Anda di halaman 1dari 41

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa

: Andini Yuliana

NIM

: 030.12.018

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode Kepaniteraan : 1 Agustus 8 Oktober 2016


Judul Case

: Benign Prostate Hyperplasia

Pembimbing

: dr. Tri Endah Suprabawati,Sp.U

Jakarta, 24 Agustus 2016


Pembimbing,

dr. Tri Endah Suprabawati,Sp.U

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan dan mempresentasikan laporan kasus
dengan judul: Benign Prostate Hyperplasia
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai
syarat mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUD
Budhi Asih, Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan
penyelesaian laporan kasus ini, terutama kepada:
1. dr. Tri Endah Suprabawati,Sp.U, selaku pembimbing dalam laporan kasus
ini.
2. Dokter dan staf SMF Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Budhi Asih yang
telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Saya menyadari dalam penyelesaian laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna
penyempurnaan laporan kasus ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu bedah urologi.

Jakarta, Agustus 2016

Andini Yuliana

BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut.. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat
benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang
mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan
mengganggu aktivitas sehari-hari. Benign Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan
suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini dilihat dari frekuensi terjadinya BPH di
dunia, di Amerika secara umum dan di Indonesia secara Di Indonesia, BPH
menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih. Kanker prostat, juga
merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim terjadi dan lebih ganas
dibanding BPH, yang hanya melibatkan pembesaran jinak daripada prostat.
Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan
pada usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya
di Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya
kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat
setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati. Prevalensi BPH
yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini
me-ningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun
prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 yahun mencapai angka
sekitar 43%7 . Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti,
tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta
yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Kamis, 18 Agustus
2016 pukul 07.00 WIB di Ruang Rawat Lantai 9 Kamar 913 Bed I, RSUD Budhi
Asih, Jakarta.

IDENTITAS
Nama

: Tn. S

Umur / TTL

: 62 tahun / 29 April 1954

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Jln. Kebon nanas selatan, no. 5 rt 14 rw


05,cempedak kec.jatinegara, jakarta timur

Pekerjaan

: Security

Pendidikan

: SMP

Status pernikahan

: Menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

No. Rekam Medis

: 848040

Tanggal masuk

: Senin, 15 Agustus 2016 pkl 15.56

Ruang rawat

: Lantai 9 Kamar 913

KELUHAN UTAMA
Sulit untuk berkemih sejak 1 hari yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Os datang Poli Bedah Urologi RSUD Budhi Asih hari Senin, 11 Juli 2016,
dengan keluhan sulit berkemih sejak 1 hari yang lalu. Os mengaku perlu
mengejan untuk berkemih, namun pancarannya lemah, dan terhenti di tengah-

tengah, dan menimbulkan rasa anyang-anyangan. Os juga mengeluh terkadang


mengompol karena tidak bisa menahan untuk BAK, dan pada malam hari
terabangun untuk berkemih beberapa kali. Os juga mengeluhkan sedikit nyeri
di perut bagian bawah dan nyeri saat berkemih. Selama ini os rutin kontrol ke
poli dan mendapatkan obat, tetapi ketika itu beberapa hari os mengaku tidak
mengkonsumsi obat dan timbul keluhan-keluhan. Os pernah beberapa kali
menggunakan kateter. Selanjutnya os direncanakan dirawat dan dilakukan
operasi TURP pada tanggal 16 Agustus 2016

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Os mengaku sebelumnya pernah beberapa kali mengalami gejala serupa
sejak Agustus 2014, kemudian ke UGD Budhi Asih dan dipasang kateter, os
mengaku keluhan berkurang, dan selanjutmya kontrol ke poli urologi. Os
dinyatakan menderita BPH. Os mengaku pernah dirawat karena gangguan hati
dan gangguan ginjal. Os pernah operasi katarak OD pada tahun 2015. Riwayat
diabetes mellitus dan hipertensi disangkal oleh os.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit yang sama, diabetes mellitus, penyakit ginjal, hati, dan
hipertensi pada keluarga disangkal os.

RIWAYAT KEBIASAAN
Os mengaku tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol. Os juga
mengatakan sudah berhenti merokok.

