Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Dalam arti luas pendidikan berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek
kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuannya, nilai dan sikapnya, serta
ketrampilannya. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar untuk
mentransformasikan pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang sesuai dengan perkembangan
peserta didik.1
Pendidikan memiliki sebuah peran yang dipaparkan dalam konsep dasar manusia
sebagai khalifah dimuka bumi. Manusia telah dilengkapi berbagai potensi yang dapat
dikembangkan dalam rangka kekhalifahannya.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, karena sejarah filsafat erat
kaitannya dengan sejarah manusia pada masa lampau. Filsafat yang dijadikan sebagai
pandangan hidup, erat kaitannya dnegan nilai-nilai tentang manusia yang dianggap benar
sebagai pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa untuk mewujudkannya yang
terkandung dalam filsafat tersebut. Oleh karena itu suatu filsafat yang diyakini oleh suatu
masyarakat atau bangsa akan berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang diraaskan oleh
masyarakat dan bangsa tersebut.
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat, karena pada hakekatnya
pendidikan adalah proses pewarisan dari nilai-nilai filsafat. Dalam pendidikan diperlukan
bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat
filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus
menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya,
sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya sampai pada hal-hal ideal dan baik
seperti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun 2003)2, dewasa atau insan kamil (Atiyah alAbrasy). Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam,
sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal,
tetapi memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.

1
2

Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003). h. 57


UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Menurut Bahasa dan Istilah
Secara bahasa filsafat berasal dari kata fhilo yang berarti cinta, dan kata shopos yang
berarti ilmu atau hikmah.3 Menurut Harun Nasution bahwa filsafat berasal dari kata Arab
falsafah yang berasal dari bahasa Yunani, philosopia; philos yang berarti cinta, suka (loving),
dan shopia berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosopia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang
cinta kepada pengetahuan dan kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam bahasa
Arab disebut failasuf.4
Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia menurut Harun
Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah dengan
wazan atau timbangan falala, falalah dan filal. Kalimat isim atau kata benda dari kata
falsafa ini adalah falsafah dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai
kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah (Arab) dan bukan pula dari philosophy
(Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau
menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah (jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab
sehingga membentuk istilah filsafat.5
Filsafat secara istilah sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat
sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Berikut ini adalah
beberapa pengertian filsafat menurut istilahnya berdasarkan pendapat parah ahli filsuf:

Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai


kebenaran asli (hakiki), dan kata Aristoteles filsafat adalah pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika,

ekonomi, politik dan estetika.


Omar Mohammad Al-Toumy Al Syabany menjelaskan bahwa filsafat
bukanlah hikmah itu sendiri melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap
positif terhadapnya. Selanjutnya, Al Syabany melanjutkan penjelasannya
bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. 4), h.1.
Poerwanto dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), cet.
2. h. 1.
5
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Cet. II), h. 6.
4

sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalamanpengalaman

manusia.6
Al- Farabi mengatakan bahwa filsafat adalah mengetahui semua yang wujud
karena ia wujud (al ilmu bi al maujuddat bima hiya maujudah). Disini Al
Farabi membagi filsafat menjadi 2 yaitu: Filsafat Teori (Al Falsafah Al
Nadariyah), mengetahui yang ada tanpa tuntutan untuk mewujudkannya dalam
amal. Lapangan ini meliputi ilmu matematika (al ilmu al riyadi), ilmu
fisika(al ilmu al tabii), dan ilmu metafisika (alilmu ma bada al tabiyyat).
Filsafat praktek (al falsafah al amaliyah, mengetahui sesuatu yang seharusnya
diwujudkan dengan amal, yang melahirkan tenaga untuk melakukan bagianbagiannya yag baik. Amalan yang mengenai individu, disebut ilmu akhlak;
yaitu perbuatan baik yang seharusnya dikerjakan oleh setiap orang.7

B. Ciri-ciri dan Perbedaan Antara Filsafat dan Science


Pemikiran kefilsafatan menurut Suyadi M.P. mempunyai karakteristik sendiri, yaitu
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Hal ini sama dengan pendapat Sri Suprapto
Wirodiningrat menyebutkan juga pikiran kefilsafatan mempunyai tiga ciri, yaitu menyeluruh,
mendasar, dan spekulatif.
1. Menyeluruh
Artinya, pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau
dari satu sudut panddangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui
hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu lain, hubungan ilmu dengan moral,
seni, dan tujuan hidup.
2. Mendasar
Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial
objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai
dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis ( kulitnya) saja, tetapi sampai
tembus kedalamnya.
3. Spekulatif
Artinya, hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya.
Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah

