Anda di halaman 1dari 13

MIASTHENIA GRAVIS

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan
pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny,2008).
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksireseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam
hal ini, miasteniagravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi
IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
2.2 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I

Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat


menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

Kelas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Kelas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.


Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Kelas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

Kelas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang

Kelas III a

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan

Kelas III b

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.

Kelas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Kelas IV a

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan


atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan

Kelas IV b

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau


keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan


feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V

Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :


1. Ocular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber.
System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak
memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
A. Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit
dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan
mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
B. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat
pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan
prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan : pekerjaan fisik
yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan anak
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miasteniagravis tidak diketahui.
Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase,
tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan (Qittun, 2008).
2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak padausia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia
gravisadalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20%
bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak
menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).
2.4 Patogenesis
Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena
kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui,
gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada
membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya
proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun
1960. Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap

jaringan ototserat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada
Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. AntiAChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukanAChR
baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran postsinaptik mengalami perubahan sehingga
jarak antara ujung saraf dan membran post sinaptik bertambah lebar dengan demikian
kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik
Miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari
normal (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
2.5 Maninfestasi klinis
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin
dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai
penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan
otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otototot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang
dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot
pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea
dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada
kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada
semua otot-otot rangka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi
lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus
haid atau gangguan fungsi tiroid,
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan infeksi yang
disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat
diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker,
derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum
pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan 10
tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin
dan P. Nara, 1986) :
1.
Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis.
Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam
setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar
menelan, pernapasan melemah. Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi
berangsur-angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke
dalam tubuh bayi.
2.
Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir sama
dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama,makin lama
makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang.
3.
Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada orang
dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan
mengunyah, menelan atau suara sengau.

2.6 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawat daruratan yang terjadi bila otot yang
mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal
pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan
selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak,
aspirasimakanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pascaoperasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca
yang panas), kehamilan, dan stressemosional.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu
belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau
penyuluhan degan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit
Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a.
Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya
apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini
merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi
untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka
dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda
dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain
dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yangbiasanya menggunakan Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang
di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang
dapat dilakukan dengan;
a.
Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b.
Istirahat yang cukup
c.
Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang
dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d.
Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obatan tikolinesterase secara
berlebihan.
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit
yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selama 10 jam agar dapat bangun dalam
keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya (SilviaA. Price,
Lorain M. Wilson. 1995).
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis
merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase
inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan
penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat
memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki
efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Endang Thamrin dan P.
Nara, 1986).

Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu


1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat
otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium
diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal.
Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg,
kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari
kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang
telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan
mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja
kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja
langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun
biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan
obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat
sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan
terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan
terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medika mentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata
khususyang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan
penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang
merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti
aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
2.8 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam
perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian
atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi
pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi
penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam
15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi
pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).

2.9 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh


Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak
mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk
saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali

dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan
serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik. Meskipun setiap neuron mototrik
mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron
motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot
disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan neuromuskular
merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur
presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200.Unsur
presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang
merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton).
Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari
membran postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinapsdibentuk oleh
invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson
terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah
subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptorreseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat
mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat
menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat
antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zatgelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membranakson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akandilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin
berdifusi melalui celah sinapsdan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun
kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tibatiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP).
Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang
tidakberhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi
melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup
untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada
atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus
dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak
dapat ditemukan kelainan yang konsisten.

BAB 3
Asuhan Keperawatan
Dengan Miesthania Gravis
3.1 Pengkajian
a) Anamnesis
Identitas klien :
Nama
: Tn. X
Alamat
: Jl. Sudirman no. 42 Cimahi, Bandung
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 60 Th
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Keluhan utama :
Kelemahan otot
Riwayat kesehatan :
Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot
setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan

miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi
signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
Pemeriksaan Fisik
1. - Keadaan umum
:
1. Keadaan Umum
- Tingkat kesadaran :
- GCS
:
- TTV
:
TD : mmHg
N
: x/menit
S
: oC
RR : x/menit
2. Pengkajian persistem
a. Sistem integumen
Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan rambut dan kuku.
b. Sistem penginderaan
Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
c. Sistem pernafasan
Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
d. Sistem cardiovaskuler
Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
e. Sistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
f. Sistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
g. Sistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.
h. System persarafan
Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan
Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan
ganda
Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia (dapat dilihat pada
gambar 8-5), mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada saraf
VI
Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik lidah/triple-furrowed
lidah
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik
pada lidah/triple-furrowed lidah
CT Scan
3. 2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal berikut :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan ototpernapasan.
2. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahanfisik umum, keletihan.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,
gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral.
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
3.3 Analisa Data
1.
Do:
Otot
Ketidakefektifan pola napas

Perubahan
gerakan dada
pernapasan

Penurunan

tekana
Kelemahan ototekspirasi/inspirasi
otot pernapasan
Napas dalam

Pernapasan
cuping hidung.
Ketidak
Ds :
mampuan batuk
Dispnea
efektif
Napas pendek
2.