TINJAUAN SISTEM

Sistem saraf : nyeri kepala (-), kejang (-), kelemahan motorik (-)

Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-), perasaan berdebar-debar (-)

Sistem pernapasan : batuk (-), pilek (-), sesak (-)

Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), kembung (-), diare (-),

nyeri perut (-), BAB normal

Sistem intergumen : bercak-bercak kemerahan (-), gatal-gatal (-)

Sistem muskuloskeletal : nyeri (-), keterbatasan gerak (-)

B. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum

Kesadaran

: Compos mentis

Kesan sakit

: Tampak sakit sedang

Kesan gizi

: Cukup

Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Denyut Nadi

: Frekuensi: 83 kali/menit, isi cukup, teratur

Suhu

: 36,5 oC

Pernapasan

: 20 kali / menit, teratur, tipe abdominotorakal

Kepala

: normocephali, deformitas (-)

Mata

Kelopak mata

: edema (-)/(-), ptosis (-)/(-)

Konjungtiva

: anemis (-)/(-), hiperemis (-)/(-)

Sklera

: ikterik (-)/(-), injeksi (-)/(-)

Pupil

: isokor 3 mm / 3 mm, refleks cahaya langsung (+)/

(+), refleks cahaya tidak langsung (+)/(+)


Telinga

Preaurikuler

: deformitas (-)

Retroaurikuler

: deformitas (-)

Daun telinga

: deformitas (-)

Liang telinga

: sekret (-)

Hidung
Bentuk

: normosmia (-)
6

Liang hidung

: sekret (-)

Mukosa

: warna merah muda

Bibir
Bentuk

: deformitas (-)

Warna

: warna merah muda, sianotik (-)

Tonsil
Ukuran

: T1 / T1

Warna

: tenang, hiperemis (-)

Kelainan

: detritus (-)

Leher
Gerak

: keterbatasan gerak leher (-)

Kelenjar limfe

: tak teraba membesar kanan & kiri

Kelenjar tiroid

: tak teraba membesar kanan & kiri

Arteri karotis

: (+) / (+)

Vena jugularis eksterna

: JVP 5 + 2 cmH2O

Trakea

: simetris, tracheal tug (-)

Toraks

Inspeksi
Dinding toraks

: roseolla spots (-), ptechiae (-)

Gerak dinding toraks

: napas simetris statis dan dinamis, tidak


tampak gerakan napas yang tertinggal

Palpasi
Gerak dinding toraks

: gerak kedua hemitoraks sama, tidak


teraba gerakan napas yang tertinggal

Vocal fremitus

: sama pada kedua hemitoraks

Iktus kordis

: letak 1-2 cm ICS V medial linea


midklavikularis sinistra, diameter +/- 2
cm, kekuatan cukup

Sela iga

normal,

tidak

menyempit,

tidak

melebar, tidak ada retraksi

Perkusi
Keadaan paru

: Sonor pada kedua hemitoraks

Batas kanan jantung

: ICS III V sepanjang linea sternalis


dextra

Batas paling kiri jantung

: ICS V , 1-2 cm medial terhadap linea


midklavikularis sinistra

Batas atas jantung

: ICS III linea sternalis kiri

Batas bawah paru

: tidak dilakukan pemeriksaan

Batas paru hepar dan peranjakan : ICS VI linea midklavikularis dextra


ICS VII linea midklavikularis dextra

Auskultasi

Jantung
Bunyi jantung I dan II (S1 & S2) : reguler
Bunyi jantung tambahan

: S3 (-), S4 (-)

Bising jantung

: (-)

Paru
Suara napas

: vesikuler (+)/(+) sama pada kedua


lapang paru

Suara napas tambahan

: ronkhi (-)/(-), wheezing (-)/(-)

Abdomen

Inspeksi
Bentuk

: cembung

Kulit dinding perut dan umbilikus: sawo matang, roseolla spots (-),
venektasi (-), smilling umbilkus (-)
Gerak dinding perut

: Mengempis

waktu

inspirasi,

mengembang saat ekspirasi; pulsasi (-)


Gerak peristaltik usus

: tak tampak

Palpasi
Rigiditas dinding perut

: supel, defans muskular (-)

Nyeri tekan / nyeri lepas

: nyeri tekan (-) & nyeri lepas (-) di


seluruh kuadran abdomen

Asites

: undulasi (-)

Tumor intra / ekstraabdominal

: massa (-)

Hepar (hati)

: hepar tak teraba

Vesica vellea (kantung empedu)

: Murphys sign (-)

Lien / spleen (limpa)

: lien tak teraba

Ren (ginjal)

:nyeri ketuk CVA (-), Ballotement test (-)

Perkusi
Distribusi gas

: timpani, batas paru hepar ICS VI


linea midklavikularis dextra

Asites (minimal)

: shifting dullness (-)

Auskultasi

Bising usus

: (+), 3 kali per menit

Ekstremitas
Atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
Bawah : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
Pemeriksaan Rectal Toucher (dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2016)
-

Tonus sfingter ani baik


Mukosa rectum licin
Feses (-), lendir (-), darah (-), massa (-), nyeri (-)
Prostat teraba kenyal, simetris antar lobus kanan dan kiri, tidak teraba
nodul-nodul, nyeri (-). linea mediana tidak teraba.

