Anda di halaman 1dari 15

1

KASUS KASUS PELANGGARAN HAM


Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia
1. Tradi Trisakti
PENYEBAB.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh
krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa
Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju
Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade
dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba
bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para
mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat
keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa
panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun
aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan
dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada
saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon
Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan
Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan
tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang
mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak
aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi
menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi
peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
HAK YANG DI LANGGAR
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam
kebebasan menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah
kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem
demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan
kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal pelanggaran pelaksanaan demokrasi
pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai sekarang, pengusutan masalah
ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum dapat terselesaikan
secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat setelah
peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk
mengusut masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa
ini adalah pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan
ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang
masalah ini belum dapat diselesaikan bahkan upayanya saja dapat dikatakan
belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk menyelesaikan masalah ini.

Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk melakukan siding


belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika
pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus
diselesaikan secara tuntas agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa
dapat terungkap sehingga keadilan dapat ditegakan.
PENYELESAIAN
Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat
untuk ikut turut serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang
yang masih berjuang hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis
mahasswa yang masih peduli dengan masalah ini. Seharusnya masyarakat dan
mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan kasus ini yang belum
sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut secara
sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan
pihak terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder
yang bersangkutan harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua,
ada hal lain yang sebenarnya bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam
peristiwa tersebut, yaitu semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan
tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia
dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi
tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang
pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu
korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik
kecurangan dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalahmasalah tersebut, seharusnya masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil
peran dalam pengarahan dan evaluasi kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak
dapat dipungkiri akan semakin besar karena di pundak mereka ada sebuah beban
tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus membentuk pemimpinpemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap warga
negara benar-benar harus ditegakan.
2. Kasus Terbunuhnya Marsinah
PENYEBAB
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang
aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada
tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah
teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun
tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka
mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari

Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka
perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan
tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah
seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan
pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang
dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka
dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah
menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
HAK YANG DI LANGGAR
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) berat. Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang
manusia. Dan juga karena sudah melanggar dari unsur penyiksaan dan
pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan
demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang
diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya
berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas
bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah,
khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan
tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
PENYELESAIAN
Hak Asasi setiap manusia harus dihargai oleh manusia yang lain yang
dalam kasus ini adalah hak asasi berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu,
kasus marsinah yang tak kunjung usai ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi
dan kredibilitas para penyidik. Seharusnya kredibilitas dan transparansi
penyidikan lembaga terhadap suatu kasus haruslah dijaga oleh para penegak
hukum sehingga tercipta keadilan dan ketentraman masyarakat Indonesia.
3. Peristiwa Pembunuhan Munir
PENYEBAB

Delapan tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh


meninggalnya seorang aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya
menimbulkan kegaduhan politik yang menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan
instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil autopsi, diketahui bahwa penyebab
kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah karena adanya kandungan
arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal ketika melakukan
perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di
Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
HAK YANG DI LANGGAR
Hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan
nyawa dengan sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup. Banyak orang yang
terlibat dalam kejadian itu. Orang pertama yang menjadi tersangka pertama
pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari
Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September 2004,
seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan
mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin
terkuat tatkala Pollycarpus meminta Munir agar berpindah tempat duduk
dengannya. Sebelum pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa
panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior.
Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20 tahun
hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui dirinya
sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat tugas
dan hal-hal yang janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus
membunuh Munir. Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir. Tidak
ada historis yang menggambarkan hubungan mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi
Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI,
yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR
pernah menduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat
yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga
pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia.
PENYELESAIAN
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia.
Kasus Munir juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang
saat itu lebih bersifat otoriter. Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu
pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k
arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk memperoleh
kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.

Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi


yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
4. Perisriwa Tanjung Periok
Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat
keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia
ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh
masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa
Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap
peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat
Islam Indonesia.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki
Mushala as-Saadah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka
menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam
(masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari
Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Saadah menjadi pembicaran masyarakat
tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada
jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa
anggota jamaah Mushala as-Saadah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang
kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW,
diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang
tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu,
membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh
Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut
tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Saadah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya
tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai
salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang
bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984


Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di
Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Saadah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir
Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya,
jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah.
Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu.
Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka
tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya. Selanjutnya, Amir Biki
berkata, Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengahtengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan
jamaah kita). Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian
menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah
dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan
senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu,
terdengar militer itu berteriak, Mundur-mundur! Teriakan mundur-mundur itu
disambut oleh jamaah dengan pekik, Allahu Akbar! Allahu Akbar! Saat itu
militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang
lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit
histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota
militer yang berteriak, Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih
banyak! Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau
masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh
buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk
besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para
jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil
truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk
besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokanselokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk
mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam
truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh

oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun


bagaikan karung goni. Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat
jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans
dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan
darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih. Sementara itu, rombongan
jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kirakirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer
untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya
3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya
kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri,
tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira
30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat,
termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan
mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong.
Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke
tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak
boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani
benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang
selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu
mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11
September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga,
Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian
di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan,
disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas
Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa
pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat
datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
PENYEBAB
1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok
mushala dengan air got(comberan)

2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang


menyebabkan pihak koramil tidak terima.
HAK YANG DILANGGAR
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI
PENYELESAIAN

1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat


pada kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI
dan warga menahan emosi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar
menimbulkan efek jeram.
5. Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat
terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya
warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 1113 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan
tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II
terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa
dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka
luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan
ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk
membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa
mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh
aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa
mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah
Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang
merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung
dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua
penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus
Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,
tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka
di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3
sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap
mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya.

Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun


terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus
berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban
lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo
(Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko
(Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono,
Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan
berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai
Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat
keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota
Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia,
termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru
nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan
tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh
pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan
Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai
kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar
untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari
Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan
Universitas Atma Jaya.
6. Terbunuhnya Wartawan Udin
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan
dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan
akhirnya ditemukan sudah tewas.
7. Peristiwa Aceh
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan
korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa.
Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak
tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
8. Penculikan Para Akifis Politik
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan)
terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang
meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
9. Kekerasan di Timor Timur
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat
1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi

10

Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala
negara terkait.
10. G30 S/PKI
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa
G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan
terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober
1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya samasama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. Anggaplah kasus ini selesai, jelasnya.
Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi
pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai
keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua
surat kabar terbit kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan
begitu, seluruh informasi dikuasai tentara. Berita yang terbit oleh kedua koran itu
kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S
yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian
diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di
Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban
pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39
artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara
78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang. Cribb mengatakan,
pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. Mereka menggunakan alat
pisau atau golok, urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang
dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka
terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, Kejadian itu biasanya
malam. Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi
memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam
tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal
itu.Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua,
konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah
berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan
masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media
inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet
kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti
diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak
dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita
tentang
kekejaman
Gerwani
itu
memicu
kemarahan
massa.
10

11

Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada


1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang
dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak
korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan
negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di
Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah
datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan
kekerasan. Atau militer setidaknya memberi contoh, ujarnya. Ini perlu diusut.
Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan
permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam
penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang
kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh
sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di
Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema Mawas Diri
Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah, secara tegas menyimpulkan
agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1
Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada
taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang
pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian
mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan
Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. Biar adil mestinya langkah
itu
yang
kita
lakukan.
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. saya pernah
mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota
di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965.
Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera
terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit
persalinan dan langsung dibunuh.
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga
dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu
terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas
tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa
mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan
dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan
perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, Apakah Anda menyimpan
dendam? Sang anak menjawab, Semula Ya. Tapi setelah kami mempelajari
masalahnya, dendam saya hilang. Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya

11

12

tak tahu menahu masalahnya. Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari korban
sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya,
peran KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1
Oktober.
Pelanggaran HAM yang terjadi Di Jawa Barat
1. Penghinaan terhadap kota Bandung (5 September 2014)
Kata-kata bernada hinaan terhadap Kota Bandung yang dilontarkan pemilik
akun Twitter @kemalsept membuat Wali Kota Bandung Ridwan Kamil geram.
Melalui akun Twitter-nya, @ridwankamil, pria yang akrab disapa Emil tersebut
akan melaporkan pemilik akun @kemalsept ke kepolisian.
Menurut Emil, kicauan @kemalsept telah melanggar Pasal 27 UU No 11
Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE). "@kemalsept anda
secara resmi sy laporkan ke kepolisian, utk twit2 penghinaan. psl 27 UU 11 thn
2008," tulis Emil dalam akun Twitter-nya, @ridwankamil.
Adapun isi Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 adalah "Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana
Pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."Diatur pula dalam
KUHP Pasal 282 mengenai kejahatan terhadap kesusilaan.
Dalam akun Twitter-nya, Emil sengaja menampilkan foto capture yang
mengabadikan tulisan kasar dan hinaan yang disampaikan @kemalsept terhadap
Kota Bandung dan Wali Kota Bandung. Diberitakan sebelumnya, setelah kasus
penghinaan terhadap warga Yogyakarta yang dilakukan mahasiswi S-2 Universitas
Gadjah Mada, Florence Sihombing, mencuat melalui akun jejaring sosial Path,
kali ini giliran akun Twitter milik Kemal Septiandi yang menjadi sorotan warga
Kota Bandung.
Melalui akun Twitter-nya, @kemalsept, dia menghina Kota Bandung dengan
sebutan kota yang penuh dengan pelacur. Tak hanya satu kali, Kemal tercatat
melakukan empat kali kicauan berisi penghinaan terhadap Kota Bandung di akun
Twitter-nya.
Selain penghinaan terhadap Kota Bandung, @kemalsept juga menyebut
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dengan kata "kunyuk". "@olegunnnn UDAH
P*R*K MAH P*R*K AJA SALAM F**K BUAT SI KUNYUK @ridwankamil
YANG ABIS NG*W* SAMA ARIEL GAY CUIH LOL HAHAHA BANDUNG
P*R*K," tulis @kemalsept. "@olegunnnn BANDUNG KOTA P*R*K SAMPAH
HAHHA", "@olegunnnn BANDUNG KOTA P*R*K HAHAHA," sambungnya
dalam waktu yang sama.
Tak berselang lama, akun @kemalsept kembali berkicau. Dalam kicauannya
yang terakhir terkesan menantang. "BANDUNG SAMPAH KOTA P*R*K