Omar Mohammad Al- Toumy Al Syabany, Falsafah Pendidikan Islam (terjemahan Hasan
Langgulung dari Falsafah al- Tarbiyah al-Islamiyyah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet.
2), h. 1.
7
Try Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 10-11.

pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan
itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian.8
Sains atau science dalam bahasa inggris, berasal dari bahasa latin scientia yang berarti
mengetahui merujuk ke metodologi sistematik yang bertujuan menggali informasi akurat
mengenai fakta dan berusaha memodelkannya. Dari model tersebut manusia berusaha
memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentu saja prediksi yang dibuat
harus dapat diandalkan, kuantitatif, dan konkrit.
Sejarah membuktikan bahwa dengan metode sains telah membawa manusia pada
kemajuan dalam pengetahuan. Randall dan Buchker mengemukakan beberapa ciri umum
sains:
1. Hasil sains bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama,artinya hasil sains yang
lalu dapat digunakan untuk penyelidikan hal yang baru, dan tidak memonopoli. Setiap
orang dapat memanfaatkan hasil penemuan orang lain.
2. Hasil sains kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan karena yang
menyeidikinya adalah manusia.
3. Sains bersifat objektif ,artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode sains
tidak tergantung kepada siapa yang menggunakan, tidak tekrgantung pada
pemahaman secara pribadi.9
Ralph Ross dan Ernest Van den Haag mengemukakan ciri-ciri sains, yaitu: 1) bersifat
rasional (hasil dari proses berpikir dengan menggunakan rasio atau akal), 2) bersifat empiris
(pengalaman oleh panca indra), 3) bersifat umum (hasil sains bisa digunakan oleh semua
orang tanpa terkecuali), 4) bersifat akumulatif (hasil sains dapat dipergunakan untuk
dijadikan objek penelitian berikutnya).
Perbedaan Antara Filsafat dan Science
Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat dan sains adalah cara mengambil
kesimpulan. Filsafat berusaha mencari kebenaran atas suatu hipotesa hanya dengan kekuatan
berfikir. Sains bertumpu pada data-data yang telah diambil dan diverifikasi. Oleh karena itu
keluaran yang dihasilkan juga berbeda tipe. Teori-teori keluaran filsafat bersifat Kualitatif
dan Subjektif. Sedangkan sains menghasilkan output yang Kuantitatif dan Objektif.

8
9

Surajiyo, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). h. 13


Uyoh Sadullo, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Media Iptek, 1994.), h. 44.

Terdapat perbedaan yang hakiki antara filsafat dan sains, diantaranya:


1. Sains bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek
formalnya. Filsafat bersifat synopsis, artinya melihat segala sesuatu dengan
menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan mempunyai sifat tersendiri yang
tidak ada pada bagian-bagiannya.
2. Sains bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menentukan fakta-fakta, netral
dalam arti tidak memihak pada etik tertentu.Filsafat tidak hanya menggambarkan
sesuatu melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang
tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak
netral karena, faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam filsafat.
3. Sains mengawali kerjanya dengan bertolak dan suatu asumsi yang tidak perlu diuji,
sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali asumsiasumsi yang telah ada untuk diuji ulang kebenarannya. Jadi, filsafat dapat meragukan
setiap asumsi yang ada, dimana oleh sains telah diakui kebenarannya.
4. Sains menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verfikasi
terhadap teori dilakukan dengan cara menguji dalam praktek berdasarkan metode
sains yang empiris. Selain menggunakan teori, filsafat dapat juga menggunakan hasil
sains, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada pengalaman
insani.
Jadi, sains berhubungan dan mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, diperoleh
dengan menggunakan eksperimen, observasi dan verifikasi, hanya berhubungan dengan
sebagian aspek kehidupan di dunia ini. Sedangkan filsafat mencoba menghubungkan dengan
keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif dan
bermakna tentang sesuatu.
Secara umum manusia berpikir induktif, yaitu dari hal khusus ke umum, dan relatif
membuat asumsi-asumsi yang mendukung hipotesanya. Data bersifat kebalikannya, yaitu
membatasi ruang cakupan teori dan mengerucutkan hipotesa sehingga menjadi teorema yang
khusus. Karenanya filsafat juga menghasilkan teori-teori yang Umum dan Eksperimental,
sedangkan keluaran sains bersifat Spesial dan Empiris.
Walaupun berbeda, filsafat dan sains tetap memiliki sifat-sifat ilmu yaitu temporal,
sistematis, rasional, kritis, dan logis. Temporal artinya bersifat sementara, teori apapun di
dunia ini jika ada teori pengganti yang lebih baik atau lebih global akan ditinggalkan.
Sistematis, rasional, kritis, dan logis adalah cara manusia berpikir. Keempat sifat itu adalah

