Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang
Indonesia

merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar

17.504 pulau dengan panjang garis pantai kuranglebih 81.000 km. Di


sepanjang garis pantai ini terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit
tetapi memiliki potensi sumber daya alam hayati dan non-hayati, sumber
daya buatan, serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Potensi-potensi tersebut perlu dikelola secara terpadu agar
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Wilayah pesisir secara ekologis
merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut. Ke arah
darat meliputi bagian tanah, baik yang kering maupun yang terendam air
laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat- sifat fisik laut

seperti pasang

surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut. Yang ke arah laut
mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai
maupun

yang

disebabkan

oleh

kegiatan

manusia

didarat

seperti

penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman, serta


intensifikasi pertanian.
Sebagai negara kepulauan terbesardi dunia, Indonesia memiliki
potensi laut yang sangat besar. Namun, selama ini potensi laut tersebut
belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan kesejahteraan
bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya.
Bahkan, sebagian besar hasil pemanfaatan laut selama ini justru lari
atau tercuri ke luarnegeri olehpara nelayan asing yang memiliki
perlengkapan modern dan beroperasi hingga perairan Indonesia secara
ilegal. Dalam konteks inilah upaya pemanfaatan laut Indonesia secara
maksimal tidak saja tepat tetapi juga merupakan suatu keharusan.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah pemanfaatan laut yang
bagaimana?

Seharusnya

adalah

pemanfaatan

laut

yang

dapat

memberikan manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat secara lestari.

Dalam konteks inilahkerjasama dalam pengelolaan potensi sumberdaya


tersebut

sangat

diperlukan,

karena

yang

diinginkanbukan

saja

peningkatan hasil pemanfaatan laut, tetapi juga pemerataan hasil


pemanfaatan yang dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat.
Faktor2 yg menyebabkan asing lebih menguasai sda
Pertama, kebijakan energi oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan
amanat dan cita-cita proklamasi maupun UUD 45. Kedua, pemerintah
terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing melalui UU
PMA hasil amandemen UUD yang ke empat. Ketiga, terkait dengan sistem
kontrak karya eksplorasi dan pengolahan sumber energi yang kurang
menguntungkan bagi kepentingan nasional. Keempat, adanya oknum
pemerintah sendiri yang menjadi komprador kepentingan asing yang
sering menghubungkan kepentingan pengusaha baik lokal maupun asing
yang merugikan kepentingan nasional. Kelima, aksi menimbun BBM
maupun gas dan menyelundukannya secara ilegal ke luar negeri baik
yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah.
Padahal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1-3, secara umum
ditegaskan bahwa segala sesuatu yang berhubugan dengan hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah
pemerintah

wajib

memakmurkan

seluruh

rakyat

Indonesia

tanpa

terkecuali. Pada pasal ini sesungguhnya pemerintah telah melanggar


UUD. Yaitu, sumber energi kita sebagian tidak lagi dikuasai oleh
pemerintah, melainkan berada dalam penguasaan asing. Kendati banyak
juga pengusaha lokal yang bergerak di bidang-bidang tertentu di energi,
namun secara kuantitas dan kualitas tidak terlalu berpengaruh signifikan
bila

dibandingkan

dengan

perusahaan-perusahaan

asing.

Seluruh

kekayaan alam kita digerus dan dibawa oleh pihak asing. Pemerintah tidak
menjamin ketersediaan energi bagi kebutuhan di dalam negeri sendiri.
Sehingga ketahanan energi nasional menjadi sangat lemah. Sehingga kita
tidak memiliki daya tawar di dunia internasional.

Melalui UU Penanaman Modal Asing yang baru, pihak asing dapat lebih
leluasa dan lebih lama mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia,
tanpa harus dipusingkan dengan retribusi atau kompensasi yang berarti
bila terjadi kerusakan alam. Padahal, ketika awal-awal republik ini berdiri,
pihak asing hanya boleh mengelola sumber daya alam Indonesia tidak
lebih dari 35 tahun. Namun dengan UU PMA yang baru ini pihak asing
dapat mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia hingga 95-100
tahun lamanya. Itupun belum jelas tanggungjawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility) nya terhadap masyarakat sekitar yang di
daerahnya terdapat kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi. Selama ini
paling-paling perusahaan hanya mengeluarkan 2% dari CSR dari jumlah
keuntungan

yang

sangat

besar,

yang

diperoleh

perusahaan

atas

eksplorasi dan eksploitasi SDA kita.


