Anda di halaman 1dari 8

ISSN 1978 - 1059

Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2014, 9(2): 125132

FAKTOR RISIKO STUNTING PADA ANAK USIA 023 BULAN


DI PROVINSI BALI, JAWA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR
(Risk Factors of Stunting among 023 Month Old Children
in Bali Province, West Java and East Nusa Tenggara)
Nadiyah1*, Dodik Briawan2, dan Drajat Martianto2
1

Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul, Jakarta 11510
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRACT
The purpose of this study was to assess the prevalence and the risk factors of stunting among 023 month
old children in Bali, West Java, and East Nusa Tenggara. The data was gathered from Basic Health Research
2010, Ministry of Health Republic of Indonesia. Basic Health Research 2010 was a cross-sectional survey. The
Three provinces i.e Bali, West Java, and East Nusa Tenggara were selected as they had a mild, moderate, and
severe levels of stunting among children aged less than five years, respectively. A total of 1 554 children aged
023 months were selected in the analysis. Prevalence of stunting in Bali, West Java, and East Nusa Tenggara
was 35.9%, 31.4% and 45.0%, respectively. Chi-square test revealed that there are positive and significant
associations between low birth weight, poor sanitation, paternal smoking in the house, low level of maternal
and paternal education, low income, and mothers height less than 150 cm with stunting among 023 months
old children (p<0.05). Logistic regression test showed that the risk factors for stunted children were low
birth weight (OR=2.21; 95%CI:1.0064.860), mothers height less than 150 cm (OR=1.77; 95%CI:1.2052.594),
poor sanitation (OR=1.46; 95%CI:1.0102.126) and prelacteal feeding (OR=1.47; 95%CI:1.0002.154). The
stunting reduction should be initiated from improving the quality of antenatal care and basic neonatal care,
specifically counseling of exclusive breastfeeding.
Keywords: birth-weight, stunting, 023 month
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji prevalensi dan faktor risiko stunting pada anak usia 023 bulan
di Provinsi Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Data diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar Tahun
2010, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riskesdas 2010 adalah sebuah survei dengan desain cross
sectional. Provinsi Bali, Jawa Barat, dan NTT dipilih sebagai lokasi penelitian karena masing-masing memiliki
masalah stunting tingkat ringan, sedang, dan berat pada anak usia dibawah lima tahun. Jumlah subjek yang
digunakan sebanyak 1 554 anak usia 023 bulan. Prevalensi stunting di Provinsi Bali, Jawa Barat, dan NTT
masing-masing sebesar 35.9%, 31.4%, dan 45.0%. Uji chi-square menunjukkan ada hubungan positif dan
signifikan antara berat badan lahir rendah, sanitasi kurang baik, kebiasaan ayah merokok dalam rumah,
pendidikan ibu yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, pendapatan yang rendah, dan tinggi badan ibu
kurang dari 150 cm dengan stunting pada anak usia 023 bulan (p<0.05). Uji regresi logistik menunjukkan
berat badan lahir rendah (OR=2.21; 95%CI:1.014.86), tinggi badan ibu kurang dari 150 cm (OR=1.77;
95%CI:1.202.59), sanitasi kurang baik (OR=1.46; 95%CI:1.012.13) dan pemberian makanan pre-lakteal
(OR=1.47; 95%CI:1.002.15) menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Program penurunan masalah stunting
perlu dimulai dari peningkatan kualitas antenatal care dan kualitas pelayanan kesehatan neonatus dasar
berupa penyuluhan tentang menyusui secara eksklusif.
Kata kunci: berat badan lahir, stunting, 023 bulan

Korespondensi: Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul, Jakarta
11510. Email: nadiyah_agung@yahoo.co.id
*

JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

125

Nadiyah dkk.
PENDAHULUAN
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdas
2010) menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi balita pendek menurun hanya 1.2% yaitu dari
36.8% pada tahun 2007 menjadi 35.6% pada tahun
2010, padahal target pada RPJMN prevalensi balita
pendek harus diturunkan menjadi 32% pada tahun
2014 (BAPPENAS 2010). Di sisi lain WHO menyarankan target penurunan prevalensi stunting hingga
menjadi 20% pada tahun 2020 (Frongillo 1999). Bila
diperhatikan kembali data yang diperoleh dalam
Riskesdas 2010, prevalensi balita pendek terus meningkat jelas pada kelompok umur 023 bulan. Dari
28.1% pada kelompok umur <5 bulan, menjadi 32.1%
pada kelompok umur 611 bulan, hingga menjadi
41.5% pada kelompok umur 1223 bulan.
Masa antara kehamilan/janin hingga dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa kritis,
disebabkan kebutuhan gizi pada kelompok ini paling
tinggi padahal kelompok ini kelompok yang paling
rawan memperoleh pola asuh yang salah, akses pelayanan kesehatan yang tidak cukup dan pola pemberian makan yang tidak tepat.
Tinggi badan sangat berkaitan dengan produktivitas dan tinggi badan akhir ditentukan oleh
gizi mulai dari konsepsi hingga umur dua tahun.
Kurangnya tinggi badan saat dewasa adalah akibat
dari stunting masa kecil yang berhubungan dengan
hilangnya produktivitas sebesar 1.4%. Stunting juga
menurunkan intelligence quotient (IQ)/tingkat kecerdasaan seseorang dari 511 poin (World Bank
2006). Stunting yang terjadi pada usia terlalu dini
cenderung membuat kondisi stunting lebih parah
(p<0.000) (Mendez & Adair 1999)
Tingginya prevalensi stunting pada anak usia
023 bulan di Indonesia saat ini dapat menurunkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Kualitas manusia Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Ranking Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011 adalah 124 dari
187 negara, sedangkan Malaysia 61, Thailand 103,
dan Filipina 112.
Kekurangan gizi seringkali diasumsikan sebagai akibat dari ketidaktahanan pangan semata, data
dari banyak negara menyatakan bahwa pangan atau
makanan bukanlah satu-satunya atau bahkan bukan
penyebab utama kekurangan gizi, kecuali memang
dibawah kondisi kelaparan. Berdasarkan berbagai
penelitian, terdapat faktor-faktor lain seperti pengetahuan ibu, pola asuh, akses pelayanan kesehatan,
air, dan sanitasi memiliki peran yang penting.
Data dari banyak negara menunjukkan tingginya
tingkat kekurangan gizi pada rumah tangga dimana
pangan tersedia berlimpah, misalnya di daerah Arsi,
Ethiopia dan daerah Iringa di Tanzania. Keduanya
memiliki tingkat produksi pangan yang tinggi tetapi
masih memiliki masalah stunting yang tinggi pula,
62% di Arsi dan 66% di Iringa (World Bank 2006).
126

Masalah status gizi balita di Indonesia memiliki disparitas antara wilayah/provinsi. Berdasarkan
besarnya masalah stunting, suatu wilayah dianggap
memiliki masalah stunting ringan bila prevalensi
stunting berada antara 2029%, sedang bila 3039%
dan berat bila >40% (WHO dalam World Bank 2006).
Provinsi Bali adalah salah satu provinsi yang memiliki masalah stunting ringan (29.3%). Salah satu
provinsi dengan masalah stunting sedang dan berat
berturut-turut adalah Jawa Barat (33.7%) dan Nusa
Tenggara Timur (58.4%).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-fakor risiko stunting pada anak usia 023 bulan di Provinsi Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara
Timur.
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder
yang bersumber dari hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010. Riskesdas 2010 adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Pengolahan dan
analisis data dilakukan pada JuniOktober 2012.
Lokasi meliputi Provinsi Bali, Jawa Barat dan NTT.
Cara Pengambilan Subjek
Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan
cara purposive sampling. Subjek rumah tangga dalam Riskesdas 2010 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah
tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling.
Pertama, penarikan subjek Blok Sensus (BS). Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi dan rasio perkotaan/
perdesaan. Dari setiap provinsi diambil sejumlah BS
yang mewakili rumah tangga/anggota rumah tangga
di provinsi tersebut. Kedua, penarikan subjek rumah
tangga/anggota rumah tangga. Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 rumah tangga secara
acak sederhana (simple random sampling).
Kriteria inklusi penelitian ini adalah anak
yang berumur antara 023 bulan di Provinsi Bali,
Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur, memiliki zskor panjang badan menurut umur (PB/U) antara -6
SD hingga +6 SD (-6 SD < z-skor <+6 SD), dan memiliki
kelengkapan data-data yang menjadi variabel penelitian.
Pengolahan dan Analisis Data
Tahap-tahap pengolahan data meliputi cleaning, coding, dan tabulating. Variabel dependen,
yaitu status stunting ditentukan dengan menggunakan software WHO Anthro 2005.
Analisis data menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel 2007 dan Statistical Packages for the
Social Science/SPSS 17. Analisis univariat dilakukan
untuk memperoleh distribusi dan proporsi dari berbagai variabel yang diteliti. Uji beda panjang badan
JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