setting default otak manusia. Bila satu saja ditinggalkan, teori yang dihasilkan tidak akan
bertahan.
Bagaimanapun juga ada beberapa hal yang tidak bisa dicover metode sains secara
indah. Disinilah metode filsafat berperan. Ilmu sosial dan psikologi contohnya. Data yang
diambil seringkali terlalu acak untuk dapat dianalisis dengan metode ilmiah. Maka dari itu
intuisi dan pemikiran manusia yang notabene merupakan metode filsafat banyak berperan
disana.
C. Urgensi Filsafat Pendidikan Dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Dalam menentukan suatu filsafat pendidikan, sekalipun dengan maksud sederhana
mempunyai kepentingan yang sangat besar bagi setiap pendidikan yang berusaha kearah
perbaikan, kemajuan dan bangunan dasar. Pendidikan tidak akan tumbuh berkembang dan
selaras dalam bidang kemajuan, selagi tidak bersandar pada pemikiran filsafat yang selalu
disertai dengan perubahan pembaharuan dalam dunia yang selalu bertarung dengan ilmu dan
teknologi.10
Secara umum, George R. Knight menuturkan Empat urgensi mempelajari filsafat
pendidikan dalam pelaksaanaan pembelajaran, yaitu:
1. Membantu para pendidik menjadi paham akan persoalan-persoalan mendasar
pendidikan.
2. Memungkinkan para pendidik untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik mengenai
berbagai tawaran yang merupakan solusi bagi persoalan-persoalan pendidikan.
3. Membekali para pendidik berfikir klarifikatif tentang tujuan-tujuan hidup dan
pendidikan.
4. Memberi bimbingan dalam mengembangkan suatu sudut pandang yang konsisten
secara internal, dan dalam mengembangkan suatu progam pendidikan yang
berhubungan secara realistis dengan konteks dunia global yang lebih luas.11
Dengan nada berbeda, Imam Barnadib, yang mengutip pendapat Brubacher,
mengatakan bahwa filsafat pendidikan sewajarnya dipelajari oleh mereka yang memperdalam
ilmu pendidikan dan keguruan. Alasannya adalah:
1) Berbagai masalah pendidikan selalu timbul dari zaman kezaman, yang menjadi
perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan usaha manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan suatu bangsa dan masyarakat secara rasional., dan tak jarang suatu
10
11

Adri Efferi, Filsafat Pendidikan Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011). h. 23.
Toto Suharto, Filsafat Pendikan Islam, (Jogjakarta: Ar-ruzz media, 2011). h. 43.

pemikiran mempengaruhi pemikiran yang lain. Gagasan dan solusi yang berlandaskan
filsafat sering timbul dari para pemikir. Oleh karena itu, filsafat pendidikan perlu
dipelajari.
2) Orang yang mempelajari filsafat pendidikan akan memiliki pandangan-pandangan
yang jangkauannya melampaui hal-hal yang ditemukan secara empiris atau
exsperimental oleh ilmu pengetahuan. Dari sini, ia diharapkan memiliki bekal untuk
meninjau masalah-masalah pendidikan secara kritis.
3) Dengan berlandaskan pada asas bahwa berfilsafat adalah berfikir logis, runtut, teratur
dan kritis, maka berfilsafat pendidikan berarti memiliki kemampuan intelektual dan
akademik. Dari sini, mempelajari filsafat pendidikan berarti mengandung optimisme
dalam membentuk pribadi pendidik yang baik.
D. Konsep-konsep Dasar Dalam Filsafat Pendidikan
1. Landasan Pemikiran
Untuk menyusun dan mengembangkan pemikiran filsafat mengenai pendidikan, maka
pola dan sistem pemikiran filsafat secara umum. Pola pemikiran tersebut meliputi:12
a) Pemikiran filsafat harus bersifat sistematis, artinya bahwa cara berpikir
bersifat logis dan rasional mengenai hakikat persoalan yang dihadapinya.
b) Tujuan terhadap persoaln yang dihadapi bersifat radikal, artinya menyangkut
permasalahan-permasalahan mendasar sampai akar-akarnya.
c) Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal.
d) Pemikiran dilakukan lebih bersifat spekulatif.
2. Tujuan Filsafat Pendidikan
Dengan berbagai cabang merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan
yang terus berkembang secara dinamis. Filsafat pendidikan sesuai dengan perannya,
merupakan landasan filosofis yang menjadi dasar pokok seluruh kebijakan dan pelaksanaan
dasar bagi pelaksanaan pendidikan baik bagi guru atau pengajar dan semua pendidik.
Dalam proses pendidikan berkembang secara alamiah dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Tujuan perkembangan secara alamiah ialah kedewasaan dan kematangan. Sebab
potensi manusia yang paling alamiah adalah tumbuh dan berkembang menuju tingkat
kedewasaan dan kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila kondisi alamiah dan sosial
manusia memungkinkan seperti iklim, makanan, kesehatan, keamanan sesuai dengan

