Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Bradikardi adalah suatu keadaan dimana frekuensi denyut jantung dibawah 60x/menit.

Terdapat 2 etiologi utama terjadinya bradiaritmia, yaitu gangguan pembentukan impuls dan
gangguan konduksi impuls..
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada permukaan
dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme
pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi. 1
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi diberikan secepat
mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu 3 menit atau kurang
untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam setting luar rumah sakit.
Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini sudah ada defibrillator yang
bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut automatic external defibrillation (AED). 2
Dengan mengulas dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan para dokter
terhadap penanganan aritmia bradikardi dan DC shock khususnya diharapkan para dokter dapat
mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan dalam kasus-kasus terkait. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembelajaran ini menjadi penting agar diketahui bagaimana cara penatalaksanaan
yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Bradikardi
Bradiaritmia atau bradikardi secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana

frekuensi denyut jantung dibawah 60x/menit. Terdapat 2 etiologi utama terjadinya bradiaritmia,
yaitu gangguan pembentukan impuls dan gangguan konduksi impuls.

A. Gangguan Pembentukan Impuls


1. Sinus Bradikardi
Sinus bradikardia adalah frekuensi denyut jantung yang lambat sebagai akibat sinyal dari
nodus sinoatrial yang melambat, yaitu dibawah 60x/menit
istirahat, tidur, atau pada atlet adalah normal ditemukan

2,3

2,3,4.

Sinus bradikardi pada saat

. Oleh karena itu, klinisi perlu

menentukan apakah keadaan sinus bradikardi ini adalah normal atau patologis , dan apakah
penatalaksanaan diperlukan. Hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan umur pasien, ada
tidaknya penyakit jantung, jenis aktivitas fisik, gejala klinis, dan apakah frekuensi denyut
bertambah dengan olahraga2 . Atlet yang terlatih mempunyai tonus vagal yang meningkat, yang
mengakibatkan terjadinya sinus bradikardi yang fisiologis.
Sinus bradikardia yang ringan umumnya asimtomatik dan tidak memerlukan
penatalaksanaan. Namun, penurunan frekuensi denyut nadi dapat menyebabkan berkurangnya
output, sehingga dapat menyebabkan kelelahan, pusing, bahkan pingsan. Pada keadaan
demikian, faktor-faktor ekstrinsik yang menyebabkan bradikardi harus dikoreksi.

Penyebab Bradikardia1
Faktor Intrinsik
Degenerasi Idiopatik (proses penuaan)
Infark / iskemia
Penyakit Infiltratif
Sarkoidosis
Amiloidosis
Hemokromatosis
Penyakit Kolagen-Vaskular
SLE
Reumatoid Artritis
Skleroderma
Distropi otot miotonik
Trauma Bedah
Penggantian Katup
Koreksi penyakit kongenital
Transplantasi jantung
Penyakit Keturunan
Penyakit Infeksi
Chagas Disease
Endokarditis

Faktor Ekstrinsik
Sindroma Gangguan Autonomik
Sinkop Neurokardial
Sinus karotid Hipersensitif
Gangguan Situasional
Batuk
Defekasi
BAK
Muntah
Obat
Beta Blocker
Calcium-channel Blocker
Clonidine
Digoxin
Obat antiaritmia
Hipothyroid
Hipotermia
Gangguan Neurologis
Gangguan Elektrolit
Hipokalemi
Hiperkalemi

2. Sick Sinus Syndrome


Sick sinus syndrome adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh abnormalitas dari SA
node , yaitu termasuk : (1) sinus bradikardi spontan yang menetap, yang tidak disebabkan oleh
obat dan tidak sesuai dengan keadaan fisiologis; (2) Sinus arrest atau exit block; (3) kombinasi
gangguan konduksi SA dan AV; (4) bradycardia-tachycardia syndrome 3.

3. Hypersensitive Carotid Sinus Syndrome


Hipersensitivitas cabang afferen atau efferen dari reflex lengkung sinus karotid
menyebabkan aktivasi vagal dan atau inhibisi simpatis, sehingga menyebabkan bradikardi dan
vasodilatasi 6.