Sistem Kontrak Kerjasama antara pemerintah dengan para pengusahaa
lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh
pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Penyelewengan itu terkait
masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para
kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing.
Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi
migas

seharusnya

kontraktor

migas,

menjadi
malah

tanggungan
dibebankan

masing-masing
dan

menjadi

pengusaha
tanggungan

pemerintah.
Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun, tetapi produksi
dan

lifting

penurunan.

minyak

dalam

Masalahnya,

negeri

justru

sejumlah

berbalik

arah

kontraktor

mengalami
cenderung

menggelembungkan cost recovey, atau banyak pengeluaran yang tak


terkait langsung dengan biaya operasional migas tapi dikleimkan ke
pemerintah. Beberapa kerugian dari cost recovery yang dikleim ke
pemerintah diantaranya ialah, biaya pelatihan ekspatriat, biaya konsultan
pajak, biaya merger, biaya-biaya yang terkait dengan pemasaran,
pengembangan masyarakat, maupun kegiatan kehumasan.

Karut-marutnya masalah cost recovery ini ditenggarai oleh keterlibatan


oknum pejabat pemerintah sendiri, yang juga berkolaborasi dengan
pemain-pemain asing dan lokal. Dalam hal ini oknum tersebut juga
merupakan bagian dari para Kontraktor Kontrak Kerjasama, yang tentunya
tak ingin rugi dan hanya mau untung besar. Oleh sebab itu sampai saat ini
belum ada tindakan pembenahan di sektor tersebut.
Bobroknya pengelolaan energi nasional seakan diperparah lagi oleh aksi
liar penyelundupan Migas ke luar negeri melalui saluran-saluran resmi
maupun yang tidak resmi. Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang
menjadi jalur penyelundupan BBM melalui pipa-pipa yang terpasang di
bawahnya, yang disalurkan ke kapal-kapal tanker untuk kemudian di bawa
lari ke luar negeri. Tindakan ini bukan tanpa diketahui oleh pemerintah,
melainkan secara legal hasil energi tersebut dijual dengan harga yang
murah. Sementara hasil keuntungan tidak masuk ke kas negara yang
kemudian bisa dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.

Solusi
Permasalahan utama mengapa aset-aset sumber daya alam (SDA)
Indonesia yang banyak dikuasai pihak asing dinilai penyebabnya adalah
karena kesalahan undang-undang (UU). Menurut pakar perminyakan,
salah satu kesalahan itu terjadi dalam kasus pengelolaan Blok Mahakam
sebagai sumber utama gas bumi di Indonesia. Kesalahan itu bersumber
dari peraturan pemerintah terkait minyak dan gas (Migas) itu sendiri.
Menurut Kurtubi, salah satu contohnya adalah UU Migas No 22/2001 pasal
12 adalah pasal yang melegalkan pencurian Migas oleh pihak asing.
Dalam pasal itu dinyatakan bahwa kuasa pertambangan boleh diserahkan
ke pihak asing. Pasal 12 ini sendiri sudah dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Tetapi walau Pasal 12 sudah dicabut oleh MK, tetapi ada
cara lain untuk menguasai migas Indonesia untuk pihak asing yaitu
dengan membentuk badan yang bukan perusahaan minyak untuk
mengelola yaitu BP Migas.

Beberapa UU Migas yang bermasalah antara lain adalah UU Migas


No.22/2001 di mana kontraktor asing boleh memperpanjang kontrak
untuk 20 tahun berikutnya. UU ini semakin menguntungkan asing karena
dikuatkan oleh Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004 dimana
pengajuan perpanjangan itu boleh diajukan 10 tahun sebelum sebuah
kontrak kerjasama selesai. Pada ayat 10 pasal 28 PP No 35/2004
Pertamina harus memiliki 100 persen saham yang dimiliki negara untuk
mengambil alih pengelolaan atas aset-aset Migas tersebut. (pendapat ibu
dg kapasitas sebagai anggota Baleg)
Minyak bumi dan gas merupakan sumber daya alam yang melimpah
sehingga masuk dalam kategori barang milik publik yang pengelolaannya
harus diserahkan kepada negara secara profesional dan bebas korupsi
dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian ia
tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Swasta
seharusnya punya saham lebih kecil, itu amanat konstitusi. Sekali pun
berkolaborasi dengan asing, Pertamina minimal mendapatkan 75%-80%
dari seluruh total saham.