12

Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 5.

kebutuhan manusia.13 Tujuan pendidikan, kurikulum, metode, penilaian, administrasi dan alat
mengajar yang merupakan aspek pendidikan yang harus bergantung pada filsafat pendidikan
yang memberi arah, menunjukkan jalan yang dilalui dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip
di tempat tegaknya.
E. Pendekatan-pendekatan Dalam Filsafat Pendidikan
Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek
formanya. Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk
menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak.
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspekaspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan
pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah
filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey
berpendapat bahwa filsafat merupakan teori umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu
sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan
memerlukan jawaban filosofis pula.14
Filsafat pendidikan sebagai filsafat terapan, yaitu studi tentang penerapan asas-asas
pemikiran filsafat pada masalah-masalah pendidikan pada dasarnya mengenal dua
pendekatan yang polaritis, yaitu:
1. Pendekatan Profresif
Pendekatan dalam disiplin ilmu yang disebut filsafat pendidikan akan lebih mudah di
pahami arti pengertian bila diajukan pandangan Dewey tentang pokok masalah, yaitu tentang
permasalahan filsafat pendidikan yang berarti hubungan antara filsafat dan pendidikan. Dapat
dilihat dari:
a) Antara Teori dan Praktek
Pada dasarnya antara teori dan praktek adalah hubungan saling mengontrol,
teori akan dikontrol oleh pelaksanaan praktek yang baik, dan sebaiknya praktek
dikontrol oleh atau didasarkan pada landasan teoritis yang baik Dewey berpendapat
13

M. Noorsyam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha


Nasional, 1979), Hal. 39
14
Ali Saifullah H. A, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977), h.
121.

bahwa teori harus merupakan hasil penggalian dalam kenyataan empiris sosiologis
yang berlaku saat itu.
b) Pendekatan Problematis terhadap kenyataan Sosiologis
Seperti

apa

yang

dipercontohkan

pada

saat

ia

merumuskan

teori

pendidikannnya, problema social yang dihadapi dengan cermat dan dengan tepat,
merumuskannya kedalam filsafat pendidikannya.
Berdasar atas kesulitan-kesulitan dan problema yang dihadapi masyarakatnya
ia mencoba merumuskannya kedalam sebuah system pemikiran filosofis, yaitu filsafat
pendidikan problematic atau experimentalisme, dalam bentuk pola mental intelektual
dan sikap moral kesusilaan.
Sikap moral yang dianggapnya tepat untuk melestarikan kenyataan perubahan
social yang cepat diatas adalah nilai sikap yang menghormati keragaman,
pembaharuan, individualitas dan kebebasan inilah yang disebut dengan pendekatan
problematis terhadap kenyataan social yang cepat berubah.15
c) Filsafat dan Teori Pendidikan
Sebagai pokok pikiran ketiga yang tersirat dalam catatan diatas adalah
hubungan antara filsafat dengan teori pendidikan. Dan Dewey berkesinambungan
bahwa filsafat dirumuskan sebagai teori pendidikan yang bersifat umum dan
konsepsional.
Pendekatan-pendekatan dalam teori pendidikan dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu:
Pendidikan sebagai praktek
Pendidikan sebagai teori
Pendidikan sebagai praktek yaitu seperangkat kegiatan atau aktivitas yang
dapat diamati dan didasari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (Baca: peserta
didik) agar memperoleh perubahan prilaku.
Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat pengetahuan yang telah
tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan, menggambarkan,
meramalkan, dan mengontrol berbagai gejala dan peristiwa pendidikan baik yang
bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan (empiris) maupun hasil
perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna pendidikan dalam

