Konstitusi Analisis PDF
Konstitusi Analisis PDF
A. Pendahuluan
Konstitusi atau sebuah Undang-Undang Dasar adalah sebuah kontrak sosial antara
masyarakat atau rakyat dengan negara, di mana pada satu sisi rakyat merelakan diri untuk melepaskan
sebagian dari hak-haknya dan tunduk, diatur oleh negara. Sementara di satu sisi yang lain, negara juga
diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya lembaga-lembaga yang menjamin Hak Asasi Manusia
dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balances antara lembagalembaga tersebut. Dengan demikian rumusannya seharusnya warga negara berpartisipasi penuh
dalam proses pembentukan konstitusi.
Sejarah telah mencatat, para pendiri negara menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara. Dalam sidang BPUPKI/PPKI 18 Agustus
1945 Soekarno sendiri menyebutkan sebagai berikut : bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat
sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini
adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih
tenteram kita buat UUD yang lebih sempurna. Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh para
pendiri negara dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai wadah untuk melakukan
perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses
penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.
Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20
milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD
1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi
MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter,
Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salahsatunya akan mengatur
soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri.
Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali
menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal
memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22
C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G,
28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga
mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD
1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan.
Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72
Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2
Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166
butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan
perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena
mencakup pasal yang begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik
pembukaan maupun banyak pasal yang tetap. (Disampaikan pada Seminar Nasional FH.Usakti 15
Agustus 2002).
Amandemen pertama yang dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan
perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal
14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21. sedangkan Amandemen kedua telah
melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A, Pasal 25 E, BaB X, Pasal
26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal
28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal
36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C. Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen ketiga yang meliputi
Pasal 1 Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat
(1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4), BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D
Ayat (1, 2, 3, dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23 Ayat (1, 2, dan 3),
Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal
23 G Ayat (1 dan 2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 24 B Ayat (1,
2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).
Sedang proses Amandemen ke4 ini mengubah dan menetapkan antara lain, perubahan
penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan
Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul
BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta
menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya
merubah dan/ atau menambah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat
(1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31
Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat (1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1,
2, 3, dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan
Pasal Idan II Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan UUD 1945 telah menimbulkan polarisasi pro kontra, kalau meminjam istilah
Agus Widjojo penasihat Fraksi TNI/Polri yang bersifat zero Sum Game, ia membuat penilaian kedua
kelompok masih ada persamaan (Kompas. 6/8). Sedangkan pada harian yang sama dalam
pemberitaannya, dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Tahunan MPR paling tidak terdapat tiga
kelompok politik dan masyarakat dalam menyikapi perubahan UUD 1945. kelompok pertama
menghendaki perubahan UUD 1945 harus tuntas pada ST MPR ini, kelompok kedua menolak
perubahan UUD 1945. Dan kelompok ketiga menghendaki perubahan konstitusi dijadikan konstitusi
transisi untuk kemudian disempurnakan oleh Komisi Konstitusi. TNI mengambil posisi pada
kelompok kedua dan ketiga. Sedangkan kelompok kedua yang jelas-jelas menolak amandemen UUD
1945 mempunyai argument karena MPR telah melakukan kebablasan, alasan mereka amandemen
mengancam NKRI, membentuk UUD Baru, dan menghapuskan eksistensi MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat. Alasan ini menurut afan mereka yang ingin kembali ke UUD 1945 dan alasan
dari utusan golongan itu tidak dapat diterima baik secara akademik maupun politik. (Kompas. 5/8)
Afan menambahkan kelompok yang menolak perubahan UUD 1945, ada tiga kelompok
besar. Pertama, kelompok-kelompok yang dulu tentara yang dulu didoktrin bahwa UUD 1945 adalah
harga mati dan tidak bisa diutak-atik, seperti Tri Sutrisno atau Saipul Sulun. Kedua, kelompokkelompok yang menyakralkan UUD 1945, yaitu kelompok-kelompok Soekarnois, seperti Amin
Aryoso dan kawan-kawan. Dan ketiga adalah kelompok yang akan kehilangan kursinya di MPR, yaitu
kelompok Utusan Golongan. Ketiga kelompok inilah yang jelas betul-betul sangat kentara posisi
mereka berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Sidang Tahunan 2002 kali itu juga terus dibayangi ketegangan politik, tarik menarik
kepentingan politik jangka pendek, isu politik dagang sapi, sampai ancaman deadlock dan kembali
ke UUD 1945 asli karena terjadi krisis konstitusi. Ancaman yang serius ini mendesak berbagai
elemen masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam Sidang
Tahunan yang dilaksanakan di gedung DPR/MPR, baik melalui siaran-siaran langsung, tanggapantanggapan di sekitar media massa, hingga langsung mendatangi gedung anggota dewan itu.