Faktor Risiko Stunting Anak Usia 023 Bulan


anak menggunakan t-test untuk melihat perbedaan
rata-rata z-skor PB/U berdasarkan kategori masingmasing variabel yang diteliti. Uji chi-square digunakan untuk menguji adanya hubungan antara variabel
bebas dan stunting. Uji multiple logistic regression digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap stunting.
Provinsi dimasukkan pula dalam persamaan regresi
sebagai dummy variabel dimana Provinsi Jawa Barat
dijadikan basis interpretasi. Analisis regresi menggunakan metode backward untuk mengatasi adanya
gejala multikolinearitas (Santosa & Ashari 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Subjek
Lebih dari sepertiga anak di Indonesia tergolong stunting (33.7%), diantaranya 19.3% tergolong severe stunting (<-3 SD). Prevalensi stunting
rata-rata diatas 30% diantaranya seperti di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur. Tingkat masalah stunting kelompok anak usia
023 bulan di Bali dan Jawa Barat tergolong sedang/
moderate, berturut-turut sebesar 35.9% dan 31.4%.
Berdasarkan tingkat masalah stunting pada
kelompok usia 059 bulan, Bali tergolong ringan/
mild dan Jawa Barat tergolong moderate. Walaupun
Bali tergolong ringan, namun prevalensi stunting
pada anak usia 059 bulan di Bali sebesar 29.3%,
dimana angka ini merupakan batas atas tingkat
masalah stunting ringan (2029%), sehingga dapat
dikatakan tingkat/prevalensi stunting antara Bali
dan Jawa Barat tidak berbeda. Hal ini didukung dengan tidak berbedanya rata-rata z-skor PB/U anak
antara di Bali dan di Jawa Barat (p>0.05).
Tingkat masalah stunting anak usia 023 bulan di Provinsi NTT tergolong berat/severe sebagaimana tingkat masalah stunting pada anak usia
059 bulan di NTT. Tepatnya prevalensi stunting
usia 023 bulan sebesar 45.0% dan pada usia 059
bulan sebesar 58.4%. Berdasarkan jenis kelamin,
anak laki-laki lebih banyak yang mengalami stunting

(35.7%) dibandingkan anak perempuan (31.6%). Berdasarkan wilayah/daerah, di pedesaan ditemukan


lebih banyak anak stunting (36.9%) dibandingkan di
perkotaan (30.9%).
Ada kecenderungan semakin tua usia anak,
semakin banyak ditemukan anak stunting. Sebanyak 38.3% anak stunting berusia antara 1223 bulan. Sedangkan pada kelompok usia 05 bulan dan
611 bulan masing-masing sebesar 26.5% dan 29.7%.
Ramli et al. (2009) di Maluku Utara menemukan bertambahnya umur anak (bulan) signifikan berhubungan dengan stunting (OR=1.11, 95%CI=1.081.14,
p<0.001). Adanya pengaruh faktor pasca kelahiran
terhadap panjang badan anak tampaknya terlihat
dengan makin menurunnya z-skor PB/U seiring bertambahnya usia.
Tabel 1 menunjukkan bahwa inisiasi menyusui
tidak berhubungan signifikan dengan stunting. Hasil
ini berbeda dengan penelitian Muchina et al. (2010)
yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara penundaan inisiasi menyusui setelah melahirkan dengan stunting (OR=2.00, p<0.05). Sedangkan
penelitian Teshome et al. (2009) terhadap 622 anak
di Ethiopia, tepatnya di West Gojam, menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan pada prevalensi
anak stunting berdasarkan inisiasi menyusui. Ibu diharapkan mulai menyusui anaknya segera setelah
melahirkan, atau antara 1 jam setelah melahirkan.
Menyusui dini meningkatkan peluang kesuksesan
menyusui nantinya, seperti periode menyusui, involusi uterus dan mencegah pendarahan pasca
melahirkan.
Tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara pemberian kolostrum dan stunting (p>0.05).
Hasil ini berbeda dengan penelitian Teshome et al.
(2009) yang menunjukkan bahwa anak yang tidak
diberikan kolostrum memiliki risiko lebih tinggi
mengalami stunting (OR=2.09; p<0.05). Dalam penelitian ini, sebaran perilaku ibu terhadap kolostrum
cenderung homogen. Sebesar 92.2% ibu memberikan
kolostrumnya dan hanya 7.8% ibu yang membuang
kolostrumnya. Sebaran yang cenderung homogen

Tabel 1. Uji Chi-Square antara Variabel Risiko dengan Stunting


Variabel
Inisiasi Menyusui (Jam)

Pemberian Kolostrum

Permulaan MP-ASI (Bulan)

Kategori

Normal (n)

Stunting (n)

Total (n)

<1

295

172

467

>1

648

311

959

Total

943

483

1 426

Diberikan

835

422

1 257

Dibuang

67

39

106

Total

902

461

1 363

<6

663

326

989

>6

343

183

526

Total
Pemberian Makanan Pre-lakteal

JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

1 006

509

1 515

Ya

339

173

512

Tidak

572

281

853

Total

911

454

1 365

p
0.107

0.552

0.493

0.767

127

Nadiyah dkk.
Tabel 1. Uji Chi-Square antara Variabel Risiko dengan Stunting (lanjutan)
Variabel
Berat Badan Lahir

Imunisasi Dasar

ANC

Sanitasi Lingkungan

Status Merokok Ibu

Normal (n)

Stunting (n)

Total (n)