3.

Do :

Penurunan
waktu reaksi

Kesulitan
bergerak

Melambatnya
pergerakan

Pergerakan tak
terkoordinasi

Keterbatasan
rentang gerak
Ds: Do :

Kesulitan
mengolah kata-kata
atau kalimat
Tidak atau tidak
dapat berbicara
Dispnea
Verbalisasi tidak
sesuai
Bicara pelo
Bicara gagap

Keinginan
menolak
untuk
bicara
Ds: -

4.

Kelemahan otototot
(Miastheni

Hambatan mobilitas fisik

a Gravis)
Otot volunter

Kelemahan otototot rangka

Kelemahan otototot
(Miastheni

Kerusakan komunikasi
verbal

a Gravis)
Otot wajah,
laring, faring
Regurgitasi
makanan ke
hidung pada saat
menelan

Suara abnormal
ketidak
mampuan
menutup rahang

Do :
Kelemahan otototot

Depersonalisasi
(Miasthenia
bagian tubuh
Gravis)

Takut
atau
penolakan
reaksi
dari orang lain

Preokupasi Otot-otot ocular


perubahan
atau
kehilangan
Gangguan otot

Menolak untuk
levator palpebra
memverivikasi
perubahan actual

Gangguan citra tubuh

Ds:

Perubahan
actual pada struktur
atau fungsi tubuh

Perubahan pada
keterlibatan social

Kehilangan
bagian tubuh

Tidak melihat
bagian tubuh

Tidak
menyentuh bagian
tubuh

Ptosis &
Diplopia

3.4 Intervensi Keperawatan


1. Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernapasan.
Tujuan
: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi
polapernapasan klien kembali efektif
Kriteria Hasil
: Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalambatas normal,
bunyi nafas terdengar jelas, respiratorterpasang dengan optimal
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan ventilasi
Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat mengkaji
frekuensipernapasan, kedalaman, dna
bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru (volume tidal, kapasitas vital,
kekuatan

inspirasi),dengan

interval

yang sering dalammendeteksi masalah


pau-paru, sebelumperubahan kadar gas
darah arteri dansebelum tampak gejala
klinik.
Kaji

kualitas,

frekuensi,dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,

kedalamanpernapasan,

laporkansetiap dankedalaman

perubahan yangterjadi.
Baringkan

klien

dalamposisi

pernapasan,

dapatmengetahui

sejauh

perubahan kondisiklien.
yang Penurunan diafragma

kita
mana

memperluas

nyamandalam posisi duduk

daerahdada sehingga ekspansi paru bisa

Observasi tanda-tandavital (nadi,RR).

maksimal.
Peningkatan

RR

dan

takikardi

merupakanindikasi adanya penurunan


fungsi paru
2. Dx Keperawatan
: Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungandengan kelemahan fisik
umum, keletihan.
Tujuan
:Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untukmenghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkanpenyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan

minoryang tidak memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat
berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil
:Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal,tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi
Rasional
Kaji
kemampuan Menjadi data dasar dalam melakukanintervensi
kliendalam
selanjutnya.
melakukanaktivitas
Atur cara beraktivitasklien Sasaran
klien
adalah
memperbaiki
sesuai kemampuan
kekuatandan daya tahan. Menjadi partisipan
dalampengobatan,
klien
harus
belajar
tentangfakta-faakta dasar mengenai agenagenantikolinesterase-kerja,
waktu,
penyesuaiandosis, gejala-gejala kelebihan
dosis, danefek toksik. Dan yang penting
padapengguaan medikasi dengan tepat
waktuadalah ketegasan.
Evaluasi
Menilai singkat keberhasilan dari terapiyang
kemampuanaktivitas
boleh diberikan
motorik
3. Diagnosa Keperawatan:Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
Tujuan
:Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil
:Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
Rasional
Kaji komunikasi verbal klien.
Kelemahan otot-otot bicara klien krisis
miastenia gravis dapat berakibat pada
komunikasi.
Lakukan metode komunikasi yang ideal Teknik
untuk

meningkatkan

sesuai dengan kondisi klien.

mendengarkan

komunikasi

meliputi

klien, mengulangi apa yang mereka coba


komunikasi

kandengan

membuktikan
berbicara
kedipan

yang

dengan
mata

jelas

dan

diinformasikan,
klien

mereka

terhadap
dan

atau

goyangkan jari-jari tangan atau kaki


untuk

menjawab

ya/tidak.

Setelah

periode krisis klien selalu mampu


mengenal kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang Untuk kenyamanan yang berhubungan
ini

mengalami

gangguan

berbicara, dengan ketidak mampuan komunikasi.

sediakan belkhusus bila perlu


Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.

Membantu menurunkan frustasi oleh


karena ketergantungan atau ketidak
mampuan berkomunikasi.