Aksi demontrasi baik yang pro Amandemen maupun yang anti Amandemen terus mewarnai
tahap-tahap akhir pelaksanaan sidang, tetapi yang menarik dan dicermati yaitu semakin
mengerucutnya tuntutan agar dibentuk Komisi Konstitusi dan mendorong MPR mengesahkan
seluruh perubahan Amandemen UUD 1945. mulai dari pertama hingga keempat, tetapi
memberlakukannya hanya untuk sementara hingga tahun 2004 yang disebut sebagai interim constitution
sampai Komisi Konstitusi membenahi/membentuk UUD itu. Yang akhirnya Komisi Konstitusi
dapat disetujui pada hari terakhir sidang, yang tujuannya untuk meyelaraskan amandemen yang
selama ini dilakukan oleh PAH I. Hanya saja usulan-usulan dari fraksi-fraksi di MPR dalam
pembentukan Komisi Konstitusi dianggap berbentuk sebatas lembaga kajian. Reformasi
Konstitusi memang belum berakhir.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), sejak awal memang telah memandang
dan mencermati, proses Amandemen yang dilaksanakan sejak tahun 1999 itu, penuh dengan
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan hingga mengkhawatirkan proses serta hasilhasilnya nanti. Rumusan tinjauan kritis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan sejak
Amandemen pertama kali dilaksanakan, yang juga merupakan hasil diskusi terbatas bersama Koalisi
Ornop untuk Konstitusi Baru, juga merupakan diskusi bersama beberapa pakar Hukum Tata Negara
dan pakar Ilmu Politik dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
B. Kelemahan Amandemen Dari Segi Proses
Secara umum, KRHN melihat beberapa kelemahan yang terjadi pada proses Amandemen
yang telah dilakukan oleh MPR-RI sejak tahun 1999 itu :
Dalam proses itu ada keterbatasan waktu yang dimiliki oleh anggota MPR, terutama anggota
Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945 karena
merangkap jabatan sebagai anggota DPR-RI dengan beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih
lagi, sebagai wakil parpol di DPR, anggota-anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai
rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga makin mengurangi waktu dan
tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan
konsultasi publik secara lebih efektif. Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan.
Pengambilan keputusan final mengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh sekelompok kecil
elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpa adanya risalah rapat. Akibatnya keputusan
yang diambil lebih mencerminkan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek atau kompromikompromi antar fraksi. Padahal, konstitusi adalah suatu Kontrak Sosial antara rakyat dan negara
sehingga proses perubahannya seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.
Dalam penyerapan dan sosialisai (uji sahih), BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang
cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi
kepentingannya. Termasuk dalam proses Amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya
secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Alasan
keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR-RI sebagai alasan untuk membatasi uji sahih, kami
anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab. Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak
pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan melakukan sosialisasi atau studi banding ke luar
negeri yang telah memakan biaya besar pada tahun-tahun sebelumnya. Dari pengamatan KRHN
yang langsung menghadiri proses uji sahih ini di beberapa kota di Indonesia tampak bahwa
keterlibatan publik dalam acara-acara ini masih sangat terbatas pada kalangan akademik dan
pemerintah lokal. Demikian pula partisipasi media massa kurang dilibatkan secara maksimal.
Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang belum
diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat memberikan
penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang telah dilakukan oleh MPR
selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi pengingkaran MPR terhadap prinsip
kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak di atas konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat
untuk dapat mengusulkan dan turut menentukan. Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan
yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan
Profesi, Ornop, Perguruan Tinggi, termasuk para Pakar/Ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi
semu saja, karena pada akhirnya keputusan akhir oleh MPR sendiri. Partisipasi itu menjadi semu
sifatnya dan hanya melegitimasi kerja MPR saja. MPR perlu mencermati keluarnya dua guru besar,
Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari TIM Ahli PAH I MPR karena MPR lebih banyak mengabaikan
pemikiran kedua guru besar itu dalam mengamandemen Pasal 33 UUD 1945, bahkan tidak diterima
baik anggota MPR yang ada dalam PAH I. (Marwan Mas. Kompas 18/9/01). Dalam kerja BP
MPR ini rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang
diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya, MPR jugalah yang menentukan materi apa yang boleh
dan tidak boleh diubah.
MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content
draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang
dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari
paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas
dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dengan agama, negara
dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya. Juga eksposisi
yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syarat-syaratnya dan prisip-prinsipnya serta check and
balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam. MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan
secara adendum, dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini
membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR
tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relavansinya sudah tidak layak lagi
dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti di atas tidak dapat memberikan kejelasan
terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya
paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari
pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain.
Seperti misalnya, penetapan prinsip sistem Presidensil namun dalam elaborasi pasal-pasalnya
menunjukan sistem Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR, yang akan
lebih jelas lagi kami telusuri dalam hal kelemahan substansinya.
Tidak ada kejelasan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945
meskipun telah dilakukan empat kali amandemen. Kesepakatan awal pada tahun 1999
yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensiil ternyata belum
dilaksanakan secara konsisten.
Beberapa hal yang menunjukan bahwa Sistem Presidensiil tidak diterapkan secara
konsisten adalah :
-
Sifat supra dari MPR menunjukan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang
masih kuat dalam sistem pemerintahan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara
karena disatu pihak Presiden melaksanakan sistem Presidensiil sedangkan DPR/MPR
seringkali menginterprestasikan kinerjanya berdasarkan sistem Parlementer.
Pemilihan Presiden yang telah disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung
secara tak terduga menciptakan ekses lain. Yaitu terbentuknya lembaga kepresidenan
yang memiliki legitimasi kuat dan powerfull, hal yang semakin menguatkan tidak adanya
paradigma yang jelas dalam penyusunan amandemen. Kompas dalam laporannya (12/8)
menyebutkan mengapa Presiden kelak jauh lebih legitimate ? jawabannya jelas, Presiden
memiliki mandat langsung dari rakyat. Sedangkan anggota DPR tidak dipilih secara
langsung. Bagaiaman mungkin DPR akan lebih leluasa menggunakan salahsatu haknya
terhadap Presiden, Presiden bisa saja mengabaikan kritik DPR dengan alasan DPR hanya
mewakili parpol belaka, bukan mewakili rakyat yang memilihnya langsung.
Kemudian masalah Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Lalu timbul pertanyaan,
kalau begitu boleh dong Presiden membubarkan DPD karena tidak ada larangan dalam
konstitusi untuk hal itu ?. Inilah yang terjadi selama amandemen satu hingga keempat,
yaitu banyaknya ketimpangan yang sangat mencolok dan inkonsistensi yang harus segera
dibenahi, kalau tidak mau, dunia luar akan menilai kita (Indonesia) negara satu-satunya
yang memiliki konstitusi yang terlucu di dunia.
Tidak terjadi sistem checks and balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara
ketiga lembaga tinggi negara. Ada kecendrungan legislative heavy dengan peran Parlemen
yang lebih dominan sehingga mengaburkan efektivitas sistem Presidensiil dan prediksi
akan kembali lagi kepada eksekutif heavy setelah amandemen keempat. Mahkamah Agung
yang seharusnya menjadi faktor penyeimbang juga kurang diberi wewenang yang kuat
agar dapat menjadi faktor pengimbang apabila terjadi friksi antara Presiden dan Parlemen
(DPR/MPR).
Sistem bikameralisme yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan
bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances
antara kedua kamar di Parlemen. Wewenang DPD masih lebih lemah dibandingkan
wewenang DPR karena hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang
berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Untuk mempertahankan akuntailitas horizontal dan menjamin keterwakilan suara daerah,
maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR sehingga wakil
daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional. Dengan
demikian Parlemen atau MPR hanya merupakan suatu join session yang terdiri dari DPR
dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.
Harian Kompas (12/8) menyoroti dalam fokusnya terhadap dua kamar di MPR sekarang
ini setelah disahkannya amandemen keempat pada sidang tahunan 2002 yang lalu.
Pengunaan kata gabungan bukannya terdiri menyiratkan sistem bikameral
sebagaimana yang dimaksud diatas. Anggota PAH I BP MPR Theo L Sambuaga
mengatakan pada harian yang sama, sistem yang dianut adalah sistem bikameral yang
lunak (soft bicameral).