Normal

Kategori

855

417

1 272

Rendah

42

34

76

Total

897

451

1 348

Lengkap

272

138

410

Tidak lengkap

490

264

754

Total

762

402

1 164

Lengkap

636

321

957

Tidak lengkap

241

116

357

Total

877

437

1 314

Baik

601

264

865

Kurang baik

391

239

630

Total

992

503

1 495

Ya

38

27

65

Tidak

991

496

1 487

Total

1 029

523

1 552

Kebiasaan Bapak Merokok dalam Ya


Rumah
Tidak

380

234

614

351

160

511

Total

731

394

1 125

Rendah

682

391

1 073

Tinggi

349

132

481

Total

1 031

523

1 554

Rendah

462

278

740

Tinggi

269

116

385

Total

731

394

1 125

Rendah

685

322

1 007

Tinggi

338

196

534

Total

1 023

518

1 541

<3

161

73

234

>3

428

243

671

Total

589

316

905

<20 dan >35

222

129

351

2035

809

394

1 203

Total

1 031

523

1 554

504

284

788

Pendidikan Ibu

Pendidikan Bapak

Paritas

Jarak Kelahiran (Tahun)

Umur Ibu saat Melahirkan


(Tahun)
Pendapatan

Rendah
Tidak rendah

Tinggi Badan Ibu (cm)

Konsumsi Pangan Hewani

527

239

766

Total

1 031

523

1 554

<150

278

284

562

>150

691

300

991

Total

969

584

1 553

<12% total kalori

519

252

771

>12% total kalori

435

234

669

Total

954

486

1 440

p
0.044*

0.652

0.742

0.003*

0.903

0.004*

0.000*

0.015*

0.070

0.176

0.178

0.047*

0.000*

0.372

Keterangan: * Signifikan (p<0.05)

menyebabkan hasil uji tidak dapat menggambarkan


hubungan. Manfaat dari kolostrum adalah kemampuannya untuk memfasilitasi adanya bifidus flora
128

dalam saluran percernaan. Zat-zat antibodi yang


ditemukan dalam kolostrum dapat membantu memproteksi saluran perncernaan dari infeksi.
JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

Faktor Risiko Stunting Anak Usia 023 Bulan


Permulaan MP-ASI tidak berhubungan nyata
dengan stunting (p>0.05). Hal ini dapat disebabkan
permulaan MP-ASI yang digunakan dalam penelitian
ini tidak turut mempertimbangkan praktik pemberian makanan/minuman selain ASI saat anak belum
disusui untuk pertama kalinya, dan hanya mempertimbangkan mulainya praktik pemberian makanan/
minuman selain ASI yang selanjutnya terus-menerus
diberikan. Praktik pemberian makanan/minuman selain ASI saat anak baru dilahirkan dan belum disusui
untuk pertama kalinya dianalisis tersendiri dalam
penelitian ini sebagai variabel pemberian makanan
pre-lakteal. Rekomendasi WHO (2001) untuk pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sebaiknya
dimulai sejak usia enam bulan sambil meneruskan
menyusui hingga umur dua tahun atau lebih.
Berdasarkan uji beda panjang badan, anakanak dengan konsumsi pangan hewani <12% total
kalori lebih pendek daripada anak yang mengonsumsi pangan hewani >12% total kalori. Namun berdasarkan uji chi-square, konsumsi pangan hewani
tidak berhubungan nyata dengan stunting (p>0.05).
Hasil tersebut berbeda dengan kebanyakan penelitian yang menunjukkan konsumsi pangan hewani
berkontribusi terhadap perbaikan pertumbuhan.
Kemungkinan ini disebabkan recall dalam penelitian
ini hanya dilakukan 1x24 jam sehingga menghasilkan data yang kurang representatif menggambarkan
kebiasaan makan individu. Recall 2x24 jam tanpa
berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi
yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa et al. 2001).
Walaupun anak yang stunting lebih banyak
dari kelompok anak yang tidak mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap, hasil uji chi-square
menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kelengkapan imunisasi dasar dan stunting pada anak (p>0.05). Tidak semua infeksi yang
umum terjadi pada anak dapat dilakukan tindakan
imunisasi sebagai tindakan preventif. Oleh karena
itu imunisasi dasar yang lengkap pada anak tidak
menjamin anak bebas dari penyakit infeksi lainnya.
Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian casecontrol oleh Candra et al. (2011) terhadap 58 kasus
dan 58 kontrol usia 12 tahun di Kota Semarang,
hasilnya menunjukkan baik dalam analisis bivariat
ataupun multivariat imunisasi lengkap tidak signifikan berhubungan dengan stunting pada anak usia
12 tahun. Hasil
penelitian Fatimah (2009) menunjukkan tidak memperoleh imunisasi BCG menjadi
faktor risiko stunting (OR=1.34, 95%CI=0.691.4).
Analisis secara lebih detail terhadap masing-masing
imunisasi dasar mungkin lebih bisa menjelaskan
hubungannya dengan stunting dibandingkan sekedar
lengkap atau tidak lengkap.
Tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara ANC dan stunting pada anak. Berbeda dengan penelitian Shrimpton dan Kachondham (2003)
di Korea Utara yang menunjukkan adanya hubungan
yang kuat antara frekuensi antenatal care dengan
JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

