5- dan sebanyak-banyaknya Rp.
75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (Pasal 2), dan sebelum tanda hak
milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik
sementara menurut model E (Pasal 6).
e. Keputusan
Gubernur
Kepala
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
No.
64
65
j.
67
68
Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan
(HGB) atas tanah saja.
Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan
non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) yang lebih tinggi dari pada golongan
pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan
rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi
bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah
dengan hak milik oleh golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa)
diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan "petani-petani berdasi", sedang rakyat
kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil. 2
Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas
tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi
hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik
warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik
untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia.
Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan
Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara
sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris / PPAT, Dosen
Pengajar Hukum Agraria.
Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami
kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan
2
Ibid.
69
penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan
terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga
menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut
berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI
keturunan Tionghoa di DIY tersebut.
70
takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI
keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh
pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM
oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB
saja.
Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM
atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY.
Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan kekancingan, yang
policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton.
Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali,
diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul,
Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta.
Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena
kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan
berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut.
Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak
berlaku.
Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di
DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara
keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi
tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil.
Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN
acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur
DIY PA VIII No. 898/A/1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi
belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada.
BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan
aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya.
71
Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli
(pribumi) tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat
memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli
tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI
keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan
hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi
HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli (pribumi) asli (atau
dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli (pribumi)).
BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena
jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika
aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan
yang ada.
Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan
baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada
yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang
yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang
tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas
tanah yang dari HGB menjadi HM.
Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya.
Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya
harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada
perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu
harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait
dengan permohonan yang diajukan.
Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli (pribumi)
dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya
masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya.
Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap
72
saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut
masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak
dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa.
Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau
kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut.
2. Bpk Raminudin. 4
Beliau adalah asisten Notaris / PPAT yang bekerja di Kantor Notaris / PPAT
Retno Merdeka Wati, SH, MM. , Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak
boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala
Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No.
898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang
WNI non Pribumi, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan
Daerah hanyalah instruksi.
Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota
Yogyakarta.
Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah
dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat
kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang
boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga
keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah
dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan
dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM.
WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM,
tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan
4
73
75
dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah
dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB.
Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat
Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat
atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI
keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan
dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan
tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka
status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB.
Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI
keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah
tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI
keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI
pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang
membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi
yang membuat surat keterangan warisnya Lurah / Camat.
Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif
bukan bersifat objektif.
Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki
tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di
DIY hanya akan diberikan Hak Pakai (HP) atas tanah saja, tidak dapat dengan hak
atas tanah yang lain.
Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki
tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran
Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi
WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi.
Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM,
beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar
tanggung jawab Notaris / PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas
76
tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya
tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi
atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN.
Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas
tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses (tidak
diperbolehkan). Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual
malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya
tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI
keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang
didapatkan hanya status HGB saja.
Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas
jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka
waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka
waktunya bisa 30 (tiga puluh) tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau
permohonan hak itu 20 (dua puluh) tahun dan jika jangka waktunya habis bisa
diperpanjang lagi.
3. Bpk Nanang Bagus.5
Beliau adalah asisten Notaris / PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang
berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta.
Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi
WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang
aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun 1975.
WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY
harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli (pribumi), atau
dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang
berkewarganegaraan Indonesia asli (pribumi).
5
77
Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di
DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak
atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja.
Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi
WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten
Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan
Kota Yogyakarta.
Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY,
karena Notaris / PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar
WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar
WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan
meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang
berkewarganegaraan WNI asli (pribumi), tetapi yang membeli tanah tersebut tetap
WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau
meminjam nama dari WNI asli (pribumi) haruslah WNI asli DIY atau yang telah
memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli (pribumi) dari
propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli (pribumi).
Jikapun Notaris / PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI
keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah
dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut.
Karena jika Notaris / PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa
dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik
notaris / PPAT.
4. Ibu Endah Cahyowati6
Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di
Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta.
78
yaitu
Undang-Undang
No.
3 Tahun 1950
kemudian
Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat (1) itu menyatakan yang intinya bahwa DIY
diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang /
hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan.
Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja / Keraton disebut tanah
Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Paku Alaman (Paku Alaman Ground). Hal
tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 (dua) Kasultanan dan paku Alaman, pasti
rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman.
Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY (4 Kabupaten
dan 1 Kota) itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku
Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan
hukum tanah barat.
Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum)
berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada
ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui
ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas
waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan
tanah-tanah Keraton / Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum
tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA.
Dengan adanya Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal :
Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi,
dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII (almarhum), di mana intinya
berupa aturan bahwa untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status
HM atas tanah di DIY.
Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya
UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA.
Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih
juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di
DIY.
80
81
dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak
menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan
pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah
swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat
seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY.
Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan
sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah.
Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat
yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA.
Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari
sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada
perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja.
Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI
keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang
biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan
aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di
seluruh wilayah DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota).
Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa
dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama (balik nama) ke
kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi). Akan tetapi
menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama (balik nama) ke kerabat atau orang
yang berwarga negara indonesia asli (pribumi) tersebut tidak menjamin kepastian
hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris / PPAT, karena hal
pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh
hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat
baik atau buruk.
Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan
HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus
84
melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut
memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif.
Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah
terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas
dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan
WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam
materi (kekayaan), karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan
Tionghoa. Oleh karena itu Sultan (Raja) lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat
pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial.
Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul
dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru (UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia), tetap saja larangan pemilikan HM
atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih
diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara
WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama
telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.
Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait
dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di
DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.
Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan
pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan
bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris / PPAT. Bahwa
menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan
Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris / PPAT yang
banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY.
Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan
Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT tidak akan berani
menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY,
85
jika ketahuan ijin praktek Notaris / PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar
kode etik.
86
dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), yang sebenarnya adalah WNI
keturunan Tionghoa.
Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang
bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso,
Notaris / PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki
oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan
statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas
sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip
dengan WNI asli (pribumi). Notaris / PPAT menawarkan akan membantu dan dengan
diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi
Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris / PPAT pada saat pengurusan hak
atas tanah tersebut ke BPN.
Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika
masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak
dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan
menjadi HGB.
2. Bpk Bambang Riyanto8
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan
berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman.
Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI
keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY (kepala
daerah), yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX.
Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada
yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB.
Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli
tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah
8
87
pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan
turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan
dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa,
sedangkan jika WNI asli (Pribumi) yang membeli tanah perumahan tersebut status
tanahnya tersebut tetap dengan HM.
Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena
dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dan dengan membayar (memberikan)
uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB.
Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status
HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut
oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa
memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya
bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa
memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau
BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status
HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.
Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN
diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB
yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama.
Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI
keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang
berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah,
berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut
setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas
tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya
permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut.
Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB
menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang
berstatus HM.
88
Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika
dibeli oleh WNI asli (pribumi) status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM
kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status
tanahnya tersebut tetap berstatus HGB.
WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran
hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan
larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli
dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika
WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status
tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status
HM.
Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun
pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah
yang lainnya.
3. Bpk Oey Meng Hoi9
Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan
berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY.
Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia
(SKBRI), meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan
nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi
menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.
Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi
pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status
kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI
9
89
keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat
diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli (pribumi) yang jika membeli
rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM.
Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan /
kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang
belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI
keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat
diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM.
Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin
membeli tanah / rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama (pinjam
nama) dari WNI asli (pribumi).
4. Ibu Imelda10
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak
tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan
Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY.
Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di
Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli (pribumi), dengan status
HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris /
PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB.
Menurut keterangan dari Notaris / PPAT bahwa bagi WNI keturunan
Tionghoa yang ingin membeli / memiliki tanah dengan status HM tidak
diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja.
Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat
Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak
atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.
10
90
Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI
keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya
11
91
diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut
merupakan kebijakan dari Sultan (Raja).
Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat
memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris
/ PPAT dengan memberikan uang tambahan.
Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto
adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah
menggunakan nama indonesia dalam identitasnya (tidak menggunakan nama
Tionghoa), karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu
pengurusannya oleh Notaris / PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di
DIY tetap tidak bisa.
Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee
mengakui membeli tanah HM WNI asli (pribumi) tetapi pada saat pengurusan jual
beli di Notaris / PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM
berubah (diturunkan) menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris /
PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di
DIY.
Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda
adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli (pribumi) yang awalnya
berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau
mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM
dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM
karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa.
Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat
perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi
Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya
yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya
dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan
perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi). Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang
92
sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah
dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain
itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa.
B. ANALISIS.
Menarik
untuk
dicermati,
bahwa
masih
diberlakukannya
larangan
kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY yang hal
tersebut bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional Indonesia,
menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA termasuk HM
atas tanah adalah hak bagi warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh pemerintah
maupun individu, karena setiap hak atas tanah tersebut bertujuan untuk
mensehjahterakan warga negara indonesia. Oleh karenanya hal ini harus dilindungi
oleh Negara, yang pelaksaanaanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. (2) UUPA
yang mengatur tentang hak menguasai dari Negara, yang menyatakan : atas dasar
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara ini
memberikan wewenang kepada Negara untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
93
Isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut adalah : apabila ada warga
negara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya
diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga
tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah
Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan
permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak.
Unsur pelepasan HM yang terdapat dalam Surat Edaran Gubernur DIY
tersebut berbeda dengan unsur pelepasan hak pada umumnya yang digunakan dalam
hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum,
seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pengertian dari Pelepasan Hak menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 2 Tahun
2012 ini, adalah: kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak yang Berhak
kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.
Bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang diatur dalam UU
ini dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya
dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tujuan dari Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum ini untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesehjahteraan dan kemakmuran bangsa, negara
dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Pihak
yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terkait dengan
penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Bahwa terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan
dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dalam hal ini yang berhak
melakukan penilaian Ganti Kerugian adalah Lembaga Pertanahan dengan
menetapkan penilai yang bertujuan untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan
95
Tanah. Penilaian Ganti kerugian oleh penilai tersebut dilakukan bidang per bidang
tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d)
tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang
dapat dinilai. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai tersebut merupakan nilai
pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum,
yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang kemudian digunakan untuk
menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang; (b) tanah
pengganti; (c) pemukiman kembali; (d) kepemilikan saham; atau (e) bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari hasil kesepakatan dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak
yang Berhak. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya
Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri setempat. Bila mana keberatan kepada pengadilan negeri belum tercapai
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian maka Pihak yang
Berhak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa putusan
pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Terkait dengan pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal Pihak yang Berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah
atau putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan
di pengadilan negeri setempat.
Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti
Kerugian wajib: (a) melakukan pelepasan hak; dan (b) menyerahkan bukti
penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang
memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
96
supaya menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh pemerintah daerah DIY,
dan setelah WNI keturunan tersebut melakukan pelepasan HM atas tanahnya barulah
dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru kepada Kepala Daerah DIY
selain HM atas tanah, misalnya seperti HGB atau HP. Meskipun pelepasan HM
menjadi hak atas tanah yang lain tersebut dalam Surat Edaran Gubernur dikatakan
dilakukan dengan suka rela, tetapi sesungguhnya (faktanya) pelepasan hak tersebut
dapat dikatakan memaksa karena tidak ada persetujuan atau keinginan dari
pemengang hak untuk melepaskan HM atas tanahnya tersebut. Dapat dilihat bahwa
hal ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah DIY dan tidak ada
musyawarah dari kedua belah pihak. Selain itu pemegang hak juga tidak
mendapatkan perlindungan atau bantuan hukum atas pelepasan HM tersebut.
Dampak dari masih diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut yaitu
bahwa WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli, memiliki atau memerlukan
tanah di DIY dengan status HM tidak diberikan, sedangkan hanya diberikan status
tanah dengan HGB saja. Meskipun sebenarnya menurut hukum WNI keturunan
Tionghoa tersebut telah sah sebagai warga negara indonesia (WNI).