Diskriminasi hebat terhadap DPD pada pasal-pasal amandemen UUD 1945, dapat dilihat
pada Pasal 20 Ayat (1 dan 2), Pasal 22 C Ayat (2), Pasal 22 D Ayat (2), Pasal 7 A, dan
Pasal 14 Ayat (2). Sungguh ironis, anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, yang
jauh legitimate daripada anggota DPR yang dipilih dengan mencoblos tanda gambar, itu
tidak diberi diberi kekuasaan dan kewenangan yang setara dengan DPR, DPD hanya
akan menjadi pelengkap penderita.
2. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum
Amandemen ketiga mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman memuat sekitar 4 Pasal dan 17
ayat perubahan. Di satu sisi, keseluruhan pasal dan ayat perubahan itu mungkin bisa menjadi
indikasi adanya upaya untuk melakukan perbaikan atas Bab Kekuasaan Kehakiman yang
diatur di dalam UUD 1945. meskipun upaya ini tampaknya sangat minimal karena Bab
tersebut hanya memuat 1 pasal dan dua ayat saja.
Di sisi lainnya, keinginan untuk melakukan perbaikan itu menyebabkan timbulnya masalah
baru sehingga pada akhirnya mengurangi perbaikan yang ingin dituju. Kompleksitas masalah
menjadi kian rumit bila Bab Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Bab Penegakan
Hukum seperti tersebut di dalam Materi Rancangan Perubahan UUD 1945 (TAP MPR No.
XI /MPR/2001). Adapun beberapa soal di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan Bab
Penegakan Hukum adalah sebagai berikut :
Masih belum ada kejelasan, apakah amandemen di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman
dan usulan perubahan konstitusi pada Bab Penegakan Hukum akan dijadikan bab yang
terpisah atau menjadi satu bagian bab. Bila kedua bab itu dipisah akan timbul pertanyaan,
apakah penyelenggara peradilan bukan termasuk aparatur penegak hukum hingga
terpisah dengan pengaturan institusi kejaksaan dan kepolisian. Kalau digabungkan juga
menimbulkan masalah, karena lembaga Komisi Yudisial tidak tepat untuk dikualifikasi
sebagai institusi kekuasaan kehakiman dan lembaga penegakan hukum.
undang-undang, apakah bisa diajukan gugatan atas putusan badan peradilan yang
bertentangan dengan ketentuan di dalam konstitusi.
Kesemua prinsip-prinsip itu juga harus dijamin aktualisasinya dan jaminan itu mesti
dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi, karena prinsip inilah yang akan menjadi pilar
penting bagi perwujudan supremasi hukum. Sedangkan cakupan yurisdiksi dan
mekanisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi prosedur dan instrumen untuk
memastikan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Amandemen juga tidak mengatur dan memberi tempat pada gagasan-gagasan yang
menghendaki adanya pengadilan khusus atau tertentu seperti : pengadilan korupsi,
pengadilan lingkungan, pertanahan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada
suatu dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan tersebut.
Sementara itu ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan tidak
disebutkan secara tegas di dalam amandemen, padahal mekanisme itu menjadi penting
guna menguji dan menepis berbagai gagasan dan tuntutan untuk mengatasi masalah
tertentu atau mengakomodasi dibentuknya suatu peradilan tertentu untuk mengatasi
masalah tertentu atau mengakomodasi dinamika perkembangan kebutuhan.
Amandemen tidak konsisten dan tidak disiplin di dalam merumuskan prinsip, fungsi,
tugas pokok dan wewenang dari berbagai lembaga yang berada di dalam Bab Kekuasaan
Kehakiman dan usulan materi perubahan pada Bab Penegakan Hukum (TAP MPR No.
XI/MPR/2001).
Pengaturan mengenai Mahkamah Agung dimulai dengan menyebutkan wewenang tanpa
didahului dengan fungsi dan tugas pokoknya, padahal kewenangan suatu lembaga sangat
ditentukan oleh fungsi dan tugas pokok lembaga itu. Sementara di dalam pasal yang
mengatur Komisi Judisial diawali dengan menyebutkan sifat lembaga baru kemudian
kewenangannya. Bandingkan juga dengan usulan materi perubahan yang mengatur
mengenai kejaksaan. Di negara yang mandiri baru kemudian disebutkan tugas pokoknya,
yaitu melaksanakan kekuasaan penuntutan. Pasal soal lembaga kepolisian langsung
diawali dengan penyelidikan di dalam perkara pidana merupakan tugas dan wewenang..