stunting pada anak usia 023 bulan (p<0.001). Penelitian Garrido (2009) menunjukkan bahwa impact
kunjungan ANC (secara timing maupun jumlah) yang
direkomendasikan oleh WHO untuk negara berkembang terlihat baik di daerah perkotaan. Di perdesaan, kurangnya impact jumlah kunjungan ANC
disebabkan oleh rendahnya kualitas ANC. Kualitas
ANC lebih menentukan status gizi anak selanjutnya
dibandingkan sekedar jumlah kunjungan ANC yang
direkomendasikan minimal sebanyak empat kali.
Rata-rata anak kelompok paritas tinggi lebih
pendek dibandingkan anak kelompok paritas rendah. Begitu juga dengan umur ibu saat melahirkan,
rata-rata panjang badan anak dengan umur ibu
melahirkan berisiko (<20 tahun dan >35 tahun) lebih
pendek dibandingkan dengan panjang badan anak
dengan umur ibu melahirkan antara 2035 tahun.
Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan
baik antara paritas ataupun umur ibu melahirkan dengan stunting pada anak (p>0.05). Paritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya
berat badan lahir rendah (BBLR). Ibu dengan paritas
lebih dari 3 kali berisiko 2.4 kali lebih besar untuk
melahirkan anak BBLR. Organ reproduksi wanita
kurang dari 20 tahun belum siap untuk menerima
kehamilan dan melahirkan. Stres dapat memengaruhi bayi melalui perubahan fisik yang terjadi seperti peningkatan detak jantung dan peningkatan
hormon adrenalin. Ibu hamil yang mengalami stres
tinggi dapat meningkatkan risiko melahirkan prematur. Wanita usia lebih dari 35 tahun tergolong
berisiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan karena pada usia ini berbagai penyakit dan komplikasi
kehamilan serta komplikasi persalinan meningkat
(Asiyah et al. 2010).
Jarak kelahiran tidak signifikan berhubungan
dengan stunting. Rata-rata jarak kelahiran subjek
dengan anak sebelumnya di atas tiga tahun. Ratarata tersebut tergolong jarak kelahiran yang kurang
berisiko. Sebaran jarak kelahiran dalam penelitian
ini cenderung homogen. Berdasarkan USAID (2000),
jarak kelahiran tiga tahun atau lebih berhubungan
dengan menurunnya risiko stunting pada bayi dan
balita.
Baik pendidikan ibu maupun pendidikan bapak, keduanya signifikan berhubungan dengan
stunting pada anak (p<0.05). Pendidikan ibu tampak
lebih kuat hubungannya dengan stunting. Hubungan pendidikan ibu dengan stunting yang lebih kuat
terlihat pula dalam penelitian Girma dan Genebo
(2002) dimana ibu dengan pendidikan lebih rendah
(tidak sekolah/SD) berpeluang memiliki anak stunting 1.8 kali lebih besar dan bapak dengan pendidikan lebih rendah berpeluang memiliki anak stunting
1.4 kali lebih besar.
Terdapat hubungan yang signifikan antara
pendapatan keluarga dengan stunting pada anak
(p<0.05). Berdasarkan banyak penelitian, status
ekonomi lebih banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan linear dibandingkan pertumbuhan berat
badan. Hubungan status ekonomi dan stunting juga
129

Nadiyah dkk.
ditemukan dalam penelitian Girma dan Genebo
(2002) di Ethiopia terhadap 9 768 balita. Penelitian
tersebut menunjukkan risiko stunting paling tinggi
pada anak dari golongan status ekonomi paling miskin (OR=2.01), sedangkan anak dengan status ekonomi miskin berpeluang stunting 1.87 kali. Kedua OR
diatas dibandingkan dengan anak golongan ekonomi
menengah/ke atas.
Rata-rata panjang badan anak dari ibu perokok lebih rendah dibandingkan anak dari ibu bukan perokok namun tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara status merokok ibu dan stunting
pada anak. Hal ini disebabkan status merokok keseluruhan ibu subjek cenderung homogen. Hampir
100% ibu tidak merokok (94.9%) dan hanya 5.1%
ibu yang merokok. Homogennya sebaran anak berdasarkan status merokok ibu mengakibatkan analisis
kurang mampu menggambarkan hubungan antara
status merokok ibu dan stunting pada anak.
Kyu et al. (2009) menemukan bahwa perilaku merokok ibu berhubungan negatif dengan indeks TB/U anak. Ada hubungan yang positif dan
kuat antara perilaku merokok ibu dan severe stunting (OR=1.49; 95%CI:1.291.71). Merokok merupakan imunosupresan baik secara in vivo maupun
in vitro. Abnormalitas fungsi imun pada darah tali
pusat teridentifikasi pada anak dari ibu yang merokok saat hamil. Disamping itu abnormalitas fungsi
leukosit juga ditemukan pada anak dengan ibu merokok (Hawamdeh et al. 2003). Merokok saat hamil
berhubungan dengan lebih rendahnya berat badan
dan panjang badan saat lahir (Kyu et al. 2009). Rendahnya panjang badan lahir juga menjadi prediktor
terjadinya stunting. Schmidt et al. (2002) menemukan bahwa panjang badan lahir merupakan prediktor terkuat z-skor TB/U anak (=0.492; p<0.000).
Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan bapak merokok dalam rumah dengan stunting (p<0.05). Kyu et al. (2009) juga menemukan
hubungan yang negatif antara perilaku merokok
pada suami dengan indeks TB/U anak. Survey rumah tangga di perdesaan dan perkotaan di Indonesia juga menemukan bahwa perilaku merokok bapak
berhubungan dengan stunting dan severe stunting
(Kyu et al. 2009).

