Anda di halaman 1dari 37

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA BAHARI

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat bahari,
cepat atau lambat pasti mengalami perubahan sebagai fenomena sosial. Realitasnya fenomena
sosial itu sesungguhnya menunjukkan fenomena sosial budaya yang sangat kompleks.
Kompleksitas fenomena sosial budaya bahari ditunjukkan dalam proses dinamikanya. Di sana
ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar
dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok kerja nelayan dan
pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang
tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi
Selatan), dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne
(Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari
Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro di Bira (Bulukumba) kurang lebih dua dekade
terakhir,dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara sementara atau permanen
seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di mana-mana
dalam rangka adaptasi sosial budayanya,bertahannya tradisi seperti pengetahuan kelautan,
pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil.
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang kearifan lokal (local
indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan fenomena eksploitasi sumberdaya secara
berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak negatifnya bagi kondisi sosial ekonomi,
lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan emik). Konteks birokrasi
melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang kepada perubahan-perubahan
keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide dan sikap-sikap (menerima atau
menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis) atau rengge (istilah Makassar) sejenis
pukat apung raksasa (purse seine) yang merupakan teknik tangkap andalan untuk ikan pelagik
(terutama layang) di Sulawesi Selatan. Sebetulnya diperkenalkan oleh dan melalui jalur promosi
pemerintah di tahun 1970-an.
Selanjutnya, mengarahkan dinamika budaya bahari Indonesia. Meskipun dinamika budaya bahari
komuniti-komuniti nelayan di Indonesia selama ini tidak atau masih sangat kurang mendapat
pengarahan dari pemerintah, namun tampak di mana-mana suatu proses dinamika berlangsung
cukup pesat. Tanpa memandang rendah beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain seperti
sasi (Maluku), panglima laut di Aceh, pengelolaan komunal tradisional di Kapuas Hulu
(Kalimantan), teknik rumpon nelayan Mandar (Sulawesi Selatan), lembaga kerjasama
pengelolaan modal ponggawa-sawi (Sulawesi Selatan), ternyata bahwa proses dinamika,
modernisasi dan globalisasi banyak membawa dampak-dampak negatif berupa kemiskinan
ekonomi sebagian terbesar penduduk nelayan tradisional skala kecil, konflik-konflik antar
kelompok-kelompok nelayan, terkurasnya populasi sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut,
terutama terumbu karang. Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti

nelayan yang kurang terarahkan secara bijak, mereka itu closed to the stone, far from the
throne menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis, Makassar dan Bajo, tepatnya
dekat ke ponggawa/bos, jauh dari negara.
Selanjutnya apa yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah,
kalangan akademisi, LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga donor? ialah menemukan arah-arah
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut secara berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, untuk kesejahteraan bersama masyarakat. Tumbuhkan pandangan dan kesadaran
bahwa sumberdaya laut rentan terhadap ancaman perilaku-perilaku tertentu,jadi tanpa perlakuan
bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin berkurang/terbatas,manusia harus arif dan
bertanggungjawab dalam perilaku pemanfaatan sumberdaya laut,mengubah pandangan budaya
dan praktek akses terbuka/bebas ke penguatan hak-hak pemilikan. Menumbuhkan dan
revitalisasi kelembagaan-kelembagaan tradisional yang menekankan moral pemerataan atau
keadilan dalam kesempatan berusaha dan pembagian hasil, pembentukan institusi baru,
penguatan atau revitalisasi sistem-sistem tradisional yang potensil berkaitan dengan pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Dalam wujud teknologi perlu pengembangan
teknologi perikanan tangkap ramah lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semibudidaya, teknologi pascapanen, serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan
global yang tidak semata dikendalikan kekuatan-kekuatan eksternal. Karena budaya bahari
adalah pragmatis, segala contoh nyata yang memberikan makna praktis bagi mereka niscaya
akan dinilai tinggi dan diperebutkan.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan
masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika
tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistemsistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya
dalam dinamika ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur
elementer) bertahan, yang dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses
dinamika itu sendiri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan
kondisi sosial ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.
Dalam masyarakat bahari, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan
subsektor ekonomi kebaharian baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-kategori
sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata, marinir,
akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa
dengan segmen-segmen masyarakat bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan
perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.
Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor ekonomi kebaharian
lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalam perkembangan dan perubahan-perubahan
teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya kebaharian (pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya bahari
berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan
(sumber data/informasi diperoleh dari berbagai hasil penelitian lapangan).

B. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim.
2. Untuk mengetahui keadaan dinamika sosial budaya maritim di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dinamika sosial budaya maritim.
4. Untuk menegtahui cara-cara untuk meningkatkan kualitas sosial budaya maritim di Indonesia.
C. Manfaat
Melalui penyusunan makalah ini diharapakan :
1. Dapat menjadi refrensi terkait masalah dinamika sosial budaya maritim.
2. Dapat lebih memahami keadaan dinamika sosail budaya maritim.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Motorisasi Perahu/kapal Nelayan


Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi
perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di tahuntahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha dan
pemilik ala-ala produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota Makasar (Bos
dalam istilah lokal). Introduksi inovasi motor ke desa-desa nelayan melalui Dinas Perikanan,
namun pengusaha/ pedagang besar yang berkedudukan di kota, khususnya Makassar, yang
memegang peranan penting menyampaikan dan mensosialisasikan sekaligus mendagangkan
inovasi motor kepada lapisan nelayan melalui para ponggawa dari desa-desa pantai dan pulaupulau di Sulawesi Selatan dengan aturan kredit tradisional. Menurut informasi, bahwa pada
mulanya semua unit motor yang masuk ke desa-desa nelayan hanya berukuran 4,5-10 pk. Motormotor kecil dipasang di luar perahu (outboard motor). Di tahun 1980-an diperkirakan sudah ada
separuh dari perahu-perahu nelayan yang ada telah dilengkapi dengan motor dalam (inboard
motor) berkekuatan 10-30 pk. Di tahun-tahun 1990-an sebagian terbesar perahu nelayan sudah
menggunakan motor berkekuatan minimal 20 pk. Perahu-perahu nelayan yang mengoperasikan
gae/rengge dan bagang (pukat apung besar) bahkan rata-rata menggunakan dua mesin
berkekuatan 100-130 pk. Tinggal nelayan pancing dan jaring ringan yang beroperasi di perairan
pantai yang sebagian besar masih menggunakan motor kecil berukuran 5-10 pk dengan perahuperahu kecil. Motor sebagai tenaga penggerak menggantikan komponen layar dapat dipasang
pada semua jenis/tipe perahu tradisional mulai dari ukuran kecil sampai pada perahu besar dan
tipe bodi/kapal.
Sejak pertamakali motor diadopsi sampai sekarang belum ada kesan diperoleh dari
masyarakat nelayan akan adanya sikap penolakan terhadap inovasi tersebut. Semua nelayan suka
motor, meskipun ternyata hanya sebagian di antaranya mempunyai peluang pada kepemilikan
inovasi tersebut. Boleh dikatakan bahwa memiliki perahu motor sekecil apapun merupakan
dambaan setiap nelayan.
B. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan biaya
operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-alat
tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional yang