Di dalam Mahkamah Konstitusi jumlah dari hakim disebutkan secara tegas, yaitu
sebanyak 9 orang, bahkan juga dikemukakan darimana usulan calon diajukan. Tetapi
jumlah hakim agung dan anggota Komisi Judisial tidak disebutkan secara tegas.
Calon Hakim Agung perlu mendapatkan persetujuan DPR lebih dulu sebelum
ditetapkan oleh Presiden, sedangkan anggota Komisi Judisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sementara pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang. Lalu kenapa
pengangkatan dan pemberhentian harus disebut secara tegas dalam konstitusi, padahal
sebagian lainnya hanya diatur di dalam undang-undang.
Apalagi bila dilacak lebih teliti, tidak ada ketentuan yang mengatur soal pemberhentian
Hakim Agung di dalam konstitusi, padahal pengaturan mengenai pemberhentian
disebutkan secara tegas pada lembaga Komisi Judisial dan Mahkamah Konstitusi (kendati
harus diatur di dalam UU).
10
Amandemen kedua konstitusi tidak menyebutkan secara tegas mengenai visi dan misi
negara mengenai hak asasi manusia. Karena itu perlu dirumuskan fungsi dan peran
negara di dalam memastikan dan menjamin hak asasi manusia agar dilakukan secara
konsisten oleh kekuasaan. Diperlukan jaminan yang lebih pasti atau decisive dari sekedar
perlindungan, pemajuan dan penegakan dan pemenuhan Ham adalah tanggungjawab
negara (Pasal 28 I Ayat 4). Selain itu juga harus disebutkan bagaimana bentuk dari
tanggungjawab negara dan bagaimana mekanisme untuk mewujudkan tanggung jawab
itu.
Jaminan menjadi penting karena kekuasaan atau negara memiliki potensi melakukan
pelanggaran terhadap nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu jaminan juga
diperlukan agar pasal-pasal hak asasi itu tidak hanya menjadi pasal pemanis di dalam
konstitusi yang tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, promosi, perlindungan dan
penegakan hak asasi untuk warga negara dapat dil;aksanakan secara konkrit.
Amandemen tidak menyebutkan secara tegas bahwa nilai dan prinsip hak asasi di dalam
konstitusi harus dijadikan dasar rujukan bagi pembuatan berbagai perundangan lain di
bawah konstitusi. Selain itu amandemen tidak memuat dan mengatur suatu lembaga yang
mampu menjalankan tugas pokok agar nilai dan prinsip hak asasi bisa diaktualisasikan
lebih konkrit. Itu sebabnya lembaga seperti Komisi Hak Asasi Manusia dan/atau Gender
Equality Commision mestinya perlu diatur dalam konstitusi untuk menjamin agar langkah
konkrit dapat terlaksana.
Amandemen tidak sepenuhnya konsisten merujuk pada prinsip universalitas hak asasi,
karena sebagian pasal masih memuat nilai yang mempunyai indikasi partikularistik.
Misalnya pasal 28 I ayat 3 yang mengatur identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional.. masih diatur secara partikularistik. Begitu pun yang secara limitative
mengatur soal yang berkaitan dengan gender equality yang secara universal perlu dimasukan
di dalam amandemen.
Ada kesan kuat, pasal-pasal di dalam amandemen diambil alih dari Tap MPR No.
XVII/MPR/ dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena ada
sekitar 26 butir ayat yang begitu mirip di antara ketiga peraturan itu. Implikasi lebih jauh
adalah terjadi tidak konsistenan di dalam merumuskan pasal di dalam konstitusi,
beberapa pasal yang seharusnya hanya dimuat di dalam perundangan juga turut diambil
alih dan dimasukan di dalam konstitusi. Itulah yang terjadi di dalam pasal yang
mengakomodasi prinsip non-retroaktif. Selain itu amandemen juga tidak disiplin dan
konsisten di dalam merumuskan kategorisasi prinsip hal asasi, apakah membaginya
menurut katagori hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah
mendifinisikannya dengan menggunakan pembagian atau derogable right dan non- derogable
right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak individual, hak komunal dan
vulnarable right.