Merokok dapat menghambat kemajuan status


gizi anak melalui kejadian infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkungan dengan asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Hawamdeh et al.
2003). Berdasarkan penelitian Colly et al. dalam
Hawamdeh et al. (2003), kejadian pneumonia dan
bronchitis signifikan berhubungan dengan kebiasaan
merokok orangtua. Jika orangtua bukan perokok,
kejadian tahunan 7.8%, jika salah satu orangtua
perokok 11.4% dan jika keduanya perokok 17.6%.
Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada anak
yang orangtuanya merokok. Nikotin yang ada dalam
rokok secara langsung bereaksi dengan kondrosit
(sel tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin
sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
tulang (Kyu et al. 2009).
Faktor Risiko Stunting
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR
menjadi faktor yang paling dominan berisiko terhadap stunting pada anak (OR=2.21; 95%CI:1.01
4.86, p<0.05) (Tabel 2). Hasil serupa ditemukan pula
oleh Fitri (2012) dalam penelitiannya terhadap 3 126
balita di Sumatera dimana ditemukan bahwa faktor risiko yang paling dominan terhadap terjadinya
stunting adalah BBLR (OR=1.71; 95%CI:1.222.39).
Begitu juga penelitian kohor yang dilakukan oleh
Schmidt et al. (2002) di Jawa Barat menunjukkan
bahwa pertumbuhan linear lebih ditentukan oleh
lingkungan saat pra kelahiran daripada faktor-faktor
pasca kelahiran.
Lingkungan pra kelahiran yang dimaksud diantaranya adalah pertumbuhan saat masa janin yang
indikatornya dapat dilihat dari berat badan saat
lahir (p=0.000). Kebanyakan BBLR disebabkan oleh
faktor dari ibu, faktor terbesar yaitu anemia saat
kehamilan (67%).
Faktor dari kehamilan sendiri, faktor paling besar adalah komplikasi saat kehamilan
(22%), sedangkan faktor lain yaitu genetik hanya
sebesar 7% (Asiyah et al. 2010).
Tinggi badan ibu <150 cm. Tinggi badan ibu
kurang dari 150 cm menjadi faktor risiko stunting
pada anak usia 023 bulan (OR=1.77; 95%CI:1.20
2.59, p<0.005). Menurut Depkes RI (2010), di Indo-

Tabel 2. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Faktor-Faktor yang Memengaruhi


Stunting pada Anak Usia 023 Bulan
Variabel

OR

95%CI

Konstanta

0.380

0.000

Berat badan lahir rendah

2.211

1.0064.860

0.048

Tinggi badan ibu <150 cm

1.768

1.2052.594

0.004

Pemberian makanan prelakteal

1.468

1.0002.154

0.050

Sanitasi kurang baik

1.465

1.0102.126

0.044

Inisiasi menyusui >1 jam

0.656

0.4340.993

0.046

NTT terhadap Jabar

1.764

0.9173.393

0.089

Bali terhadap Jabar*


1.414
0.221
0.8122.464
*Tidak dalam interaksi ke-15 (interaksi yang paling fit), tetapi dalam interaksi ke-14