ISU-ISU STRATEGISDALAMPENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT


Dengan semakin mencuatnya paradigma pembangunan kelautan serta
dilaksanakannya otonomi daerah, maka semakin terbaca beberapa
persoalan serius 3 yang menjadi isu-isu strategis dalampengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut ini, yaitu:
1.

Kondisi

sumberdaya

property(milik

bersama)

pesisir
dengan

dan

laut

akses

yang

yang

bersifat

bersifat

common

quasi

open

access.Istilah common propertyini lebih mengarah pada kepemilikan yang


berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat
sumberdayayang merupakan public domain, sehingga sifat sumberdaya

tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini berarti sumberdayatersebut


tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya sehingga menimbulkan
gejala yang disebut

dengan dissipated resource rent, yaitu hilangnya

rente sumberdayayang semestinya diperoleh dari pengelolaan yang


optimal.

Dengan

adanya

sifat

sumberdaya

yang

quasi

open

accesstersebut,maka tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain


tidak dapat terkoreksi oleh pasar (market failure). Hal ini menimbulkan
ketidak

efisienan

ekonomi

karena

semua

pihak

akan

berusaha

mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika tidak maka pihak lain


yang akan mendapat keuntungan. Kondisi seperti inilah yang terjadi saat
ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihakyang lebih kuat dan
mampumengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi
hukum rimba (siapa yangkuat, dia yang menang) dan daya produksi
alamiah menjadi terganggu.
2. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun 80-an,
banyak

pihak

pembangunan

yang
yang

tersentak
hanya

setelah

mengejar

menyaksikan

pertumbuhan

kebijakan

ekonomi

dan

produktivitas ternyata telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap


lingkungan.

Program

modernisasi

yangbertujuanmenigkatkan
menggunakanteknologi

produksi

hasil

perikan
tangkapan

contohya,
nelayan

penangkapan yang semakin modern tidak

disertai dengan sosialisasi pemahaman yang baik terhadap lingkungan


kelautan. Hal ini berakibat fatal terhadap kelestarian lingkungan karena
terjadi ekploitasi sumberdaya secara maksimal tanpa memperhatikan
potensi

lestari

yang

ada.

Degradasi

lingkungan

pesisir

dan

laut

yangmanjdi ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir dan


nelayan akibat faktor-faktorlain masih berlanjut hingga saat ini seperti
misalnya pencemaran lingkungan

perairan akibat limbah industri dan

rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan, degradasi


lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan
hidup manusia, terutama masyarakat pesisir.

3. Kemiskinan dan kesejahteraan nelayan. Perikanan di

Indonesia

melibatkan banyak stakeholders. Yang paling vital adalahnelayan kecil


yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Merekahidup
dalamkemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yangberakarpada
faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktortersebut dapat
diklasifikasikan sebagai faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah
berkaitan dengan fluktuasi musim dan struktur alamiah sumberdaya
ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah berhubungan dengan
keterbatasn daya jangkau teknologi, ketimpangan dalam sistem bagi
hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya
jaringan pemasaran, tidak berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta
dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang ada. Perubahan
sosial ekonomi di desa-desa pesisir atau desa nelayan telah memperjelas
garis stratifikasi sosial masyarakatnya.Nelayan buruh telah memberikan
kontribusinya terhadap akumulasi kekayaan ekonomi pada sebagian kecil
masyarakatnya yang memiliki alat produksi serta pihak yang menguasai
modal dan pasar. Kemiskinan,kesenjangan sosial, dan tekanan kehidupan
yang melanda tumah tangga nelayan buruh tidak memungkinkan anggota
keluarganya

terlibat

aktifdalamtanggung

jawab

sosial

di

luar

permasalahan kehidupan yang substansial bagi mereka. Faktoryang


demikian sering menjadi alasan bagi pihak lain untuk menilai secara
negatif perilaku sosial masyarakat nelayan.Persepsi seperti ini hanya
melestarikan kesenjangan hubungan sosialdalam relasi

politik antara

pemerintah dan masyarakatnelayan. Dalam jangka panjang,hal ini tidak


menguntungkan untuk mendorong perwujudan partisipasi masyarakat
dalampembangunan.

Untuk

itu

diperlukan

reorientasi

model

kepemimpinan dan sasaran perencanaan pembangunan agar lebih


kontekstual dan partisipatif.
4.