11
yang paripurna, fasilitas perumahan yang baik, di dalam situasi dimana negara begitu
miskin.
4. Sistem Pemilihan Umum
Sistem Pemilihan Umum terdapat pada amandemen ketiga pada Bab VII B Pasal 22E. pasal
ini mengatur tentang pemiluhan anggota dewan perwakilan rakyat pusat maupun daerah,
dewan perwakilan daerah, dan memilih presiden dan wakilnya. Kemudian pasal ini mengatur
siapa saja yang berhak menjadi peserta dan siapa penyelenggaranya. Beberapa catatan tentang
pemilhan umum pada amandemen ketiga ini, yaitu :
Secara umum pasal ini multi inteprestasi pemilihan umum akan dilaksanakan secara
serentak atau bertahap, kalau dilakukan secara serentak maka akan ada isu campur aduk
antara isu nasional dan daerah, dan isu pemilihan legislatif dan eksekutif. Bila dilakukan
secara terpisah, pertanyaannya apakah terpisah antara pemilu lokal dengan pemilu
nasional, ataukah pemisahan pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif.
Tidak ada kejelasan sistem pemilu apa yang dipergunakan, apakah masih sistem
proporsional ataukah sistem distrik, ataukah pencampuran kedua sistem itu. Pasal 22 E
hanya mengatur asas pemilihan umum, kapan diselenggarakan, untuk memilih siapa dan
siapa pesertanya, dan siapa penyelengaranya.
Adanya inkonsistensi sistemik pasal. Pada ayat 2 untuk dijelaskan untuk memilih siapa
pemilu itu dilaksanakan. Akan tetapi pada ayat berikutnya, mengapa peserta calon
presiden dan wakil presiden tidak masuk dalam aturan pemilu.
TNI juga harus disebut secara tegas sebagai instrumen negara di bidang perthanan
dengan tugas pokok sebagai alat negara yang tunduk otoritas pada pemerintahan sipil
dalam melaksanakan tugasnya. Karena hinnga sampai saat ini belum ada Tap MPR yang
mengatur secara tegas hubungan TNI/Polri dengan politik (Ikrar. Kompas 12/8)
Segala pelaksanaan tugas dan penggunaan kewenangan tidak boleh melanggar dan
mengingkari semua nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia.
Penggunaan force deployment oleh kekuasaan untuk sesuatu yang bersifat darurat harus
segera dipertanggungjawabkan dalam waktu sesingkat-singkatnya (1 X 24 jam) kepada
Parlemen. Untuk itu Parlemen diberi wewenang untuk meminta pertanggungjawaban
dan menghentikan penggunaan kekuatan militer itu.
Profesionalisme TNI harus dinyatakan secara tegas dalam konstitusi bahwa militer
Indonesia adalah militer yang profesional. Dengan demikian istilah-istilah seperti pejuang
dan prajurit serta konsep dwi fungsi ABRI tidak lagi sesuai dengan konsep
profesionalisme TNI.
12
Upaya pertahanan dan keamanan harus menempatkan ilmu pengetahuan, informasi dan
intelejen sebagai kekuatan pendukung. Karena itu, sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta harus dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan
perkembangan dan gagasan yang ingin mengedepankan konsep komando Wilayah
Pertahanan yang tidak hanya berspektif matra darat saja.
Negara mempunyai kewajiban untuk membiayai seluruh program yang berkaitan dengan
sistem pertahanan dan keamanan dan tidak memperbolehkan militer mencari dan
menggunakan dana di luar pembiayaan yang secara resmi dilakukan oleh negara.
6. Pemerintahan Daerah.
Perumusan amndemen kedua tentang Pemerintahan daerah terkandung dalam pasal 18, di
dalam pasal-pasal ini juga mengandung tentang konsep otonomi daerah, komposisi
pemerintahan daerah, dan hubungannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun dalam perumusannya dalam amandemen UD 1945 masih banyak persoalan yang
menjadi catatan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 amandemen kedua, tidak
mensistematir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal Otonomi
Daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam
pasal ini. Seperti pembagian wilayah, pemilihan kepala daerah, sampai soal pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat. Kalaupun mau diatur dalam UUD, persoalan
kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi
dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal
otonomi daerah.