12

13

P*LAC*R SEMUA LOL HAHAHAHA LAPOR? BANCI ! SILAHKAN AJA KALO


BERANI HAHAHAHAHAHA," tulisnya.
Tulisan tersebut mendapatkan kecaman dari sejumlah warga Kota Bandung
yang memiliki akun Twitter. Seperti yang diungkapkan oleh pemilik akun
@hizbulmalik. "Florence ada di jogja. Bandung ada Kemal Septiandi. Malu
maluin almamater kalo bener dari UPI," tulisnya. "Gebugan a*ji*gg!! Olo olo","
tulis pemilik akun @esahilangdua. "@Kemalsept BUKAN mahasiswa
berpendidikan. Secara resmi dan mewakili warga UPI. Kami InfoUPI TIDAK
mengakui. Terimakasih," tulis pemilik akun @infoUPI.
Selain berisi nada hinaan, @kemalsept juga mengundang ancaman. Banyak
yang mencari akun Twitter @kemalsept. Namun, ternyata akun Twitter tersebut
sudah ditutup. Hingga saat ini, belum diketahui maksud hinaan yang ditulis
@kemalsept tersebut.
2. Kekerasa siswa STPDN
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menganggap
kekerasan di lingkungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor,
Sumedang, Jawa Barat, memenuhi syarat sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Demikian dikemukakan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan.
Menurut Koesparmono, jenis pelanggaran HAM berat adalah genosida atau
pembasmian etnis atau ras secara sistematis, pembunuhan massal, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kasus STPDN, menurut Koesparmono, dari data awal
sudah memenuhi indikasi adanya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara
sistematis dan meluas. Komnas HAM rencananya akan menggelar sidang pleno
untuk mengusut pelanggaran HAM di STPDN.
Sementara itu, Imam Chotib, bapak dua anak yang tinggal di Mojokerto,
Jawa Timur, menyatakan tidak dendam kepada STPDN. Imam yang masuk
STPDN pada 1991, dipecat dengan tuduhan mempunyai ilmu tertentu dan terkait
dengan ajaran Walisongo.
Pemecatan yang dilakukan pengasuh STPDN itu diputuskan setelah Imam
kerap berlama-lama di masjid. Padahal menurut Imam, dirinya lama di masjid
hanya berdoa. Imam juga dituduh telah melakukan pencurian. Namun, hingga
kini, pihak STPDN tidak bisa membuktikan tudingan tersebut.
Kasus kekerasan STPDN yang kini gencar diberitakan media cetak dan
elektronik tak luput dari perhatian Imam. Bahkan ia sekali-kali menangis saat
melihat tayangan kekerasan tersebut. Kini Imam adalah pegawai negeri sipil.
Imam tak setuju STPDN dibubarkan karena masih banyak sisi baik dari sekolah
calon pamong praja itu.
3. Perusakan Masjid oleh FPI (25 oktober 2012)
Perusakan Masjid An Nashir oleh anggota organisasi kemasyarakatan Front
Pembela Islam (FPI) masih mengundang reaksi dari masyarakat. Muncul petisi
yang mengecam kekerasan tersebut.

13

14

Petisi tersebut beredar melalui internet dengan identitas Komunitas


Masyarakat untuk #BDGLautanDamai. Mereka menganggap bahwa kekerasan
yang dilakukan FPI terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai tamparan bagi warga
Jawa Barat.
"Kami tidak ingin tanah Sunda yang damai dicederai oleh mereka yang
melakukan kekerasan berkedok agama," kata juru bicara komunitas itu,
Muhammad Irfan.
Dalam petisi berisi sembilan poin tersebut, komunitas itu menuntut dan
mendesak aparat hukum mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan yang dilakukan
ormas-ormas radikal yang ada di Bandung dan Jabar. Pemerintah daerah didesak
segera mencabut peraturan gubernur dan peraturan daerah yang dianggap
intimidatif terhadap minoritas dan memecah belah kerukunan umat beragama.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dianggap gagal dalam memimpin,
mengayomi, dan melindungi masyarakat Jabar dari aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan oleh ormas-ormas radikal. FPI dinilai telah melanggar poin kesepakatan
pada tahun 2007 untuk tidak melakukan kekerasan di Jabar. Karena itu, komunitas
menuntut pertanggungjawaban serta permintaan maaf FPI secara terbuka kepada
masyarakat Jabar dan masyarakat Sunda pada umumnya.
Akibat insiden di Masjid An Nashir, penyelenggaraan shalat Id maupun
penyembelihan hewan kurban terpaksa dipindahkan. Polisi sudah menahan
tersangka perusakan dari pihak FPI.

Pelanggaran HAM di UIN Sunan Gunung Djati Bandung


1. Dosen membeda-bedakan siswanya di kampus (berdasarkan kepintaran,
kekayaan, atau perilakunya).
2. Dosen memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik
(dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah
lapangan).
3. Mahasiswa mengejek/menghina mahasiswa yang lain.
4. Mahasiswa memalak atau menganiaya mahasiswa yang lain.
5. Mahasiswa melakukan tawuran pelajar dengan teman kampusnya ataupun
dengan mahasiswa dari kampus yang lain.

14

15

15

Anda mungkin juga menyukai