Akses

pemanfaatan

teknologi

yangterbatas.

Semakin

tingginya

persaingan dalam pemanfaatan sumberdayalaut dan pesisir, menuntut


masyarakat untuk memaksimalkan produksi mereka. Salah satu carayang
digunakan

adalah

dengan

penggunaan

teknologi.

Keterbatasan

pengetahuan dan kemampuandalam penggunaan teknologi ini menjadi

salah satu kendala dan pemicu adanya eksploitasi sumberdaya yang


merusak potensi lestari dan
berdampak negatif

bagi lingkungan. Salah satu contohnya adalah

penggunaan bom ikan dan potasium sianida untuk menangkap jenis-jenis


ikan dengan nilai ekonomis tinggi di habitat terumbu karang telah
merusak dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang parah. Contoh
lainadalah adanya kesenjangan penggunaan teknologi antara nelayan
besar

dan

tradisional

yang

berakibat

pada

makin

terdesaknya

nelayantradisional dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya laut,


sehingga banyak yang beralih profesi menjadi buruh nelayan atau buruh
bangunan.
5. Peraturan dan kebijakan yang kurang kondusif.Dengan lahirnya aturan
main yang menyangkut hak kepemilikansumberdaya pada tingkat lokal,
secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights)
kepada

pemerintah

daerah.

Pemerintah

daerah

dapat

mengelola

sumberdaya pesisir dan laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan


sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat
kemakmuran
pembangunan

masyarakatdi
perikanan

daerah

yang

yang

dijalankan

bersangkutan.
seharusnya

Kebijakan

tidak

hanya

mengejar kepentingan ekonomi (khususnya peningkatan devisa negara


dari ekspor hasil laut), tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan
komitmen

menjaga

kelestarian

sumberdayaperikanan

yang

ada.

Disamping itu, harus pula ada komitmen yang tinggi dan konsisten dalam
menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari
terjadinya konflik-konflik sosialdan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat
diakomodir sebagai salah satupranata hukum yang dapat memperkecil
terjadinya konflik antar nelayan. Salah satu bentuk akomodasi kearifan
lokal ini adalahmelalui penyusunan tata ruang wilayah pesisir. Hingga saat
ini masih belum banyakdaerah dan kawasan pesisir yang memilikinya
sehingga belum memiliki kesamaan misi dari berbagai pengaturan dan
kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya tersebut.

KERJA SAMA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT


Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang mucul dalam
pengelolaan sumberdayapesisir dan laut ini, dibutuhkansuatu model
pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat
pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah
yang dikenal dengan Co-managementyang menghindari peran dominan
yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi.
Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan
dengan menyatukan lembaga-lembaga terkaitterutama masyarakatdan
pemerintah

serta

stakeholderlainnya

pengelolaansumberdaya,
pemanfaatan

dan

mulai

dari

pengawasan.

dalam

setiap

perencanaan,

Pembagian

proses

pelaksanaan,

tanggung

jawab

dan

wewenang antar stakehoderdapat terjadi dalamberbagaipola, tergantung


kemampuan dan kesiapansumberdaya manusia dan institusi yang ada di
masing-masing

daerah.Susuna

dalam

model

pengelolaanini

bkanlahsebuah struktur legal yang statis terhdap hak dan aturan,


melainkan sebuah proses yang dinamis dalam menciptakan sebuah
strukturlembaga yang baru. Dalam jangka panjang,pelaksanaan Comanagementini diyakini akanmemberikan perubahan-perubahan ke arah
yang lebih baik yaitu:

Meningkatkan kesadaran masyarakat akanpentingnya sumberdaya

pesisirdan laut dalam menunjang kehidupan.

Meningkatkan kemampuanmasyarakat, sehingga mampu berperan

serta dalam setiaptahapanpengelolaan secara terpadu.

Meningkatkan

pemanfaatan

pendapatan

yang

lestari

masyarakat

dan

dengan

berkelanjutan

bentuk-bentuk

serta

berwawasan

lingkungan.
Keberhasilan
dipengaruhi

pengelolaan
oleh

dengan

model

kemauan

Co-managementini
pemerintah

sangat
untuk

mendesentralisasikantanggungjawab dan wewenang daalm pengelolaan

kepada

nelayan

dan

stakeholderlainnya.

managementmembutuhkan
seperti

formulasi

dukungan

kebijakan

Oleh

secaralegal

yang

karena

maupun

mendukung

ke

Co-

finansial

arah

Co-

management,mengijinkan dan mendukung nelayan dan masyarakat


pesisir untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran para pelaku
pengelolaan

perikanan.

