Anda di halaman 1dari 26

KRITIK TERHADAP PROSES DAN SUBSTANSI

AMANDEMEN I-IV UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. Pendahuluan
Konstitusi atau sebuah Undang-Undang Dasar adalah sebuah kontrak sosial antara
masyarakat atau rakyat dengan negara, di mana pada satu sisi rakyat merelakan diri untuk melepaskan
sebagian dari hak-haknya dan tunduk, diatur oleh negara. Sementara di satu sisi yang lain, negara juga
diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya lembaga-lembaga yang menjamin Hak Asasi Manusia
dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balances antara lembagalembaga tersebut. Dengan demikian rumusannya seharusnya warga negara berpartisipasi penuh
dalam proses pembentukan konstitusi.
Sejarah telah mencatat, para pendiri negara menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah konstitusi yang bersifat sementara. Dalam sidang BPUPKI/PPKI 18 Agustus
1945 Soekarno sendiri menyebutkan sebagai berikut : bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat
sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini
adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih
tenteram kita buat UUD yang lebih sempurna. Kondisi objektif ini sudah diantisipasi oleh para
pendiri negara dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai wadah untuk melakukan
perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses
penyelenggaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.
Sidang Tahunan MPR tahun 2002 telah berakhir, sidang yang memakan biaya lebih dari 20
milyar ini akhirnya menuntaskan tahapan akhir dari seluruh rangkaian proses Amandemen UUD
1945. Tahapan itu menuntaskan beberapa materi penting antara lain tentang struktur dan komposisi
MPR, Pemilihan Presiden langsung, peranan negara dan agama pada Pasal 29, otoritas moneter,
Pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Dan aturan peralihan yang salahsatunya akan mengatur
soal pemberlakuan hasil amandemen itu sendiri.
Rangkaian proses amandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah empat kali
menyelesaikan Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999. Proses amandemen itu jumlah pasal
memang tetap 37 tetapi 10 pasal memiliki cabang ( 6A, 7A, 7B, 7C, 18 A, 18 B, 20 A, 22 A, 22B, 22
C, 22 D, 22E, 23 A, 23 B, 23 C, 23 D, 24 A, 24 B, 24 C, 25 A, 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G,
28 H, 28 I, 28 J, 36 S, 36 B, 36 C) sebagaimana juga babnya tetap terdiri 16 Bab tetapi juga
mempunyai cabang (VII A, VII B, VIII A, IX A, X A) dan penambahan sejumlah ayat baru. UUD
1945 sebelumnya terdiri 37 Pasal, 16 Bab, 65 Ayat, 4 Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan.
Maka bandingkan dengan amandemen UUD 1945 satu hingga empat yang terdiri dari 37 Pasal (72
Pasal jika berikut cabang), 16 Bab (21 Bab jika berikut cabang), 191 Ayat, 3 Aturan Peralihan, dan 2
Aturan tambahan. Maka total amandemen 1- 4 UUD 1945 menghasilkan 196 Ayat, yang terdiri 166
butir perubahan dan 30 butir tidak berubah. Dalam perubahan ini Ramlan Surbakti mengatakan
perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 dalam prakteknya bukan amandemen biasa, karena

mencakup pasal yang begitu banyak tetapi juga bukan pembuatan UUD baru karena baik
pembukaan maupun banyak pasal yang tetap. (Disampaikan pada Seminar Nasional FH.Usakti 15
Agustus 2002).
Amandemen pertama yang dimulai pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan
perubahan terhadap 9 Pasal yang meliputi Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal
14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21. sedangkan Amandemen kedua telah
melakukan perubah sebanyak 7 Bab dan 25 Pasal yang yang meliputi Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 22 A, Pasal 22 B, BAB IX A, Pasal 25 E, BaB X, Pasal
26 Ayat (2 dan 3), Pasal 27 Ayat (3), BAB XA, Pasal 28 A, Pasal 28 B, Pasal 28 C, Pasal 28 D, Pasal
28 E, Pasal 28 F, Pasal 28 G, Pasal 28 H, Pasal 28 I, Pasal 28 J, BAB XII, Pasal 30, BAB XV, Pasal
36 A, Pasal 36 B, dan Pasal 36 C. Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen ketiga yang meliputi
Pasal 1 Ayat (1,2,3, dan 5), Pasal 7 A, Pasal 7 B Ayat (1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7), Pasal 7 C, Pasal 8 Ayat
(1, 2), Pasal 11 Ayat (2, 3), Pasal 17 Ayat (4), BAB VII A, Pasal 22 C Ayat (1, 2, 3, dan 4), Pasal 22 D
Ayat (1, 2, 3, dan 4), BAB VII B, Pasal 22 E Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6), Pasal 23 Ayat (1, 2, dan 3),
Pasal 23 A, Pasal 23 C, BAB VIII A, Pasal 23 E Ayat (1, 2, dan 3), Pasal 23 F Ayat (1 dan 2), Pasal
23 G Ayat (1 dan 2), Pasal 24 Ayat (1 dan 2), Pasal 24 A Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 24 B Ayat (1,
2, 3, dan 4), dan Pasal 24 C Ayat (1, 2, 3, 4, 5, dan 6).
Sedang proses Amandemen ke4 ini mengubah dan menetapkan antara lain, perubahan
penomoran Pasal 3 Ayat (3) dan Ayat (4) perubahan ketiga UUD 1945 menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan
Ayat (3). Pasal 25 E perubahan kedua UUD 1945 menjadi Pasal 25 A. Kemudian menghapus judul
BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan mengubah substansi Pasal 16 serta
menempatkannya ke dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dan selanjutnya
merubah dan/ atau menambah Pasal 2 Ayat (1), Pasal 6 A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 11 Ayat
(1), Pasal 16, Pasal 23 B, Pasal 23 D, Pasal 24 Ayat (3), Pasal 29 Ayat (1) dan (2), BAB XIII, Pasal 31
Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Pasal 32 Ayat (1 dan 2), BAB XIV, Pasal 33 Ayat (4 dan 5), Pasal 34 Ayat (1,
2, 3, dan 4), Pasal 37 Ayat (1, 2, 3, 4, dan 5), Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III, Aturan Tambahan
Pasal Idan II Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan UUD 1945 telah menimbulkan polarisasi pro kontra, kalau meminjam istilah
Agus Widjojo penasihat Fraksi TNI/Polri yang bersifat zero Sum Game, ia membuat penilaian kedua
kelompok masih ada persamaan (Kompas. 6/8). Sedangkan pada harian yang sama dalam
pemberitaannya, dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Tahunan MPR paling tidak terdapat tiga
kelompok politik dan masyarakat dalam menyikapi perubahan UUD 1945. kelompok pertama
menghendaki perubahan UUD 1945 harus tuntas pada ST MPR ini, kelompok kedua menolak
perubahan UUD 1945. Dan kelompok ketiga menghendaki perubahan konstitusi dijadikan konstitusi
transisi untuk kemudian disempurnakan oleh Komisi Konstitusi. TNI mengambil posisi pada
kelompok kedua dan ketiga. Sedangkan kelompok kedua yang jelas-jelas menolak amandemen UUD
1945 mempunyai argument karena MPR telah melakukan kebablasan, alasan mereka amandemen
mengancam NKRI, membentuk UUD Baru, dan menghapuskan eksistensi MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat. Alasan ini menurut afan mereka yang ingin kembali ke UUD 1945 dan alasan
dari utusan golongan itu tidak dapat diterima baik secara akademik maupun politik. (Kompas. 5/8)
Afan menambahkan kelompok yang menolak perubahan UUD 1945, ada tiga kelompok
besar. Pertama, kelompok-kelompok yang dulu tentara yang dulu didoktrin bahwa UUD 1945 adalah
harga mati dan tidak bisa diutak-atik, seperti Tri Sutrisno atau Saipul Sulun. Kedua, kelompokkelompok yang menyakralkan UUD 1945, yaitu kelompok-kelompok Soekarnois, seperti Amin

Aryoso dan kawan-kawan. Dan ketiga adalah kelompok yang akan kehilangan kursinya di MPR, yaitu
kelompok Utusan Golongan. Ketiga kelompok inilah yang jelas betul-betul sangat kentara posisi
mereka berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Sidang Tahunan 2002 kali itu juga terus dibayangi ketegangan politik, tarik menarik
kepentingan politik jangka pendek, isu politik dagang sapi, sampai ancaman deadlock dan kembali
ke UUD 1945 asli karena terjadi krisis konstitusi. Ancaman yang serius ini mendesak berbagai
elemen masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam Sidang
Tahunan yang dilaksanakan di gedung DPR/MPR, baik melalui siaran-siaran langsung, tanggapantanggapan di sekitar media massa, hingga langsung mendatangi gedung anggota dewan itu.
Aksi demontrasi baik yang pro Amandemen maupun yang anti Amandemen terus mewarnai
tahap-tahap akhir pelaksanaan sidang, tetapi yang menarik dan dicermati yaitu semakin
mengerucutnya tuntutan agar dibentuk Komisi Konstitusi dan mendorong MPR mengesahkan
seluruh perubahan Amandemen UUD 1945. mulai dari pertama hingga keempat, tetapi
memberlakukannya hanya untuk sementara hingga tahun 2004 yang disebut sebagai interim constitution
sampai Komisi Konstitusi membenahi/membentuk UUD itu. Yang akhirnya Komisi Konstitusi
dapat disetujui pada hari terakhir sidang, yang tujuannya untuk meyelaraskan amandemen yang
selama ini dilakukan oleh PAH I. Hanya saja usulan-usulan dari fraksi-fraksi di MPR dalam
pembentukan Komisi Konstitusi dianggap berbentuk sebatas lembaga kajian. Reformasi
Konstitusi memang belum berakhir.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), sejak awal memang telah memandang
dan mencermati, proses Amandemen yang dilaksanakan sejak tahun 1999 itu, penuh dengan
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan hingga mengkhawatirkan proses serta hasilhasilnya nanti. Rumusan tinjauan kritis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan sejak
Amandemen pertama kali dilaksanakan, yang juga merupakan hasil diskusi terbatas bersama Koalisi
Ornop untuk Konstitusi Baru, juga merupakan diskusi bersama beberapa pakar Hukum Tata Negara
dan pakar Ilmu Politik dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
B. Kelemahan Amandemen Dari Segi Proses
Secara umum, KRHN melihat beberapa kelemahan yang terjadi pada proses Amandemen
yang telah dilakukan oleh MPR-RI sejak tahun 1999 itu :
Dalam proses itu ada keterbatasan waktu yang dimiliki oleh anggota MPR, terutama anggota
Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi Amandemen UUD 1945 karena
merangkap jabatan sebagai anggota DPR-RI dengan beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih
lagi, sebagai wakil parpol di DPR, anggota-anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai
rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga makin mengurangi waktu dan
tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi Amandemen UUD 1945 sekaligus melakukan
konsultasi publik secara lebih efektif. Akibatnya kualitas materi yang dihasilkan tidak memuaskan.
Pengambilan keputusan final mengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh sekelompok kecil
elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus tanpa adanya risalah rapat. Akibatnya keputusan
yang diambil lebih mencerminkan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek atau kompromikompromi antar fraksi. Padahal, konstitusi adalah suatu Kontrak Sosial antara rakyat dan negara
sehingga proses perubahannya seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.