masih digunakan nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti
pukat gae (Bugis) atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu
(p.kerapu), pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat
harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang dan memang tidak
pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena merugikan mereka, merusak sumberdaya dan
ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di atas kemudian menjadi lebih produktif berkat
dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi motor dapat
memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuitas teknologi tangkap tradisional
tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.
1. Gae
Gae atau rengge adalah tipe pukat paling besar dan produktif dalam perikanan laut di
Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan keterangan nelayan Makasar dari Galesong
(Takalar), bahwa gae baru muncul dan mulai digunakan di akhir tahun 1970-an atau awal tahun
1980-an dengan ukuran lebih kecil daripada yang sekarang. Gae menurut keterangan merupakan
modifikasi dari gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau bukan hasil modifikasi dari panjak/jala
lompo (payang). Ide pengembangan pukat tradisional ini menjadi pukat raksasa sudah pasti
muncul dari teradopsinya mesin dari berbagai jenis merk dan ukuran kekuatan.
Karena untuk menggerakkan bodi berkapasitas puluhan ton dengan kecepatan lebih
tinggi ke daerah perikanan dalam yang jauh dari pantai serta mengangkat jaring dari air, maka
mutlak diperlukan beberapa buah mesin berkekuatan tinggi. Ada gejala bahwa gae/rengge akan
menjadi cikal bakal perkembangan mekanisasi armada perikanan laut di Indonesia bagian timur
di masa akan datang. Akhir-akhir ini, investasi usaha gae/rengge telah mencapai 180-250 juta
rupiah. Di beberapa desa nelayan Sulawesi Selatan, antara alain seperti Desa Tamalate, Desa
Engbatu-batu, Desa Tammasaju (Kab. Takalar), Jennepnto, Bantaeng, dan Kelurahan Kassi
Kajang (Bulukumba), perikanan gae terbukti telah meningkatkan kesejahteraan nelayan pemilik
dan keluarga-keluarga juragan (nakoda), bahkan sebagian besar dari pemilik dapat
mengembangkan usahanya dan menambah beberapa unit uasaha gae baru. Di desa-desa nelayan
pantai berdasarkan pengamatan, keluarga-keluarga nelayan pemilik gae inilah yang paling kaya
di antara semua kategori masyarakat nelayan.
2. Bagang

Alat tangkap ini adalah sejenis alat tangkap tradisional nelayan Bugis yang sejak tahun
1970-an telah mengalami perkembangan teknis secara pesat seiring dengan adopsi inovasi motor
di Sulawesi Selatan. Bentuk paling kompleks dari teknik ini ialah bagang rambo (bagang
raksasa) yang telah digunakan oleh nelayan Palopo dan Malili (Luwu), nelayan Lappa (Sinjai)
dan nelayan Barru. Komponen inti bagang rambo terdiri dari perahu bagang 1 buah (panjang 8-9
m, lebar 2-2,5 m), 1 buah perahu kecil untuk mengangkut sawi (10-15 orang) dan hasil
tangkapan, rangka pondok/tenda (dari bambu atau balok-balok kayu yang dipasang di atas
perahu), net halus (dari: Bugis) luas 30x30 m, mesin 2 buah (masing-masing berfungsi sarana
penggerak dan pembangkit tenaga listrik untuk penerangan) yang semuanya berkekuatan 100140 pk, dan bola lampu (merk phillips) sebanyak 40-60 buah (100-200 watt masing-masing).
Demikianlah bagang rambo yang dioperasikan pada perairan dekat pantai pada waktu siang
tampak dari luar seperti pondok/tenda besar, dan di waktu malam tampak terang gemerlap
dengan lampu-lampu terpasang sekeliling rangka bagang. Besar investasi untuk satu unit usaha
bagang rambo bervariasi dari 250-300 juta rupiah.
3. Usaha pancing tongkol
Salah satu jenis usaha perikanan laut dalam di Sulawesi Selatan yang mengalami
perkembangan cukup pesat berkat inovasi motor dan fasilitas pengawetan tangkapan ialah usaha
tongkol yang sebagian terbesar dikelola oleh nelayan dari desa-desa pantai dalam kabupatenkabupaten Bone, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, dan lain-lain.
Sebelum motorisasi armada penangkapan ikan, jumlah nelayan tongkol masih sedikit
dan mereka pada umumnya hanya beroperasi dalam batas-batas wilayah perairan Sulawesi
Selatan. Daya jangkau perahu-perahu layar yang rendah dan belum tersedianya sarana
pengawetan untuk ikan segar merupakan faktor utama tidak berkembangnya aktivitas perikanan
laut dalam sebelum mekanisasi perahu-perahu penangkapan ikan tersebut.
Dengan adopsi inovasi motor dan sarana pengawetan ikan, maka jumlah jenis-jenis
usaha dan nelayan yang terlibat di dalamnya meningkat pesat. Kemudian nelayan tidak lagi
hanya beroperasi dalam batas-batas perairan Sulawesi Selatan saja, melainkan telah memperluas
wilayah penangkapannya sampai ke NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, dan bahkan kelompok-kelompok nelayan dari Sinjai Timur yang hanya
terdiri dari 3-5 orang per perahu telah mendatangi peraiarn pantai Cilacap (Jawa Tengah) sejak
tahun 1998.