130

JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

Faktor Risiko Stunting Anak Usia 023 Bulan


nesia, prevalensi anak balita pendek dari kelompok
ibu yang pendek (<150 cm) adalah 46.7 %, sedangkan prevalensi balita pendek dari kelompok ibu yang
tinggi (>150 cm) adalah 34.8 %
Penelitian Schmidt et al. (2002) di Jawa Barat
menyimpulkan bahwa setiap kenaikan 1 cm tinggi
badan ibu, maka panjang badan bayi bertambah
0.196 cm (p<0.000). Ini menjadi alasan penting anak
perempuan menjadi target penting dalam perbaikan
stunting hingga generasi selanjutnya.
Pemberian makanan pre-lakteal. Pemberian makanan pre-lakteal menjadi faktor risiko yang
signifikan terhadap stunting pada anak 023 bulan
(OR=1.47, p<0.05). Penelitian Muchina dan Waithaka (2010), menunjukkan anak yang menerima makanan pre-lakteal lebih berisiko stunting (OR=1.80;
p<0.05).
Susu formula adalah jenis makanan pre-lakteal yang paling banyak ditemui dalam penelitian
ini (53%). Villalpando dan Lopez-Alarcon (2000) menyatakan kejadian diare dan prevalensi diare lebih
banyak terjadi pada bayi yang diberikan susu formula, hampir dua kali lipatnya dibandingkan bayi yang
diberikan ASI. Pertumbuhan secara keseluruhan
berhubungan negatif dengan jumlah kejadian diare.
Anoreksia yang terjadi karena sakit lebih sering terjadi pada bayi yang diberikan susu formula.
Di Indonesia,
terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin tinggi persentase pemberian makanan
prelakteal berupa susu. Sebaliknya semakin rendah
tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin
tinggi persentase pemberian makanan prelakteal
non-susu (air putih, air gula, air tajin, air kelapa,
sari buah, teh manis, madu, pisang, nasi/bubur, dan
lainnya). Masalah pemberian makanan pre-lakteal
ditemui pada rumah tangga dengan sosial ekonomi
rendah maupun tinggi.
Teshome et al. (2009) menemukan prevalensi
anak stunting yang tinggi (43.2%) di daerah surplus pangan di Ethiopia, tepatnya di West Gojam.
Tingginya pemberian makanan pre-lakteal di West
Gojam menjadi faktor risiko stunting (OR=1.80,
p<0.05). Pemberian makanan pre-lakteal memiliki
dampak sistemik yang buruk berupa penundaan inisiasi menyusui, pemberian MP-ASI terlalu dini, dan
berisiko terbuangnya kolostrum serta menghambat
suksesnya menyusui hingga anak rentan terhadap
infeksi.
Sanitasi lingkungan kurang baik. Terdapat
hubungan yang signifikan antara sanitasi kurang baik
dengan stunting (p<0.005). Sanitasi lingkungan yang
kurang baik menjadi faktor risiko stunting (OR=1.46;
p<0.05). Checkley et al. (2004) menemukan bahwa
kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotoran
yang cukup berhubungan dengan defisitnya tinggi
badan anak 0.9 cm (95%CI=0.21.7 cm) saat usia 24
bulan. Disamping itu, dalam penelitian yang sama
ditemukan bahwa anak dengan kondisi air dan sanitasi kurang baik 54% lebih sering mengalami diare
JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

daripada anak yang kondisi air dan sanitasinya paling baik.


Penelitian Sukamawa et al. (2006) di Bali
menunjukkan besarnya risiko untuk terjadinya ISPA
pada anak balita yang menempati rumah yang tidak
bersih adalah sebesar 10.3 kali lebih besar dari pada
anak balita yang menempati rumah yang bersih.
Sanitasi lingkungan kurang baik meningkatkan kejadian infeksi sehingga menurunkan kondisi kesehatan
anak dan berimplikasi buruk terhadap kemajuan
pertumbuhan anak.
Inisiasi menyusui >1 jam. Inisiasi menyusui
>1 jam menjadi faktor protektif terhadap stunting
(OR=0.66; p<0.05). Bila ditinjau kembali, kelompok anak yang disusui lebih dari 1 jam dan tidak
diberikan makanan pre-lakteal lebih banyak (56.4%)
dibandingkan kelompok anak yang disusui kurang
dari 1 jam tidak diberikan makanan pre-lakteal
(43.6%) (p<0.000). Tampaknya ini menyebabkan hasil analisis pengaruh inisiasi menyusui >1 jam menjadi faktor protektif.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Muchina
dan Waithaka (2010) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penundaan inisiasi menyusui dengan stunting (OR=2.00; p<0.05). Sedangkan penelitian Teshome et al. (2009) menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan pada prevalensi
anak stunting berdasarkan inisiasi menyusui.
Hasil regresi logistik menunjukkan provinsi
tidak menjadi variabel yang signifikan terhadap
terjadinya stunting. Hal ini berarti faktor mikro/
tingkat individu lebih berpengaruh terhadap terjadinya stunting dibandingkan faktor makro tingkat
provinsi.
KESIMPULAN
Terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara BBLR, sanitasi kurang baik, kebiasaan bapak
merokok dalam rumah, pendidikan ibu dan bapak
yang rendah, pendapatan rendah dan tinggi badan
ibu <150 cm dengan stunting pada anak usia 023
bulan di Jawa Barat, Bali, dan NTT. Faktor risiko
stunting anak usia 023 bulan di Bali, Jawa Barat,
dan NTT adalah BBLR, tinggi badan ibu <150 cm,
sanitasi kurang baik, dan pemberian makanan prelakteal.
Program mengatasi stunting perlu dimulai dari
peningkatan kualitas antenatal care dan kinerja
program gizi dengan memperbaiki manajemen perencanaan, pengadaan, distribusi, dan pengawasan
pelaksanaan bantuan suplemen tablet besi-folat,
dan pendidikan gizi yang intensif pada ibu hamil.
Kualitas pelayanan kesehatan neonatus dasar
berupa penyuluhan tentang menyusui secara eksklusif kepada ibu perlu ditingkatkan dalam mengurangi masalah pemberian makanan pre-lakteal.
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pengkajian pengaruh infeksi seperti diare
dan sebagainya terhadap stunting pada anak 023
bulan dengan desain penelitian kohort.
131