Dalam penyerapan dan sosialisai (uji sahih), BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang
cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi
kepentingannya. Termasuk dalam proses Amandemen yang keempat, MPR tidak melakukannya
secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Alasan
keterbatasan dana yang dikemukakan oleh MPR-RI sebagai alasan untuk membatasi uji sahih, kami
anggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab. Apalagi tampak bahwa pihak MPR tidak
pernah mengeluh kekurangan dana apabila akan melakukan sosialisasi atau studi banding ke luar
negeri yang telah memakan biaya besar pada tahun-tahun sebelumnya. Dari pengamatan KRHN
yang langsung menghadiri proses uji sahih ini di beberapa kota di Indonesia tampak bahwa
keterlibatan publik dalam acara-acara ini masih sangat terbatas pada kalangan akademik dan
pemerintah lokal. Demikian pula partisipasi media massa kurang dilibatkan secara maksimal.
Substansi yang disosialisasikan pada proses uji sahih ini juga dibatasi pada materi yang belum
diputuskan dan beberapa materi yang tidak dapat dirubah. Publik tidak akan dapat memberikan
penilaian terhadap substansi Amandemen pertama sampai keempat yang telah dilakukan oleh MPR
selama ini. Menurut hemat kami ini merupakan indikasi pengingkaran MPR terhadap prinsip
kedaulatan rakyat. MPR telah bertindak di atas konstitusi yang semestinya adalah milik semua rakyat
untuk dapat mengusulkan dan turut menentukan. Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan
yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan
Profesi, Ornop, Perguruan Tinggi, termasuk para Pakar/Ahli. Namun partisipasi tersebut menjadi
semu saja, karena pada akhirnya keputusan akhir oleh MPR sendiri. Partisipasi itu menjadi semu
sifatnya dan hanya melegitimasi kerja MPR saja. MPR perlu mencermati keluarnya dua guru besar,
Mubyarto dan Dawam Rahardjo dari TIM Ahli PAH I MPR karena MPR lebih banyak mengabaikan
pemikiran kedua guru besar itu dalam mengamandemen Pasal 33 UUD 1945, bahkan tidak diterima
baik anggota MPR yang ada dalam PAH I. (Marwan Mas. Kompas 18/9/01). Dalam kerja BP
MPR ini rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang
diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya, MPR jugalah yang menentukan materi apa yang boleh
dan tidak boleh diubah.
MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content
draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang
dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari
paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas
dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dengan agama, negara
dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya. Juga eksposisi
yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syarat-syaratnya dan prisip-prinsipnya serta check and
balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam. MPR lebih menekankan perubahan itu dilakukan
secara adendum, dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini
membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR
tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relavansinya sudah tidak layak lagi
dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial seperti di atas tidak dapat memberikan kejelasan
terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya
paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari
pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain.
Seperti misalnya, penetapan prinsip sistem Presidensil namun dalam elaborasi pasal-pasalnya
menunjukan sistem Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR, yang akan
lebih jelas lagi kami telusuri dalam hal kelemahan substansinya.

B. Kelemahan Amandemen dari Segi Substansi


Meski telah ada empat kali ada perubahan, ada beberapa kelemahan dari segi substansi dalam
perubahan-perubahan tersebut sebagai berikut:
1. Tidak adanya paradigma yang jelas. Model rancangan perubahan UUD 1945 yang ada
sekarang, dimana semua alternatif perubahan dimasukan dalam satu rancangan, membuka
peluang lebar bagi tidak adanya paradigma, konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan
yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut. Karena MPR dapat saja secara
sepotong-sepotong memilih suatu pasal dan merumuskannya tanpa melihat hakekat dan
keterkaitan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya. Hal ini semakin diperburuk dengan
keterbatasan pemahaman anggota MPR, adanya bias kepentingan politik, dan lemahnya
proses perubahan itu sendiri.
Ilustrasi sederhana untuk meggambarkan hal di atas misalnya adanya perubahan yang
menguatkan peran DPR pada perubahan pertama dan kedua (Pasal 5, 13, 14, 15, 20, 20A, 22
A, dan 22 B) dan memasukan alternatif pemilihan Presiden secara langsung serta impeachment
dalam perubahan ketiga tanpa adanya pembicaraan yang lebih mendalam terlebih dahulu,
sistem pemerintahan yang bagaimana yang hendak dipergunakan dalam konstitusi yang baru.
2. Tidak didasari ide konstitualisme. MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD
1945 sebagaimana yang telah dibahas pada prosesnya, tidak mau/berani keluar dari kerangka
dengan mendekonstuksikan prinsip dan nilai UUD 1945 yang relavansinya saat ini sudah
layak dipertanyakan. MPR tidak mendasarinya dengan ide-ide konstitusionalisme, yang
esensinya merupakan spirit/jiwa bagi adanya pengakuan Hak Asasi Manusia dan lembagalembaga negara yang dibentuk untuk melindungi HAM dengan dibatasi oleh hukum. Ide
konstitusionalisme yang bersifat universal ini, tidak memahami konstitusi sebagai doktrin
karena konstitusi hanyalah raga/wadah, namun sebagai spirit/jiwa yang membentuknya yang
berkembang saat ini yakni prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM.
Kondisi di atas diperburuk dengan pembahasan yang sepotong-sepotong sebagaimana
diungkapkan di atas. Dengan adanya perubahan secara parsial MPR setiap tahun tahunnya
dapat mengubah potongan sistem ketatanegaraan tanpa adanya konsep yang menyeluruh.
Misalnya mengubah substansi pasal 16 serta menempatkannya ke dalam BAB III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara.
C. Kritik Atas Substansi Materi Amandemen UUD 1945
1. Sistem Pemerintahan

Tidak ada kejelasan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945
meskipun telah dilakukan empat kali amandemen. Kesepakatan awal pada tahun 1999
yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensiil ternyata belum
dilaksanakan secara konsisten.

Beberapa hal yang menunjukan bahwa Sistem Presidensiil tidak diterapkan secara
konsisten adalah :
-

MPR masih memiliki kewenangankewenangan yang meletakannya sebagai suatu


lembaga supra, bahkan di atas Konstitusi, karena masih berwenang melakukan
perubahan terhadap UUD 1945, Pemilihan Presiden dan menentukan keputusan

impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah


Konstitusi serta wewenang untuk melakukan Judicial Review.
-

Sifat supra dari MPR menunjukan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang
masih kuat dalam sistem pemerintahan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara
karena disatu pihak Presiden melaksanakan sistem Presidensiil sedangkan DPR/MPR
seringkali menginterprestasikan kinerjanya berdasarkan sistem Parlementer.

Pemilihan Presiden yang telah disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung
secara tak terduga menciptakan ekses lain. Yaitu terbentuknya lembaga kepresidenan
yang memiliki legitimasi kuat dan powerfull, hal yang semakin menguatkan tidak adanya
paradigma yang jelas dalam penyusunan amandemen. Kompas dalam laporannya (12/8)
menyebutkan mengapa Presiden kelak jauh lebih legitimate ? jawabannya jelas, Presiden
memiliki mandat langsung dari rakyat. Sedangkan anggota DPR tidak dipilih secara
langsung. Bagaiaman mungkin DPR akan lebih leluasa menggunakan salahsatu haknya
terhadap Presiden, Presiden bisa saja mengabaikan kritik DPR dengan alasan DPR hanya
mewakili parpol belaka, bukan mewakili rakyat yang memilihnya langsung.

Kemudian masalah Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Lalu timbul pertanyaan,
kalau begitu boleh dong Presiden membubarkan DPD karena tidak ada larangan dalam
konstitusi untuk hal itu ?. Inilah yang terjadi selama amandemen satu hingga keempat,
yaitu banyaknya ketimpangan yang sangat mencolok dan inkonsistensi yang harus segera
dibenahi, kalau tidak mau, dunia luar akan menilai kita (Indonesia) negara satu-satunya
yang memiliki konstitusi yang terlucu di dunia.