Perkembangan usaha tongkol di Sulawesi Selatan dapat dibandingkan dengan yang


terjadi di kawasan timur Indonesia lainnya seperti Sulawesi Utara, Buton, Ternate, Biak, dan
lain-lain. Fenomena perkembangan usaha perikanan tongkol dan tuna yang memproduksi ikanikan segar berkualitas tinggi dapat dipahami sebagai kemampuan nelayan merespons permintaan
pasar ekspor dan terlibat dalam jaringan pasar ekspor dunia, khususnya Asia Tenggara.
4. Usaha lobster dan ikan hidup
Dimungkinkan oleh laku dan meningkatnya permintaan ikan hidup jenis sunu, kerapu,
langkoe/napoleon(dalam istilah Indonesia, sunu termasuk kerapu juga) di pasar ekspor
(Singapura dan Hongkong) terutama sejak awal periode 1990-an, maka sebagian terbesar
nelayan pulau dalam kawasan karang Kepulauan Spermonde (Selat Makasar), Pulau Sembilan
(Teluk Bone), kawasan Takabonerate (Selayar) di Sulawesi Selatan beralih dari menangkap
berbagai spesis hasil laut ke usaha lobster dan ikan hidup di lokasi karang (taka dalam istilah
Bugis dan Makassar). Membaiknya kondisi harga dan relatif kecilnya investasi dalam usaha ikan
hidup yang prospektif tersebut, yaitu bervariasi dari 5-15 juta rupiah per/unit usaha (mencakup
komponen-komponen perahu kecil, motor kecil, pancing atau bubu), mendorong para nelayan
yang sebelumnya aktif dalam kelompok-kelompok besar dengan status sebagai sawi (anak buah)
kemudian pecah ke dalam kelompok-kelompok kecil yang berarti terjadi peningkatan jumlah
unit usaha baru. Bahkan sebagian besar nelayan berani menanggung risiko untuk menjadi
pemilik dan aktif secara peroragan.
Meningkatnya jumlah nelayan pengguna pancing kedo-kedo dan bubu (teknik tangkap
ikan hidup) dan sarana selam modern yang dilengkapi dengan kompresor (mesin udara) jelas
memerlukan perahu-perahu motor. Itulah sebabnya periode 1990-an merupakan periode
masuknya ribuan motor kecil (5-10 pk) ke desa-desa nelayan, terutama ke desa-desa penggarap
sumberdaya kawasan karang di Sulawesi Selatan.
5. Kompresor
Kompresor adalah kompnen utama dari perangkat sarana selam selam modern. Adopsi
kompresor atau mesin pompa udara ini dihubungkan dengan usaha-usaha teripang, bubu
(penangkapan ikan hidup), usaha hiu, dan kegiatan-kegiatan ilegal seperti pemboman dan
pembiusan ikan. Sebelum kompresor diadopsi sejak pertengahan tahun 1980-an, para penyelam
(sebagian besar dari Pulau Sembilan) menggunakan tabung/tangki gas yang dianggap bisa
berbahaya bagi kesehatan nelayan. Tabung gas menggantikan teknik selam tradisional yang
alamiah dengan menggunakan ladung (alat tusuk) untuk mengambil teripang, yang masih banyak
dipraktikkan hingga tahun 1970-an. Baik dengan kompresor maupun tabung, keduanya
memerlukan perahu-perahu motor ukuran sedang ke atas untuk penerapannya secara intensif dan
efektif. Dengan semakin jauhnya lokasi-lokasi pencarian teripang (termasuk kerang-kerangan)
--- sejak pertengahan periode 1980-an, nelayan penyelam dari Sulawesi Selatan telah sampai ke
Sulawesi Tenggara, NTT, NTB, Maluku, Biak (Irja), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,

Kalimantan Selatan, Sibolga, Nias dan Mentawai (Sumatra) --- maka nelayan teripang Sulawesi
Selatan, khususnya yang dari Pulau-pulau Sembilan, Barranglompo, merasa mutlak memerlukan
perahu-perahu motor besar dilengkapi dengan kompresor. Demikian halnya bagi pengusaha ikan
hidup dan para pengusaha ikan segar yang mempraktikkan kegiatan ilegal seperti pemboman di
laut.
Disebabkan investasi untuk pemilikan satu unit kompresor cukup besar, yaitu 25-30 juta
rupiah, maka kepemilikan sarana selam tersebut terbatas kepada sebagian nelayan/pengusaha
mampu saja.
C. Dinamika Struktural
Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan
Bugis, Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama
nelaya yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari
setiap desa telah ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga
digunakan dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun
kelompok ini lebih eksis dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan
rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Struktur inti/elementer dari kelompok organisasi ini ialah P.laut atau Juragan dan Sawi.
P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat
produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial,
sementara para sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi
semata.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami
perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh seorang
P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan dan
eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi
di laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelola perolehan pinjaman modal dari
pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun jaringan
pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi
dalam kelompok kerja nelayan yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan
aktivitas produksi di laut, P.Darat merekrut juragan-juragan baru untuk menggantikan posisinya
dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang dan meningkat jumlahnya. Para
P.Laut/Juragan dalam proses dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya

hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawisawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah P.Caddi, sedangkan P.Darat disebut
P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik
dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,
sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,
disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami sebagai
modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi
inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin, peningkatan volume perahu, beberapa jenis
alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
merespons difusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut, para
P.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kotakota besar, teurutama Makassar, dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula
dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar. Cara
seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur
mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam
faktor modal. Mula-mula mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian
banyak menentukan spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuanketentua kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali dari
nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam

pada

posisi

tengah

(peranannya

menyerupai

makelar),

sementara

para

P.Laut/Juragang dan Sawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat produksi semata
dari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bos dalam hirarkis
struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di antara