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 15 Agustus 2016
Hematologi
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit

Hasil
10,4
4,8
14,5
45

Satuan
Ribu/l
Juta/ l
g/dl
%

Nilai Normal
3,8 10,6
4,4 5,9
13,2 17,3
40 52

Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
Kimia Klinik
Elektolit Serum
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida(Cl)
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Faal Hemostasis

343
93,2
30,4
32,6
12,4

Ribu/l
fL
pg
g/dL
%

150 - 440
80 100
26 34
32 36
< 14

145
4,2
111

Satuan
mmol/L
mmol/L
mmol/L

Nilai Normal
135 - 155
3,6 - 5,5
98 - 109

33
1,62

mg/dL
mg/dL

17 49
< 1,2

Hasil

Waktu Perdarahan
2,00
Waktu Pembekuan
12,00
Metabolisme Karbohidrat

Menit
Menit

Glukosa darah sewaktu


Urinalisis

Mg/dL

Urine lengkap
Warna
Kejernihan
Glukosa
Bilirubin
Keton
pH
Berat jenis
Albumin urine
Urobilinogen
Nitrit
Darah
Esterase lekosit
Sedimen urine
Leukosit
Eritrosit
Epitel
Silinder
Kristal
Bakteri
Jamur

110
Hasil
Kuning
Keruh
Negatif
Negatif
Negatif
6,0
1.015
1+
0,2
Positif
3+
2+
15-20
10-15
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif

Satuan

E.U/ dL

/ LPB
/ LPB
/ LPB
/ LPK
/ LPB

1-6
5

- 15

<110
Nilai Normal
Kuning
Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
4,6-8
1.005-1.030
Negatif
0,1-1
Negatif
Negatif
Negatif
<5
<2
positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

USG Abdomen tanggal 27 Mei 2015

10

11

12

HEPAR

Besar

dan

bentuk

normal,

permukaan

regular.

Echostruktur parenchim homogen. Pembuluh darah dan saluran bilier normal. Tak
tampak SOL/kalsifikasi. Tampak lesi anechoik terletak dilobus sinistra dengan
ukuran 2.53 x 1.82 cm.
VESICA FELEA
: Besar dan bentuk normal. Dinding tipis regular. Tidak
tampak batu/sludge.
LIEN
: Besar dan bentuk normal. Echostruktur homogen. Tidak
tampak batu/sludge. Vena lienalis tidak melebar.
PANCREAS
: Besar dan bentuk normal. Echostruktur parenchim
homogen. . Tak tampak lesi fokal/SOL. Duktus pancreaticus tidak melebar.
AORTA
: Bentuk dan caliber normal. Tak tampak pembesaran pada
KGB para aorta.
REN DEXTRA

: Besar dan bentuk normal, permukaan regular. Batas cortex

dan medulla jelas. Sistem pelviocalices normal. Tidak tampak batu/ SOL.
REN SINISTRA
: Besar dan bentuk normal, permukaan regular. Batas cortex
dan medulla jelas. Sistem pelviocalices normal. Tampak lesi hyperechoic dengan
posterior acoustic shadow ukuran 0,85 cm.
BULI-BULI
: Besar dan bentuk normal. Dinding menebal ukuran 0,63
cm, irregular. Tak tampak bayangan hyperechoik/ posterior acoustic shadow.
PROSTAT
: Membesar dengan volume 64,39 cm. Echostruktur
parenchim homogen. Tak tampak lesi/kalsifikasi.
KESAN :
1. Hypertropi prostat et cystitis chronis
2. Nefrolithiasis sinistra
3. Simple cyst hepar lobus sinistra
D. Resume
Os datang Poli Bedah Urologi RSUD Budhi Asih hari Senin, 11 Juli 2016,
dengan keluhan sulit berkemih sejak 1 hari yang lalu. Os mengaku perlu
mengejan untuk berkemih, namun pancarannya lemah, dan terhenti di tengahtengah, dan menimbulkan rasa anyang-anyangan. Os juga mengeluh terkadang
mengompol karena tidak bisa menahan untuk BAK, dan pada malam hari
terabangun untuk berkemih beberapa kali. Os juga mengeluhkan sedikit nyeri