Tidak terjadi sistem checks and balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara
ketiga lembaga tinggi negara. Ada kecendrungan legislative heavy dengan peran Parlemen
yang lebih dominan sehingga mengaburkan efektivitas sistem Presidensiil dan prediksi
akan kembali lagi kepada eksekutif heavy setelah amandemen keempat. Mahkamah Agung
yang seharusnya menjadi faktor penyeimbang juga kurang diberi wewenang yang kuat
agar dapat menjadi faktor pengimbang apabila terjadi friksi antara Presiden dan Parlemen
(DPR/MPR).

Sistem bikameralisme yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan
bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances
antara kedua kamar di Parlemen. Wewenang DPD masih lebih lemah dibandingkan
wewenang DPR karena hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang
berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Untuk mempertahankan akuntailitas horizontal dan menjamin keterwakilan suara daerah,
maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR sehingga wakil
daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional. Dengan
demikian Parlemen atau MPR hanya merupakan suatu join session yang terdiri dari DPR
dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.

Harian Kompas (12/8) menyoroti dalam fokusnya terhadap dua kamar di MPR sekarang
ini setelah disahkannya amandemen keempat pada sidang tahunan 2002 yang lalu.
Pengunaan kata gabungan bukannya terdiri menyiratkan sistem bikameral
sebagaimana yang dimaksud diatas. Anggota PAH I BP MPR Theo L Sambuaga

mengatakan pada harian yang sama, sistem yang dianut adalah sistem bikameral yang
lunak (soft bicameral).
Diskriminasi hebat terhadap DPD pada pasal-pasal amandemen UUD 1945, dapat dilihat
pada Pasal 20 Ayat (1 dan 2), Pasal 22 C Ayat (2), Pasal 22 D Ayat (2), Pasal 7 A, dan
Pasal 14 Ayat (2). Sungguh ironis, anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, yang
jauh legitimate daripada anggota DPR yang dipilih dengan mencoblos tanda gambar, itu
tidak diberi diberi kekuasaan dan kewenangan yang setara dengan DPR, DPD hanya
akan menjadi pelengkap penderita.
2. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum
Amandemen ketiga mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman memuat sekitar 4 Pasal dan 17
ayat perubahan. Di satu sisi, keseluruhan pasal dan ayat perubahan itu mungkin bisa menjadi
indikasi adanya upaya untuk melakukan perbaikan atas Bab Kekuasaan Kehakiman yang
diatur di dalam UUD 1945. meskipun upaya ini tampaknya sangat minimal karena Bab
tersebut hanya memuat 1 pasal dan dua ayat saja.
Di sisi lainnya, keinginan untuk melakukan perbaikan itu menyebabkan timbulnya masalah
baru sehingga pada akhirnya mengurangi perbaikan yang ingin dituju. Kompleksitas masalah
menjadi kian rumit bila Bab Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Bab Penegakan
Hukum seperti tersebut di dalam Materi Rancangan Perubahan UUD 1945 (TAP MPR No.
XI /MPR/2001). Adapun beberapa soal di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan Bab
Penegakan Hukum adalah sebagai berikut :

Masih belum ada kejelasan, apakah amandemen di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman
dan usulan perubahan konstitusi pada Bab Penegakan Hukum akan dijadikan bab yang
terpisah atau menjadi satu bagian bab. Bila kedua bab itu dipisah akan timbul pertanyaan,
apakah penyelenggara peradilan bukan termasuk aparatur penegak hukum hingga
terpisah dengan pengaturan institusi kejaksaan dan kepolisian. Kalau digabungkan juga
menimbulkan masalah, karena lembaga Komisi Yudisial tidak tepat untuk dikualifikasi
sebagai institusi kekuasaan kehakiman dan lembaga penegakan hukum.

Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan kehakiman di dalam amandemen ketiga


tidak disebut secara komprehensif, karena kekuasaan kehakiman tidak hanya berupa
kekuasaan penyelenggara peradilan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
saja. Kekuasaan Kehakiman mestinya juga mempunyai prinsip parsialitas atau tidak
memihak, non diskriminatif, seluruh prosesnya didasarkan atas akuntabilitas dan
dilakukan secara transparan, sederhana, cepat dan biaya ringan.
Prinsip di atas juga tidak isebutkan secara rinci di dalam usulan materi rancangan
perubahan pada Bab Penegakan Hukum (lihat TAP MPR No. XI/MPR/2001). Padahal,
penyebutan prinsip ini akan menjadi dasar bagi kebijakan legislasi pada seluruh ketentuan
perundangan yang mengatur soal penegakan hukum.
Amandemen Kekuasaan Kehakiman juga tidak merumuskan siapa yang akan
menggunakan kekuasaan tersebut (user), seberapa luas cakupan yurisdiksinya dan
bagaimana kekuasaan itu dilakukan. Misalnya saja, apakah seseorang warga negara bisa
menggugat pemerintah karena melanggar nilai dan prinsip hak asasi yang disebutkan di
dalam konstitusi, siapakah yang mempunyai wewenang melakukan judicial review atas

undang-undang, apakah bisa diajukan gugatan atas putusan badan peradilan yang
bertentangan dengan ketentuan di dalam konstitusi.
Kesemua prinsip-prinsip itu juga harus dijamin aktualisasinya dan jaminan itu mesti
dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi, karena prinsip inilah yang akan menjadi pilar
penting bagi perwujudan supremasi hukum. Sedangkan cakupan yurisdiksi dan
mekanisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi prosedur dan instrumen untuk
memastikan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

Amandemen telah menyebutkan penyelenggaran kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah


Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya di dalam peradilan lingkungan umum,
militer, agama, tata usaha negara serta Mahkamah Konstitusi. Tetapi amandemen itu
tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan lain yang telah ada seperti : pengadilan
niaga, pengadilan adhoc HAM, pengadilan pajak, pangadilan syariah (lihat UU Nanggroe
Aceh Darussalam) dan pengadilan adat (lihat pengadilan Otonomi Khusus Papua).
Pertanyaannya apakah berbagai peradilan itu akan dimasukkan ke dalam salahsatu
lingkungan peradilan saja atau dikualifikasi sebagai suatu peradilan khusus ?.

Amandemen juga tidak mengatur dan memberi tempat pada gagasan-gagasan yang
menghendaki adanya pengadilan khusus atau tertentu seperti : pengadilan korupsi,
pengadilan lingkungan, pertanahan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada
suatu dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan tersebut.
Sementara itu ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan tidak
disebutkan secara tegas di dalam amandemen, padahal mekanisme itu menjadi penting
guna menguji dan menepis berbagai gagasan dan tuntutan untuk mengatasi masalah
tertentu atau mengakomodasi dibentuknya suatu peradilan tertentu untuk mengatasi
masalah tertentu atau mengakomodasi dinamika perkembangan kebutuhan.

Amandemen tidak konsisten dan tidak disiplin di dalam merumuskan prinsip, fungsi,
tugas pokok dan wewenang dari berbagai lembaga yang berada di dalam Bab Kekuasaan
Kehakiman dan usulan materi perubahan pada Bab Penegakan Hukum (TAP MPR No.
XI/MPR/2001).
Pengaturan mengenai Mahkamah Agung dimulai dengan menyebutkan wewenang tanpa
didahului dengan fungsi dan tugas pokoknya, padahal kewenangan suatu lembaga sangat
ditentukan oleh fungsi dan tugas pokok lembaga itu. Sementara di dalam pasal yang
mengatur Komisi Judisial diawali dengan menyebutkan sifat lembaga baru kemudian
kewenangannya. Bandingkan juga dengan usulan materi perubahan yang mengatur
mengenai kejaksaan. Di negara yang mandiri baru kemudian disebutkan tugas pokoknya,
yaitu melaksanakan kekuasaan penuntutan. Pasal soal lembaga kepolisian langsung
diawali dengan penyelidikan di dalam perkara pidana merupakan tugas dan wewenang..

Amandemen tidak konsisten dan disiplin di dalam merumuskan sistematika pasal-pasal


yang berkaitan dengan pengaturan kriteria, proses rekruitmen dan pemberhentian dari
Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota Komisi Judisial kriteria mengenai Hakim
Agung dan Komisi Judiasial diatur setelah pasal yang menyebutkan soal kewenangan dari
lembaga MA dan komisi Judisial. Tetapi, Mahkamah Konstitusi lebih dulu menyebutkan
jumlah Hakim Konstitusi ketimbang kriteriadari Hakim Konstitusi.

Di dalam Mahkamah Konstitusi jumlah dari hakim disebutkan secara tegas, yaitu
sebanyak 9 orang, bahkan juga dikemukakan darimana usulan calon diajukan. Tetapi
jumlah hakim agung dan anggota Komisi Judisial tidak disebutkan secara tegas.
Calon Hakim Agung perlu mendapatkan persetujuan DPR lebih dulu sebelum
ditetapkan oleh Presiden, sedangkan anggota Komisi Judisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sementara pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang. Lalu kenapa
pengangkatan dan pemberhentian harus disebut secara tegas dalam konstitusi, padahal
sebagian lainnya hanya diatur di dalam undang-undang.
Apalagi bila dilacak lebih teliti, tidak ada ketentuan yang mengatur soal pemberhentian
Hakim Agung di dalam konstitusi, padahal pengaturan mengenai pemberhentian
disebutkan secara tegas pada lembaga Komisi Judisial dan Mahkamah Konstitusi (kendati
harus diatur di dalam UU).

