Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Bola mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata, dimana dinding
bola mata terdiri atas sklera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa,
uvea, badan kaca dan retina. Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola
mata setelah sklera dan tenon. Uvea merupakan jaringan lunak, terdiri dari iris,
badan siliar dan koroid.7
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid)
dengan berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea
yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan
pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris yang
disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut siklitis.Iritis dengan siklitis
AKdisebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan merupakan
bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis
posterior atau koroiditis.1,2
Uveitis umumnya unilateral,biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur
,mata merah (merah sirkumneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau
ireguler. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa
dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan
endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi, proses autoimun, yang
berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik dan idiopatik.1
Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang

diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun
37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan
dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis
anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika,
penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara
uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi
genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.1,2
Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang.Sekitar 75% merupakan
uveitis anterior.Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik
terkait.Di Amerika Serikat,uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga
setelah Retinopati Diabetik dan Degenerasi Macular.Umur penderita biasanya
bervariasi antara usia prepubertal sampai 50 tahun. 1,3
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor
penyebabnya dan dimana kelainan itu terjadi, biasanya pasien datang mengeluh
nyeri ocular, fotofobia, penglihatan kabur, dan mata merah. Pada pemeriksaan
didapatkan tajam penglihatan menurun, terdapat injeksi siliar, KPS, flare,
hipopion, sinekia posterior, tekanan intra okuler bisa meningkat hingga sampai
edema makular.1,2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Uvea


Gambar 1. Anatomi Mata

Uvea merupakan lapisan vaskular di sebelah dalam bola mata yang terdiri
dari iris, korpus siliaris, dan koroid. Iris dan korpus siliaris dikenal sebagai uvea
anterior yang diperdarahi oleh a.siliar anterior dan a.siliar posterior longus, kedua
arteri ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis mayor di korpus
siliaris. Sedangkan koroid dikenal sebagai uvea posterior, yang diperdarahi oleh
a.siliar posterior brevis.2
Iris merupakan permukaan pipih dengan aperture bulat yang terletak di
tengah yang disebut pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior
lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-

masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat otot sfingter yang
disarafi oleh saraf parasimpatis dan otot-otot dilator yang disarafi oleh saraf
simpatis. Ukuran pupil ditentukan oleh aktivitas kedua saraf tersebut dimana
aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III akan
menimbulkan konstriksi dan aktivitas simpatis menimbulkan dilatasi pupil. Oleh
karena itu, iris merupakan struktur yang berfungsi untuk mengendalikan cahaya
yang masuk ke dalam mata.7
Korpus siliaris terdiri dari musculus siliaris, prosesus siliaris yang
merupakan zona anterior yang berombak-ombak(pars plikata), dan zona posterior
yang datar (pars plana). Prosesus siliaris terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena vorticosa dan dibentuk oleh epitel dua lapis dengan stroma
vaskular. Prosesus ini berfungsi mensekresi aqueous humor. Pars plana terdiri dari
stroma yang relatif avaskular yang ditutupi oleh lapisan epitel dua lapis yang
merupakan perluasan neuroretina dan epitel pigmen retina. Muskulus siliaris
terdiri dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkular, dan radial. Kontraksi serat
otot sirkular dan radial akan menyebabkan kendornya zonula zinii sehingga
menyebabkan pencembungan lensa (akomodasi). Serat longitudinal berinsersi di
daerah taji sklera yang bila berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan
mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata.2,7
Koroid merupakan segmen posterior uvea yang terletak antara sklera dan
retina. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah ; besar, sedang, dan kecil.
Makin ke dalam (kearah retina) pembuluh darah makin kecil yang disebut
koriokapilaris. Koroid dan RPE dibatasi oleh membrane Bruch, sedangkan dengan
sclera dibatasi oleh ruang suprakoroid yang longgar. Koroid di bagian anterior

bergabung dengan korpus siliaris dan di posterior melekat erat pada tepi-tepi
nervus optikus. Pembuluh darah koroid berfungsi mendarahi lapisan luar retina
dan koroid juga berfungsi sebagai bantalan bagi retina.
2.2 Definisi dan Klasifikasi Uveitis
Uveitis diartikan sebagai peradangan dari uveal tract, lapisan pembuluh
darah mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan khoroid. Inflamasi dari struktur
ini biasanya diikuti oleh inflamasi jaringan sekitarnya, termasuk kornea, sklera,
vitreous, retina, dan nervus optikus.
Uveitis dapat diklasifikasikan menurut :
a. Anatomi
Yaitu berdasarkan seberapa besar bagian uvea yang terkena. Menurut
Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) Working Group pada tahun
2005 membuat suatu system klasifikasi secara anatomis suatu uveitis.
Tipe
Uveitis Anterior