P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif, sementara


hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat dan Bos. Tinggal
P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak
dahulu kala.
Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang seringkali merugikan bagi P.Laut/Juragan, yang
menyebabkan mereka sulit meningkatkan penapatan dan bergeser naik ke status pemilik alat-alat
produksi/pengusaha, mendorong sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara
berisiko, yaitu meminjam modal langsung kepada Bos di Makasar. Hingga sekarang, tidak
sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu menjadi nelayan
pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun kompetisi dengan dan
mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang sudah kokoh sejak lama. Demikianlah
tercipta suatu struktur kerjasama baru antara Bos dengan P.Laut/Juragan yang secara langsung
memimpin kelompok-kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber pinjaman biaya
operasional dan biaya hidup keluarga nelayan pesisir dan pulau, yaitu para pengusaha kios yang
menjual berbagai kebutuhan pokok dan bahan pembuatan alat-alat penangkapan ikan. Sebagian
di antara pengusaha kios tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.
Dengan adopsi inovasi teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya
perubahan aturan bagi hasil yang eksploitatif. Fenomena baru ini tidak dapat dihindari sebagai
dampak dari pergeseran sistem ekonomi subsisten ke sistem ekonomi kapitalisme. Personifikasi
komponen produksi modern (perahu, mesin, pukat/jaring, kompresor dan lain-lain yang
dikembangkan dengan investasi modal besar) dalam sistem bagi hasil, karena peranannya
dianggap lebih vital daripada peranan setiap anggota/anak buah, maka bagian-bagian hasil
diperuntukkan bagi komponen alat produksi ini meningkat pesat. Sebaliknya, porsi bagian bagi
anak buah justru cenderung merosot. Bagian-bagian komponen-komponen alat produksi tentu
saja jatuh ke tangan seorang pemilik. Diasumsikan bahwa perubahan struktural ini sangat
mempengaruhi meluasnya gejala kemiskinan di desa-desa nelayan hingga sekarang ini.
D. Pengembangan Budaya Bahari
Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa kebudayaan
tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia

tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan
(cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian,
religi dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yakni
sistem budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lainlain), sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah
dijelaskan pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan
pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya
sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem
budaya. Adapun sistem sosial sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya
dan penerapan sistem alat peralatan/teknologi.
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan), maka
dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan bahari ke depan tentu tepatnya
dimulai dari sistem nilai budaya bahari itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya
bahari yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan bermasyarakat dan
teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks kristalisasi nilai dan
moral budaya bahari yang mengakar dan rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari
segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmensegmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur budaya bahari baru
yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan,
praktisi pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian
sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya bahari yang dianggap
potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi pembangunan
budaya bahari di Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma
budaya positif yang mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku
bangsa (ethnic groups) seperti di bawah ini:

Komunalisme

Arif lingkungan

Religius

Berkehidupan bersama/kolektivitas

Egalitarian

Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya

Saling mempercayai

Patuh/taat norma

Bertanggung jawab

Disiplin

Kreatif-inovatif

Teguh pendirian

Kepetualangan

Berani menanggung risiko

Adaptif dan kompetitif

Berwawasan kelautan dan kepulauan

Multikulturalis

Nasionalis

Berpandangan dunia/keterbukaan
Tentang nilai-nilai budaya bahari tersebut, tidak diasumsikan dianut dan diaplikasikan
oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku pada semua
periode waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya bahari
tersebut bersifat kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi
kerjasama, etos ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan
sikap keterbukaan, banyak dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan
kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki
komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an;
sikap tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda
dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton) dengan kelembagaan rektur Kuli Jala;
sikap kebersamaan dengan dan melestarikan lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan
laut, dan pemanfaatan hasil-hasil secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan
Maluku, Irian, dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan lainlain.
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kebaharian tersebut tumbuh
berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan berat dan

rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna
sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya yang
mengakar dalam masyarakat bahari ini perlu diimput dengan rekayasa nilai-nilai integratif,
asimilatif, futuralistik, dan adaptif (input values) yang terkandung dalam visi Universitas
Hasanuddin (Unhas sebagai pusat pengembangan budaya bahari) yang akan menjelmakan
nilai-nilai budaya bahri yang holistik, interkonektif, dan mandiri (output values) untuk menjadi
acuan sekaligus tujuan pengembangan budaya bahari di masa depan.
E. Problem Sosial - Ekonomi Masyarakat Bahari
1. Eksploitasi Sumber Daya Laut
Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan
dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65%
dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih
(Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan
permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial
terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar perikanan sedang mengikuti perikanan
hipotetik Ricker (1975) dimana pada fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum
dan perubahannya hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi
semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan
terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang
menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya
The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000.
Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil
pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun
2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya
ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan
yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai
lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan.
Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai
konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan
cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan

produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama,
berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju
pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin
terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan
terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah
mengherankan jika Bn dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang
sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.
Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk
menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis
kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir,
peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi
modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini
tentu sangat tergantung sense of urgency dan political will pemerintah yang saat ini banyak
memegang kendali pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah
memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti produksi
perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun,
penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada
pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang
75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan
yang segara langsung tergantung padanya.
2.

Kemiskinan
Nelayan mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi kehidupan
manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap perubahan
lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding kelompok masyarakat yang hidup di
pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.
Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang identitas
nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka dinilai lebih berpendidikan,
wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran
terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh terhadap
mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum mencapai kemajuan seperti

sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan)


ditentukan oleh intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan
para nelayan.
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang
berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan
sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial
paling dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data
akurat mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasilhasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan ratarata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500 per bulan sampai Rp 225.000
per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita, angka tersebut rata-rata setara dengan Rp
20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah
upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu
menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah
pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk
yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula
yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak
mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh,
pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan
(Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk
mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang
terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
3. Faktor Penyebab
Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus segera
ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai akhir tahun

1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa dan negara Indonesia telah meningkatkan
jumlah penduduk miskin kembali ke tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan di negara
jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama
yang kurang berpendidikan untuk menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib
sebagai masyarakat urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat,
kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu
akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat
dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan
dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di
beberapa provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga
sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata
lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya
lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya
korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan
miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal,
yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu
untuk berlayar.
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan,
banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung
terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara
umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena
nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya
membayar utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan menurut
selera para juragan.
Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian,
sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.

4. Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan ekonomi
petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil merupakan second
generation problem yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan
Jawa Tengah, pemasaran bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin. Di
Provinsi Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana transaksi hasilhasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI, nelayan berhadapan dengan banyak pembeli
sehingga nelayan yang menjual hasil ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling
menarik jika dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI. TPI Jawa
Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam Puskud Mina Baruna saat
ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di Indonesia. Sayangnya, tidak semua proes
transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di beberapa TPI banyak nelayan yang harus
menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang
cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan segera dan
tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah
harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan dana
segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan ekonomi mereka. Pemerintah
tampaknya perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang
bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan
disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan
kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk
menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan. Di sini bila
dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan
untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi
peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUDKUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga
pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini
tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang
mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang

pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan
kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak
akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya
kekuatan ekonomi nelayan.
5. Konflik Antar Nelayan
Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970-an konflik
sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut.
Selama bulan Januari yang lalu konflik dengan kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali
antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November
2005 di Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka dengan tewasnya
seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI 6/2). Selama bulan September 2004
juga terjadi beberapa kali antara nelayan Madura dan Sidoharjo yang juga berakibat kehilangan
nyawa. Pada tahun yang sama juga Kompas (16/1) melaporkan konflik dengan ancaman bom
terhadap nelayan Jawa Tengah di selat Makasar.
Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi paling tidak
terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya. Pertama, konflik kelas,
yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan
(fishing ground), yang mirip dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001).
Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi
akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah
penangkapan nelayan tradisional.
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki
kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi
jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak
lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing
ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi
antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain,

seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external
allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan
identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas menggambarkan
betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun
sesudah otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu
akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara
mengelola sumberdaya ini. Banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non
nelayan karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi
daerah ini lebih-lebih adanya kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek
dengan mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali bersebarangan
dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang solid menjadi kian mendesak.
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam
mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan ketahanan
ekonomi rumah tangga nelayan. Berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif
ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan alat tangkap yang
sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk
melakukan praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun
sering terjadi. Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu
dengan melakukan pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya
laut yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.
F. Solusi Alternatif
1. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar
kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja
tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program
yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk
menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya
menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan

masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya,


karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:
1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian
utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar,
yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok ini dapat
dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja
disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil
tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya
dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi
pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.
3. Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai
dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu
membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai
untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada
kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim.
4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan
buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan
khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan
masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah
tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal
kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh.
Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola
pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang
dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok
lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat
pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan
itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang
mungkin harus dijawab adalah: Bagaimana memberdayakannya?

Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya


adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan
melalui tiga pendekatan, yaitu:
1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun
dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat
disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara
pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk
menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.
2. Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap
program pemberdayaan.

Masyarakat

belum dapat

berjalan

sendiri

mungkin

karena

kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya
tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat
paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping
sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang
terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang
tepat pula.
3.

Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk
mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah
kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk
digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya
akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan
fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah kami adalah sebagai berikut:


1. Berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi perahu dan kapal
penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-tahun 1970-an.
2. Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut yaitu Gae, Bagang, Usaha pancing tongkol,
Usaha lobster dan ikan hidup, dan Kompresor.
3. Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam
bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client.
4. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur
umum (cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational/mental material), bahasa,
organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan.
5. Kelestarian sumber daya, khususnya sumber daya laut adalah sesuatu yang sangat substansial,
oleh karena itu kelestariannya harus dijaga.
B. Saran
Sebaiknya pemerintah segera menindaklanjuti masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat bahari Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi tiingkat kemiskinan
masyarakat, meredam konflik-konflik sosial yang meresahkan masyarakat bahari, dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup, khususnya laut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada hari Minggu, 18
Maret 2012.
Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim. http://www.crayonpedia.org Diakses Selasa 12
Maret 2012 pukul 20.15 Wita
Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com. Diakses pada
tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.
Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar

MAKALAH DAMPAK DINAMIKA SOSIAL BUDAYA TERHADAP


PENGELOLAAN SDL (SUMBER DAYA LAUT)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari sansekerta yaitu budhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal diartikan sebagai hal-hal dengan
budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa
Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Manusia semakin lama semakin meningkat karena manusia sebagai pelaku
aktivitas tersebut memiliki kebudayaan dan pola pikir yang berbeda satu sama lainnya.

Tatanan sosial baru-pun akhirnya membawa dampak pada berkurangnya kepercayaan,


pandangan dan nilai-nilai lama yang bersumber pada ajaran leluhur dan nenek moyang.
Kepercayaan lama yang bersifat pribadi dan cenderung tidak pasti telah
digantikan oleh kehidupan beragama yang lebih formal. Kehidupan ini berkembang
dengan cepat di kalangan generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih
baik. Hal ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan dunia pendidikan, informasi dan
komunikasi yang memberikan peranan besar pada pergeseran budaya, cara pandang
dan pola pikir yang selama ini berkembang di masyarakat.
Jadi ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial
budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang memicu
perubahan social. Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal
factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat.
Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh
kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran
(unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat
memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata
kembali kehidupan mereka.
Perubahan ini juga membawa dampak negatif pada kehancuran moral (moral
damage) yang dapat dijumpai di daerah perkotaan yang sebagian besar masyarakat
menganggap bahwa dampak negatif ini merupakan hal yang wajar. Padahal apabila
dampak negatif ini tidak segera diatasi mungkin dampak negatif pembangunan dan
perubahan sosial akan lebih berkembang dibandingkan dampak positif yang diperoleh.
Perubahan social budaya ini juga berdampak pada pengelolaan SDL (Sumber
Daya Laut). Ini menjadi masalah yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, karena
semua kekayaan hayati dan berbagai manfaat yang di dapatkan dari laut dan jika ini
mengalami perubahan maka apa yang akan terjadi?
Masalah-masalah inilah sehingga kami memilih judul ini untuk makalah kami.
Dan kami memberikan suatu informasi tentang dinamika social budaya, dan
dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya laut.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang terrdapat di dalam makalah ini yaitu:


1. Apa itu dinamika social?
2. Apa itu SDL (Sumber daya Laut)?
3. Apa pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang terdapat di dalam makalah ini, yaitu:
1. Agar kita mengetahui tentang dinamika social budaya
2. Agar kita mengetahui apa itu SDL (Sumber Daya Laut)
3. Agar kita mengetahui pengaruh dari dinamika social budaya terhadap pengelolaan SDL.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinamika Sosial Budaya
1. Pengertian Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola
budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum

yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai
dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
2. Faktor Faktor Perubahan Sosial Budaya
Perubahan

sosial

budaya

terjadi

karena

beberapa

faktor.