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap


Undang-undang Dasar, namun tidak dirumuskan lebih jauh apa tindakan hukum yang
harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu. Apakah
peraturan perundangan itu dinyatakan sah atau dinyatakan tidak berlaku atau ditegaskan
tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu dicabut atau
dibatalkan. Juga tidak dirumuskan secara baik, bagaimana proes pelaksanaan keputusan
itu dilakukan, apakah perlu dimasukan ke dalam lembaran negara dan bagaimana bila ada
pihak yang tidak mau amar putusan dari Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak ada ketentuan
yang mengatur masalah akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan dari Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar.
Salahsatu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga sebagai salahsatu penyeimbang
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Akan tetapi persoalan ketatanegaraan tetap menyisakan
sandungan ke depan, jika suatu saat nanti Presiden setelah dituduh melakukan korupsi
oleh DPR dan diputus bersalah oleh Mahkamah Konstitusi sehingga diberhentikan oleh
MPR, namun oleh MA melalui pemeriksaan pidananya di tingkat kasasi maupun
peninjauan kembali (PK) dinyatakan tidak bersalah, tak ada mekanisme rehabilitasi yang
diatur dalam perubahan UUD 1945 (Kompas 12/8)

3. Hak Asasi Manusia


Amandemen kedua yang memuat mengenai Bab Hak Asasi Manusia merupakan perubahan
yang paling signifikan. Di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal
24 ayat yang mengatur prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusiaan. Di satu
sisi, mungkin sulit untuk menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi
adanya komitmen di sebagian anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin
pelaksanaan penegakan hak asasi.
Namun demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan karena masalah tersebut
potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan
pasal-pasal hak asasi di dalam Bab X A Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip
yang tidak mempunyai daya enforcement. Selain itu, juga ada indikasi ketidakdisiplinan di
dalam merujuk prinsip penting di dalam konvensi hak asasi yang berlaku secara universal.

10

Amandemen kedua konstitusi tidak menyebutkan secara tegas mengenai visi dan misi
negara mengenai hak asasi manusia. Karena itu perlu dirumuskan fungsi dan peran
negara di dalam memastikan dan menjamin hak asasi manusia agar dilakukan secara
konsisten oleh kekuasaan. Diperlukan jaminan yang lebih pasti atau decisive dari sekedar
perlindungan, pemajuan dan penegakan dan pemenuhan Ham adalah tanggungjawab
negara (Pasal 28 I Ayat 4). Selain itu juga harus disebutkan bagaimana bentuk dari
tanggungjawab negara dan bagaimana mekanisme untuk mewujudkan tanggung jawab
itu.
Jaminan menjadi penting karena kekuasaan atau negara memiliki potensi melakukan
pelanggaran terhadap nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu jaminan juga
diperlukan agar pasal-pasal hak asasi itu tidak hanya menjadi pasal pemanis di dalam
konstitusi yang tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, promosi, perlindungan dan
penegakan hak asasi untuk warga negara dapat dil;aksanakan secara konkrit.

Amandemen tidak menyebutkan secara tegas bahwa nilai dan prinsip hak asasi di dalam
konstitusi harus dijadikan dasar rujukan bagi pembuatan berbagai perundangan lain di
bawah konstitusi. Selain itu amandemen tidak memuat dan mengatur suatu lembaga yang
mampu menjalankan tugas pokok agar nilai dan prinsip hak asasi bisa diaktualisasikan
lebih konkrit. Itu sebabnya lembaga seperti Komisi Hak Asasi Manusia dan/atau Gender
Equality Commision mestinya perlu diatur dalam konstitusi untuk menjamin agar langkah
konkrit dapat terlaksana.

Amandemen tidak sepenuhnya konsisten merujuk pada prinsip universalitas hak asasi,
karena sebagian pasal masih memuat nilai yang mempunyai indikasi partikularistik.
Misalnya pasal 28 I ayat 3 yang mengatur identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional.. masih diatur secara partikularistik. Begitu pun yang secara limitative
mengatur soal yang berkaitan dengan gender equality yang secara universal perlu dimasukan
di dalam amandemen.
Ada kesan kuat, pasal-pasal di dalam amandemen diambil alih dari Tap MPR No.
XVII/MPR/ dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena ada
sekitar 26 butir ayat yang begitu mirip di antara ketiga peraturan itu. Implikasi lebih jauh
adalah terjadi tidak konsistenan di dalam merumuskan pasal di dalam konstitusi,
beberapa pasal yang seharusnya hanya dimuat di dalam perundangan juga turut diambil
alih dan dimasukan di dalam konstitusi. Itulah yang terjadi di dalam pasal yang
mengakomodasi prinsip non-retroaktif. Selain itu amandemen juga tidak disiplin dan
konsisten di dalam merumuskan kategorisasi prinsip hal asasi, apakah membaginya
menurut katagori hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah
mendifinisikannya dengan menggunakan pembagian atau derogable right dan non- derogable
right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak individual, hak komunal dan
vulnarable right.

Amandemen juga tidak mengatur problem konkrit mengenai bagaimana negara


melindungi, memajukan, menegakan hak asasi di dalam periode transisi. Karena dapat
dipastikan, negara tidak akan mungkin mampu menjamin sepenuhnya pelaksanaan hak
asasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, budaya dan sosial, seperti : hak atas kesehatan

11

yang paripurna, fasilitas perumahan yang baik, di dalam situasi dimana negara begitu
miskin.
4. Sistem Pemilihan Umum
Sistem Pemilihan Umum terdapat pada amandemen ketiga pada Bab VII B Pasal 22E. pasal
ini mengatur tentang pemiluhan anggota dewan perwakilan rakyat pusat maupun daerah,
dewan perwakilan daerah, dan memilih presiden dan wakilnya. Kemudian pasal ini mengatur
siapa saja yang berhak menjadi peserta dan siapa penyelenggaranya. Beberapa catatan tentang
pemilhan umum pada amandemen ketiga ini, yaitu :

Secara umum pasal ini multi inteprestasi pemilihan umum akan dilaksanakan secara
serentak atau bertahap, kalau dilakukan secara serentak maka akan ada isu campur aduk
antara isu nasional dan daerah, dan isu pemilihan legislatif dan eksekutif. Bila dilakukan
secara terpisah, pertanyaannya apakah terpisah antara pemilu lokal dengan pemilu
nasional, ataukah pemisahan pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif.

Tidak ada kejelasan sistem pemilu apa yang dipergunakan, apakah masih sistem
proporsional ataukah sistem distrik, ataukah pencampuran kedua sistem itu. Pasal 22 E
hanya mengatur asas pemilihan umum, kapan diselenggarakan, untuk memilih siapa dan
siapa pesertanya, dan siapa penyelengaranya.

Adanya inkonsistensi sistemik pasal. Pada ayat 2 untuk dijelaskan untuk memilih siapa
pemilu itu dilaksanakan. Akan tetapi pada ayat berikutnya, mengapa peserta calon
presiden dan wakil presiden tidak masuk dalam aturan pemilu.

5. Bidang Pertahanan dan Keamanan


Amandemen kedua mengenai Pertahanan dan Keamanan memuat lebuh banyak ayat
dibandingkan ayat-ayat pada konstitusi terdahulu serta mengatur berbagai hal baru yang
sebelumnya tidak pernah diatur. Namun ada cukup banyak catatan yang perlu diajukan yaitu :

TNI juga harus disebut secara tegas sebagai instrumen negara di bidang perthanan
dengan tugas pokok sebagai alat negara yang tunduk otoritas pada pemerintahan sipil
dalam melaksanakan tugasnya. Karena hinnga sampai saat ini belum ada Tap MPR yang
mengatur secara tegas hubungan TNI/Polri dengan politik (Ikrar. Kompas 12/8)
Segala pelaksanaan tugas dan penggunaan kewenangan tidak boleh melanggar dan
mengingkari semua nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia.

Penggunaan force deployment oleh kekuasaan untuk sesuatu yang bersifat darurat harus
segera dipertanggungjawabkan dalam waktu sesingkat-singkatnya (1 X 24 jam) kepada
Parlemen. Untuk itu Parlemen diberi wewenang untuk meminta pertanggungjawaban
dan menghentikan penggunaan kekuatan militer itu.

Profesionalisme TNI harus dinyatakan secara tegas dalam konstitusi bahwa militer
Indonesia adalah militer yang profesional. Dengan demikian istilah-istilah seperti pejuang
dan prajurit serta konsep dwi fungsi ABRI tidak lagi sesuai dengan konsep
profesionalisme TNI.

12

Sebelum memberikan wewenang bagi militer untuk melaksanakan tindakan yang


melibatkan force deployment pemerintah harus memberikan prioritas pertama pada
kebijakan diplomasi sebagai first line of defence.

Upaya pertahanan dan keamanan harus menempatkan ilmu pengetahuan, informasi dan
intelejen sebagai kekuatan pendukung. Karena itu, sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta harus dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan kemajuan
perkembangan dan gagasan yang ingin mengedepankan konsep komando Wilayah
Pertahanan yang tidak hanya berspektif matra darat saja.

Negara mempunyai kewajiban untuk membiayai seluruh program yang berkaitan dengan
sistem pertahanan dan keamanan dan tidak memperbolehkan militer mencari dan
menggunakan dana di luar pembiayaan yang secara resmi dilakukan oleh negara.

Meskipun peran sosial politik TNI/Polri telah diputuskan mengakhiri kedudukan


TNI/Polri dari Parlemen pada sidang tahunan 2002. menurut ikrar pada harian yang
sama, akan tetapi tidak diatur apakah seorang panglima TNI/Panglima Kodam,
Komandan Kodim boleh memberikan pernyataan politik atau tidak. Kedudukan
Panglima TNI sampai saat ini masih berada di bawah Presiden bukan di bawah Menteri
Pertahanan, sejajar dengan Menteri sehingga masih memiliki peran untuk ikut dalam
pembuatan keputusan-keputusan politik. (kompas 12/8)

6. Pemerintahan Daerah.
Perumusan amndemen kedua tentang Pemerintahan daerah terkandung dalam pasal 18, di
dalam pasal-pasal ini juga mengandung tentang konsep otonomi daerah, komposisi
pemerintahan daerah, dan hubungannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun dalam perumusannya dalam amandemen UD 1945 masih banyak persoalan yang
menjadi catatan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 amandemen kedua, tidak
mensistematir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal Otonomi
Daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang-undang diatur dalam
pasal ini. Seperti pembagian wilayah, pemilihan kepala daerah, sampai soal pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat. Kalaupun mau diatur dalam UUD, persoalan
kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi
dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal
otonomi daerah.