15

Ali Saifullah H. A, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977), h.
123.

konteks yang lebih luas. Diantaranya keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa
dipisahkan. Praktek pendidikan seyogyanya berlandaskan pada teori pendidikan.16
Demikian pula system pamong dapat dikaitkan dengan nilai dasar kodrat alam, di
mana guru dan pendidikan tiada lebih fungsinya sebagai pamong dari anak didik yang sedang
menjelajahi perkembangan kodrat alamiahnya. System pamong ini didasarkan pada asas
psikologis dalam perkembangan manusia, yaitu kebebasan dan bekerja sendiri.
Beda antara Deweysme dengan Herbartianisme maupun Dewantaraisme adalah
bahwa kedua terakhir ini mendasarkan diri pada filsafat tradisional, termasuk cabang filsafat
metafisika, yang mengakui bahwa kenyataan yang bersifat metafisis transendental.
Tiga bidang pembangunan serempak. Pokok pikiran keempat adalah masalah
pembaharuan social, yang harus serempak dan searah tujuan dengan pembaharuan pemikiran
filsafat dan sistem pendidikan, sehingga merupakan tiga bidang atau sektor pembangunan.
Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada pokok pikiran kedua, ketiga bidang
pembangunan di atas harus diarahkan pada pengembangan sikap moral dan mental yang sama
dan berjalan serempak, yang satu bidang tidak boleh mendahului yang lain, apalagi diarahkan
ke tujuan yang bertentangan atau berbeda.
Dengan demikian dan sesuai dengan pokok pikiran yang kelima, yaitu tenaga
pengembang sosial, dan peninjauan kembali filsafat system tradisional dalam rangka
pembangunan pendidikan, oleh sebab kesamaan arah dan keserempakan pelaksanaannya dari
ketiga bidang pembangunan tersebut merupakan akibat dari sebab-sebab yang sama, atau
faktor-faktor penyebab yang sama, yaitu tenaga pengembangan sosial, yang terdiri faktor
kemajuan ilmu pengetahuan, revolusi industri dan perkembangan demokrasi.
Gejala keserempakan dan kesamaan sebagai akibat kesamaan faktor-faktor
penyebabnya dibuktikan dan diperkuat pendapat Dewey tentang rumusan tujuan
pendidikannya, yaitu efesiensi social (Social efficiency) yang berbunyi The Power of join
freely and fully in shared or common activities, yang artinya kemampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan bersama dan
kesejahteraan bersama secara maksimal dan bebas.
Sebagai penghujung yang lain dari pendekatan di atas dan dari kontinuitas aliran
filsafat pendidikan adalah pendekatan progresif kontemporer dengan dasar-dasar pemikiran,
sebagai berikut:

16

Uyoh Sadullo, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Media Iptek, 1994.), h. 61.

1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat sosial humanisme ilmiah,
yang skeptis terhadap kenyataan yang bersifat metafisis transcendental
2. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup yang essensial adalah
kenyataan yang selalu berubah dan berkembang.
3. Bahwa truth is the man-made, artinya kebenaran dan kebajikan itu adalah kreasi
manusia, dengan sifatnya yang relative temporer bahkan subyektif.
4. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relative ditentukan oleh
perkembangan tenaga pengembangan social dan manusia, yang merupakan sumber
perkembangan social masyarakat.
5. Bila antara tujuan dan alat adalah bersifat kontinu, bahwa tujuan dapat menjadi alat
untuk tujuan yang lebih lanjut sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat.
Dua pola dasar pendekatan diatas dapat dibagi menjadi bermacam-macam variasi
yang antara lain seperti: religious philosophy of education, humanistic metaphysical
philosophy of education, humanistic epistemological philoshophy of education, cultural
philosophy or education, social philosophy or education.17
2. Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan progresif secara sederhana dapat
dijelaskan dengan bahwa pada pendekatan mengakui dan mementingkan dunia sana yang
transcendental metafisis yang langgeng, yang menentukan tujuan hidup dan sekaligus tujuan
pendidikan manusia, sehingga akan menjadi sumber-sumber dasar nilai daripada filsafat
pendidikannya. Sedang tenaga social hanya akan menyediakan saranan, alat dengan mana
akan dicapai tujuan-tujuan diatas, dengan kata lain tenaga pengembangan social ini akan
memberikan modal dalam penyusunan Science of educational yang diperlukan. Menurut
pendekatan tradisional antara filsafat pendidikan dan science of education dibedakan secara
tegas, yaitu filsafat metafisika dan tenaga social, sedang pada pendekatan progresif keduanya
bersumber pada kenyataan yang sama, dan satu-satunya, yaitu tenaga pengembang sosial
masyarakat diatas.
Maka dari itu pendekatan progresif hanya berpijak pada teori etika social dan metode
penyesuaian masalah social, yaitu pola dasar sikap moral dan pola dasar sikap mental seperti
diuraikan diatas, dan menentang segala hal yang berkaitan tentang kenyataan transcendental
metafisis yang spiritual dan di dunia sana di masa mendatang. Sebaliknya pendekatanpendekatan tradisional, seperti namanya, sangat taat pada sistematika filsafat tradisional,
dimana dan karena itu menempatkan filsafat sebagai dasar pendidikan dan pengajaran. Ini