Di

antaranya

komunikasi,cara dan pola pikir masyarakat.

Faktor

internal

seperti

perubahan

jumlah

penduduk,

penemuan

baru,

terjadinya konflik atau revolusi.


Faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan

1.
2.
3.
4.

pengaruh kebudayaan masyarakat lain.


Faktor yang menghambat terjadinya perubahan sosial budaya, yaitu :
Kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain.
Perkembangan IPTEK yang lambat.
Sifat masyarakat yang sangat tradisional.
Adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang tertanam dengan kuat dalam

5.
6.
7.
8.

masyarakat.
Prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru.
Rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan.
Hambatan ideologis dan
Pengaruh adat atau kebiasaan.

B.
1.

Sumber Daya Laut


Pengertian Sumber Daya Laut
Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang
luasnya mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus
pembunuh, dan habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut
di pantai dataran tinggi dan daerah muara yang luas. Berbagai orang memanfaatkan
dan berinteraksi dengan lingkungan laut mulai dari pelaut, nelayan komersial, pemanen
kerang, ilmuwan Dll. Juga digunakan untuk berbagai kegiatan baik rekreasi, penelitian,
industri, dan kegitan lain yang bersifat komersial.

2.

Macam-MacamSumber Daya Laut


Secara umum, sumber daya kelautan terdiri atas :

a. Sumber daya dapat pulih (renewableresources), Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai
jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut
(mariculture).

b. Sumber daya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian,


minyak bumi dan gas.
c. Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi
sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita
lebih banyak terkuras untuk mengelola sumber daya yang ada di daratan yang
hanya sepertiga dari luas negeri ini.
3. Contoh Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat Pesisir
Beberapa contoh kebiasaan kebiasaan masyarakat pesisir yang kami dapat dari
beberapa sumber yaitu:
a. Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki ritual yang berhubungan dengan
usaha mereka sebagai nelayan dalam memanfaat akan sumberdaya laut. Ritual yang
biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat yakni (Stefanus Stanis, 2005):
1) Bito Berue, merupakan suatu tradisi adat yang dilakukan oleh nelayan setempat
sebelum menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai
dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh.
Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling
sampan/juku baru.
2) Lepa Nua Dewe, tradisi ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang
dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap
tradisional masyarakat setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya
pada musim-musim tertentu selalu muncul diperairan laut daerah setempat dalam
jumlah yang sangat banyak.
3) Bruhu Brito, merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum
melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.
4) Tula Lou Wate, upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada leluhur
di laut dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan
hasil tangkapan yang banyak. Semua jenis upacara adat tersebut di atas dilakukan oleh
tua adat laut yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat
setempat tampaknya sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang
menarik di sini adalah meskipun tradisi-tradisi setempat lebih banyak pada usaha
penangkapan, namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak
boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak. Jika hasil tangkapan terlalu

banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit atau bencana lainnya di laut. Selain
itu, adanya tradisi tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta hubungan
kerjasama yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing dalam
usaha penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap
yang dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya tradsi ini dapat
menciptakan adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan
memanfaatkan hasil-hasil laut secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.
b. Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa
Wulandoni selalu melaksanakan acara ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum
melepas pukat baru. Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan
melakukan acara ritual terlebih dahulu dengan acara toto. Ritual, tradisi toto biasanya
dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh tuan tanah (tua adat) setempat yang
disapah dengan Lewo Tanah Alap (Stefanus Stanis, 2005).
Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan
penyembelian ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat
dengan berjalan melingkari pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah disembeli
dimasak dengan cara dibakar, dan bersama dengan material lainnya (pisang, jangung
titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan sesajen sebelum dimakan bersama. Makna
penting dari ritual ini adalah agar alat tangkap (pukat) dapat memberikan hasil yang
baik bagi usaha mereka (Stefanus Stanis, 2005).
Melalui dari sumber (Stefanus Stanis, 2005) diperoleh gambaran bahwa keraifan
yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak semata-mata bermakna untuk mendapat
hasil yang berlimpah, namun ritual semacamini biasa dilakukan untuk menjaga
keselamatan nelayan dan alat tangkap itu sendiri.
Makna lainnya adalah dalam acara semacam ini mencerminkan ikatan sosial dan
kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan sosial
diantara masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat baru tersebut
harus dibagi dan diberikan kepada para janda-janda dan jumpo-jumpo (Stefanus Stanis,
2005).
Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat
tinggi, karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian. Tua Adat juga

dihargai, jika sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti lumbalumba, pari, penyu dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut dipotong, nelayan
yang menemukan harus terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah Alap, selanjutnya
ikan tersebut dibagi-bagi dengan syarat Lewo Tanah Alap harus mendapat kebagian
bagian kepala dan jantung dari ikan tersebut (Stefanus Stanis, 2005).
c. Di Lamalera
Menurut Stefanus Stanis, 2005., adapun kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di
Lamarela yaitu:
1) Upacara Tobu Nama Fatta ; adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera
berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne) sejenis rumah
ibadat orang Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai
Lamalera. Dalam upacara Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang
berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga dalam upacara Tobu Nama Fatta, dapat
dijadikan semacam forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan, hambatan para nelayan
Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya dan strategi yang
harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim penangkapan sekarang. Setelah
upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta restu
sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.
2) Misa Arwah; merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta
Katolik) yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut
dan upacara misa ini dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya
dilaksanakan pada setiap tanggal 30 April).
3) Misa Leffa; adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat serta
perlindungan dari Tuhan Allah Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan) selama
Leffa Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua perahu
(tena/peledang), perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap melaut. Upacara
ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
4) Tena Fulle; adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu yang
dipercayakan untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli dengan
upacara ritual adat memberi makan kepada arwah leluhur bertempat di pinggir pantai
dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata Molang). Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas
Leffa Nuang merupakan suatu aktivitas yang sangat sakral dan memiliki resiko yang