Fokus Inflamasi
COA

Meliputi
Iritis
Iridosiklitis
Siklitis Anterior
Pars Planitis
Siklitis Posterior
Hialitis
dan Koroiditis
Fokal,
Multifokal atau difus
Korioretinitis
Retinokoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
Viterus,
dan

Uveitis
Intermediat

Vitreus

Uveitis Posterior

Retina
Koroid

Pan Uveitis

COA,
Retina
Koroid

b. Gambaran klinik :
Tipe
Akut

Keterangan
Karakteristik Episodenya: onset
tiba-tiba, durasi 3 bln
5

Rekuren

Episode

berulang,

dengan

periode inaktifasi tanpa terapi


Kronik

3bln
Uveitis persisten dengan relaps <
3 bln setelah terapi dihentikan

c. Histopatologi
1. Granulomatosa, umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan
oleh organisme penyebab.
2. Non-granulomatosa, umumnya tidak ditemukan organisme pathogen
dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid sehingga diduga
peradangan ini merupakan fenomena hipersensifitas.
2.3 Etiologi Uveitis Anterior
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat
berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui dengan
melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis dapat merupakan suatu
manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat, dini atau sel mediated terhadap
jaringan uvea anterior. Uveitis anterior dapat disebabkan oleh gangguan sistemik
di tempat lain, yang secara hematogen dapat menjalar ke mata atau timbul reaksi
alergi mata.5
Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik; penyakit sistemik
yang berhubungan dengan HLA-B27 seperti; ankylosing spondilitis, sindrom
Reiter, penyakit crohns, Psoriasis, herpes zoster/ herpes simpleks, sifilis, penyakit
lyme, inflammatory bowel disease; Juvenile idiopathic arthritis; Sarcoidosis,
trauma dan infeksi. 1,3-6
2.4 Patofisiologi Uveitis

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek


langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi
sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi mikroba yang menginfeksi
jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi
merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen)
atau antigen dari dalam badan (antigen endogen).Dalam banyak hal antigen luar
berasal dari mikroba yang infeksius .Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea
terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas. 2,8
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous
Barrrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam
humor akuos yang tampak pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler
(aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman, akan
tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan, misalnya perlekatan iris pada
permukaan lensa (sinekia posterior). 2,8

Gambar 2. Uvea
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat
membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada
permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi
pupil disebut koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut busacca nodules,
yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik mata depan. Pada
iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak sehingga
menimbulkan hipopion. 2,8
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan
miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi
seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior
tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan dalam dalam camera
okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam camera okuli anterior sehingga iris
tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe (Bombans). 2,8
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel
radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan
kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi
glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan pada sudut bilik depan, sedang
pada fase lanjut glaukoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik
turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin. 2,8
2.5 Manifestasi Klinis Uveitis
Keluhan subyektif yang menyertai uveitis anterior adalah nyeri , terutama
di bulbus okuli, sakitnya spontan atau pada penekanan di daerah badan siliar, sakit

kepala di kening yang menjalar ke temporal, fotofobia, bervariasi dan dapat


demikian hebat pada uveitis anterior akut, lakrimasi yang terjadi biasanya
sebanding dengan derajat fotofobia, gangguan visus dan bersifat unilateral. 2

Gambar 3. Uveitis anterior granulomatosa dengan muttan-fat keratic presipitat


dan nodul koeepe dan busacca
Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin, suku
bangsa penting untuk di catat karena dapat memberikan petunjuk ke arah
diagnosis uveitis tertentu. Riwayat pribadi tentang penderita, yang utama adalah
adanya hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta kebiasaan memakan
daging atau sayuran yang tidak dimasak termasuk hamburger mentah. Hubungan
seks diluar nikah untuk menduga kemungkinan terinfeksi oleh STD atau AIDS.
Penggunaan obat-obatan untuk penyakit tertentu atau narkoba (intravenous drug
induced), serta kemungkinan tertular penyakit infeksi menular (seperti Tbc) dan
terdapatnya penyakit sistemik yang pernah diderita. Riwayat tentang mata
didapatkan apakah pernah terserang uveitis sebelumnya atau pernah mengalami
trauma tembus mata atau pembedahan.2