Dalam rumusan Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.. maka hal ini akan tergantung interprestasi
pemerintah pusat yang tidak didasari realias dan aspirasi masing-masing daerah. Rumusan
ini pun kontradiktif karena dapat dinilai sangat sentralistik yang berarti berbenturan
dengan sitem desentralisasi, sehingga penempatan otonomi daerah lagi-lagi dapat menjadi
kendala.
13
daerah (merdeka), bisa jadi konsep NKRI bukan merupakan rumusan final yang
berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.
7. Wilayah negara
Masalah Wilayah Negara dirumuskan dalam Bab IX A Pasal 25 E. akan tetapi perumusannya
seharusnya tetap menganut acuan hukum internasional, dan selain itu adanya ketidakjelasan
yang menjadi tolak ukur dan penentuannya.
8. Warganegara dan penduduk.
Rumusan tentang warganegara dan penduduk tidak didasari oleh paradigma dan pandangan
jauh ke depan, ada pasal yang dinilai adanya suatu upaya yang amat rentan terhadap
kemungkinan akan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhankerusuhan dalam skala besar.
9. Keuangan
Pada perubahan ketiga yang dibahas adalah rumusan tentang keuangan yang berada pada Bab
VIII Hal Keuangan, pasal 23 UUD 1945, khususnya yang menyangkut keuangan negara dan
lembaga-lembaga yang akan memeriksa dan mengawasinya. Dalam perubahan itu ada
beberapa catatan yang perlu diajukan yaitu sebagai berikut :
Perubahan yang dilakukan terhadap pasal 23 terkesan tidak memiliki lndasan filosofi,
ilmu pengetahuan, dan hukum yang kuat, serta tidak visioner. Hal ini juga sebagaimana
yang dikatakan Arifin Pasal (Media Indonesia 26/3) untuk mengubah dan/atau
menambah suatu konstitusi apalagi bicara tentang keuangan, tidak dapat dilakukan secara
asal-asalan. Hal ini dapat dilihat dengan belum adanya kesatuan pendapat di antara
Pemerintah, BPK, dan para Politisi, yang menimbulkan kesan kuat MPR tidak menguasai
masalah.
Tidak adanya syarat aestthetica yang telah dilakukan oleh MPR, sehingga dengan
perubahan atau penambahan tersebut konstitusi tidak hidup. Hal ini terlihat pasal 23
Ayat (1), atau Pasal 23 Ayat (3)
Syarat yang lain yang tidak ada perubahan tentang keuangan ini, ditambahkan Arifin,
adalah syarat operasional dan syarat ekonomis. Perubahan Pasal 23 Ayat (3)
memperhatikan substansi yuridis yang tidak operasional, secara logika tidak mungkin
menjalankan APBN tahun yang lalu sementara situasi dan kondisi pasti berubah, serta
berbeda. Sedangkan tidak adanya syarat ekonomis, penambahan tersbut disusun dengan
sangat ketat, efisien, dan menggunakan kata-kata singkat padat. Lihat pasal 23 Ayat (1),
penuh dengan pemborosan kata-kata dan tidak ekonomis.
Masalah BPK, hal ini merupakan kemunduran visi MPR dalam merumuskan fungsi
BPK. Sebagai suatu lembaga tinggi negara ysng penuh wibawa, alangkah kerdilnya kalau
BPK difungsikan hanya membaca neraca suatu kabupaten/kelurahan yang bersifat
mikroteknis,
dibanding
masalah
yang
bersifat
makrostrategis
seperti
14
Harus dipertanyakan apakah berarti praktek ekonomi akan kembali berjalan pada relnya ?
Apakah cita-cita perkoperasian yang dicita-citakan akan terealisasi pasca perubahan UUD
1945 ?. kemudian bagaimana dengan asas kekeluargaan, apakah asas kekeluargaan tak lagi
menjadi jargon bagi kepentingan penguasa seperti Soeharto dulu ?.
Terlepas dari globalisasi dan era pasar terbuka, tanggungjawab penyelenggara negara
untuk terus melakukan kontrol yang intensif dan ketat, baik melalui institusi maupun
dalam bentuk regulasi. Niscaya kekhawatiran sejumlah anggota MPR nonpribumi akan
menelan pribumi tak akan terjadi.
Pasal
Problematika
15
MPR
dan
16
Presiden
17
DPR
DPD
18
DPR dan DPD dalam merumuskan undangundang. Hal ini juga tidak sesuai dengan aturan
pasal 20 ayat (2) : setiap RUU dibahas DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Apakah DPR berwenang untuk langsung
menolak RUU yang diajukan oleh DPD.