sangat tinggi, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara personal
dalam komunitas masyarakat harus dijaga agar tetap harmonis. Tidak boleh terdapat
perselisihan antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan dalam keluarga tidak
boleh terjadi pertengkaran antara suami istri maupun dengan anak. Keharmonisan
tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelum melaut, karena mereka
sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur dan
Allah Yang Mahakuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat
serta rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangat percaya jika semua tahapan-tahap
secara adat maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi
pertengakaran atau perselisihan maka dalam aktivitas melaut akan mengalami resiko
yang dapat bersifat fatal, karena yang mereka hadapi ikan paus yang merupakan
makhluk paling besar penghuni laut. Suasana kerjasama antara nelayan, pantangan
seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi nelayan Lamalera.
d. Desa Wailolong
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan
memiliki kearifan atau tradisi adat dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di
darat. Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka
bahwa di laut ada penguasanya yang disebut hari dan penguasa di darat yang disebut
neda . Adanya sistem kepercayaan ini mendorong pemangku adat lemaq untuk
melakukan ritual kolo umen bale lamaq yakni upacara memberi makan kepada
penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan, budidaya rumput laut
maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau. Namun demikian
tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum
merupakan suatu kesepakatan bersama. Melalui wawancara mendalam dengan tokoh
kunci dan wawancara kelompok dengan masyarakat diperoleh gambaran informasi
bahwa hasil-hasil usaha nelayan saat ini mengalami penurunan, sebagai akibat dari
banyaknya hasil-hasil laut yang sudah hilang seperti agar-agar, bakau dan teripang.
Terdapat aspirasi masyarakat desa ini khususnya masyarakat nelayan yang hidupnya
sangat bergantung pada hasil-hasil laut, menghendaki agar ritual semacam ini perlu
dilakukan secara bersama dan terusmenerus sehingga merupakan aturan atau norma
serta tradisi yang mempunyai makna dapat mengatur tindakan-tindakan manusia

terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pesirsir dan laut di tempat itu (Stefanus
Stanis, 2005).
e. Desa Lebewala
Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata
mempunyai tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan
pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur
masyarakat setempat adalah poan kemer puru larang yakni suatu tradisi larangan
secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas
(Stefanus Stanis, 2005).
Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan
dukundukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan
ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau
3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut.
(Stefanus Stanis, 2005).
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa
Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni
berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan
besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran
pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah
dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas.
(Stefanus Stanis, 2005)
C. Pengaruh Dinamika Sosial budaya masyarakat terhadap pengelolaan SDL
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan
masyarakat bahari, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan sebagai fenomena
sosial. Realitasnya fenomena sosial itu sesungguhnya menunjukkan fenomena
sosial budaya yang sangat kompleks. Kompleksitas fenomena sosial budaya bahari
ditunjukkan dalam proses dinamikanya.
Di sana ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang
menggantikan fungsi layar dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai
kelompok-kelompok kerja nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses

perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu


melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan), dan
proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne
(Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu
tradisional dari Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro di Bira (Bulukumba) kurang
lebih dua dekade terakhir,dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara
sementara atau permanen seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok
masyarakat Bajo di mana-mana dalam rangka adaptasi sosial budayanya, bertahannya
tradisi seperti pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. (J.
Supriatni, 2008)
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang
kearifan lokal (local indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan fenomena
eksploitasi sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak
negatifnya bagi kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan
pandangan etik dan emik). Konteks birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah
juga menyumbang kepada perubahan-perubahan keputusan dan prilaku nelayan
melalui respons-respons ide dan sikap-sikap (menerima atau menolak). Motorisasi
perahu dan adopsi gae (istilah Bugis) atau rengge (istilah Makassar) sejenis pukat
apung raksasa (purse seine) yang merupakan teknik tangkap andalan untuk ikan
pelagik (terutama layang) di Sulawesi Selatan. Sebetulnya diperkenalkan oleh dan
melalui jalur promosi pemerintah di tahun 1970-an. (J. Supriatni, 2008)
Selanjutnya,

mengarahkan dinamika

budaya bahari

Indonesia.

Meskipun dinamika budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia selama ini


tidak atau masih sangat kurang mendapat pengarahan dari pemerintah, namun tampak
di mana-mana suatu proses dinamika berlangsung cukup pesat. Tanpa memandang
rendah beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain seperti sasi (Maluku),
panglima laut di Aceh, pengelolaan komunal tradisional di Kapuas Hulu (Kalimantan),
teknik rumpon nelayan Mandar (Sulawesi Selatan), lembaga kerjasama pengelolaan
modal

ponggawa-sawi

(Sulawesi

Selatan),

ternyata

bahwa

proses dinamika,

modernisasi dan globalisasi banyak membawa dampak-dampak negatif berupa


kemiskinan ekonomi sebagian terbesar penduduk nelayan tradisional skala kecil,

konflik-konflik

antar

kelompok-kelompok

nelayan,

terkurasnya

populasi

sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut, terutama terumbu karang. (J. Supriatni,
2008)
Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti nelayan yang
kurang terarahkan secara bijak, mereka itu closed to the stone, far from the throne
menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis, Makassar. Selanjutnya apa
yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah, kalangan
akademisi, LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga donor? ialah menemukan arah-arah
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut secara berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, untuk kesejahteraan bersama masyarakat. (J. Supriatni, 2008)
Tumbuhkan

pandangan

sumberdaya laut rentan terhadap ancaman

dan

kesadaran

perilaku-perilaku

tertentu,

bahwa
jadi

tanpa

perlakuan bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin berkurang/terbatas,


manusia harus arif dan bertanggung jawab dalam perilaku pemanfaatan sumber
daya laut,

mengubah

pandangan budaya dan

praktek

akses

terbuka/bebas

ke

penguatan hak-hak pemilikan. (J. Supriatni, 2008)


Menumbuhkan dan revitalisasi kelembagaan-kelembagaan tradisional yang
menekankan moral pemerataan atau keadilan dalam kesempatan berusaha dan
pembagian hasil, pembentukan institusi baru, penguatan atau revitalisasi sistem-sistem
tradisional yang potensil berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan
jasa-jasa laut.

Dalam

wujud

teknologi

perlu pengembangan teknologi

perikanan

tangkap ramah lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semi-budidaya,


teknologi pascapanen, serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan
global

yang

tidak

semata

dikendalikan

kekuatan-kekuatan

eksternal.