13

di perut bagian bawah dan nyeri saat berkemih. Selama ini os rutin kontrol ke
poli dan mendapatkan obat, tetapi ketika itu beberapa hari os mengaku tidak
mengkonsumsi obat dan timbul keluhan-keluhan. Os pernah beberapa kali
menggunakan kateter. Selanjutnya os direncanakan dirawat dan dilakukan
operasi TURP pada tanggal 16 Agustus 2016. Os mengaku sebelumnya pernah
beberapa kali mengalami gejala serupa sejak Agustus 2014, kemudian ke UGD
Budhi Asih dan dipasang kateter, os mengaku keluhan berkurang, dan
selanjutmya kontrol ke poli urologi. Os dinyatakan menderita BPH.
Dari hasil laboratorium didapatkan leukosit 11.700, eritrosit 4,0, Hb 12,2,
Ht 38. Fungsi ginjal, kreatinin 1,62. GDS 110. Hasil urinalisis, urine keruh,
albumin urine 1+, nitrit positif, darah 3+, esterase lekosit 2+, sedimen urine
bakteri positif. Dari hasil USG didapatkan kelainan pada hepar; Tampak lesi
anechoik terletak dilobus sinistra dengan ukuran 2.53 x 1.82 cm. Ren
sinistra; Tampak lesi hyperechoic dengan posterior acoustic shadow ukuran
0,85 cm. Buli-buli; Dinding menebal ukuran 0,63. Prostat; Membesar dengan
volume 64,39 cm. Dengan kesan sebagai berikut: Hypertropi prostat et
cystitis chronis, Nefrolithiasis sinistra, Simple cyst hepar lobus sinistra.
E. Diagnosis kerja
BPH dengan retensi urin
F. Diagnosis banding
Ca Prostat
G. Penatalaksanaan
Diruang perawatan tanggal 16 Agustus 2016:

IVFD RF 500ml 20 tpm

Inj Cefoperazone 2x 1g

Inhalasi pre op 1x combivent dan pulmicort

Operatif:
14

Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP) pada tanggal 16


Agustus 2016 pukul 09.10-10.15

Laporan operasi:
1. Setelah dilakukan anestesi, posisi litotomi, asepsis dan

antisepsis,
2. Sistoskopi:

mukosa buli hiperemis, trabekulasi sedang,

sakulasi (-), divertikel (-), batu (-), massa (-), muara ureter
kanan dan kiri teridentifikasi.
3. Dilakukan TURP secara sistematis pada lobus kanan dan kiri

sambil merawat perdarahan.


4. Evakuasi chip prostat dengan ellik evakuator
5. Pasang FC 24 Fr + irigasi Nacl 0,9%
6. Operasi selesai

Instruksi post operasi:


1. Awasi keadaan umum dan tanda vital
2. Inj cefoperazone 2x1g
3. Inj ranitidin 2x1amp
4. Inj ketorolac 2x30 mg
5. Diet biasa
6. Irigasi Nacl 0,9% 2o tpm
7. Kirim spesimen ke PA
8. Cek Hb/L/T/Na/K/Cl

Laboratorium 16 Agustus 2016


Hematologi
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW

Hasil
11,7
4,0
12,2
38
295
94,3
30,5
32,4
13,0

Satuan
Ribu/l
Juta/ l
g/dl
%
Ribu/l
fL
pg
g/dL
%

Nilai Normal
3,8 10,6
4,4 5,9
13,2 17,3
40 52
150 - 440
80 100
26 34
32 36
< 14

15

Obat-obatan yang diberikan saat pasien pulang tanggal 19 Agustus 2016:

Harnal ocas 1x1 tab 0-0-1

Levofloxacin 1x1 tab

Na diclofenac 2x1 tab

Kontrol selanjutnya ke poliklinik urologi.


H. Prognosis

Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINSI dan EPIDEMIOLOGI
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH

sering

ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu

16

terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.


Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia
60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80
tahun. Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan
usia,. Oleh karena itulah dengan meningkatnya usia harapan hidup, meningkat
pula prevalensi BPH. Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49
tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia,
sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada
usia 60 yahun mencapai angka sekitar 43% . Angka kejadian BPH di Indonesia
yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di
dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun
(1994-1997) terdapat 1040 kasus. (IAUI)

B. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI PROSTAT


Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular berbentuk konus terbalik
yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rectum dan membungkus
uretra posterior. Beratnya kurang lebih 20 gram dengan ukuran 4 x 3 x 2.5 cm.
Menurut McNeal (1972), prostat memiliki zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra. Segmen uretra yang
melintasi kelenjar prostat adalah uretra pars

prostatika. Menurut klasifikasi

Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior, posterior, median,lateral kanan, dan
kiri lateral. Lobus anterior terletak di depan uretra pars prostatika, tidak ada
jaringan kelenjar. Lobus medius terletak diantara uretra pars prostatika dan duktus
ejakulatorius, ada banyak jaringan kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang
uretra dan di bawah duktus ejakulatorius, ada banyakjaringan kelenjar. Lobus
dekstra dan sinistra terletak disamping kanan dan kiri uretra pars prostatika, ada
banyak jaringan kelenjar.

17

Pendarahan prostat oleh cabang dari arteri vesikalis inferior, Arteri


pudenda interna, dan Arteri rectalis media. Sedangkan untuk pendarahan vena
diatur oleh pleksus venosus prostaticus.

18

Prostat memperoleh persarafan otonomik simpatis dan parasimpatis dari


pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis
dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2) . Aliran
Limfe dari kelenjar prostat bermuara pada nodus iliaca internus, sacral,vesikalis,
dan iliaca eksternus.
Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang
mencurahkan sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini
bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini terbenam
dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan oleh jaringan
ikat kolagen dan serat elastis. Otot membentuk masa padat dan dibungkus oleh
kapsula yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma. Alveoli dan tubuli
kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk ukurannya, alveoli dan
tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen yang lebar, lamina
basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau
bertingkat dan bervariasi dari silindris sampai kubus rendah tergantung pada
status endokrin dan kegiatan kelenjar. Sitoplasma mengandung sekret yang
berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid. Nukleus biasanya satu, bulat dan
biasanya terletak basal. Nukleoli biasanya terlihat ditengah, bulat dan kecil.
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama
sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen.
Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu
dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase
asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos. Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
C. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses

19

aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori dehidrotestosteron
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting
dalam pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang telah berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi
sintesis protein growht factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat
Pada berbagai penilitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada
BPH, aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitiv terhadap DHT sehingga repliksi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.

3. Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen dalam

20

prostat berperan dalam terjadinya proliferasi kelenjar prostat dengan cara


meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis). Hasil akhir dari semua

keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat


rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada
apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel
yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
masa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktorfaktor yang mengahambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen
berperan dala menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan
kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan
faktor pertumbuhan TGF berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.

21

Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,


sehingga jika hormon ini keadaannya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidak tepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
D. PATOLOGI
Proses berkembangnya BPH di zona transisional. Suatu proses hiperplastik
akibat kenaikan jumlah sel. Evaluasi mikroskopis mengungkapkan

pola

pertumbuhan nodular yang terdiri dari berbagai jumlah stroma dan


epitel. Stroma terdiri dari berbagai jumlah kolagen dan otot polos. Diferensial
komponen histologis BPH menjelaskan potensi respon untuk terapi. Jadi terapi
alpha-blocker dapat memberikan respon baik pada pasien dengan BPH yang
memiliki signifikan komponen otot polos, sedangkan BPH yang dominan
terdiri dari epitel akan merespon lebih baik terhadap inhibitor 5-alphareductase. Pasien dengan komponen kolagen dalam stroma yang signifikan
mungkin tidak merespon salah satu bentuk terapi medis. Sayangnya, respon
terhadap terapi tertentu tidak dapat diprediksi sebelumnya. Seperti nodul BPH
di zona transisional memperbesar, mereka memadatkan zona luar prostat,
menghasilkan pembentukan kapsul bedah, batas ini memisahkan zona transisi
dari zona perifer dan berfungsi sebagai landasan untuk enuklleasi prostat
selama prostatectomi terbuka sederhana dilakukan untuk BPH.
E. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Penebalan
otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Penonjolan serat otot detrusor

22

dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Terjadi
penonjolan mukosa yang kecil yang disebut sakula dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan irirtasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada
permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi
menjadi lemah, dan rasa belum puas. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas
otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit
ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Sering BAK (frekuensi) disebabkan karena hipersensitivitas


otot detrusor atau karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap
miksi sehingga interval antar miksi menjadi lebih pendek. Frekuensi
miksi meningkat terutama pada malam hari (nokturia) disebabkan
karena tonus sfingter uretra berkurang selama tidur.

