jajahan
Belanda
mempunyai
kebijakan
yang
berbeda
terhadap
perkembangan sektor pangan, khususnya beras. Selain sebagai bahan makanan pokok untuk
pegawai pemerintahan jajahan. Beras digunakan untuk membayar upah pegawai swasta dibidang
perkebunan. Hal ini berarti selain untuk komoditas ekonomi beras juga digunakan sebagai
komoditas politik dimana harga beras dibuat selalu murah dipasaran. Tahun 1863, karena
kegagalan panen pemerintah Hindia Belanda menghapus bea masuk beras impor agar harga
beras tetap murah. Ketika penghasilan petani jatuh akibat depresi dunia, Pemerintah menurunkan
pajak tanah. Dibidang produksi, pemerintah jajahan Belanda menjalankan kebijaksanaan yang
disebut Olie Vlek, yakni satu program penyuluhan percontohan yang bertujuan untuk
menyebarluaskan cara-cara bertani yang lebih baik. Namun program semacam ini sangat terbatas
jangkauannya.
Masa depresi tahun 30an merupakan awal kebijaksanaan pengendalian langsung harga
beras. Pada awal tahun 1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi
langsung oleh Pemerintah. Selain itu pemerintah menggalakkan perdagangan beras antar pulau
atau antar provinsi. Hal ini bertujuan agar persediaan beras stabil dan tidak membuat kenaikan
biaya hidup dikota besar. Menjelang tahun 1939 dibentuknya suatu badan pemerintah khusus
melaksanakan dan mengawasi kebijakan pemerintahan dalam bidang pemasaran beras yang
bernama Stiching Het Voedingsmidlenfons (VMF). Badan ini merupakan pendahulu Bulog, yang
1
bertugas mengendalikan di bidang pangan yang sangat penting pada pemerintahan Orde Baru.
Pendirian VMF pada tahun 1939 merupakan cerminan pandangan Pemerintah Belanda bahwa
masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari Pemerintah. Selanjutnya
Jepang mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Pada masa pemerintahan Jepang
kebutuhan dibidang pertanian ditujukan pada pemenuhan kebutuhan militer ditambah dengan
berbagai kebijaksanaan Pemerintah Belanda sebelumnya meninggalkan ciri-ciri pada berbagai
kebijaksanaan beras yang diambil Pemerintah Indonesia selama 20 tahun setelah itu.
Perekonomian Indonesia sehabis perang masih tidak banyak berbeda dengan perekonomian
sebelum perang. Ekspor hasil-hasil pertanian seperti kopra, karet, teh, kopi dan tembakau tetap
merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir tahun 1960an.
1.2 Kebijaksanaan Pangan pada Pemerintahan Orde Lama
Pemerintahan Orde Lama tidak mempunyai kesempatan yang baik untuk memperhatikan
perkembangan ekonomi, termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan
besar dinasionalisasi dari milik swasta Belanda menjadi perusahaan perkebunan perkebunan
milik Negara. Dalam subsektor tanaman pangan (khususnya beras), kebijaksanaan yang
sebelumnya ditempuh dalam menjaga kestabilan harga beras, dialihkan menjadi kebijaksanaan
yang ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas
mengelola administrasi dan keamanan negara saat itu (Pegawai Negeri Sipil & Militer). Menurut
Timmer, proses politisasi sistem pemasaran beras ini bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa
beras sama sekali tidak dianggap bahan politik bagi produsennya (petani padi), dimana
kepentingan utama petani adalah penghasilannya sendiri.
Terbatasnya devisa untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan produksi dalam
negeri melatarbelakangi masa ini. Misalnya, dalam tahun 1952 Program Kesejahteraan Kasino
yang bertujuan mencapai swasembada beras sebelum tahun 1956, menggunakan pendekatan
program penyuluhan percontohan. Program ini persis sama dengan program pada masa
penjajahan Belanda, yakni Olie Vlek, kecuali jumlah petak percontohan diperbanyak. Program
Padi Sentra, dimulai 1959 yang bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 adalah satu
program yang gagal. Disamping itu, padi sentra juga dimaksudkan untuk menyediakan jasa-jasa
penyuluhan. Meskipun program ini mempunyai banyak kelemahan, tetapi ia telah memberikan
arah bagi program sesudahnya dalam tahun 1960an dan 1970an.
Pada tahun 1963 presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras dengan
jagung. Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri Sipil & Militer yang semula
memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini mengalami banyak
kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari masyarakat sehingga dihentikan. Pada
tahun 1963, program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor, merupakan sumber inspirasi bagi
berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal). Program bimas yang diperluas dimulai
1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani
yang baik. Kelima cara ini mencangkup penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik,
penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan koperari yang
kuat. Panca usaha tetap merupakan pegangan kebijaksanaan selama Pemerintahan Orde Baru.