Dalam rumusan Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.. maka hal ini akan tergantung interprestasi
pemerintah pusat yang tidak didasari realias dan aspirasi masing-masing daerah. Rumusan
ini pun kontradiktif karena dapat dinilai sangat sentralistik yang berarti berbenturan
dengan sitem desentralisasi, sehingga penempatan otonomi daerah lagi-lagi dapat menjadi
kendala.

Harus dimungkinkannya merubah bentuk negara kesatuan menjadi federalisme, karena


meskipun prinsip pemerintahan daerah dengan otonomi daerah itu merupakan hakikat
dalam konteks negara kesatuan, namun di sisi lain adanya kenyataan untuk membebaskan

13

daerah (merdeka), bisa jadi konsep NKRI bukan merupakan rumusan final yang
berdasarkan kehendak politis seluruh rakyat Indonesia.

Kontradiksi hukum dan interprestasi yang beragam dalam pelaksanaannya dalam


amandemen kedua akan menjadi batu sandungan hal ini juga tidak diteliti lebih cermat
dengan undang-undang di bawahnya yang telah ada sebelumnya.

7. Wilayah negara
Masalah Wilayah Negara dirumuskan dalam Bab IX A Pasal 25 E. akan tetapi perumusannya
seharusnya tetap menganut acuan hukum internasional, dan selain itu adanya ketidakjelasan
yang menjadi tolak ukur dan penentuannya.
8. Warganegara dan penduduk.
Rumusan tentang warganegara dan penduduk tidak didasari oleh paradigma dan pandangan
jauh ke depan, ada pasal yang dinilai adanya suatu upaya yang amat rentan terhadap
kemungkinan akan terjadinya konflik horizontal yang dapat menimbulkan kerusuhankerusuhan dalam skala besar.
9. Keuangan
Pada perubahan ketiga yang dibahas adalah rumusan tentang keuangan yang berada pada Bab
VIII Hal Keuangan, pasal 23 UUD 1945, khususnya yang menyangkut keuangan negara dan
lembaga-lembaga yang akan memeriksa dan mengawasinya. Dalam perubahan itu ada
beberapa catatan yang perlu diajukan yaitu sebagai berikut :

Perubahan yang dilakukan terhadap pasal 23 terkesan tidak memiliki lndasan filosofi,
ilmu pengetahuan, dan hukum yang kuat, serta tidak visioner. Hal ini juga sebagaimana
yang dikatakan Arifin Pasal (Media Indonesia 26/3) untuk mengubah dan/atau
menambah suatu konstitusi apalagi bicara tentang keuangan, tidak dapat dilakukan secara
asal-asalan. Hal ini dapat dilihat dengan belum adanya kesatuan pendapat di antara
Pemerintah, BPK, dan para Politisi, yang menimbulkan kesan kuat MPR tidak menguasai
masalah.

Tidak adanya syarat aestthetica yang telah dilakukan oleh MPR, sehingga dengan
perubahan atau penambahan tersebut konstitusi tidak hidup. Hal ini terlihat pasal 23
Ayat (1), atau Pasal 23 Ayat (3)

Syarat yang lain yang tidak ada perubahan tentang keuangan ini, ditambahkan Arifin,
adalah syarat operasional dan syarat ekonomis. Perubahan Pasal 23 Ayat (3)
memperhatikan substansi yuridis yang tidak operasional, secara logika tidak mungkin
menjalankan APBN tahun yang lalu sementara situasi dan kondisi pasti berubah, serta
berbeda. Sedangkan tidak adanya syarat ekonomis, penambahan tersbut disusun dengan
sangat ketat, efisien, dan menggunakan kata-kata singkat padat. Lihat pasal 23 Ayat (1),
penuh dengan pemborosan kata-kata dan tidak ekonomis.

Masalah BPK, hal ini merupakan kemunduran visi MPR dalam merumuskan fungsi
BPK. Sebagai suatu lembaga tinggi negara ysng penuh wibawa, alangkah kerdilnya kalau
BPK difungsikan hanya membaca neraca suatu kabupaten/kelurahan yang bersifat
mikroteknis,
dibanding
masalah
yang
bersifat
makrostrategis
seperti

14

menilai/mengevaluasi dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berakibat


kontraproduktif. Pasal 23 E Ayat (1) dapat diartikan bahwa BPK tidak lagi hanya
memeriksa secara Post audit, tetapi juga pre audit. (Media Indonesia, 26/3)
10.

Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial


Usulan amandemen yang tercantum dalam Tap XI/MPR/2001 mengenai Perekonomian
Nasional dan kesejahteraan soaial masih harus dipertegas dengan menekankan prinsip
keberpihakan pada kepentingan rakyat, terutama kelompok masyarakat yang terpinggirkan
atau termarjinalisasi. Sistem ekonomi pasar juga tidak terlalu berpihak pada sistem yang
cendrung mengorbankan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.
Amandemen keempat pada sidang tahunan 2002, meskipun telah mengesahkan,
memepertegas, dan memperkuat kembali teori demokrasi ekonomi dengan asas
kekeluargaan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, kemandirian, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional (Kompas 12/8). Maka terdapat catatan setelah amandemen itu disahkan
yaitu :

Harus dipertanyakan apakah berarti praktek ekonomi akan kembali berjalan pada relnya ?
Apakah cita-cita perkoperasian yang dicita-citakan akan terealisasi pasca perubahan UUD
1945 ?. kemudian bagaimana dengan asas kekeluargaan, apakah asas kekeluargaan tak lagi
menjadi jargon bagi kepentingan penguasa seperti Soeharto dulu ?.

Terlepas dari globalisasi dan era pasar terbuka, tanggungjawab penyelenggara negara
untuk terus melakukan kontrol yang intensif dan ketat, baik melalui institusi maupun
dalam bentuk regulasi. Niscaya kekhawatiran sejumlah anggota MPR nonpribumi akan
menelan pribumi tak akan terjadi.

Menekankan prinsip keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak, dengan lebih


mendahulukan kepentingan masyarakat termarjinal sehingga statemen siapapun yang
berduit dalam konsuekensi mekanisme pasar, akan tetap menjadi pemenangnya
(Kompas). Dapat lebih diperkecil dengan lebih mementingkan kepentingan rakyat dan
kelestarian lingkungan hidup.

D. Matrik Problematika Amandemen UUD 1945


Untuk lebih jelas problematika amandemen yang telah empat kali dilaksanakan oleh MPR,
kami lampirkan Matrik Problematika Amandemen dalam memudahkan kita secara lebih teliti dan
cermat, yang kami susun sebagai berikut:

MATRIK PROBLEMATIKA AMANDEMEN 1-4


Hal

Pasal

Problematika

15

MPR

Pasal 1 ayat (2) Perubahan ketiga:


Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-undang
Dasar
Pasal 2 ayat (1) Perubahan keempat:
MPR terdiri dari atas anggota DPR dan
DPD yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan undangundang

Pasal 3 ayat (1) Perubahan ketiga:


MPR
berwenang
mengubah
menetapkan UUD

dan

Pasal 3 ayat (2) Perubahan ketiga:


MPR melantik Presiden dan/wakil Presiden

Pasal 3 ayat (4) Perubahan ketiga:


MPR hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut UUD

(Pasal 8 ayat (3) Perubahan keempat


Jika Presiden dan wakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan, pelaksana
tugas kePresidenan adalah menteri luar
negeri, menteri dalam negeri dan menteri
pertahanan secara bersama-sama. Selambatlambatnya tiga puluh hari setelah itu, MPR

Terbuka ruang konflik penafsiran dalam


ketentuan dilaksanakan menurut UUD. Apakah
ini bisa ditafsirkan, bahwa MPR bukan lagi
penjelmaan kedaulatan rakyat ? Apakah ketentuan
ini, memiliki implikasi, bahwa kekuasaan MPR
tidak lagi tak terbatas ?
Pemberlakuan bikameral, tidak kemudian diikuti
oleh kewenangan yang dimiliki oleh MPR.
Meskipun kedudukannya berubah, MPR tetap
memiliki wewenang yang sangat luas. Itu akan
menghambat, pelaksananan prinsip checks and
balances dlm penyelenggaraan negara, karena
MPR tetap menjadi lembaga supra.
Pada awalnya MPR hanya menetapkan UUD,
karena
banyaknya
perdebatan
tentang
kewenangan mengubah UUD, maka dipertegas
wewenang tersebut.
Tidak ada aturan yang jelas cara dan mekanisme
mengubah UUD. Proses perubahan secara
substansial tidak harus dilakukan oleh MPR. Jadi,
dari pasal ini masih dimungkinkah dibentuk
lembaga independen untuk secara khusus
membahas perubahan UUD. Anggota MPR.
Akan banyak kepentingan, bila merumuskan
sendiri perubahan konstitusi dan tidak akan
menghasilkan UUD yang maksimal.
Apa relevansi MPR melantik Presiden, bila
Presiden dipilih langsung oleh Rakyat. Bukankah
tidak lebih tepat bila pengangkatan dan sumpah
dilakukan oleh Mahkamah Agung, guna
mempertegas pemisahan kekuasaan sebagaimana
dianut dalam trias Politika.
Dilantiknya Presiden oleh MPR, membentuk
opini bahwa Presiden masih barada di bawah
MPR dan bertanggungjawab kepada MPR.
Pertanyaannya,
berhakkah
MPR
dapat
memberhentikan Presiden melalui proses
impeachment. Dan salah satu komponen dalam
impeachment adalah Mahkamah Konstitusi. Hingga
saat ini MK belum terbentuk, sehingga akan
menimbulkan kekosongan hukum, hingga MK
terbentuk. Presiden tidak dapat diberhentikan,
jika MK belum terbentuk.
Mengapa calon hanya dari dua partai peraih suara
terbanyak ?
Apa relevansi MPR memilih Presiden, sementara
kedudukan mereka adalah sama. Pemilihan
Presiden oleh MPR hanya mengukuhkan MPR
sebagai lembaga supra dan mereduksi kedaulatan
rakyat.