Sebenarnya
Surat
Edaran
Gubernur
DIY
No.K.898/A/1975,
hal
Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi,
tidak tepat diberlakukan lagi di DIY. Karena pada tanggal 1 April 1984 telah
dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan
Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 3
97
99
100
101
asas persamaan hak, yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah. Kesempatan setiap warga negara yang sama
tersebut ditujukan baik bagi laki-laki atau perempuan dan/atau bagi WNI asli
(pribumi) dan WNI keturunan, yang sama-sama telah menjadi warga negara untuk
dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia.
Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi
kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk
mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA
tersebut, yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal itu memuat pula ketentuan bahwa
dalam hal ini pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita.
Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita
ataupun orang-orang laki mempunyai tanah dengan hak milik bertentangan pula
dengan ketentuan UUPA tersebut 12
Dengan pemahaman bahwa tidak boleh ada peraturan yang bertentangan
dengan peraturan UUPA ini, maka sudah seharusnya jika di DIY ada aturan yang
tertuang dalam Surat Edaran Guberur yang melarang WNI keturunan Tionghoa
memiliki tanah dengan status HM seharusnya aturan tersebut tidak dapat
diberlakukan lagi, karena jelas-jelas bertentangan dengan asas Nasionalitas yang
terdapat didalam ketentuan UUPA, yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21
ayat (1). Pasal itu memuat bahwa dalam hal pemilikan tanah hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan BARA dan dapat
mempunyai hak milik atas tanah.
Hal ini sesuai dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni suatu
asas undang-undang yang dimana jika terjadi konflik / pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah maka undangundang yang lebih tinggilah yang berlaku sedangkan undang-undang yang lebih
12
104
rendah tidak mengikat, atau dengan kata lain peraturan yang lebih tinggi
mengalahkan / mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, tentu kedudukan
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di propinsi DIY lebih tinggi daripada
Surat Edaran Gubernur No.K.898/A/1975. Selain itu pemberlakuan larangan
kepemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak dapat diberlakukan
lagi karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam UUPA, yang disini
kedudukan UUPA lebih tinggi dibandingkan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan ini juga dapat dilihat dalam
Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Propinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Lebih jauh, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011; bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
105
dimaksudkan tersebut juga menyangkut kepemilikan hak milik atas tanah yang dapat
dimiliki seseorang sebagai warga negara Indonesia.
Berkaitan dengan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, hal ini termaktub dalam bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 inipun yang menjadi dasar pembentukan dari
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Lahirnya UUPA ini adalah sebagai dasar dari pengaturan agraria nasional.
Hadirnya UUPA sebagai hukum agraria nasional ini memiliki tujuan pokok
yang ingin dicapai, diantaranya meliputi:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat keseluruhan.
Jika melihat ketentuan dalam UUPA, Jelas dari Ketentuan bunyi Pasal 9 ayat
(1) UUPA, menyatakan bahwa: hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan pasal 1 dan 2. Pernyataan dasar tersebut mendapat penerapan dalam
pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai hak yang memberikan
hubungan yang terpenuh dengan tanah.13
Selain itu, juga dipertegas dalam bunyi Pasal 21 ayat (1) UUPA, menyatakan:
hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Ketentuan ini
13
107
108
hak
milik
dan
setelah
berlakunya
undang-undang
ini
kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Ketentuan yang mengadakan perbedaan antara warga negara Indonesia dan
orang asing dalam pemilikan tanah adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam
hukum adat.15
Dasar demokrasi atau kerakyatan yang ditunjukan oleh pernyataan dalam
Pasal 9 ayat (2), bahwa: Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Demikian pula jika ditafsirkan secara ekstensif dari penjabaran Pasal 9 ayat
(2) UUPA ini, kiranya diskriminasi atas dasar atau kepentingan lain, seperti suku
bangsa, agama, asal-usul kewarganegaraan (WNI asli (pribumi) maupun WNI
Keturunan Tionghoa) tidak diperkenankan oleh UUPA. 16
Penjelasan dari Pasal 9 ayat (2) menghubungkan pernyataan tersebut dengan
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2), yang mendasari konsepsi komunalistik
Hukum Tanah Nasional. Sebagaimana telah diketahui Pasal 1 tersebut menyatakan
antara lain, bahwa semua tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah tanah
bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Maka
sebagai pihak yang turut mempunyai tanah bersama tersebut, para warga negara
Indonesia masing-masing mempunyai hak yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas sebagian dari tanah bersama itu.17
15
109
Dasar demokrasi Hukum Tanah Nasional tampak juga dari ketentuan, bahwa
dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi
dan non-pribumi dan antara warga negara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya
perbedaan diadakan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Diantara para
warga negara perbedaan diadakan antara golongan yang ekonomis lemah dan
ekonomis kuat (Pasal 11, 15, dan 26 ayat (1)).18
Jika dilihat dalam ketentuan dalam UUPA yang dipahami sebagai dasar
pengaturan agraria di Indonesia ini, bahwa sangat jelas larangan kepemilikan tanah
dengan hak milik yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang
tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang ada dalam UUPA. Karena dalam UUPA menyatakan bahwa
setiap hak-hak atas tanah yang ada di Indonesia termasuk hak milik atas tanah adalah
hak bagi setiap warga negara indonesia. Kecuali WNI keturunan Tionghoa tersebut
memiliki dua kewarganegaraan atau masih dianggap sebagai sebagai warga negara
asing (WNA), maka harus melepaskan hak milik atas tanahnya dalam jangka waktu
satu tahun karena jika hak milik tersebut tidak dilepaskan maka tanah tersebut akan
dengan sendirinya menjadi tanah negara.