B. Gangguan Penghantaran Impuls


1. Atrioventricular Conduction Block
AV Block didefinisikan sebagai hambatan atau gangguan pada peenjalaran impuls dari
atrium ke ventrikel yang disebabkan oleh gangguan anatomis maupun gangguan fungsional dari
sistem konduksi

7,8

. Gangguan konduksi ini dapat bersifat sementara atau permanen; konduksi

dapat hanya diperlambat, hanya sesekali, atau terhambat. Gangguan konduksi diklasifikasikan
menjadi 3 berdasarkan derajat keparahan, yaitu derajat 1, 2, dan 3.
a. AV Block derajat 1
Pada AV block derajat 1, tiap impuls dari atrium berkonduksi ke ventrikel, menghasilkan
suatu irama sinus, namun dengan interval PR >0,2 detik

2,7,9.

Gangguan konduksi biasanya

berasal dari nodus AV, dan dapat disebabkan oleh gangguan transien atau karena defek
struktural. Penyebab reversibel yaitu peningkatan tonus vagal, iskemik transien nodus AV, dan
obat-obatan yang dapat mengganggu impuls di nodus AV. Penyebab struktural yaitu infark
miokard, dan penyakit degeneratif pada sistem konduksi, yang sering terlihat pada orang tua.
Umumnya blok AV derajat 1 adalah kondisi yang jinak dan asimtomatis yang tidak
memerlukan penatalaksanaan khusus seperti pacu jantung. Namun, bila faktor pencetus atau
pemberatnya tidak ditatalaksana, blok derajat satu dapat meningkat menjadi blok derajat 2 tipe
1(Wenkebach Block)7,9.

First Degree AV Block with Sinus Rythm

First Degree AV Block with Left Bundle Branch Block

First Degree AV Block with Infranodal Conduction Delay

b. AV Block derajat 2
Pada block derajat 2, beberapa impuls atrium gagal mencapai ventrikel10. Wenkebach
mendeskripsikan adanya perlambatan progresif antara kontraksi atrium dan ventrikel, dan

akhirnya kegagalan dari impuls atrium mencapai ventrikel menggunakan polygraph. Mobitz
membagi block AV derajat 2 berdasarkan gambaran pada EKG menjadi 2 2,10; yaitu :

Block derajat 2 Tipe I


Merupakan fenomena yang dideskripsikan oleh Wenkebach, namun dalam gambaran
EKG; yaitu adanya peningkatan progresiif pada interval PR diikuti P tanpa konduksi.
Block tipe I umumnya terjadi pada nodus AV, dimana terjadi kelelahan/ fatigue dengan
tiap impuls, yang terlihat dengan pemanjangan interval PR, dan akhirnya terjadi block
sehingga pada gambaran EKG terlihat adanya gelombang P tanpa diikuti oleh QRS.
Setelah fase istirahat ini, siklus berulang lagi dengan PR interval seperti semula.
Terdapat 2 tipe dari block Wenkebach, yaitu tipe klasik dan atipikal.
Tipe klasik mempunyai karakteristik :
-

Input konstan dari sinus SA


Interval PR yang terus memanjang sampai terdapat gelombang P yang tidak
berkonduksi
Penurunan bertahap pada rasio interval PR
Penurunan bertahap interval RR
Interval RR yang berada pada irama ter-block tidak lebih dari 2 kali interval RR
irama yang tidak ter-block.

Tipe atipikal terjadi bila rasio konduksi mencapai diatas 6:5 atau 7:6, dimana penurunan
rasio interval PR menjadi tidak tetap dan interval PR tetap memanjang namun konstan.

Block tipe I biasanya jinak, sering terlihat pada anak anak, atlet terlatih, dan orang orang
dengan tonus vagal yang tinggi, khususnya saat tidur. Penatalaksanaan umumnya tidak
diperlukan, namun bila terjadi kasus simtomatis, dapat diberikan atropin intravena atau
isoprotenol yang dapat meningkatkan konduksi AV untuk sementara. Pemasangan pacu
jantung permanen diperlukan untuk block simtomatis yang tidak kembali ke ritme sinus
walau faktor pemicu sudah dikoreksi 2.