Gambar 4. Uveitis anterior granulomatosa dengan sejumlah nodul


busacca pada permukaan iris dan beberapa muttan fat keratik presipitat pada aspek
inferior.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus umumnya normal atau berkurang
sedikit., konjungtiva bulbi, injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, serta kornea
keruh karena udem dan keratik presipitat. Keratik presipitat merupakan kumpulan
sel-sel yang menempel pada endotel kornea, biasanya di bagian bawah. Pada
uveitis non granulomatosa, keratik presipitat berukuran kecil dan sedang berwarna
putih. Pada uveitis granulomatosa, keratik presipitat besar-besar dan lonjong dan
dapat menyatu membentuk bangunan yang lebih besar, sehingga dapat mencapai
diameter 1mm. Adanya keratik presipitat dijumpai pada keratouveitis karena
herpes simpleks dan sangat spesifik pada Heterokromik Fuch.2,8

Klasifikasi berat ringannya flare dan Cells:


Grade Flare Cells
0 tidak ada
1+ flare tipis atau lemah 5-10 /lapang pandang
2+ Flare tingkat sedang (Iris dan lensa secara 10-20/lapang pandang
diteil masih tampak)

10

3+ kekeruhan lebih berat (Iris dan lensa 20-50/lapang pandang


diselimuti kekeruhan
4+ flare sangat berat (penggumpalan fibrin pada >50/lapang pandang
humur aquos)
Pada kamera okuli anterior terdapat flare, terlihat sebagai peningkatan
kekeruhan dalam humor akuos dalam COA, dapat terlihat dengan menggunakan
slitlamp atau lampu kecil dengan intensitas kuat dengan arah sinar yang kecil
sehingga menimbulkan fenomena Tyndal. Pada uveitis non granulomatosa, reaksi
flare sangat menonjol tapi reaksi sel biasanya terdiri dari sel-sel kecil dan jarang
sel besar seperti monosit atau sel raksasa. Sedangkan pada uveitis granulomatosa,
sel besar-besar dan reaksi flare biasanya sangat ringan. 2,8
Pada iris tampak suram, gambaran radier tak nyata, karena pembuluh
darah di iris melebar, sehingga gambaran kripta tak nyata. Warna iris dapat
berubah, kelabu menjadi hijau, coklat menjadi warna Lumpur. Terdapat nodul iris,
ditandai sebagai benjolan di iris, bila pada tepi pupil disebut nodul koeppe, bila
pada permukaan depan iris disebut nodul busacca. Adanya nodul-nodul tersebut
merupakan pertanda uveitis granulomatosa dan terdapat adanya sinekia
posterior.2,8
Tabel 1. Pembagian Uveitis Anterior secara klinis
Ringan
Keluhan ringan sampai

Sedang
Keluhan sedang sampai berat

sedang
VA 20/20 to 20/30

Berat
Keluhan sedang sampai
berat

VA from 20/30 to 20/100

VA < 20/100

11

Kemerahan sirkumkornel

Kemerahan sirkumkornel dalam Kemerahan sirkumkornel

superficial

dalam
Tampak KPs

Tidak ada KPs (keratic

Tampak KPs

presipitat)
1-3+ cells and flare
1+ cells and flare

Miotic, sluggish pupil

3-4+ cells and flare

tekanan intraokuler

Sinekia posterior ringan

pupil terfiksir

berkurang < 4 mmHg

Udem iris ringan

Sinekia posterior

tekanan intraokuler berkurang 3- (fibrous)


6 mm Hg

Tidak tampak kripte pada

Anterior virtreous cells

iris
tekanan intraokuler
meningkat
cells anterior sedang
sampai berat

Pada pupil terjadi miosis, pinggir tak teratur karena adanya sinekia
posterio atau seklusio pupil. Pupil dapat terisi membran yang berwana keputiihputihan yaitu oklusi pupil. Pada lensa terdapat uveitis rekurens yang dapat
menimbulkan kekeruhan pada bagian belakang lensa (katarak kortikalis
posterior).2,8

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit
korioretinal dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat
berguna baik untuk intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi

12

pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema intraokular,
vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, N.
optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina
dan pelepasan retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari
gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalaujenisnya non
granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik. Sedangkan pada
uveitis anterior yang tetap tidak responsive harus diusahan untuk menemukan
diagnosis etiologinya.
2.7 Diagnosis Banding Uveitis Anterior
Diagnosis banding uveitis anterior adalah konjungtivitis, keratitis atau
keratokonjungtivitis dan glukoma akut. Pada konjungtivitis penglihatan tidak
kabur, respon pupil normal, dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia, atau
injeksi siliar.
Pada keratitis atau keratokonjunctivitis, penglihartan dapat kabur dan ada
rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simplek dan
zoster dapat mengenai uveitis anterior sebenarnya. Pada glaucoma akut, pupil
melebar, tidak ada synekia posterior, dan korneanya beruap. 7

13

Gambar 5. Glukoma akut


2.8 Komplikasi Uveitis Anterior
Pada uveitis anterior dapat terjadi komplikasi berupa katarak, retinitis
proliferans, ablasi retina, glukoma sekunder yang dapat terjadi pada stadium dini
dan stadium lanjut, pada uveitis anterior dengan visus yang sangat turun, sangat
mungkin disertai penyulit edema macula kistoid. 7,8

Gambar 6. Glaukoma sudut tertutup dan Katarak matur


2.9 Penatalaksanaan Uveitis
Penatalaksanaan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya
dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topical atau oral adalah ditujuan
untuk mengurangi peradangan.12 Tujuan dari pengobatan uveitis anterior adalah
14

memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri pada ocular, menghilangkan


inflamasi ocular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya
sinekia, dan mengatur tekanan intraokular.13
Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya
menggunakan kortikosteroid topikal dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid
atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obatobatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius,
seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan
galukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil. 13
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan. 8
Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior adalah
mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan
membran sel, menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan
sirkulasi limposit. 9
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga
daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi
pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan. 15
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan
makin sering frekuensi pemakaiannya,

maka

makin

tinggi pula efek

antiinflamasinya. Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan


preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular

15

baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya


dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. 15
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal
mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari
selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang
mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat
yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang
baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat
kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. 15
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada
bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini
memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes
mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan
kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.15
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate
0,125% dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%,
deksamentason

alcohol

0,1%,

deksamethasone

sodium

phospat

0,1%,

fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone 1%. 12


Cycloplegics dan mydriatics
Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang bekerja
memblokade neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter iris dan otot
ciliaris. Cycloplegic mempunyai tiga tujuan dalam pengobatan uveitis anterior,
yaitu untuk mengurangi nyeri dengan memobilisasi iris, mencegah terjadinya

16

perlengketan iris dengan lensa anterior ( sinekia posterior ), yang akan


mengarahkan terjadinya iris bombe dan peningkatan tekanan intraocular,
menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya protein leakage
(flare) yang lebih jauh. Agent cycloplegics yang biasa dipergunakan adalah
atropine 0,5%, 1%, 2%, homatropine 2%, 5%, Scopolamine 0,25%, dan
cyclopentolate 0,5%, 1%, dan 2%. 9
Oral steroid dan Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs
Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan
penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin,
NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen ) dapat mengurangi peradangan yang
terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk mengurang peradangan
yang dihubungkan dengan cystoids macular edema yang menyertai uveitis
anterior. 9
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan
dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis
awal antara 12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari
(alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal
selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon
dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. 9
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior,
Uveitis bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian
kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang
tidak

diingini

seperti

Sindrom

Cushing,

hipertensi,

Diabetes

mellitus,

17

osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme,


dan lain-lain.9
Pengobatan lainnya
Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan
penggunaan topical steroid, injects subkonjuctival steroid ( seperi celestone ) akan
berguna. Depot steroid seharusnya dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti
yang diakibatkan oleh herpes atau toksoplasmosis karena dapat memperparah. 8
Injeksi peri-okular dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo
maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi periokular adalah
dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping
sistemik yang minimal. 15
Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif terhadap
pengobatan tetes mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan, Uveitis
unilateral, pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata, anak-anak,
dan komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid periokular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan
skleritis. 15
Lokasi injeksi peri-okular sub-konjuctiva dan sub-tenon steroid repository
serta Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar. Keuntungan injeksi subkonjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali
pemberian pada jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak
membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes
mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg. Injeksi

18

sub-tenon posterior dan retro-bulbar, cara ini dipergunakan pada peradangan


segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). 15
Komplikasi injeksi peri-okular adalah Perforasi bola mata, Injeksi yang
berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak subkapsular posterior, Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam
bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid
tersebut dari bola mata, Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via
palpebra.15
Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 7 hari,
tergantung pada keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual
aquity, pengukuran tekanan intraokular, pemeriksaan dengan menggunakan
slitlamp, assasment cel dan flare, dan evaluasi respon terhadap terapi. 9
2.10 Prognosis Uveitis Anterior
Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis
secara awal dan diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama
jika ada penyebab sistemiknya. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih
waspada terhadap tanda dan mengobati dengan segera. Prognosis visual pada iritis
kebanyak akan pulih dengan baik, tanp adanya katarak, glaucoma atau posterior
uveitis.