Sewaktu pemerintahan Orde Baru mulai memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2 %
lebih tinggi daripada produksi tahun 1954, tingkat produksi yang terakhir ini hanya kurang lebih
sama dengan tingkat produksi sebelum perang Dunia II. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar
2% per tahun, mengakibatkan makin membesarnya defisit beras bagi Negara. Menurunnya
kesediaan beras per kapita untuk dikonsumsi, dari 107 kg dalam tahun 1960 menjadi 92 kg
dalam tahun 1965. Produksi ubi jalar tidak menunjukkan kenaikan, meskipun produksi ubi kayu,
jagung, kacang tanah, kacang kedelai menunjukkan kenaikan, dan hanya produksi jagung yang
tumbuh melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun ke dalam
negeri. Dalam tahun 1965 harga nominal beras adalah seratus kali harga beras tahun 1960 dan
harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hampir sama dengan harga beras. Hal ini
berdampak pasa menciutnya cadangan devisa impor beras sehingga menurun menjadi 200.000
ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah adanya
kemungkinan menaikan produksi beras melalui program Bimas.
1.3 Kebijaksanaan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru
Sejak awal, pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang
cukup. Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru
diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi. Pada pertengahan 1966, Kolognas,
suatu badan yang baru dibentuk untuk menangani masalah logistik distribusi barang-barang
3
kebutuhan. Karena terbatasnya devisa, impor beras juga terhambat, tidak mencapai tingkat yang
diperlukan Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967, diganti dengan Bulog, sebuah
badan yang mengelola persediaan pangan, bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering
yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tajam sekali, sampai 300 % dalam tahun itu.
Terjadi krisis beras, persediaan beras tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Pada tahun 1968
diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan perubahan ini merupakan awal
kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup untuk memelihara
keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Pada waktu itu
dicetuskan rumus Tani yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan harga.
Program Bimas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas
Gotong-royong disamping Bimas Biasa pada awal musim tanam 1968. Pembelian kredit dan
distribusi pupuk dan pestisida kepada para petani dilaksanakan atas dasar kontrak dengan para
penjual pupuk dan pestisida dari luar negeri melalui para kepala desa. Bulog membayar
perusahaan-perusahaan asing atas pelaksaan program ini dan nantinya Bulog menerima
pembayaran dalam bentuk gabah (1/6 dari hasil panen yang diperoleh petani) melalui para kepala
desa. Bulog diserahi tugas untuk mengelola buffer stock, dan telah berhasil melaksanakan
kebijaksanaan harga yang stabil. BUUD diserahi tugas untuk ikut serta dalam pelaksanaan harga
minimum yaitu memberikan persaingan terhadap para pedagang dibidang pembelian padi petani.
Disamping itu pemerintah juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional
dengan tujuan mengurangi tingkat fertilitas penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan
kebutuhan manusia akan bahan makanan beras juga dapat dikekang. Maka pada tahun 1984
Pemerintah Indonesia telah menyatakan tingkat swasembada beras tercapai.
Setelah dicapainya swasembada beras ditahun 1984, perekonomian Indonesia malah
mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun 1997/1998.
Sejak itu sampai dengan pergantian pemerintahan ke Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan
Presiden SBY, kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis. Kondisi ini diperburuk oleh adanya
konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi agak melandai. Terobosan
dalam meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan terus
berlangsung. Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah
6,84 juta ha, dengan indeks pertanaman rata-rata 1,61 (atau luas panen sekitar 12 juta hektar).
4
Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui
peningkatan indeks pertanaman.
Penerapan kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur
disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju telah
mengakibatkan dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) produksi padi menaik dengan persentase
kenaikan yang meninggi dari tahun ke tahun. Bahkan, pada tahu 2008 produksi tanaman padi
menembus angka 60 juta ton Gabah Kering Gilinh (GKG), pertama dalam sepanjang sejarah
Indonesia.