Block derajat 2 tipe II


Block tipe II mempunyai karakter kehilangan tiba-tiba konduksi AV, tanpa adanya
pemanjangan interval PR 2,13. Block tipe II umumnya berasal dari blok konduksi pada jalur
di bawah nodus AV ( Bundle of His, atau lebih distal sampai ke sistem purkinje)

2,11,13

Block tipe II adalah permanen dan biasanya berkembang ke derajat tinggi, bahkan samapai
block total. Penatalaksanaan pertama yaitu mencari dan mengkoreksi faktor pencetus
reversibel, seperti iskemia miokardial, peningkatan tonus vagal, dan penggunaan obat
obatan. Bila tidak ada penyebab reversibel yang ditemukan, maka disarankan untuk tidak
menggunakan obbat obatan yang dapat mengganggu konduksi nodus AV dan pemasangan
pacu jantung permanen11.

c. AV block derajat 3 ( Total AV block)


Pada block derajat 3, tidak ada impuls atrium yang mencapai ventrikel (gelombang P tidak
diikuti oleh QRS) 2,12. Pada block derajat 3, secara kelistrikan atrium tidak berhubungan dengan
ventrikel, dimana atrium terdepolarisasi sebagai respon terhadap nodus SA , dan ventrikel
berkontraksi berdasarkan escape rhythm dibawah block. Hal ini berakibat gambaran EKG
memperlihatkan gelombang P dengan frekuensi yang tidak berhubungan dengan interval
munculnya gelombang QRS. Tergantung dari tempat munculnya escape rhythm, gelombang
QRS dapat sempit dengan frekuensi 40 60x/ menit (irama AV) ataupun bila lebih ke arah
bawah dari sistem dapat menjadi lebih pelan (His atau Purkinje) 2,12. Sebagai akibat tidak
sinkronnya kontraksi, dapat terjadi penurunan cardiac output; pasien dapat mengalami pusing,
presinkop, atau bahkan sinkop. Block derajat 3 juga dapat mengakibatkan terjadinya VT ataupun
VF12. Penatalaksanaan block derajat 3 seperti pada block derajat 2, yaitu dimulai dengan
mengkoreksi penyebab reversibel, dan bila tidak membaik dapat dilakukan pemasangan pacu
jantung. Pada total AV block, biasanya dilakukan pemasangan dual chamber pace maker12.

II.II. DC Shock
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada permukaan
dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme
pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi. 1
A. Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
-

Ventrikel fibrilasi (VF)

Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)

Gambar 1. Ventricular Fibrilation (dikutip dari kepustakaan no 3)

Gambar 2. Ventricular Tachycardia (dikutip dari kepustakaan no 4)

Meskipun defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dan VT non-pulse, penggunaan


defibrilasi tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan resusitasi. kardiopulmonari (RKP). Peran
aktif dari penolong atau tenaga kesehatan pada saat mendapati pasien dengan cardiac arrest,
dimana sebagian besar menunjukkan VF dan VT, untuk bertahan terbukti meningkat. 2
B. Prinsip Defibrilasi
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat (beberapa
detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding dada atau melalui adhesive
pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus listrik yang mengalir sangat singkat ini
bukan merupakan loncatan awal bagi jantung untuk berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran
listrik yang sangat singkat ini akan mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan berhentinya
aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah berhentinya aktivitas
listrik ini, sel-sel pace maker akan ber-repolarisasi secara spontan dan memungkinkan jantung
untuk pulih kembali. Siklus depolarisasi secara spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang
reguler ini memungkinkan jantung untuk mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas
kontraksi kembali 1,5
C. Monofasik dan Bifasik
Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk gelombang monofasic.
Dengan bentuk gelombang monofasic, arus mengalir dalam satu arah, dari satu elektroda ke yang
lain, menghentikan jantung sehingga memiliki kesempatan untuk memulai kembali sendiri.
Dengan bentuk gelombang bifasik, arus mengalir dalam satu arah pada tahap pertama shock dan
kemudian membalikkan untuk tahap kedua. Bentuk gelombang bifasik sekarang "standar emas"
untuk alat defibrilator.
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk gelombang bifasik lebih efektif dan menimbulkan
lebih sedikit risiko cedera pada jantung daripada bentuk gelombang monofasik, bahkan ketika
tingkat energi kejut adalah sama. Inilah sebabnya mengapa produsen defibrillator eksternal
sekarang menggunakan bentuk gelombang bifasik di perangkat mereka.