Pengelolaan

managementmenggabungkanantara
sentralistis

yang

selama

ini

pengelolaan

banyak

dilakukan

Cosumberdaya
oleh

yang

pemerintah

(governmentbased management) dengan pengelolaan sumberdaya yang


berbasis masyarakat (community based management). Hirarki tertinggi
berada pada tataran hubungan saling kerjasama (cooperation), baru
kemudianpada hubungan consultativedan advisory. Hubungan kerjasama
yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar sektor, antarwilayah,
serta antar aktor yang terlibat.
1. Kerjasama Lintas Sektor
Pada kawasan pesisir,tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar.
Sektor-sekorlainnya

pun

memiliki

peranan

besar

karena

saling

terkaituntuk dapat memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya saja


yang berkaitan dengan perekonomian masyarakatpesisir, sektor industri
dan

jasa

menjadi

pengembangan

sektor

usaha

yangmemiliki

produktif

kontribusi

masyarakat.

besar

Yangberkaitan

dalam
dengan

kelestarian lingkungan juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan
sektor industri dimana biasanya limbah industri dibuang ke perairan.
Infrastruktur

pendukungjuga

menjadi

hal

penting

untuk

dapat

mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan.Untuk itu,


kerjasama lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena masingmasingsektor memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Masing-masing
sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah dalam hal ini
sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan setiap
sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan.
2. Kerjasama Antar wilayah

Kawasan pesisir padadasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif.


Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu
kawasan (adanya homogenitas

baik secaraekologis maupun ekonomis)

haruslah saling bekerjasama untuk meminimalisir konflik kepentingan.


Kerjasama antar wilayah dapat digalang melalui pembentukan forum
kerjasama

atau

forum

komunikasi

antarpemerintahdaerah

yang

memilikikawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi sejak


timbulnya

perkembangan terburuk

seperti

konflik

antar

dini

nelayan.

Kesepakatan dan penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaatan


sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus
disosialisasikan

secaraluas danbenar kepada masyarakat nelayan agar

mereka memiliki cara pandang yang sama.


3. Kerjasama Antar Aktor (stakeholders)
Upaya pengurangan kesenjangansektoral dan daerah jelas memerlukan
strategi

khusus

bagi

berkesinambungan.
Pemerintah

Pusat

penanganan

Untuk
untuk

itu,

secara

diperlukan

menjembatani

komprehensifdan

adanya

persoalan

kebijakandari

kemiskinan

dan

kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme kerjasama


antar aktor (stakehokders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat
(kelompok
Sector),dan

nelayan),

pihak

pemerintah

swasta/

(Government).

pengusaha
Sebagai

perikanan
anak

(Private

bangsa

yang

prihatin melihat kondisi yang menjadi potret buram dalam pengelolaan


kawasan pesisir dan laut yang belum memberikan kesejahteraan bagi
masyarakatnya tersebut,maka diperlukan perhatian yang serius berupa
terobosanpemikiranbagi

upaya

percepatan

pembangunan

dan

pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partispasi masyarakat


dalam proses dan pelaksanaan pengelolaannya. Upaya penanggulangan
kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut yang berintikan
suatu paradigma baru, dimana inisiatif pembangunan daerah tidak lagi
digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal (daerah) untuk
memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan

rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan


kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki.
PENUTUP
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang
ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka
masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya
sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini.
Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat
diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung
jawab

pemerintah

seperti

soal

kebijakan

fiskal

sumberdaya,

pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir,


serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut
menjadi

bagian

dari

kewenangan

pemerintah,

namuntidak

berarti

masyarakat tidak memiliki kontribusi dan partisipasi dalam setiap


formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat
maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh
persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.
*******

Daftar Pustaka
Rudyanto, Arifin, 2008. Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan
Sumberdaya

Pesisir

Laut.http://maritim.bmkg.go.id/rudy/2008/07/04/ pengelolaan-

sumberdaya-pesisi-dan-laut/, diakses tanggal, 24 April 2013.

Dan

Amiruddin, 2006. Sumberdaya Maritim Indonesia.


http://bulletin.penataanruang.net/amir/2006/01/06/sumber-dayamaritim/, d

Anda mungkin juga menyukai