2.11

Definisi Glaukoma

19

Glaukoma adalah suatu kelainan mata berupa neuropati optik dengan


karakteristik, yang berhubungan dengan berkurangnya lapang pandang dengan
faktor resiko utama peningkatan tekanan intra okular.
2.12 Klasifikasi Glaukoma
A. Glaukoma primer
1. Glukoma sudut terbuka
a.

Glaukoma sudut terbuka primer (glaukoma


sudut terbuka kronik, glaukoma sederhana kronik)

b.

Glaukoma tekanan normal (glaukoma tekanan


rendah)

2. Glaukoma sudut tertutup


a. Akut
b.

Sub akut

c.Kronik
d.

Iris plateau

B. Glaukoma kongenital
1. Glaukoma kongenital primer
2. Glaukoma berkaitan dengan kelainan perkembangan mata lain
a. Sindrom pembelahan kamera anterior
b. Aniridia
3. Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan ekstra okular
a. Sindrom Sturge-weber
b. Sindrom Marfan
c. Neurofibromatosis

20

d. Sindrom Lowe
e. Rubella kongenital
C. Glaukoma sekunder
1. Glaukoma pigmentasi
2. Sidrom eksfoliasi
3. Akibat kelainan lensa (fakogenik)
a. Dislokasi
b. Intumesensi
c. Fakolitik
4. Akibat kelainan traktus uvea
a. Uveitis
b. Sinekia posterior (seklusio pupilae)
c. Tumor
5. Sindrom iridokornea endotel (ICE)
6. Trauma
a. Hifema
b. Kontusio / resesi sudut
c. Sinekia anterior perifer
7. Pasca operasi
a. Glaukoma sumbatan siliaris (glaukoma maligna)
b. Sinekia anterior perifer
c. Pertumbuhan epitel kebawah
d. Pasca bedah tandur kornea
e. Pasca bedah pelepasan retina

21

8. Glaukoma neovaskular
a. Diabetes mellitus
b. Sumbatan vena retina sentralis
c. Tumor intra okuler
9. Peningkatan tekanan vena episklera
a. Fistula karotis-kavernosa
b. Sindrom Sturge Weber
10. Akibat steroid
D. Glaukoma Absolut
Hasil akhir semua glaukoma yang tidak terkontrol adalah mata yang
keras, tidak dapat melihat, dan sering nyeri.
Klasifikasi menurut AAO (American Association of Ophtalmology) :
1. Glaukoma sudut terbuka

Glaukoma sudut terbuka primer

Glaukoma normo tensi

Glaukoma juvenile sudut terbuka

Glaukoma suspect

Glaukoma sekunder sudut terbuka

2. Glaukoma sudut tertutup

Glaukoma primer sudut tertutup, relatif blok pupil

Acute angle closure primer

Subacute angle closure

Chronic angle closure

22

Secunder angle closure dengan blok pupil dan tanpa blok pupil
3. Kombinasi
4. Gangguan perkembangan sudut COA (Camera Oculi Anterior)

Primer congenital/ infantil glaucoma

2.13 Patogenesis Glaukoma


Glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan intra-okuler yang
disertai pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang. Pada
sebagian besar kasus tidak terdapat penyakit mata lain (glaukoma primer).
Tekanan intra-okuler tersebut ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor
akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya air mata. Mekanisme peningkatan
tekanan intra-okuler pada glaukoma adalah gangguan aliran keluar humor akueus
akibat kelainan sistem drainase sudut kamera anterior (glaukoma sudut terbuka)
atau gangguan akses humor akueus ke sistem drainase (glaukoma sudut tertutup).
patofisiologi peningkatan tekanan intra-okuler-baik disebabkan oleh mekanisme
sudut terbuka atau sudut tertutup-akan berhubungan dengan bentuk-bentuk
glaukoma.
Efek peningkatan tekanan intra-okuler di dalam mata ditemukan pada
semua bentuk glaukoma, yang manifestasinya ditentukan oleh perjalanan waktu
dan besar peningkatan tekanan intra-okuler. Mekanisme utama pada penurunan
penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan
penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson
di saraf optikus. Diskus optikus menjadi atrofik, disertai pembesaran cekungan
optik. Iris dan korpus siliare juga menjadi atrofik, dan prosesus siliaris
memperlihatkan degenerasi hialin. Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan

23

intra-okuler mencapai 60-80 mmHg, sehingga terjadi kerusakan iskemik pada iris
yang disertai edema kornea.
Pada glaucoma sudut tertutup yang akut terjadi apabila terbentuk iris
bombe yang menyebabkan sumbatan sudut kamera anterior oleh iris perifer. Hal
ini menyumbat aliran humor akueus dan tekanan intra-okuler meningkat dengan
cepat; menimbulkan nyeri hebat, kemerahan dan kekaburan penglihatan.
Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan
anatomik sudut kamera anterior (dijumpai terutama pada hipermetrop)
Sedangkan pada glaukoma sudut tertutup yang kronik, sejumlah kecil
pasien dengan predisposisi penutupan sudut kamera anterior tidak pernah
mengalami episode peningkatan akut tekanan intra-okuler tetapi mengalami
sinekia anterior perifer yang semakin luas disertai peningkatan bertahap tekanan
intra-okuler. Para pasien ini memperlihatkan manifetasi yang diperlihatkan oleh
pasien glaukoma sudut tertutup primer, sering dengan pengecilan ekstensif
lapangan pandang. Kadang-kadang para pasien tersebut mengalami seranganserangan penutupan sudut subakut.
2.14 Gejala Klinis Glaukoma
Pada jenis glaukoma akut, penderita akan mengalami nyeri yang sangat
hebat pada mata, sakit kepala, hingga mual muntah. Penglihatan dirasakan
menurun drastis dan mata terlihat merah. Keadaan ini disebut glaukoma akut yang
terjadi akibat peningkatan TIO yang mendadak. Pada beberapa kasus, keadaan ini
sering disalahartikan dengan sakit kepala migren, hipertensi (tekanan darah
tinggi), gastritis (sakit maag) ataupun infeksi mata biasa (konjungtivitis). Karena

24

salah pengertian terjadilah salah penanganan, hal ini menyebabkan penyakit


glaukoma terus berkembang dan kerusakan saraf yang terjadi semakin parah.
Pada jenis glaukoma kronik penderita jarang mengeluhkan mata, karena
umumnya peningkatan tekanan yang terjadi telah berlangsung lama dan mata
penderita telah beradaptasi. Keadaan ini sangat berbahaya, penyakit berjalan terus
sedangkan penderita tidak menyadarinya.
Glaukoma umumnya mengenai kedua mata, namun biasanya kebutaan
yang timbul tidak bersamaan. Pada banyak kasus kebutaan terjadi pada satu mata
baru kemudian mengenai mata lainnya. Saat inilah penderita baru menyadari
adanya gangguan penglihatan.4,5,6
2.15 Diagnosis Glaukoma
Pemeriksaan untuk mendeteksi Glaukoma
Beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit
glaukoma. Selain pemeriksaan mata secara umum seperti tajam penglihatan dan
keadaan mata, perlu dilakukan beberapa tambahan pemeriksaan, yaitu:
1. Tonometri (pengukuran tekanan bola mata). Memperlihatkan peningkatan
TIO lebih kurang sekitar 40-80 mmHg (TIO normal berkisar antara 10-24
mmHg). Tonometri menggunakan alat tonometer antara lain adalah :
a. Tonometer aplanasi Goldman, yang dilekatkan ke slitlamp dan
mengukur gaya yang diperlukan untuk meratakn luas kornea.
b. Tonometer Perkin dan TonoPen yang portabel, pneumatotonometer
yang bermanfaat apabila permukaan kornea ireguler dan dapt
digunakan walaupun terdapat lensa kontak di tempatnya.

25

c. Tonometer schiotz adalah tonometer portabel dan mengukur


indentasi kornea yang ditimbulkan oleh beban tertentu
2. Funduskopi (pemeriksaan retina dan saraf mata)
Pemeriksaan

funduskopi

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan

oftalmoskop, lensa pembesar (78D, 90D) atau dengan funduskopi indirek


(Schepen). Terlihat discus optikus membengkak, pembesaran konsentrik
cekungan optik yang diikuti oleh pencekungan superior dan inferior dan
disertai pentakikan fokal tepi diskus optikous (bean-pot)
Rasio ceungan diskus adalah cara untuk mrencatat ukuran diskus optikus
pada glaukoma
3.