Faktor Risiko Stunting Anak Usia 023 Bulan


UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas
izinnya menggunakan Data Riset Kesehatan Dasar
Indonesia Tahun 2010 (Riskesdas 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Asiyah S, Suwoyo, & Mahaendriningtyastuti. 2010.
Karakteristik bayi berat lahir rendah sampai
tribulan II Tahun 2009 di Kota Kediri. Jurnal
Kesehatan Suara Forikes, 1(3), 210222.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Aksi Nasional Pangan
dan Gizi 20112015. BAPPENAS, Jakarta.
Candra A, Puruhita N, & Susanto JC. 2011. Risk factors of stunting among 12 years old children
in Semarang City. Media Medika Indonesiana,
45(3), 206212.
Checkley W
, Gilman RH, Black RE, Epstein LD, Cabrera L, Sterling CR, & Moulton LH.
2004. Effect of water and sanitation on childhood health in a poor Peruvian Peri-urban Community.
Lancet, 363, 11218.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar Indonesia Tahun 2010. Depkes, Jakarta.
Fatimah S. 2009. Dampak Berat Badan Lahir terhadap Status Gizi Bayi. http://digilib.litbangkes.go.id/go [20 Januari 2013].
Fitri. 2012. Berat Lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (1259 bulan) di
Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010) [Tesis]. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Frongillo EA Jr. 1999. Symposium: causes and etiology of stunting. J. Nutr., 129, 529S530S.
Garrido GG. 2009. The Impact of Adequate Prenatal Care in A Developing Country: Testing the
WHO Recommendations. University of California, Los Angeles.
Girma W & Genebo T. 2002. Determinants of the
Nutritional Status of Mothers and Children in
Ethiopia. ORC Macro, Calverton, Maryland,
USA.
Hawamdeh A, Kasasbeh FA, & Ahmad MA. 2003. Effects of passive smoking on childrens health:
a review. Eastern Mediterranean Health Journal, 9(3), 441447.
Kyu HH, Georgiades K, & Boyle MH. 2009. Maternal
smoking, biofuel smoke exposure and child
height-for-age in seven developing countries.
International Journal of Epidemiology, 38,
13421350.

132

Mendez MA & Adair LA. 1999. Severity and timing of


stunting in the first two years of life affect
performance on cognitive tests in late childhood. Journal of Nutrition, 129(8), 1555
1562.
Muchina EN & Waithaka MN. 2010. Relationship between Breastfeeding Practices and Nutritional
Status of Children Aged 024 months in Nairobi, Kenya. African Journal of Food Agriculture
Nutrition an Development, 10(4).
Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, & Dibley MJ. 2009. Prevalence and Risk Factors for
Stunting and Severe Stunting among Underfives in North Maluku Province of Indonesia.
BMC Pediatrics, 9, 64.
Santosa PB & Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS. Penerbit ANDI,
Yogyakarta.
Schmidt MK, Muslimatun S, West CE, Schultink W,
Gross R, & Hautvast JGAJ. 2002. Nutritional
status and linear growth of indonesian infants
in west java are determined more by prenatal
environment than by postnatal factors. Journal of Nutrition, 132(8), 22022207.
Shrimpton R & Kachondham Y. 2003. Analysing the
Causes of Child Stunting in DPRK. Centre for
International Child Health Institute of Child
Health, London, UK.
Sukamawa AAA, Keman S, & Sulistyorini L. 2006. Determinan sanitasi rumah dan sosial ekonomi
keluarga terhadap kejadian ISPA pada anak
balita serta manajemen penanggulangannya
di Puskesmas. Jurnal Kesehatan Lingkungan,
3(1), 4958.
Supariasa IDN, Fajar I, & Bakri B. 2001. Penilaian
Status Gizi. EGC, Jakarta.
Teshome B, Kogi-Makau W, Getahun Z, & Taye G.
2009. Magnitude and determinants of stunting in children under five years of age in food
surplus region of Ethiopia. The case of West
Gojam Zone.Ethiop J. Health Dev, 23(2), 98
106.
[USAID] U.S. Agency for International Development.
2000. Birth Spacing: A Call to Action. USAID.
Villalpando S & Lopez-Alarcon M. 2000. Growth
faltering is prevented by breast-feeding in
underprivileged infants from Mexico City. J.
Nutr., 130, 546552.
[WHO] World Health Organization. 2001. Complementary feeding, Report of the global consultation, Geneva 1013 December 2001, Summary of guiding principles. WHO, Geneva.
World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central
to Development. A Strategy for Large-Scale
Action. World Bank, Washington DC.

JGP, Volume 9, Nomor 2, Juli 2014

Anda mungkin juga menyukai