Sering
hiperiritabilitas

kebelet
dan

ingin

BAK

hipersensitivitas

(Urgensi)
buli-buli

karena

disebabkan
obstruksi

intravesika.

Harus menunggu lama / susah untuk memulai kencing


(hesitancy) Obstruksi intavesika menyebabkan otot detrusor gagal
berkontaksi dengan cukup kuat untuk menegeluarkan urin.

Pada saat urin keluar terasa panas atau sakit (dysuria)


inflamasi buli.

23

Pancarannya miksi lemah disebabkan otot detrusor gagal


berkontraksi dengan cukup kuat .

BAK sering berhenti dan lancar lagi terutama bila mengedan


(Pancaran miksi terputus-putus atau intermitency) disebabkan otot
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama untuk melawan tahanan
(resistensi) di uretra sehingga kontraksinya terputus-putus

Menetes ketika selesai miksi tidak tuntas nya urin yang


harus dikeluarkan.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli


tidakterkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jikaberlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis, dan bila terjadi
refluks vesiko-ureter terjadi pielonefritis.
F. GAMBARAN KLINIS
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar
prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya
obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet
obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran
kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi
ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun
ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun
bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS

24

(lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya
terjadi retensi urine.

Diagram showing the relationship between histologic hyperplasia


of the prostate (BPH), lower urinary tract symptoms (LUTS),
benign prostate enlargement (BPE), and bladder outlet
obstruction (BOO). The size of the circles does not represent
actual proportions but rather illustrates the partial overlap
between the different disease definitions.
Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua
pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan
miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam
proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH
tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang
masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh
hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor
lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel kelenjar prostat secara

25

tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat


untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang
berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakorfaktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal
sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai
faktor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih baik
bagian atas ataupun bawah dan keluhan diluar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas
gejala obstruksi dan iritatif. Gejala obstruksi seperti hesitansi (susah
memulai miksi), pancaran miksi lemah, intermitensi (miksi tiba-tiba
berhenti dan lancar kembali / terputus-putus), miksi tidak puas, terminal
dribbling

menetes

setelah

miksi).

Gejala

iritatif

seperti

frekuensi( anyang-anyang ), nokturi (sering miksi malam hari), urgensi


(merasa ingin miksi yang tidak bisa di tahan), disuria (nyeri saat miksi).
Timbulnya gejala LUTS merupakan kompensasi otot-otot buli
untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot buli mengalami
kepayahan/fatique sehingga jatuh kedalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus, antara lain: (1) volume buli tiba-tiba terisi penuh yaitu
pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obatobatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan
minum air dalam jumlah yang berlebihan. (2) massa prostat tiba-tiba
membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami
prostatitis akut., dan (3) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
menurunkan kontraksi otot detrusor atau mempersempit leher buli, antara
lain: golongan kolinergik atau adrenergik alfa.

26

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih


bagian bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring
yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem
skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah Skor International Gejala
Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score).
Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS), diberi nilai dari 0 sampai 5.
Dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup, diberi nilai
dari 1 sampai 7
Dari skor I-PSS itu dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat,
yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 2035.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam (merupakan
tanda dari infeksi atau urosepsis).
3. Gejala di luar saluran kemih
Kadang pasien datang ke dokter mengeluhkan adanya hernia inguinalis
atau haemorrhoid. Timbulnya kedua penyakit ini mungkin karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba massa di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang didapatkan
urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh penderita, yang merupakan
pertanda dari inkontinensia paradoksa.
Pada pemeriksaan colok dubur diperhatikan

tonus sfingter ani/refleks bulbo-cavernosus untuk menyingkirkan


kelainan buli neurogenik,

mukosa dan ampula rektum


27

Keadaan prostat, antar lain: apakah batas atas teraba, adanya nodul,
krepitasi (adanya batu prostat bila teraba krepitasi), konsistensi
prostat, simetri antar lobus,dan batas prostat.

Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, tidak


teraba nodul, lobus kiri dan kanan simetris. Sedangkan pada Ca prostat
menunjukkan konsistensi prostat keras/teraba nodul,dan mungkin di antara
lobus kanan dan kiri asimetris.
Derajat BPH berdasarkan Gambaran Klinik
Derajat

I
II
III
IV

Colok dubur

Sisa volume urin

Penonjolan prostat, batas atas mudah

< 50 ml

diraba (< 1cm pada rectum)


Penonjolan prostate jelas, batas atas dapat

50 - 100 m

dicapai (1-2 cm pada rectum)


Batas atas prostat tidak dapat diraba (2-3
cm pada rectum)
Prostat teraba > 3cm pada rectum

100 m
Retensi urin total

G. DIAGNOSIS
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal
harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi
untuk melakukan pemeriksaan itu.
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis
meliputi:
o Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
o Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan)
o Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual

28

o Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan


miksi
o Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan. Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan
menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah
International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah
mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien
BPH.
Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada
regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung
underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat
teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar.
Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 2634% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas
pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.
Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi
neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula
tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada busur refleks di daerah sacral.
Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih,
batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di
antaranya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan
urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya

29

infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau
terdapat 3 kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan
kateter
Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali
lebih banyak . Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi
sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak
18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu
pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a)
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran
urine lebih jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar
PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA
makin cepat laju pertumbuhan prostat. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat
(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan
prostat, dan usia yang makin tua. Meskipun BPH bukan merupakan penyebab
timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko
terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur

30

lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi


adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA
menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma
prostat.
Catatan harian miksi (voiding diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia
sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah
asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang
dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat
asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut
untuk mendapatkan hasil yang baik, namun Brown et al (2002) mendapatkan
bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas
detrusor.
Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat
diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax),
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif,
dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik
sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik
menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran
urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor2
. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO.
Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara
nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut: Qmax < 10 ml/detik 90%
BOO Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO Qmax >15 ml/detik 30% BOO. Harga

31

Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang
mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena
BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan.
Pemeriksaan residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine
yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh
delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan
semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL .
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan
melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah
pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine
melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih
akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia.
Pencitraan traktus urinarius
Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap
traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu
pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk
mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih bagian atas, (b)
divertikel atau selule pada buli-buli, (c) batu pada buli-buli, (d) perkiraan
volume residual urine, dan (e) perkiraan besarnya prostat. Pemeriksaan
pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata
bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian
atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%)
yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu
pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan
adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan
melakukan pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah

32

menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia. Pemeriksaan sistografi


maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya prostat atau
mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun
pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra.
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan
mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi
prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak
menjalani terapi: (a) inhibitor 5- reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan
stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka.
Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan bulibuli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher
buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli.
Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine
pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa
menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine
sehingga

tidak

dianjurkan

sebagai

pemeriksaan

rutin

pada

BPH.

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan


untuk menen tukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi
terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan
adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi
pada bulibuli.
Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien
mempunyai

pancaran

urine

yang

lemah

tanpa

dapat

menerangkan

penyebabnya, pemeriksaan uro-dinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher bulibuli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini
cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS
yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan
disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini

33

tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemerik-saan urodinamika


merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala.
H. DIAGNOSIS BANDING
Obstruktif lain kondisi saluran kemih bawah, seperti striktur uretra,
kontraktur kandung kemih , batu buli atau karsinoma prostat, harus di pikirkan
ketika mengevaluasi laki-laki dengan dugaan BPH. Riwayat pada

uretra

sebelumnya, berupa instrumentasi, uretritis, atau trauma harus dijelaskan untuk


menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur kandung kemih, Hematuria dan
nyeri yang umumnya terkait dengan batu saluran kemih. Karsinoma prostat dapat
dideteksi pada rectal toucher atau kadar PSA tinggi (>4) . Infeksi saluran kemih
juga dapat memberikan gejala mirip gejala BPH, dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan kultur urin, tapi infeksi saluran kencing juga dapat menjadi
komplikasi BPH. Gejala yg ada juga terkait dengan karsinoma kandung kemih
terutama karsinoma in situ, biasanya menunjukkan gejala hematuria. Demikian
pula pasien dengan neurogenik gangguan kandung kemih mungkin memiliki
banyak tanda-tanda dan gejala BPH, tetapi riwayat penyakit neurologis, stroke,
diabetes mellitus. Selain itu, pemeriksaan mungkin menunjukkan perineum dan
ekstremitas mengalami kekurangan sensasi atau perubahan pada tonus sfingter
rectum atau bulbocavernosus refleks. Simulasi perubahan fungsi usus (konstipasi)
mungkin juga waspada satu kemungkinan asal dari neurologis.

I. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Tujuan
pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah
miksi dan mencegah progresilitas penyakit.
1 . Watchfull waiting

34

Ditujukan pada penderita BPH dengan keluhan ringan yang tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Pasien tidak diberikan terapi apapun hanya diberikan
anjuran mengenai hal yang dapat memperburuk keluhan, seperti jangan minum
kopi

atau

alkohol,

batasi

penggunaan

obat

yang

mengandung

fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, dan jangan menahan


kencing terlalu lama.
2. Medikamentosa
Terdapat 3 golongan obat :

Penghambat receptor adrenergik


Beberapa golongan obat yang dipakaii adalah prazosin (dua kali sehari),
terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obatobat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran
urine.

Penghambat 5 -reduktase
Bekerja dengan cara menghambat pembentukan dehidrotestosteron dari
testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 reduktase di dalam selsel
prostat.
Pemberian finasteride 5 mg mampu memperbaiki keluhan miksi dan
pancaran miksi.

Fitofarmaka
Kemungkinan

fitoterapi

bekerja

sebagai

anti

estrogen,

anti

androgen,memperkecil volume prostat dan lain-lain. Fitoterapi yang


banyak dipasarkan ialah Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan lainnya.
3. Terapi bedah
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan
membutuhkan waktu yang lama untuk melihat hasilnya. Indikasi pembedahan
adalah bila :

35

Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa

Mengalami retensi urin

Mengalami infeksi saluran kemih yang berulang

Batu buli,divertikel

Hematuria

Gagal ginjal

Timbul penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah seperti
Hernia dan Hemorroid

Terdapat beberapa macam pembedahan yaitu :


1. Prostatektomi terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang
tulang kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik) atau di
daerah perineum (dasar panggul yang meliputi daerah skrotum sampai
anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarangn digunakan lagi karena
angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencapai 50%. Pembedahan
ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10
hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%,
tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang
dari 1%).
2. Prostatektomi Endourologi
a. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer
ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan
berhasil guna. Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia.

36

Reseksi

kelenjar

prostat

dilakukan

transuretra

dengan

mempergunakan cairan irigasi (pembilas) agar daerah yang di reseksi tetap


terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah
cairan yang non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik
pada saat operasi. Cairan yang sering di pakai dan harganya cukup murah
yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh
darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat
menyebabkan terjadinya hiponatremia relative atau gejala intoksikasi air
yang dikenal dengan sindroma TURP. Untuk mengurangi resiko timbulnya
sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan
reseksi lebih dari 1 jam.
Komplikasi lain yang mugkin terjadi adalah perdarahan, perforasi,
inkontinensi, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograde, dan striktura uretra.

Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)


37

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif,
tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang
tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya
dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck
incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara
endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai
pada TURP tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat
penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke
verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TURP dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara
TURP.
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk
mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah,
sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan
hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat
dilakukan hampir tanpa perdarahan. Waktu yang diperlukan untuk melaser
prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat
(lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan
pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan
yang kan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24 minggu

38

sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai
rongga yang terjadi sehabis TURP.

4. Tindakan Invasif Minimal


a. Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)
b. Trans urethral ballon dilatation (TUBD)
c. Trans urethral needle ablation (TUNA)
d. Stent urethra dengan prostacath
Meskipun sudah banyak modalitas

yang telah di temukan untuk mengobati

pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling
memuaskan adalah TUR Prostat.5
J.

PROGNOSIS
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari

gejala yang dialaminya. Sekitar 10 20% akan mengalami kekambuhan


penyumbatan dalam 5 tahun.

39

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman penatalaksanaan BPH di

2.

Indonesia. Jakarta;2003.
Tanagho, Emil A ; McAninch, Jhon W. Benign Prostatic Hyperplasia ;
at Smiths General Urology. 17 th edition. Mc Graw Hill : Lange ;

California.2008, p 348.
3.
Purnomo, B. Basuki. Hiperplasia Prostat; Di dalam Dasar-Dasar
4.

Urologi. Edisi 2. Penerbit Sagung Seto : Jakarta. 2009, p 69-85.


Benign
Prostate
Hyperplasia,
Available

5.

http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview
De Jong, Wim ; Sjamsuhidajat R. Prostat; di dalam Buku Ajar Ilmu

at

Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC: Jakarta , 2004, p 782.


6.
Benign Prostatic Hyperplasia, Available at
http://www.urolog.nl/urolog/php/patients.php?doc=bph&lng=en

40

41

Anda mungkin juga menyukai