16

menyelenggaarakan sidang untuk memilih


Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang pasangan calon Presiden dan
wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya
Pasal 7B ayat (6) Perubahan ketiga:
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul DPR, tersebut paling
lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima
usul
Pasal 7B ayat (7) Perubahan ketiga:
Keputusan MPR atas usul pemberhentian
Presiden dan atau wakil Presiden harus
diambil dalam rapat paripurna MPR yg
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau wakil
Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna MPR

Presiden

Pasal 6A (2) Perubahan ketiga:


Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.

Pasal 7A dan 7B perubahan ketiga:


Pasal 8 ayat (1) Perubahan ketiga:
Jika
Presiden
mangkat,
berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis
masa jabatannya.
Pasal 8 ayat (2) Perubahan ketiga:
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil
Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu
enampuluh hari, MPR menyelenggarakan
sidang untuk memilih Wapres dari dua

MPR memiliki kewenangan cukup besar untuk


memberhentikan Presiden. Keputusan MK tidak
mengikat MPR. MPR merupakan lembaga politik
dan
keputusan-keputusannya,
merupakan
keputusan politik. Sehingga sangat ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan politik yang bermain di
dalamnya.

Kata "pasangan" masih mengundang


kerawanan karena mengandung arti kesetaraan
atau kesederajatan antara Presiden dan wakil
Presiden, sedangkan pasangan yang diajukan
oleh gabungan parpol berpotensi mengganggu
soliditas dan loyalitas antara Presiden dan
wapres karena masing-masing mempunyai
kepentingan yang berbeda. Apalagi, jabatan
rangkap oleh oleh Presiden/wapres sebagai
ketua umum parpol masih diperbolehkan, yang
berarti selama masa jabatan Presiden dan
wapres akan lebih diwarnai persaingan politik
ketimbang bekerja sama sebagai suatu team
work yang baik dalam menjalankan
pemeritahan.

- Pasal ini juga menutup kemungkinan calon


alternatif dari luar parpol.
Pemberhentian Presiden (impeachment) yang
melibatkan proses politik dan proses hukum yang
dapat menimbulkan masalah.
Berhentinya Presiden (bukan impeachment) yang
tidak jelas bagaimana pertanggung jawaban
Presiden secara politik.

Pasal ini dinilai rancu dengan system pemilihan


Presiden secara langsung. Ditambah lagi apa
wewenang MPR untuk wapres. Karena sesuai
dengan Pasal 3 Perubahan ketiga UUD 1945,

17

calon yang diusulkan Presiden

MPR tidak lagi mempunyai kewenangan memilih


Presiden /wapres. (Kompas 1/7)

Pasal 13 ayat (3) Perubahan pertama:


Presiden menerima penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Praktik ini tidak sepenuhnya terjadi. Ada duta


yang diterima tanpa pertimbangan DPR. DPR tak
mempersoalkan. Pasal ini pun dinilai reaktif dan
tak lazim. rumusan ini menjadi konyol, karena
menjadi satu-satunya negara di dunia (Benny
Harman. Kompas 6/8)

DPR

Pasal 20 ayat (2) : Perubahan pertama:


Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama
Pasal 20 ayat (5) Perubahan Kedua:
Dalam hal rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan.

Pasal 22D Ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945


menyebutkan DPD ikut membahas RUU yang
terkait dengan otonomi daerah dan pemekaran
wilayah. Tetapi tidak, tidak disebutkan perlunya
persetujuan DPD.
Mekanisme pengundangan RUU oleh DPR tak
jelas dan penomoran UU itu tidak diatur.

DPD

Pasal 22C ayat (1) Perubahan ketiga:


Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilu

Siapa yang mencalonkan DPD untuk dipilih


dalam Pemilu. Tidak ada mekanisme yang jelas.
Apakah Calon anggota DPD juga harus ikut
kampanye.
Klausul ini patut diduga sebagai bagian skenario
untuk mempertahankan dominasi DPR dalam
memutuskan hal-hal krusial dalan MPR. Dengan
komposisi semacam ini agaknya sulit untuk tidak
mengatakan bahwa keberadaan DPD lebih
merupakan unsure suplemen ketimbang benarbenar mengakomodasi kepentingan masyarakat
ditingkat lokal.
Kecuali itu, kalkulasi politik dengan kekuatan tak
lebih dari sepertiga jumlah total keanggotaan di
MPR sama artinya dengan melumpuhkan segenap
potensi kritis dan kekuatan perimbangan antar
badan dalam MPR. Ini berbahaya karena akan
menciptakan DPR heavy ditengah kepetingan
daerah dalam mengartikulasi aspirasi mereka.
Meski tingkat legitimasi kedua dewan lebih
legitimate DPD karena berasal dari proses
pemilihan langsung (Pasal 22C dan Pasal 22E
perubahan ketiga UUD 1945)-kesenjangan
kuantitatif dipatikan akan berdamak pada
minimnya tingkat pengaruh DPD terhada proses
agregasi
dan
pembuatan
keputusan.
(Kompas.12/8)
Dengan kata lain, DPD memiliki hak inisiatif.
Akan terjadi tumpang tindih peran pembuatan
undang-undang. Bukankah peraturan perundangundangan menjadi tugas dan kewenangan
lembaga legislatif. Bagaimana hubungan antara

Pasal 22C ayat (2) Perubahan Ketiga:


Anggota Dewan Perwakilan Daerah itu
tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
Dewan Perwakilan rakyat

Pasal 22D ayat (1) Perubahan ketiga):


DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah,

18

pengelolaan sumber daya alam dan sumber


daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat daerah

Pasal 22D ayat (2) perubahan ketiga:


DPD ikut membahas RUU yg berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat
daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah : pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah, serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas RUU anggaran
pendapatan dan belanja negara dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan
dan agama
Pasal 22D ayat (3) Perubahan ketiga:
DPD dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan UU mengenai ; otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindak lanjuti
Pasal 7A dan 7B Ayat (1) sampai dengan
Ayat (6) Perubahan ketiga:
Pasal 7C perubahan ketiga:
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat

Pasal 11 Perubahan ketiga:


Ayat (1) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang
undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut tentang

DPR dan DPD dalam merumuskan undangundang. Hal ini juga tidak sesuai dengan aturan
pasal 20 ayat (2) : setiap RUU dibahas DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Apakah DPR berwenang untuk langsung
menolak RUU yang diajukan oleh DPD.
Tidak ada penegasan DPD pun memberikan
persetujuan bersama agar RUU itu bisa disahkan
Presiden.

Bagaimana hubungan antara DPD dengan


daerah, sehingga DPD memiliki kewenangan
melakukan pengawasan dalam kebijakan otonomi
daerah.
Bukankah fungsi pengawasan itu dilakukan oleh
MA. Apa yang harus dan dapat dilakukan oleh
DPD, bila menemukan penyelewengan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.

Usulan pemberhentian yang hanya bisa dilakukan


berdasarkan usulan DPR-tanpa melibatkan DPD
sebagai elemen (penting) dari lembaga legislative.
Pasal ini dengan tegas memverbalisasi
pengharaman seorang Presiden membubarkan
DPR. Padahal, dalam proses pemberhentian
selanjutnya tegas-tegas melibatkan unsur DPD
dalam menyelenggarakan sidang istimewa oleh
MPR. Akibatnya, tak ada jaminan bagi DPD
untuk bisa mempertahankan diri dari
keganasan lembaga kePresidenan bila sewaktuwaktu terancam dibubarkan karena perangkat
perlindungannya
tidak
ikut
mengalami
obyektifikasi lewat konstitusi.
Secara
eksplisit
meneguhkan
sinyalemen
mengenai ketidakseriusan tim amandemen
konstitusi untuk mengakomodasi unsur DPD
dalam
badan
legislative
mendatang.
Bikameralisme setengah hati ditapakkan dalam
pasal itu yang hanya melibatkan Presiden dan
DPR tanpa DPD- untuk sebuah pernyataan
perang, damai, dan perjanjian internasional
(Agus Haryadi. Kompas.15/5)

19

perjanjian internasional
undang-undang.

diatur

dengan

Pasal 14 Ayat (2) Perubahan pertama:


Presiden memberi amnesti dan abolisi
dengan
memperhatikan
pertimbanagn
Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 20 Ayat (1) Perubahan pertama:


Dewan Perwakilan rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.