Perimetri (pemeriksaan luas penglihatan)

Pemeriksaan perimetri dapat berupa konfrontasi (sangat seerhana), perimetri


kinetik (Goldmann) ataupun perimatri statik (Humphrey, Octopus).
Gangguan lapangan pandang akibat glaukoma terutama mengenai 30 derajat
lapangan pandang bagian tengah.
4. Gonioskopi (pemeriksaan sudut bilik mata depan).
Apabila hanya garis schwalbe atau hanya sebagian kecil dari jainan trabekula
yang dapat terlihat, sudt dikatakan sempit. Apabila garis schwalbe tidak
terlihat sedut tertutup
5.

Ultrasound Biomicroscopy (UBM), untuk melihat sudut dan struktur

disekitarnya. Terlihat gambaran pupil yang terfiksasi dan dilatasi sedang,


COA dangkal, edem epitel kornea dan bullae, injeksi siliar, sel-sel dan
gambaran flare.1,3,4
2.16 Komplikasi Glaukoma

26

Bila tidak ditangani secara cepat dan tepat pasien dengan glaukoma dapat
mengalami kebutaan.
2.17 Pengobatan Glaukoma
Terapi definitif terhadap ACG adalah iridotomi. Ada 2 macam prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan yaitu laser iridotomi dan laser genioplasti.
Untuk persiapan pembedahan ini kornea dibersihkan dengan menggunakan agen
osmotic, pupil dikonstriksikan dan tekanan intra okuler diturunkan untuk
mencegah terjadi kerusakan terhadap saraf optik. Pada ACG akut juga digunakan
obat-obatan untuk mempercepat dan memaksimalkan efek penurunan tekanan
intra ocular, seperti:
1.

Alfa adrenergik agonis. Berfungsi untuk menurunkan produksi akuos


humor dan mengurangi tahanan terhadap aliran keluar cairan akuos.

2.

Beta bloker. Mengurangi produksi akuos humor oleh badan siliar.

3.

Agen

mitotik

(parasimpatomimetik).

Mengerutkan

otot

siliar,

mengencangkan trabekular meshwork dan meningkatkan aliran keluar


akuos humor.
4.

Analog prostaglandin. Meningkatkan aliran keluar akuos humor melalui


induksi metalloproteinase pada badan siliar yang akan merusak matriks
ekstraselular sehingga mengurangi tahanan terhadap aliran keluar cairan
akuos.

5.

Karbonik anhidrase inhibitor. Mengurangi sekresi akuos humor dengan


menghambat enzim karbonik anhidrase yang terdapat dalam badan siliar.4,5

2.18 Prognosis Glaukoma

27

Prognosis akan baik bila glaukoma didiagnosis dengan cepat dan ditangani
dengan tepat.4

BAB III

28

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien laki-laki berumur 56 tahun datang ke RSUP DR.M djamil Padang
pada tanggal 18 September 2015 dengan
Keluhan Utama

Penglihatan yang semakin kabur pada kedua mata sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

Penglihatan yang semakin kabur pada kedua mata sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit

Kabur sudah mulai dirasakan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit

Awalnya penglihatan mata kanan menjadi kabur 1 tahun yang lalu,


diikuti nyeri dan mata kanan menjadi merah, kemudian diikuti mata kiri

Pasien sudah pernah berobat keluhannya ke dokter dan diresepkan kaca


mata. Keluhan membaik setelah menggunakan kaca mata. Beberapa waktu
kemudian pasien mengeluhkan matanya kabur lagi

Nyeri pada kedua mata (+)

Riwayat mata merah berulang (+) sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat trauma pada mata (-)

Riwayat trauma kepala (+)

Riwayat TB pada pasien, keluarga, tetangga (-)

29

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Komposmentis kooperatif

Tekanan darah

: Dalam batas normal

Nadi

: Dalam batas normal

Nafas

: Dalam batas normal

Suhu

: Dalam batas normal

Status Generalisata
Thorax

: Dalam batas normal

Abdomen

: Dalam batas normal

Ekstremitas

: Dalam batas normal

Status Oftalmologis:
Status
Ophtalmicus
Visus tanpa koreksi

OD

OS

Palpebra Superior

1/300
Trikiasis (-)
Madarosis (-)
Udem (-), Hematom (-)

1/300
Trikiasis (-)
Madarosis (-)
Udem (-), Hematom (-)