Ucapkan langsung kepada klien dengan Mengurangi

kebingungan

berbicara pelan dan tenang, gunakan kecemasan

terhadap

pertanyaan dengan jawaban ya atautidak informasi.

Memajukan

atau

banyaknya
stimulasi

dan perhatikan respon klien


komunikasi ingatan dan kata-kata.
Kolaborasi: konsultasi keahli terapi Mengkaji
kemampuan
verbal
bicara.

individual, sensorik, dan motorik, serta


fungsi kognitif untuk mengidentifikasi
defisit dan kebutuhan terapi

4. Diagnosa Keperawatan :Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,ketidak mampuan


komunikasi verbal.
Tujuan
: Citra diri klien meningkat.
Kriteria Hasil
:Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan dir
iterhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara
yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
Rasional
Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan Menentukan bantuan individual dalam
hubungan
mampuan.
Identifikasi

dengan
arti

derajat

ketidak menyusun rencana perawatan atau pemilihan


intervensi.
kehilangan Beberapa klien dapat menerima dan

dari

ataudisfungsi pada klien.

mengatur

beberapa

fungsi

secara

efektif dengan sedikit penyesuaian diri,


sedangkan

yang

lain

mempunyai

kesulitan membandingkan mengenal


dan mengatur kekurangan.
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik Membantu meningkatkan
dan memperbaiki kebiasaan.

harga diri dan mengontrol lebih dari

satu areakehidupan.
Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan
kembali
mengizinkan klien melakukan hal untuk kemandirian

dan

dirinya sebanyak-banyaknya.

harga

Kolaborasi:

rujuk

pada

perasaan

perkembangan

perasaan
membantu
diri

serta

mempengaruhi proses rehabilitasi.


ahli Dapat memfasilitasi perubahan peran

neuropsikologi dan konseling bila ada yang penting untuk perkembangan


indikasi.

perasaan.

3.4. Implementasi Keperawatan


Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta bentuk tindakan nyata dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap intervensi.
3.5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan suatu penilaian terhadap proses keperawatan yang telah dilakukan.
Dengan kata lain, evaluasi merupakan suatu bentuk perbandingan antara hasil-hasil yang
diperoleh dengan kriteria hasil yang telah dibuat sebelumnya pada tahap intervensi. Berikut
adalah evaluasi dari diagnosa proses keperawatan diatas:
1. Keefektifan fungsi pernapasan.

2. Batuk secara optimal bisa dilakukan


3. Fungsi komunikasi sudah adekuat ditunjukkan dengan penggunaan baik dengan bahasa
isyarat maupun verbal secara optimal.
3.6 Peranan Keperawatan
Dalam proses pencegahan ataupun penyembuhan Miastenia gravissangat penting
dilakukan oleh perawat. Adapun peran perawat pada individu dengan Miastenia gravis antara
lain:
1. Care giver (pemberi perawatan),
Dimana perawat memberikan perawatan secara langsung pada klien Miastenia gravis dengan
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar klien seperti pada saat pasien menunjukkan gejala
sesak nafas, maka perawat harus meninggikan bagian kepala tempat tidur 30-40 derajat, karena
dengan posisi ini akan memudakan upaya untukbernafas
2. Pendidik
Perawat harus mengajarkan atau memberi pendidikan baik padaklien ataupun pada keluarga
mengenai penatalaksaan jangka panjang dalam penanganan pemyakit Miastenia gravis ini.
Sehingga diharapkan klien dan keluarga dapat memahami dengan baik tentang proses penyakit
kronis yang memungkinkan dapat mengenali gejala yang bisa menimbulkan komplikasi yang
lebih lanjut.
3. Pengawas kesehatan
Perawat perlu mengawasi klien dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) secara
periodik yang bertujuan untukmengetahui sebagaimana jauh perkembangan setelah menjalani
pengobatan dan perawatan.
4. Konsultan
Perawat sebagai narasumber baik pada klien maupun keluargadalam mengatasi masalah yang
timbul, seperti bila tidak mengetahui atau lupa dalam memberikan obat-obatan baik kapan
maupun jumlah dosis, maka perawat perlu memberikan nasehat kepada mereka.Waktu yang tepat
dalam pemberian obat sesuai dosis yang akurat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energy.
Dengan memberikan obat sebelum makan akan memberikan kekuatan otot untuk mengunyah
makanan.
5. Kolaborasi
Perawat harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain yang sesuai
dengan penanganan pada masalah klien. Dengan adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan
keperawatan bisa sesuai dengan pengobatan yang seharusnya diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan dan
Masalah Kolaboratif . Edisi 2. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC, hal: 293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miastenia-gravis. (3
September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986.Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miasteniagravis.html. (3 September 2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Edisi 4.
Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,hal: 998 1003
Qittun.
2008.
Asuhan
keperawatan
dengan
Miastenia
Gravis.http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-miastenia.html.
(3
September 2009)

Anda mungkin juga menyukai