Kekuasaan
Kehakiman

Pasal 24 (1) Perubahan ketiga:


Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C
Perubahan ketiga:
Soal kewenangan Mahkamah Agung
melakukan uji materi terhadap peraturan
dibawah undang-undang dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi menguji Undangundang
Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden yang


hanya sekadar memperhatikan pertimbangan
DPR yang tidak melibatkan DPD. Otorias
ekstensif yang dilakukan DPR-pada saat yang
sama menumpulkan peran DPD, jelas
mengkhawatirkan, mengingat prinsip dasar
system Presidensialisme yang erat kaitannya
dengan
mekanisme
pengawasan
dan
perimbangan-termasuk dalam MPR sendiri-tidak
dapat diterapkan aturan semacam ini.
Pasal ini secara eksplisit menghentikan area
kewenangan bagi DPD untuk bisa terlibat dalam
akses pengambilan keputusan membentuk
undang-undang. Hal ini terjadi sebagai
konsekuensi dari isi pasal itu yang menyerahkan
kekuasaan membentuk UU kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), tanpa menyebutkan
istilah DPD satu kalipun. Kalau pun dilibatkan,
statusnya
hanya
terbatas
pada
usulan
pembentukan. Itu pun dibatasi hanya pada
masalah-masalah
tertentu
yang
tingkat
signifikansinya tidak sama seperti tercantum
dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) yang meliputi
otonomi daerah, hubungan pusat-daerah,
pemekaran
atau
penggabungan
daerah,
pengelolaan sumberdaya alam, dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan
kehakiman di dalam amandemen ketiga tidak
disebutkan secara komprehensif, karena kekuasan
kehakiman tidak hanya berupa kekuasaan
penyelengara peradilan peradilan yang merdeka
guna menegakan hukum dan keadilan saja.
Sangat bisa terjadi MA menyatakan sebuah aturan
dibawah undang-undang tidak bertentangan
dengan
undang-undang,
sementara
MK
menyatakan undang-undang itu bertentangan
dengan undang-undang dasar. (Kompas.12/8)
- Pasal tersebut tidak mengatur secara jelas
berbagai peradilan lain yang telah ada seperti:
pengadilan niaga, pengadilan ad hoc HAM,
pengadilan pajak, pengadilan syariah (lihat UU
Nanggroe aceh Darussalam) dan pengadilan adat
(lihat UU otonomi khusus Papua). Pertanyaan,
apakah berbagai peradilan itu akan dimasukkan
kedalam salah satu lingkungan peradilan saja atau
dikualifikasikan sebagai suatu peradilan khusus?
- Penempatan MK mengaburkan kedudukannya
dalam sruktur baru ketatanegaraan Indonesia.

20

Pasal 24 C Perubahan ketiga:


Mahakamah konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran parta politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.

Pasal 24 C ayat (2) Perubahan ketiga:


Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-undang Dasar
Pasal 24 C (3) perubahan ketiga:
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan
orang anggota Hakim Konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

Pasal 7B ayat (5) perubahan ketiga:


Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan

Bukankah MK merupakan lembaga negara


setingkat MPR? Perbedaan utama keduanya pada
yurisdiksi. MK "mengatasi" MA, bukan sejajar
atau dibawahnya. Ini karena MK berhak memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara guna
menggugat putusan MA dalam perkara judicial
review.
- Tidak dirumuskannya dengan lebih jauh apa
tindakan hukum yang harus dilakukan setelah
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang
itu. apakah peraturan perundang-undangan itu
dinyatakan tidak sah atau dinyatakan tidak
berlaku atau ditegaskan tidak mempunyai
kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu
dicabut atau disebutkan dibatalkan. Juga tidak
dirumuskan secara baik bagaimana proses
pelaksanaan keputusan itu dilakukan, apakah
perlu dimasukkan di dalam Lembaran Negara
dan bagaimana bila ada pihak yang tidak mau
amar putusan dari Mahkamah konstitusi. Jadi
tidak ada ketentuan yang mengatur masalah
akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan
dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
kewenangannya
menguji
undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar.
- Rumusan seperti ini kiranya termasuk di
dalamnya
adalah
mengadili
sengketa
kewenangan MPR dengan lembaga negara yang
lain. Jika pemahaman ini enar, MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara yang putusanputusannya tidak dapat dibatalkan oleh lembaga
negara yang lainnya. Atau dengan kata lain,
terkandung arti pula bahwa sebenarnyalah posisi
lembaga tertinggi negara sudah digeser dari
MPR ke Mahkamah Konstitusi.
Impeachment hanya diancamkan kepada Presiden
dan/atau Wapres. Di negara lain, pemeriksaan ini
dilakukan pula terhadap anggota Parlemen, badan
pemeriksa keuangan, komisi pemilu, para haki,
danlain-lain. Di Indonesia, dan untuk
kenyamanan sendiri, para politisi MPR tak ingin
diancam
dengan
impeachment.
(Sulardi.
Kompas.18/4)
Pengisian MK dimonopoli Presiden, DPR, dan
MA tanpa membuka peran rakyat. Privilese ketiga
lembaga ini juga bersifat diskriminatif terhadap
DPD, BPK, dan KPU. Model MK ini terkesan
mengimpor mentah-mentah dari Perancis dan
Jeman (Barat). Namun, Presiden di Perancis dan
di Jerman bukan kepala pemerintahan seperti di
Indonesia. Maka, Presiden Indonesia akan
menentukan arah MK melalui dua jalur, jalur
kePresidenan dan jalur partai di DPR.
Dalam
proses
Pemberhentian
Presiden
(impeachment) pasal ini jelas-jelas melibatkan proses

21

Pemerintahan
Daerah

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden


terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
paripurna
untuk
meneruskan
usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan.

politik
dan
proses
hukum.
Sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan masalah,
seperti jika keputusan Mahkamah Konsititusi
yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan wakil Presiden sedangkan Majelis tidak
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 18 Ayat (1) Perubahan kedua:


Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintah daerah, yang
diatur dengan undang-undang.

Dinilai sangat sentralistik karena dengan rumusan


kata dibagi dapat menimbulkan kontradiksi,
karena hal ini tergantung dari interprestasi
pemerintah pusat yang tidak didasari atas realitas
dan aspirasi dari masing-masing daerah.
Seharusnya yang digunakan adalah kata terdiri
yang lebih menunjukan prinsip egalitarian dan
indepedensi dalam mewujudkan otonomi daerah.
Dalam pasal-pasal ini mencerminkan tidak
sistematisnya apa yang sesungguhnya harus diatur
dalam UUD perihal otonomi daerah, karena
hampir semua obyek yang merupakan proporsi
undang-undang diatur dalam pasal-pasal ini.
Terkesan sangat detail sehingga mirip sebuah
Peraturan Pemerintah atau undang-undang.

Pasal 18 Ayat (4) Perubahan kedua


Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis.
Pasal 18 B Ayat (2). Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
Pasal 18 Ayat (5) Perubahan kedua:
Pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang diatur oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Dinilai berbeda maknanya dengan apa yang


sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun
1999, yakni otonomi yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Dampak dari perbedaan ini
disamping menimbulkan interprestasi beragam
dalam pelaksanaannya juga menimbulkan
kontradiksi hukum.

22

Wilayah
Negara

Pasal 25 E Perubahan kedua:


Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang.

Ada ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan


yang berciri nusantara itu? Apa yang kemudian
menjadi tolak ukurnya? Bagaimana penentuannya
yang meskipun akan diatur kembali lewat UU,
namun tetap seharusnya dari penentuan wilayah
ini mengacu hukum internasional.

Warga Negara
dan Penduduk

Pasal 27 Ayat (3) Perubahan kedua:


Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara.

Dengan rumusan seperti itu maka akan


memudahkan siapa pun yang mempunyai
kewenangan (dalam hal ini alat negara, TNI)
melakukan mobilisasi secara paksa terhadap
warga negara, upaya ini amat rentan kemungkinan
terjadinya konflik horizontal yang dapat
menimbulkan kerusuhan-kerusuhan dalam skala
besar. Seharusnya cukup mejadi hak dan bukan
menjadi kewajiban warga negara.

HAM

Pasal 28 A Perubahan kedua:


Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya

Pasal ini dianggap berbenturan dengan pasal 43


UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan
HAM. Dikawatirkan pasal 43 ini mengenai
kewenangan membentuk pengadilan adhoc untuk
memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran,
menjadi pasal yang mati. (Kompas. 7/11/00)
Pasal ini dinilai mewakili secara substansial
rumusan-rumusan
yang
dihasilkan
tidak
mengelaborasi secara rinci seluruh hak asasi
manusia. Hak yang diberikan kepada warga
negara hanya diatur dalam satu pasal, padahal
masih banyak lagi sesungguhnya hak-hak yang
hakikatnya diberikan kepada warga negara sebagai
konsekuensi kalau UUD adalah hukum dasar
yang substansinya antara lain mengenai
bagaimana hubungan antar negara dan warga
negara.
Dalam rumusan pasal-pasal semacam itu, ada
pemikiran berusaha untuk menghilangkan/
menyembunyikan tanggung jawab negara.
Seharusnya adalah kewajiban negara untuk
melindungi apa-apa yang telah diakui sebagai hak
asasi
seseorang
bukan
malah
menyembunyikannya. Selain itu pasal-pasal ini
dinilai masih rancu, menimbulkan ketidak jelasan
dan persoalan kontraversi baru

Pasal 28 D Ayat (3) Perubahan kedua:


Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 28 C Ayat (1) Perubahan kedua:


Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak
mendapat
pendidikan
dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28 D Ayat (2). Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
Pasal 28 F. Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari,
memperoleh,
memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pasal 28 I Ayat (1) Perubahan kedua:

Pasal ini dinilai memutlakan prinsip nonretro

23

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,


hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Pasal 28 I Ayat (3) Perubahan kedua:
Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 28 J Ayat (2) Perubahan kedua:


Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.

Pertahanan
Dan
Kemananan
Negara

Pasal 30 Ayat (1) Perubahan kedua:


Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.
Pasal 30 Ayat (3) Perubahan kedua:
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara sebagai alat negara
bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan
negara.
Pasal 30 Ayat (4). Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat
bertugas
melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakan hukum.