17

Uyoh Sadullo, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Media Iptek, 1994.), h. 63.

terbukti dengan penempatan filsafat metafisika, yang sangat ditentang oleh aliran pendekatan
progresif, sebagai masalah pokok dalam filsafat pendidikan.
Bagi pendekatan ini, betapapun sulitnya masalah bidang metafisika ini, tetap harus
ditempatkan sebagai pusat perhatian pertama dan utama dalam setiap pembahasan filsafat
pendidikan. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa tidak dapat dipungkiri, bahwa masalah ini
adalah masalah yang abstrak, dan universal sekali, sehingga sulit dipelajari dan dibuktikan
kenyataannya, namun tidak berarti bahwa kenyataan yang metafisis itu tidak ada. Assumsi ini
menurut para pengusaha ilmu filsafat pendidikan agar apabila kita tidak dapat menemukan
segala hal yang bersifat metafisis, tidak berarti kenyataan itu tidak ada, tetapi kesalahan
mungkin terletak pada cara-cara mencarinya atau mungkin keterbatasan kemampuan berfikir
dan pikiran orang yang melakukannya. Atau mungkin orang tersebut, mendustai dirinya,
sadar akan kenyataan tersebut tetapi tidak jujur terhadap kesadarannya sendiri.
Asas pertama tentang rasionalitas manusia, asas ilmu jiwa daya, asas pembentukan
formal teoritis dan asa transfer hasil belajar maka menuntut jumlah dan jenis mata pelajaran
yang diperlukan, dan tidak perlu adanya pertimbangan kesesuaian tidaknya dengan kenyataan
kehidupan social anak, selama bahan atau bidang studi akan memberikan nilai disiplin mental
atau formal yang tinggi. Nilai formal matematika adalah untuk melatih anak berfikir secara
logis rasional matematis, dan bukan dengan tujuan untuk memberikan kepada alat atau
instrument dalam menyelesaikan problema hitung-menghitung dalam kehidupan sehari-hari.
Asas kedua adalah bahwa hakekat jiwa manusia adalah tersendiri atas daya-daya jiwa
yang berbeda dan bekerja secara terpisah-pisah atau bersama-sama, yang menimbulkan gejala
kesadaran atau tingkah laku. Setiap daya-daya jiwa seperti pengindraan, pengamatan,ingatan,
tanggapan, pikiran, dan perasaan akan dapat berkembang dan atau dikembangkan sesuai
dengan bahan-bahan pelajaran tertentu. Berdasar jalan pemikiran ini, maka dalam
kepustakaan pendidikan dan psikologi pendidikan kita dikenalkan konsep istilah mata
pelajaran ingatan, pikiran, hafalan, ekspressi dan mata pelajaran keterampilan.
Sebagai asas ketiga dan sesuai dengan asas kedua di atas, adalah bahwa nilai
fungsional mata pelajaran adalah untuk pembentukan, atau disiplin mental (mental discipline)
atau disiplin formal, yaitu nilai formal teoritis intelektual. Sehingga semakin sulit bahan
pelajaran semakin tinggi nilai pembentukan mentalnya. Semakin keras ketat latihan-latihan
semakin kuat dan besar nilai pembentukannya. Apakah bahan yang disajikan sesuai dengan
kehidupan sosialnya, dan digunakan untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya, tidak menjadi masalah bagi aliran ini.