10

Bentuk gelombang Bifasik menjadi standar baru perawatan di defibrillator eksternal. Di


masa lalu hanya ada satu jenis defibrilasi transthoracic, yaitu standar sinus gelombang kejut
monofasic. Selama bertahun-tahun penelitian, teori impedansi dan waktu guncangan sudah
diperdebatkan untuk dijadikan suatu standar baku. 6
Studi-studi telah menunjukkan bahwa awalnya ada perubahan segmen ST yang signifikan
terkait dengan energi tinggi defibrilasi, yang dapat berlangsung sampai beberapa bulan (jika
pasien bertahan).
Dengan sistem Bifasik ada yang lebih tinggi tingkat keberhasilan konversi kejutan awal
dari VT (ventrikel takikardi) atau VF (ventrikel fibrilasi) dibandingkan monofasic (85,2% vs
97,6% monofasic bifasik ), energi dalam Joule secara signifikan kurang (360j monofasic, 200j
bifasik) yang akan mempengaruhi kebutuhan cadangan energi, Bifasik lebih efektif dalam
membalikkan VF berkelanjutan.6,7
Defibrilasi bifasik menawarkan khasiat sama atau lebih baik pada energi rendah dari
gelombang Monofasic tradisional defibrillator-dengan risiko lebih kecil pasca-shock komplikasi
seperti disfungsi miokard dan luka bakar kulit. Tidak seperti perangkat monofasic, defibrillator
bifasik menggunakan teknologi gelombang yang berbeda: baik bifasik terpotong eksponensial
(BTE) gelombang atau gelombang Bifasik kotak. Bentuk gelombang eksponensial bifasik
dipotong pada awalnya dikembangkan untuk aplikasi rendah impedansi internal yang defibrilasi
jantung. Sudah diadaptasi untuk defibrilasi eksternal oleh dua vendor. Heartstream (sekarang
Agilent / Philips) memelopori pendekatan rendah energi. The defibrilator BTE kedua, yang
dikembangkan oleh Medtronic Physio-Control, menggunakan energi-tinggi (lebih dari 200 joule)
protokol. 7
Bentuk gelombang Bifasik kotak dikembangkan khusus untuk defibrilasi eksternal dan
dipertimbangkan tingkat impedansi tinggi dan beragam pasien (pemblokiran aliran arus yang
disebabkan oleh bulu dada, ukuran dada besar, dan miskin elektroda-ke-dada kontak). Hanya
defibrillator Zoll menggunakan gelombang ini. Bentuk gelombang kotak mempertahankan
bentuk stabil sebagai respon terhadap impedansi, dan arus konstan pada tahap pertama
mengurangi arus puncak yang berpotensi membahayakan.

11

Bentuk gelombang BTE dikembangkan untuk penggunaan internal, di mana impedansinya


rendah. Bentuk gelombang bifasik terpotong eksponensial (BTE) digunakan dalam alat pacu
jantung internal untuk lebih dari 10 tahun. Jika digunakan dalam perangkat transthoracic seperti
defibrillator, impedansinya dapat mempengaruhi bentuk gelombang. Bentuk gelombang kotak
tetap stabil dalam bentuk bagaimanapun. Hal ini mengurangi efek merugikan dari impedansi
pasien pada defibrilasi sukses.
Ketika impedansi rendah (50 ohm), sebuah 360-joule BTE defibrilator memperlihatkan
hasil yang lebih baik. Pada impedansi pasien rata-rata 75 ohm, 360 joule-BTE dan 200-joule
defibrillator kotak sama-sama efektif. Dengan impedansi tinggi (lebih besar dari 100 ohm), shock
200-joule kotak memberikan arus rata-rata lebih tinggi dari shock BTE 360-joule, sehingga
membuat lebih efektif dengan tingkat energi yang lebih rendah.7
Perbandingan klinis langsung antara dua jenis bifasik bentuk gelombang masih harus
dilakukan dalam uji coba, prospektif acak dengan kontrol yang sesuai. Studi terbaru defibrilator
energi tinggi BTE membutuhkan energi hampir 50% lebih untuk memberikan rata-rata yang
sama saat ini sebagai defibrilator rendah energi kotak.
Lima penelitian, dengan lebih dari 900 peserta manusia, telah membandingkan kemanjuran
bentuk gelombang bifasik dibandingkan monofasik. Secara acak menunjukkan bahwa energi
yang rendah-130-joule kejutan BTE secara klinis sama dengan shock 200-joule monofasik. Studi
lain menemukan bahwa kejutan BTE 130 joule secara klinis sama dengan shock 200-joule
monofasik tetapi rendah energi guncangan BTE tampaknya kurang efektif bila impedansi
transthoracic tinggi.
Sebuah studi pasien terbaru meng-evaluasi efikasi pemberian tiga guncangan dengan
energi rendah (150 joule) BTE defibrilator dan menemukan kombinasi ini 100% efektif untuk
mengkonversi VF. Pasien defibrillated dengan rendah energi guncangan bifasik juga memiliki
hasil neurologis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menggunakan konvensional
energi tinggi guncangan. 7,8