Selain itu bahwa dalam UUPA juga tidak ada penyebutan / perbedaan antara
WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), mereka sama-sama dianggap
sebagai warga negara. Karena pengertian warga negara yang dianut UUPA adalah
pengertian warga negara dalam arti Tunggal, maksudnya: UUPA tidak membedakan
antara WNI asli (pribumi) ataupun WNI keturunan Tionghoa, mereka sama-sama
disebut dan dianggap sebagai warga negara indonesia. Mereka juga sama-sama
berhak mempunyai hak atas tanah di Indonesia tanpa adanya pembedaan dari pihak
manapun (baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah). Dalam UUPA yang ada
hanyalah penyebutan warga negara indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA).
18
Ibid
110
19
112
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak itu;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara
Indonesia;
g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara
asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara republik indoensia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya
tidak
mempunyai
kewarganegaraan
atau
tidak
diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari
negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Jadi setiap orang yang termasuk salah satu dari yang disebutkan di atas, orang
tersebut adalah WNI sepenuhnya. Ketentuan ini berlaku juga bagi WNI keturunan
113
114
undangan yang sudah ada, perlu dibentuknya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Dasar pemikiran pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia ini adalah sebagai berikut:20
a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;
b. Pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan,
kemauan, serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin
kelanjutan hidupnya;
c. Untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia,
diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal
tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini
lupus);
d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang
satu dibatas oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak
asasi manusia bukanlah tanpa batas;
e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun;
f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak
asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat
kewajiban dasar;
g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakan,
dan untuk itu pemerintah aparatur negara, dan pejabat publik lainnya
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.
Undang-Undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak
untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan
20
ibid
115
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas
kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesehjahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain
mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan
tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.
Terkait dengan larangan kepemilikan tanah dengan hak milik di DIY yang
hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran
Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut, jika dipersandingkan dengan UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini, jelas bertentangan dengan HAM yang
melekat dan dimiliki seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan
selain itu setiap orang atau setiap warga negara berhak bebas dari perlakuan
diskriminasi dan berhak mendapatkan persamaan hak di hadapan atau di depan
hukum (asas Equality Before The Law).
Beberapa pasal-pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999, yang memiliki
keterkaitan dalam penulisan skripsi ini yang berhubungan dengan hak asasi seseorang
sebagai warga negara yang berhak bebas dari perlakuan diskriminasi dan berhak
mendapatkan perlindungan dan persamaan hak di depan hukum, diantaranya:
Ketentuan Pasal 2 berbunyi: Negara Republik Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Dalam penjelasan pasal
2 ini, dijelaskan bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat
dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh
karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik
secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi
dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia tersebut.