Oleh sebab itu, aliran tersebut diselesaikan dengan memperkenalkan konsep trnasfer
of learning of training, artinya penggunaan atau pemindahan hasil belajar atau latihan pada
mata pelajaran atau bidang kehidupan, yang mungkin positif atau negatif merugikan. Transfer
positif adalah apabila penggunaan bidang yang satu mempermudah, memperlancar
penguasaan bidang atau mata pelajaran yang lain, dan sebaliknya transfer negatif adalah
suatu peristiwa dimana penguasaan satu bidang tertentu mempersulit penguasaan bidang lain,
seperti berenang dengan sepak bola. Soal-soal hitungan yang amat sulit tetapi yang tidak ada
kaintannya dengan, atau tidak akan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari anak, yang
mengarah ke pengembangan nilai materiil praktis, dijejal-jejalkan kepada anak dengan
harapan akan mempermudah anak menyelesaikan problema-problema sosialnya. 18
Adapun asas-asas filsafat pendidikan dalam pendekatan tradisional secara rinci adalah
sebagai berikut:
1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari filsafat
pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat
2. Bahwa kenyataan yang essensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap, kekal
dan abadi.
3. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan objektif.
4. Bahwa tujuan yang baik dan benar menentukan alat dan saranan, artinya tujuan yang
baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.
5. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology, democracy dan
industry) adalah sarana alat untuk prosperity of life dan bukannya untuk welfare of
life sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang ditentukan oleh filsafat.

BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang
lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta18

Ali Saifullah H. A, Antara Filsafat dan Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977),
hlm. 128-131.

fakta seputar pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan
semata.
Manusia merupakan sasaran pendidikan. Maka pengertian yang luas dan mendalam
tentang hakikat manusia sangat diperlukan bagi perkembangan ilmu dan praktik pendidikan.
Pengertian yang demikian mengenai hakikat manusia dimungkinkan oleh kajian filsafat yang
bersifat komperhensif dan mendasar. Untuk itu, filsafat telah berkembang menjadi beberapa
cabang yang lebih spesifik objek kajiannya, filsafat pendidikan adalah salah satunya.
Filsafat Pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalahmasalah pendidikan yang merupakan landasan bagi semua pendidikan untuk memperoleh
jawaban-jawaban bagi permasalahan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Filsafat Pendidikan
membahas hal-hal seperti:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Apakah sebenarnya pendidikan itu;


Apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya;
Dengan cara apa tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai
Hakikat kemanan manusia dan pendidikan,
Hakikat kesamaan manusia dan pendidikan, dan
Hakikat demokrasi dan pendidikan. Selain itu objek formal dari disiplin ini ialah:
Ontologi, Epistemologi, Metodologi dan aksiologi dari Ilmu
Munculnya filsafat pendidikan yang dipelopori oleh Plato.19 Serta Lahir dan

berkembangnya mazhab-mazhab / aliran-aliran filsafat pendidikan, seperti: filsafat


pendidikan idealisme, realisme, eksperimentalisme/ instrumentalisme, dan eksistensialisme
adala merupakan implikasi filsafat dalam pengembangan teori pendidikan, sedangkan
penyelengaraan pendidikan yang menjadikan konsep-konsep filsafat umum ( metafisika,
epistemologi, dan aksiologi) sebagai dasar/landasannya adalah merupakan implikasi dalam
praktek pendidikan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifin. 1993. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, M. 1994. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 4. Jakarta: Bumi Aksara.
Bakhtiar, Amsal. 1999. Filsafat Agama. Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Efferi, Adri. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Kudus: Nora Media Enterprise.

19

Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar


Penndidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), h.29

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang DasarDasar Penndidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Noorsyam, M. 1979. Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional.
Omar Mohammad Al-Toumy Al Syabany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Cet. 2
(terjemahan Hasan Langgulung dari Falsafah al- Tarbiyah al-Islamiyyah). Jakarta: Bulan
Bintang.
Poerwanto, dkk. 1991. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya
Prasetya, Try. 1997. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Sadullo, Uyoh. 1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: PT. Media Iptek.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saifullah, Ali H. A. 1977. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Suharto, Toto. 2011. Filsafat Pendikan Islam. Jogjakarta: Ar-ruzz media.
Surajiyo, Ilmu Filsafat; Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Anda mungkin juga menyukai