Karena budaya bahari adalah pragmatis, segala contoh nyata yang memberikan makna
praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan diperebutkan. (J. Supriatni, 2008)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola

budaya dalam suatu masyarakat.


Sumber daya kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luasnya
mencakup kehidupan laut (flora dan fauna, mulai dari organisme mikroskopis hingga paus
pembunuh, dan habitat laut) mulai dari perairan dalam hingga ke daerah pasang surut

di pantai dataran tinggi dan daerah muara yang luas.


Perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi
layar dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok
kerja nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses perkembangan internal
seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi
bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan), dan proses difusi (persebaran) yang
menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne (Sulawesi Selatan), bubu dari Buton

(Sulawesi Tenggara),
B. Saran
Adapun saran kami dalam makalah ini, yaitu:
1. Pemerintah lebih menyadari tentang pengaruh dinamika social budaya terhadap
pengelolaan SDL (sumber Daya Laut)
2. Masyarakat khususnya yang berada di pinggir laut lebih memahami dan mengetahui
pengaruh-pengaruh apa saja yang dapat mempengaruhi pengelolaan SDL.
3. Makalah ini menjadi sumber referensi bagi peneliti lain yang mengangkat judul yang
sama.

DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA BAHARI


Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat
bahari, cepat atau lambat pasti mengalami perubahan sebagai fenomena sosial. Realitasnya
fenomena sosial itu sesungguhnya menunjukkan fenomena sosial budaya yang sangat kompleks.

Kompleksitas fenomena sosial budaya bahari ditunjukkan dalam proses dinamikanya. Di sana
ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar
dan dayung, ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok kerja nelayan dan
pelaut serta jaringan pemasaran, ada proses perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang
tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi
Selatan), dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne
(Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari
Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro di Bira (Bulukumba) kurang lebih dua dekade
terakhir,dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara sementara atau permanen
seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di mana-mana
dalam rangka adaptasi sosial budayanya,bertahannya tradisi seperti pengetahuan kelautan,
pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil.
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang kearifan
lokal (local indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan fenomena eksploitasi sumberdaya
secara berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak negatifnya bagi kondisi sosial
ekonomi, lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan emik). Konteks
birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang kepada perubahanperubahan keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide dan sikap-sikap
(menerima atau menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis) atau rengge (istilah
Makassar) sejenis pukat apung raksasa (purse seine) yang merupakan teknik tangkap andalan
untuk ikan pelagik (terutama layang) di Sulawesi Selatan. Sebetulnya diperkenalkan oleh dan
melalui jalur promosi pemerintah di tahun 1970-an.
Selanjutnya, mengarahkan dinamika budaya bahari Indonesia. Meskipun dinamika
budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia selama ini tidak atau masih sangat kurang
mendapat pengarahan dari pemerintah, namun tampak di mana-mana suatu proses dinamika
Pembangunan Negara Maritim
Ada lima aspek yang dapat menjadi modal utama dalam menopang penguatan
pembangunan negara maritim modern di Indonesia. Sepakat dengan Son Diamar
(2001), kelima aspek tersebut dapat menjadi pengamanan dan penguatan wilayah
maritim Republik Indonesia secara terpadu. Masing-masing aspek tersebut memberikan
pemahaman saling mendukung dan menguatkan. Peneguhan pemahaman terhadap
wawasan maritim yang menjadi pilar pertama dapat dilakukan dengan menumbuhkan
kembali kesadaran geografis. Kesadaran geografis dapat dipahami dengan
memberikan pengertian bahwa Indonesia adalah bangsa yang menempati kepulauan,
dengan memiliki sumber daya alam (SDA) yang kaya tidak hanya di darat, tetapi juga di
laut, dengan sistem nilai budaya bahari yang terbuka dan egaliter. Upaya membangun
kembali kesadaran wawasan maritim ini dilakukan melalui penyempurnaan kurikulum
pendidikan nasional, pendidikan dan latihan bagi aparatur, dan sosialisasi melalui
multimedia. Sosialisasi melalui multimedia diharapkan dapat memenuhi tuntunan global
terhadap sarana pembelajaran dan pemahaman yang lebih mengena dan interaktif.
Penyempurnaan kurikulum pendidikan nasional dilakukan dengan penambahan materimateri yang berorientasi pada pengetahuan dan pemahaman terhadap laut dan
perikanan Nusantara.

Selain itu, langkah taktis dengan sosialisasi wawasan lingkungan hidup dan
sistem nilai kosmopolitan serta proses kelembagaan masyarakat maritim yang self
regulating akan sangat membantu. Pilar selanjutnya adalah dengan penegakan
kedaulatan yang nyata di laut. Pilar ini dapat dibangun dengan sistem pertahanan
(defense), keamanan (constabulary), dan pengendalian (civilian monitoring, control, and
surveillance), beserta penegakannya (enforcement) yang utuh dan berkesinambungan.
Aspek-aspek yang dikembangkan dari pilar ini meliputi kejelasan fungsi, integrasi,
kecukupan perangkat (keras, lunak, sumber daya manusia/SDM), dan sistem serta
prosedur yang memadai. Pembangunan industri maritim sebagai pilar ketiga
memberikan kontribusi akan keberadaan negara maritim yang modern dengan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan iptek
tersebut teraplikasikan melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek dalam
bidang industri maritim. Kepentingan riset dan pengembangan iptek di bidang ini dapat
diselaraskan dengan UU No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Iptek dan juga UU Perikanan.
Adapun langkah nyata pengembangan dan pembangunan industri maritim dapat
dilakukan melalui, pertama, industri perikanan. Saat ini industri perikanan memiliki
kontribusi yang kecil terhadap pendapatan nasional dan kurang menyejahterakan
rakyat (nelayan tetap miskin), padahal potensi sektor ini menjadi salah satu yang
terkemuka sekurang-kurangnya di Asia. Kedua, industri pelayaran. Tak dapat
dimungkiri, industri pelayaran menjadi pilihan utama angkutan ekspor-impor dan pilihan
setengah dari angkutan domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Melaluiindustri
pelayaran yang mandiri, setidaknya Indonesia dapat menjadi tuan rumah dinegeri sendiri,
melalui penerapan asas cabotage dan pembangunan kembali armada niaga

Anda mungkin juga menyukai