Palpebra Inferior

Udem (-), Hematom (-)

Udem (-), Hematom (-)

Margo Palpebra
Aparat Lakrimalis
Konjungtiva
Tarsalis
Konjungtiva
Fornics

Hordeolum (-), Khalazion (-)


Lakrimasi Normal

Hordeolum (-), Khalazion (-)


Lakrimasi Normal

Papil (-), Folikel (-)

Papil (-), Folikel (-)

Hiperemis (+)

Hiperemis (+)

Silia/Supersilia

30

Konjungtiva Bulbii

Injeksi konjungtiva (+),


Injeksi siliar (+)

Injeksi konjungtiva (+),


Injeksi siliar (+)

Sklera

Putih

Putih

Kornea

KPS (+), Udem (+)

KPS (+), Udem (+)

Dangkal

Dangkal

Bombe, Neovaskularisasi (+)


Seklusio (+)
Keruh
Ortho

Bombe, Neovaskularisasi (+)


Seklusio (+)
Keruh
Ortho

Bebas Kesegala arah

Bebas Kesegala arah

Kamera Okuli
Anterior
Iris
Pupil
Lensa
Posisi Bola Mata
Gerakan Bulbus
Okuli
Diagnosis

: Glaukoma sekunder oculi dextra et sinistra e.c uveitis


anterior

Terapi

Posap eye drop oculi dextra et sinistra (tiap jam)

Noncort eye drop oculi dextra et sinistra (6x1)

Sulfas Atropin eye drop oculi dextra et sinistra (3x1)

Timol 0,5% eye drop oculi dextra et sinistra (2x1)

Azopt eye drop oculi dextra et sinistra

Methyl prednisolone 1x55 mg

Glaucon tab 4x1

Aspar K 2x1

Calcidin tab 1x1

Glaupen 1x1 oculi dextra et sinistra

31

BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan pasien laki-laki umur 56 tahun dirawat di bangsal mata


RSUP Dr. M Djamil Padamg pada tanggal 18 September 2015 dengan diagnosa
glaukoma sekunder oculi dextra et sinistra e.c uveitis anterior.
Diagnosa tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan terhadap pasien. Dari anamnesia didapatkan pasien
mengalami kabur pada kedua mata sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Pasien tidak pernah mengalami trauma mata sebelumya.
Dari pemerikasaan fisik ditemukan visus 1/300 pada kedua mata,
konjungtiva Fornics kedua mata hiperemis, konjungtiva Bulbi ditemukan injeksi
konjungtiva dan injeksi siliar, kornea kedua mata ditemukan KPS (+) dan udem
(+), kamera okuli anterior kedua mata dangkal, iris kedua mata ditemukan iris
Bombe dan neovaskularisasi, pupil kedua mata seklusio, lensa kedua mata keruh,
korpus vitreum pada pemeriksaan funduskopi sukar dinilai karena tidak tembus.
Pada pasien ini diberikan terapi Posap eye drop, Noncort eye drop, Sulfas
Atropin eye drop, Timol 0,5% eye drop, Azopt eye drop, Methyl prednisolone,
Glaucon tab, Aspar K, Calcidin tab, dan Glaupen.

32

DAFTAR PUSTAKA
1. Wasisdi G. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akua pada HLA B27 Positif,
Yogyakarta: FK UGM
2. Ilyas S, 2002. Ilmu Penyakit Mata edisi II, Jakarta: FKUI
3. www.preventblindness.co.id, Causes of Anterior Uveitis . Accessed.
September th. 2006:1-2
4. www.nlm.nih.gov.co.id, Uveitis . Accessed. September th. 2006:1-2
5. Nana W. Ilmu Penyakit Mata, hal 126-127
6. George

Roger

MD,

2005.

Uveitis

Nongranulomatous.

www.emedicine.co.id, Accessed. June th. hal:1-3


7. Vaughan G Daniel, 2009. Oftalmologi Umum ed 14, Jakarta: Widya
Medika, hal: 8-9
8. www.emedicine.com
9. www.oao.com
10. www.healthatoz.com
11. Wong tien YN, 2001. Uvetis Systemic and Tumots, The Opthlmolgy
Examinations Review, Wrld Scientific, Singapura:2001. P321-323.
12. www.stlukesEye.com
13. www.allaboutvision.com

33

14. www.cerminduniakedokteran.com
15. www.healthline.com
16. www.medicallibrary.com
17. www.mersi ocular imunology.htm

34

Anda mungkin juga menyukai