116
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) berbunyi: bahwa setiap orang dilahirkan bebas
dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal
dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
semangat persaudaraan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk
juga warga negara suku Tionghoa memiliki harkat dan martabat yang sama dan
sederajat dengan orang atau warga negara yang lainnya, dan juga oleh Tuhan
dikaruniai akal dan hati nurari untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) berbunyi: setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum, jo. Pasal 3 ayat (3) berbunyi:
setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang
termasuk juga WNI keturunan Tionghoa yang sama-sama dianggap sebagai warga
negara indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan
hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum, tanpa adanya diskriminasi.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang dimaksudkan dalam UU ini disebut
dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai
Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari, karena
pengingkaran terhadap hak-hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan.
Oleh karena itu negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban
untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa
kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan
tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 21
Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara juga
mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek
21
Ketentuan Umum dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
117
sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak
asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan
menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban itu juga berlaku bagi setiap organisasi
pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara
dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan
menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa
diskriminasi. 22 Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin pula dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuh,
terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan dengan lisan dan tulisan,
kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Ketentuan Pasal 4, berbunyi: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk pula WNI keturunan
Tionghoa memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya, dan tidak boleh
dilanggar oleh siapapun termasuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1), berbunyi: Diakuinya setiap orang sebagai
manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta
perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang juga WNI keturunan Tionghoa
berhak menuntut dan mendapatkan perlindungan hak yang sama di depan hukum
tanpa adanya pembedaan atau diskriminasi.
22
ibid
118
Ketentuan Pasal 9 ayat (1), berbunyi: setiap orang berhak untuk hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Jo. Pasal 9 ayat (2), berbunyi: setiap orang
berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Pasal ini
menjelaskan bahwa setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa berhak untuk
hidup dan memiliki tempat tinggal untuk meningkatkan taraf kehidupannya agar
tercapai hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, dan sejahtera.
Ketentuan Pasal 26 ayat (1), berbunyi: Setiap orang berhak memiliki,
memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya, jo.
Pasal 26 ayat (2), berbunyi: Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan
tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut
dapat dipahami bahwa setiap orang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa berhak
bebas untuk menentukan kewarganegaraannya dan juga berhak menikmati hak-hak
yang melekat pada kewargaranegaraannya tersebut, termasuk juga berhak menikmati
hak untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia sesuai peraturan perundangundangan (UUPA) dengan tanpa adanya diskriminasi.
Ketentuan Pasal 27 ayat (1), berbunyi: Setiap warga negara Indonesia
berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam
wilayah negara Republik Indonesia. pasal ini menjelaskan bahwa orang yang telah
sah dianggap sebagai warga negara Indonesia, termasuk pula warga negara suku
Tionghoa bebas untuk menentukan tempat tinggalnya yang masih termasuk dalam
wilayah NKRI.
Ketentuan Pasal 29 ayat (1), berbunyi: setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Jo.
Pasal 29 ayat (2), berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum
sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Pasal ini menjelaskan bahwa
setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa juga berhak atas perlindungan atas
apa yang dimilikinya, dan berhak diakui oleh hukum dimana saja berada.
119
Apabila
Karena diskriminasi terhadap ras dan etnis tersebut dalam kehidupan bermasyarakat
merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,
perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara
warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.
Pada dasarnya manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian
dari ras dan etnis tertentu. Dengan adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat
menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar kelompok ras dan etnis dalam
masyarakat dan negara.
Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimesi majemuk dalam berbagai sendi
kehidupan seperti budaya, agama, ras dan etnis juga berpotensi menimbulkan konflik.
Dengan adanya ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia
dan adanya perilaku musyawarah / mufakat bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya
konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis.
Bila saja terjadi konflik yang diakibatkan karena diskriminasi ras dan etnis,
hal ini tidak hanya merugikan kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik, tetapi
juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat
pembangunan nasional yang sedang berlangsung, dan dapat mengganggu hubungan
kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, dan keamanan di dalam suatu
negara serta dapat juga menghambat hubungan persahabatan antar bangsa.
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD
1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang
tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan
amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi ras dan etnis.
Pasal-pasal dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, yang memiliki keterkaitan
dengan penulisan dalam skripsi ini diantaranya yaitu:
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Jo. (2), menyatakan: penghapusan diskriminasi
ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang diselenggarakan dengan tetap
122
memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya dan hukum yang berlaku di Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan Pasal 3 ayat (1), menyatakan: penghapusan diskriminasi ras dan
etnis
bertujuan
mewujudkan
kekeluargaan,
persaudaraan,
persahabatan,
mendapatkan informasi.