Tidak ada penegasan DPD pun memberikan
persetujuan bersama agar RUU itu bisa disahkan
Presiden.
19
perjanjian internasional
undang-undang.
diatur
dengan
Kekuasaan
Kehakiman
20
21
Pemerintahan
Daerah
politik
dan
proses
hukum.
Sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan masalah,
seperti jika keputusan Mahkamah Konsititusi
yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan wakil Presiden sedangkan Majelis tidak
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
22
Wilayah
Negara
Warga Negara
dan Penduduk
HAM
23
Pertahanan
Dan
Kemananan
Negara
Keuangan
24
BPK
Pendidikan dan
kebudayaan
Perekonomian
25
Nasional Dan
Kesejahteraan
Sosial
pertumbuhan
hukum
laut
dan
udara
internasional. Selain itu juga tidak sejalan dan
tidak sesuai dengan perjuangan bangsa Indonesia
selama hampir 50 tahun. Kata dikuasai
seharusnya juga diganti dengan diatur untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Hasjim
Djalal. Kompas. 16/4)
Dinilai akan menjadi batu sandungan di masa
depan, ketentuan menghadirkan 2/3 dari seluruh
anggota MPR belum tentu dapat dipenuhi. Andai
akan terpenuhi maka persyaratan 2/3 yang hadir
menyetujui perubahan UUD adalah syarat lain
yang akan menjadi persoalan. (Denny Indrayana.
Kompas 22/11/00)
E Penutup
Dengan seluruh pembahasan di atas, terlihat jelas terjadi paradoks dan kekacauan yang sangat
luar biasa. System pemerintahan yang bercampur aduk antara system Presidensiil dan sistem
Parlementer, soal prinsip kedaulatan rakyat yang masih mengantung di dalam struktur MPR. seluruh
hasil perubahan itu juga sama sekali tidak menyentuh persoalan dan kebutuhan setiap kelompok
masyarakat khususnya yang menjadi komunitas terbesar di negara ini. Maka tuntutan harus segera
dibentuknya komisi Konstitusi harus segera diwujudkan. setidaknya ada dua argumentasi mengenai
pentingnya pembentukan Komisi Konstitusi. Pertama, konstitusi pada haekatnya merupakan kontrak
sosial antara masyarakat dengan negara di mana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk
melepaskan sebagian dari hak-haknya dan tunduk dan diatur oleh negara. Sementara di sisi lainnya,
negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM
dan adanya lembaga-lembaga yang menjamin HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan
kekuasaan dan check and balances antara lembaga-lembaga tersebut.
Kedua, arti penting sebagai kontrak sosial tersebut justru dipinggirkan oleh MPR dalam
proses perubahan pertama hingga keempat konstitusi dengan ketidak seriusan MPR dalam proses
tersebut. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP MPR atau minimal
melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan yang terjadi pada
amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang dikemukakan professor
politik dari Colombia University, Jon Elster : Menugaskan (reformasi konstitusi) terhadap sebuah
lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja seperti menugaskannya untuk
berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya sendiri. Apa yang akan terjadi di
Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal ini. Proses penyusunan konstitusi baru
yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989
dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan konstitusi yang memberikan kewenangan yang
berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor
terjadinya proses demokratisasi, malah sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu.
Dengan gambaran yang diungkapkan diatas dengan kelemahan-kelemahan prose perubahan
UUD 1945 yang dilakukan oleh BP MPR semakin menguatkan argumentasi bahwa proses
pembentukan Komisi Konstitusi harus dikeluarkan dari MPR. BP MPR yang telah diberikan
wewenang untuk membentuk Komisi Konstitusi, sifatnya hanya menjadi fasilitator dan penyaringan
anggota Komisi Konstitusi. konsekuensinya perubahan tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang
26
dapat secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip independensi serta melibatkan partisipasi rakyat.
Amandemen UUD 1945 berikut perubahannya masih jauh dari cukup sebagai perwujudan
keseluruhan kepentingan masyarakat. Sudah saatnya diperlukan sebuah UUD lain atau
Konstitusi Baru yang akan menggantikan UUD 1945 dan menarik proses itu keluar dari MPR
melalui Komisi Konstitusi jalur amandemen Pasal 37 UUD 1945, dan menyatakan hasil
amandemen sebagai konstitusi Transisi.