12

D. Faktor-faktor yang menentukan defibrilasi


Lamanya kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme miokard dan jumlah
miokard yang rusak selama periode hipoksia karena arrest. Semakin lama waktu yang digunakan
untuk memulai defibrilasi maka semakin banyak persediaan ATP yang digunakan miokard untuk
bergetar sehingga menyebabkan jantung memakai semua tenaga sampai habis dan keadan ini
akan membuat jantung menjadi kelelahan.
Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik, hipotermi dan
penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan aktivitas kontraksi jantung.
Besarnya jantung, makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan untuk defibrilasi.
Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm dan untuk anak-anak berkisar
4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat tidak semua permukaan pedal menempel pada
dinding dada dan menyebabkan banyak arus yang tidak sampai ke jantung. Untuk itu,
penggunaan pedal pada anak-anak bisa disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. 2
Letak pedal hal yang sangat penting tetapi sering kali diabaikan adalah peletakan pedal
pada dinding dada saat dilakukan defibrilasi. Pedal atau pad harus diletakkan pada posisi yang
tepat yang memungkinkan penyebaran arus listrik kesemua arah jantung. Posisi sternal, pedal
diletakkan dibagian kanan atas sternum dibawah klavikula. Pedal apeks diletakkan disebelah kiri
papilla mamae digaris midaksilaris. Pada wanita, posisi pedal apeks ada di spasi interkosta 5-6
pada posisi mid-axilaris. Pada pasien yang terpasang pacemaker permanent, harus dihindari
peletakan padel diatas generator pacemaker, geser pedal setidaknya 1 inchi dari tempat itu.
Defibrilasi langsung ke generator pacemaker dapat menyebabkan malfungsi pace maker secara
temporary atau permanent. Setelah dilakukan defibrilasi atau kardioversi harus dicek ambang
pacing dan sensibilitasnya serta dilihat apakah alat masih bekerja sesuai dengan setting program.
Hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan defibrilasi adalah posisi pedal atau pads,
keduanya tidak boleh saling menyentuh atau harus benar-benar terpisah. 9
Energi Pada defibrilator monofasik energi yang diberikan 360 joule, sedangkan pada
defibrilator bifasik 200J. Untuk anak-anak, energi yang diperlukan adalah 1-2 joule/kg BB,
maksimal 3 j/kg BB 2
Jelli/Gel Saat menggunakan pedal, jangan lupa memberikan jelli khusus untuk defibrilasi
atau kardioversi pada pedal. Jelli berfungai sebagai media konduksi untuk penghantar arus
listrik. Tujuan dari pemberian gel adalah untuk mengurangi resistensi transtorakal dan mencegah
13

luka bakar pasien. Yang harus diperhatikan juga adalah jangan sampai gel tersebut teroles dikulit
diantara sternum dan apeks, atau jelli dari salah satu atau ekdua pedal mengalir menghubungkan
keduanya pada saat ditekan ke dada pasien. Jika ini terjadi akan mengakibatkan arus hanya
mengalir dipermukaan dinding dada, aliran arus ke jantung akan missing dan memancarkan
bunga api yang menyebabkan sengatan listrik pasien pada pasien dan alat-alat operator.

E. Persiapan prosedur defibrilasi


Persiapan Peralatan

Defibrillator dengan monitor EKG dan pedalnya

Jelly

Obat-obat Emergency (Epinephrine, Lidocain, SA, Procainamid, dll)

Oksigen

Face mask

Papan resusitasi

Peralatan intubasi dan suction

Persiapan Pasien 9
a. Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
b. Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
c. Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
d. Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas
e. Lakukan RKP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk
mempertahankan cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan
jaringan yang irreversible.
f. Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap
adekuat yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
g. Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
h. Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.