124
b. mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan
etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur
pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;
c. berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada
tingkat apa pun; dan
d. berpartisipasi dalam bela negara.
Yang dimaksud dengan hak-hak ekonomi, antara lain hak untuk:
a. berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara
Indonesia;
b. bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan;
c. mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian;
d. membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;
e. memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan
f. memiliki perumahan.
Yang dimaksud dengan hak-hak sosial dan budaya, antara lain hak untuk:
a. memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayananpelayanan sosial lainnya;
b. memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan
umum;
c. memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya,
sosial, dan ekonomi;
d. memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya;
e. menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya
pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau
menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan
f. menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan
etnisnya.
125
Ketentuan Pasal 13 jo. 14, menyatakan: setiap orang baik secara sendiri
atau bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan
negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya.
Dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan tanah dengan HM bagi
WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut selain bertentangan dengan UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Karena pada dasarnya dengan
masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya
diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa oleh pemerintah daerah DIY tersebut
dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi ras dan etnis, apalagi dasar
pertimbangan yang digunakan Sultan untuk melarang WNI keturunan Tionghoa
memiliki HM atas tanah adalah dilihat dari perbedaan keadaan tingkat ekonomi
antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena seharusnya dasar
pertimbangan yang digunakan untuk menentukan seseorang boleh atau tidak
mendapatkan hak atas tanah di Indonesia berdasarkan pada subyek hukumnya yang
diatur dalam ketentuan UUPA.
Seperti yang telah dijabarkan dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, bahwa
diskriminasi ras dan etnis di Indonesia telah dihapuskan karena bertentangan dengan
HAM.
Larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan bagi
WNI keturunan Tionghoa tersebut, dapat dikatakan sebagai memperlakukan
perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan ras dan etnis, yang
mengakibatkan
pencabutan,
atau
pengurangan
pengakuan,
perolehan,
atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan yang
dalam ini di bidang sipil dan ekonomi. Dalam hal ini dikatakan dalam hak sipil
karena: bebas berhak berdomisili dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, berhak mempertahankan kewarganegaraannya, berhak memiliki hak milik
atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain. Sedangkan dikatakan dalam
hak ekomoni karena: berhak memiliki perumahan.
126
127
WNI keturunan Tionghoa di DIY, penulis juga menganalisa dampaknya yang terjadi
dilapangan akibat pemberlakuan larangan tersebut yang terkait dengan pemilikan hak
atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY.
Dalam praktek yang terjadi dilapangan bahwa WNI keturunan Tionghoa
sampai sekarang tidak dapat atau dilarang memiliki tanah atau rumah dengan status
HM di DIY, yang aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY
No.K.898/A/1975, tentang : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada
seorang WNI Non Pribumi. Yang isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, yaitu:
Apabila ada seorang warga negara indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik
rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan
hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh
Pemerintah Daearh DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya
mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu
hak.
Seharusnya sejak tahun 1984, yaitu setelah diberlakukan sepenuhnya UUPA
di DIY tersebut seharusnya setiap WNI yang dalam hal ini termasuk pula WNI
keturunan Tionghoa sudah dapat dan diperbolehkan memiliki tanah dengan status
128
Oey Meng Hoi, megakui telah menjadi WNI menurut hukum. Tetapi pada
saat ingin membeli rumah di DIY karena terlihat nama, wajah dan
perawakannya jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak dapat
memperoleh status tanah dengan HM melainkan status yang dapat
diperoleh hanyalah HGB saja.
keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki / mendapatkan tanah di DIY dengan status
HM. Tetapi penyelundupan hukum untuk dapat memiliki / mendapatkan HM tersebut
tetap saja dilakukan tetapi secara diam-diam. Meskipun pada dasarnya sebenarnya
mereka mengerti penyelundupan hukum ini melanggar atau bertentangan dengan
ketentuan dalam Surat Edaran Gubernur DIY No. K. 898/I/A/75, Hal: Penyeragaman
Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI non Pribumi.
131