Keuangan

Pasal 23 Ayat (1) Perubahan ketiga:


Anggaran pendapatan dan belanja negara
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

aktif dan tidak membuka peluang digunakannya


prinsip-prinsip hukum internasional seperti yang
tertuang dalam Pasal 11 (2) DUHAM dan Pasal
15 (1-2) ICCPR. Dengan keberadaan pasal ini
menutup peluang menyeret para pelanggar HAM
di masa lalu ke pengadilan (Republika.20/8/00)
Pasal ini dinilai mengundang pertanyaan apa yang
dimaksud dengan dihormati selaras dengan
perkembangan jaman dan peradaban itu ?
Penggunaan kata tradisional lebih mengarah
kepada pengertian yang sempit, yang hanya
berkaitan dengan identitas budaya, tidak
menerjemahkan secara lebih luas mencangkup
hak ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Pasal ini dianggap masih berkaitan dengan pasal
28 I Ayat (1), klausul yang menyatakan wajib
tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Hal ini dinilai berdampak sangat
serius, oleh karena itu keberadaan pasal ini bukan
untuk melindungi para pelanggar HAM
melainkan untuk tempat persembunyian para
pelaku pelanggaran HAM.

Dinilai dalam rumusan ini terlihat adanya paksaan


dari negara kepada warga negaranya untuk ikut
serta dalam usaha pertahanan negara. Seharusnya
bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan
kehormatan bagi warga negara.
Dari dua rumusan pasal-pasal ini, dimana sistem
pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan
sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI.
Dari kedua sistem ini ysng perlu dicermati
kemudian adalah siapa yang berwenang untuk
menengahi
apabila
suatu
saat
terjadi
persinggungan antara kekuatan pertahanan dan
keamanan. Dengan adanya ketentuan pasal 30 ini
berarti pula harus diperhatikan ketentuan
peraturan-peraturan di bawah UUD yang
berkaitan dengan TNI dan POLRI (misalnya
RUU Kepolisian) agar antara satu dengan yang
lainnya tidak saling bertentangan.
Terkesan MPR tidak mempunyai visi dan
kemampuan untuk mengubah kalimat kedua
Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 (lama). Yang waktu
Orde Lama bermasalah, dan akan terus
bermasalah. Perubahan Pasal 23 Ayat (1)
disamping memberikan solusi konflik antara
pemerintah dan DPR juga dapat dijadikan
salahsatu indikator sistem pemerintahan Presiden

24

Pasal 23 Ayat (2) Perubahan ketiga:


Rancangan
undang-undang
anggaran
pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama
Dewan
Perwakilan
Rakyat
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Dewan
Perwakilan Daerah
Pasal 23 Ayat (3) Perubahan ketiga:
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui rancangan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diusulkan oleh
Presiden,
Pemerintah
menjalankan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tahun yang lalu.

Pasal 23 A Perubahan ketiga:


Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.

atau Parlementer. (Arifin.MI. 26/3)


Dinilai tidak mencerminkan kedaulatan rakyat
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara,
dimana hak begroting DPR (menetapkan
otorisasi
kepada
pemerintahan
untuk
melaksanakan APBN yang sudah disetujuinya)
tidak adalagi. Selain itu rumusan ini juga
menambah panjang pelemahan DPD yang
dibedakan dengan DPR. (Arifin. MI.26/3)
Rumusan
yang
menyebutkan
kata-kata
Pemerintah menjalankan APBN yang lalu.
Secara logika tidak mungkin menjalankan APBN
tahun yang lalu sementara situasi dan kondisi
pasti berubah serta berbeda. Selain itu
mengubah kata Pemerintah dengan Presiden
dalam perubahan ketiga, dianggap sia-sia dan
samasekali tidak berguna karena pengertian
pemerintah adalah sama dengan Presiden dalam
UUD 1945.
Pasal 23 ini secara keseluruhan dinilai tidak
memiliki landasan filosofi, ilmu pengetahuan, dan
hukum yang kuat serta tidak visioner. Sebab
untuk mengubah masalah pengertian keuangan
negara belum ada kesatuan pendapat diantara
pemerintah, BPK dan para politisi. Hal ini
semakin menambah kesan MPR tidak menguasai
atau tidak ingin terlibat dalam masalah yang sulit.
(Arifin. 23/3)
Pasal dinilai tidak memperlihatkan syarat, semua
masalah seharusnya mendapat tempat dan tidak
boleh tersisa. Pasal ini masih ada substansi yang
tertinggal atau tersisa, pertanyaannya dimana
pasal 23 B dan 23 D berada? ini jelas menunjukan
ketidaksiapan dan ketidakmampuan MPR.

BPK

Pasal 23 E Ayat (1) Perubahan ketiga:


Untuk
memeriksa
pengelolaan
dan
tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan
yang bebas dan mandiri.

Rumusan ini dianggap tidak visioner, merupakan


kemunduran visi MPR dalam merumuskan fungsi
BPK, rumusan untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara dapat
diartikan bahwa BPK tidaklagi hanya memeriksa
secara post audit, tetapi juga pre audit. Selain itu
kata bebas dan mandiri sudah merupakan syarat
mutlak
bahwa
pemeriksa
baru
dapat
melaksanakan fungsinya secara objektif apabila
lembaga tersebut independen, hal ini dianggap
kata-kata klise ala P4 Orde Baru.

Pendidikan dan
kebudayaan

Pasal 31 Ayat (2) Perubahan keempat:


Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya

Rumusan kata wajib berarti ada sanksinya bila


ada anak yang mengikuti pendidikan dasar,
sehingga perlu diganti dengan kata diberikan
hak yang seluas-luasnya. Tapi kata wajib bagi
pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar
tetap dipertahankan.

Perekonomian

Pasal 33 Ayat (3) Perubahan keempat:

Perumusan MPR ini dinilai tidak sejalan dengan

25

Nasional Dan
Kesejahteraan
Sosial

Bumi, air, angkasa, dan kekayaan alam yang


terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 37 Ayat (3) Perubahan keempat:


Untuk mengubah pasal-pasal UndangUndang
Dasar,
sidang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

pertumbuhan
hukum
laut
dan
udara
internasional. Selain itu juga tidak sejalan dan
tidak sesuai dengan perjuangan bangsa Indonesia
selama hampir 50 tahun. Kata dikuasai
seharusnya juga diganti dengan diatur untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Hasjim
Djalal. Kompas. 16/4)
Dinilai akan menjadi batu sandungan di masa
depan, ketentuan menghadirkan 2/3 dari seluruh
anggota MPR belum tentu dapat dipenuhi. Andai
akan terpenuhi maka persyaratan 2/3 yang hadir
menyetujui perubahan UUD adalah syarat lain
yang akan menjadi persoalan. (Denny Indrayana.
Kompas 22/11/00)

E Penutup
Dengan seluruh pembahasan di atas, terlihat jelas terjadi paradoks dan kekacauan yang sangat
luar biasa. System pemerintahan yang bercampur aduk antara system Presidensiil dan sistem
Parlementer, soal prinsip kedaulatan rakyat yang masih mengantung di dalam struktur MPR. seluruh
hasil perubahan itu juga sama sekali tidak menyentuh persoalan dan kebutuhan setiap kelompok
masyarakat khususnya yang menjadi komunitas terbesar di negara ini. Maka tuntutan harus segera
dibentuknya komisi Konstitusi harus segera diwujudkan. setidaknya ada dua argumentasi mengenai
pentingnya pembentukan Komisi Konstitusi. Pertama, konstitusi pada haekatnya merupakan kontrak
sosial antara masyarakat dengan negara di mana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk
melepaskan sebagian dari hak-haknya dan tunduk dan diatur oleh negara. Sementara di sisi lainnya,
negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM
dan adanya lembaga-lembaga yang menjamin HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan
kekuasaan dan check and balances antara lembaga-lembaga tersebut.
Kedua, arti penting sebagai kontrak sosial tersebut justru dipinggirkan oleh MPR dalam
proses perubahan pertama hingga keempat konstitusi dengan ketidak seriusan MPR dalam proses
tersebut. Jika pembentukan Komisi Konstitusi kembali diserahkan kepada BP MPR atau minimal
melalui kewenangan Badan Pekerja MPR ditakutkan kelemahan- kelemahan yang terjadi pada
amandemen atu hingga empat akan kembali menyesatkan. Sebagaimana yang dikemukakan professor
politik dari Colombia University, Jon Elster : Menugaskan (reformasi konstitusi) terhadap sebuah
lembaga yang juga berperan sebagai badan legislatif, sama saja seperti menugaskannya untuk
berperan sebagai hakim dalam kasus yang menimpa dirinya sendiri. Apa yang akan terjadi di
Indonesia, kasus di Bulgaria bisa menjadi cermin dalam hal ini. Proses penyusunan konstitusi baru
yang yang dilakukan oleh Parlemen- yang dimulai tidak lama setelah rezim komunis jatuh tahun 1989
dan selesai tahun 1991- ternyata menghasilkan konstitusi yang memberikan kewenangan yang
berlebihan pada dirinya sendiri. Akhirnya konstitusi baru Bulgaria yang diharapkan menjadi faktor
terjadinya proses demokratisasi, malah sering menjadi faktor ketidak menentuan politik di negara itu.
Dengan gambaran yang diungkapkan diatas dengan kelemahan-kelemahan prose perubahan
UUD 1945 yang dilakukan oleh BP MPR semakin menguatkan argumentasi bahwa proses
pembentukan Komisi Konstitusi harus dikeluarkan dari MPR. BP MPR yang telah diberikan
wewenang untuk membentuk Komisi Konstitusi, sifatnya hanya menjadi fasilitator dan penyaringan
anggota Komisi Konstitusi. konsekuensinya perubahan tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang

26

dapat secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip independensi serta melibatkan partisipasi rakyat.
Amandemen UUD 1945 berikut perubahannya masih jauh dari cukup sebagai perwujudan
keseluruhan kepentingan masyarakat. Sudah saatnya diperlukan sebuah UUD lain atau
Konstitusi Baru yang akan menggantikan UUD 1945 dan menarik proses itu keluar dari MPR
melalui Komisi Konstitusi jalur amandemen Pasal 37 UUD 1945, dan menyatakan hasil
amandemen sebagai konstitusi Transisi.

Anda mungkin juga menyukai