14

F. Prosedur Defibrilasi
1.Oleskan Jelly pada pedal secara merata
2.Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke pasien
3.Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan defibrilasi
4.Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
5.Charge pedal sesuai energi yang diinginkan
6.Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan pada
hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal penolong)
7.Pastikan kembali gambaran EKG adalah VT atau VF non-pulse
8.Tekan tombol pada kedua pedal sambil menekannya di dinding dada pasien, jangan
langsung diangkat, tunggu sampai semua energi listrik dilepaskan.
9.Nilai gambaran EKG dan kaji denyut nadi karotis
10. Jika kejutan kedua tidak berhasil, lakukan tahapan ACLS berikutnya
11. Bersihkan jelly pada pedal dan pasien

15

G. Algoritma Defibrilasi

Gambar 3. Algoritma Bantuan Hidup Dasar (dikutip dari kepustakaan no 9)

16

H. Pasca Defibrilasi
Monitoring Pasien Setelah Defibrilasi10
a. Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
b. Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
c. Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
d. Monitor EKG
e. Mulai berikan obat anti disritmia intravena yang sesuai
f. Kaji apakah ada kulit yang terbakar
g. Monitor elektrolit (Na. K, Cl)
Dokumentasi dan laporan setelah tindakan
1.Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
2.Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
3.Energi yang digunakan untuk defibrilasi
4.Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan

I. Komplikasi Defibrilasi
a. Henti jantung-nafas dan kematian 11
b. Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
c. Gagal nafas
d. Asistole
e. Luka bakar
f. Hipotensi
g. Disfungsi pace-maker

17

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Bradikardi adalah suatu keadaan dimana frekuensi denyut jantung dibawah 60x/menit.
Terdapat 2 etiologi utama terjadinya bradiaritmia, yaitu gangguan pembentukan impuls dan
gangguan konduksi impuls..
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada permukaan
dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme
pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi.
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada ventrikel fibrilasi
(VF) dan ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse).
Energi Pada defibrilator monofasik energi yang diberikan 360 joule, sedangkan pada
defibrilator bifasik 200J. Untuk anak-anak, energi yang diperlukan adalah 1-2 joule/kg BB,
maksimal 3 j/kg BB. Komplikasi pasca defibrilasi adalah henti jantung-nafas dan kematian,
anoxia cerebral sampai dengan kematian otak, gagal nafas, asistole, luka bakar, hipotensi,
disfungsi pace-maker.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Ashok K Kondur. Defibrilation and cardioversion .[internet] 2012 Desember Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/80564-overview, Cited on 30 October 2016
2. Karo Karo S, Rahajoe Anna U, Sulistyo Sigit, Kosasih A. Bantuan hidup Jantung Lanjut Edisi
2011. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2011 : 24 31.
3. Scheidt S . Basic Electrocardiography: Abnormalities of Electrocardiographic Patterns.Ciba :
Ciba Pharmaceutical Company, 1994 ; Vol. 6/36 Page 32 .
4. Goldman MJ . Principles of Clinical Electrocardiography, 12th ed. Los Altos, Cal : Lange
Medical Publications, 1998, 460
5. Rudolph W. Koster. A Randomized Trial Com0paring Monophasic and Biophasic Waveform
Shocks for external Cardioversion of Atrial Fibrillation .[internet] 2004 Available from :
http://www.medscape.com/viewarticle/477538_4, Cited on 30 October 2016
6. Schneider T, Martens PR, Paschen H, Kuisma M, Wolcke B, Gliner BE, et al. Multicenter, acak,
percobaan dikontrol dari 150-J guncangan biphasic dibandingkan dengan 200 - untuk 360-J
guncangan monophasic dalam resusitasi out-of-rumah sakit korban serangan
jantung. Dioptimalkan Respon untuk Penyidik Penangkapan Jantung (ORCA). Sirkulasi 2000;
102: 1780-7.
7. Mittal S, S Ayati, Stein KM, Schwartzman D, Cavlovich D, Tchou PJ, dkk. Transthoracic
kardioversi fibrilasi atrium: perbandingan kotak guncangan sinus biphasic dibandingkan teredam
gelombang Monophasic. Sirkulasi 2000; 101: 1282-7.
8. Walker RG, Melnick SB, Chapman FW, Walcott GP, PW Schmitt, Ideker RE. Perbandingan
enam defibrillator eksternal klinis digunakan pada babi. Resusitasi 2003; 57: 73-83.
9. Karo Karo S, Rahajoe Anna U, Sulistyo Sigit, Kosasih A. Bantuan hidup Jantung Dasar Edisi
2011. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2011 : 10 - 23
10. Niemann JT, Walker RG, Rosborough JP. Ischemically Induced Ventricular Fibrilasi (VF):
Sebuah Perbandingan defibrilasi Energi Tetap dan Meningkat. Acad Pgl Med 2003; 10: 454.
11. Sean C Beinart, MD, FACC, FHRS. Synchronized electical cardioversion.[internet] 2013 Juni
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1834044-overview#a15, Cited on 30
October 2016

19

Anda mungkin juga menyukai