Tabel Produksi Padi di Indonesia, 2005-2009
Padi
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/Ha)
2005
54.151
11.839
45,74
2006
54.455
11.786
46,20
2007
57.157
12.148
47,05
2008
60.326
12.327
48,94
2009
62.6561
12.669
49,38
Padi Sawah
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/ha)
51.317
10.733
47,81
51.647
10.713
48,21
54.200
11.041
49,29
57.170
11.258
50,78
59,386
11.596
51,21
Padi Ladang
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/ha)
2.833
1.10
25,63
2.807
1.073
26,15
2.958
1.106
26,73
3.156
1.070
29,51
3.175
1.073
29,58
Dengan hasil produksi padi sebesar itu, pada tahun 2008 Indonesia kembali dinyatakan
sebagai Negara yang berswasembada beras. Pencapaian status swasembada beras pada tahun
2008 terasa sangat istimewa karena pada tahun itu dunia tengah mengalami krisis pangan.
Tabel Produksi Beberapa Jenis Tanaman Pangan non Beras, 2002-2007 (ribu ton)
Jenis Tanaman
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
2002
9.654,1
16.913,1
1.771,6
2003
10.886,4
18.523,8
2004
2005
2006
2007*
11.225,2 12.523,9 11.610,6 10.152,0
19.424, 19.321,2 19.927, 12.617,0
1.991,5
7
1.901,8
1.857,0
6
1.851,8
1.258,0
5
Kacang Tanah
Kacang Kedelai
Kacang Hijau
718,1
673,1
288,1
785,5
671,6
335,2
837,5
723,5
310,4
836,3
808,4
309,7
838,0
749,0
---
636,0
405,0
--
Stock beras di dalam negeri pun bertambah. Dengan produksi padi diatas 60 juta ton,
Indonesia memiliki kelebihan produksi antara 1,5-2 juta ton beras dengan stock akhir 5,83 juta
ton. Ini belum termasuk produksi bahan pangan non beras yang membantu ketahanan pangan,
sehingga pada tahun 2008 dipastikan tidak mengimpor beras. Pada tahun 2009, pemerintah
setelah menghitung pencapaian produksi padi nasional berdasarkan angka ramalan produksi dan
ditetapkan bahwa Indonesia bisa mengekspor beras 100 ribu ton. Kemampuan ekspor ini telah
mengubah Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras, kini sudah
tidak mengimpor lagi, bahkan bisa mengekspor beras. Produksi bahan makanan lainnya,
terutama jagung dan ubi kayu mengalami peningkatan yang berarti sekitar 2 juta ton untuk
jagung dan sekitar 3 juta ton untuk ubi kayu dalam waktu 4 tahun (2002-2006).
2. Analisa Mengenai Kebijakan Pembangunan Tanaman non-Pangan
Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa
sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga
disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman kas. Perkembangan
tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan kepada perusahaan besar
perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan
berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering) karena kurangnya
perhatian pemerintah, dan banyak ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah
kira-kira pertengahan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan pemerintah. Di
Departemen Pertanian terdapat Direktorat
sementara Direktorat Pangan sangat sibuk mengurus perkebunan Bimas-Inmas, maka Direktorat
Tanaman Perkebunan mengembangkan bibit unggul dan tanaman perkebunan baru di antaranya,
tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga
disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan adanya RPTE
(Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman
perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili.
1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat. Di banyak negara, terutama negara berkembang, produksi pangan
mendominasi
sektor
pertanian.
Jika
output
meningkat
karena
meningkatnya
produktivitas, maka pendapatan para petani meningkat. Kenaikan pendapatan per kapita
akan sangat meningkatkan permintaan pangan. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk
akibat dari penurunan angka kematian penduduk dan penurunan angka kesuburan, akan
meningkatkan permintaan akan bahan makanan. Di samping itu, permintaan akan bahan
makanan juga meningkat karena perkembangan penduduk di kota-kota dan kawasan
industri. Dengan mempertimbangkan faktor ini maka kenaikan output bahan makanan di
sektor pertanian seharusnya melaju lebih cepat daripada laju pertumbuhan permintaan
akan bahan makanan.
2. Meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong
keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan daya beli daerah pedesaan,
sebagai akibat surplus pertanian, merupakan perangsang kuat terhadap perkembangan
industri. Pasar bagi barang manufaktur sangat kecil di negara berkembang, di mana para
petani, pekerja di ladang dan keluarganya yang merupakan dua pertiga atau empat per
lima dari keseluruhan penduduk sangat miskin untuk dapat membeli barang-barang hasil
pabrik. Rendahnya daya beli ini merupakan sempitnya pasar untuk barang industri.
Meningkatnya daya beli daerah pedesaan sebagai hasil perluasan output dan produktivitas
pertanian akan cenderung meningkatkan permintaan akan barang manufaktur dan
memperluas ukuran pasar. Ini akan menyebabkan perluasan di sektor industri.
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian. Kebanyakan negara berkembang
mengkhususkan diri pada beberapa barang pertanian untuk ekspor hasil pertanian.
Kebanyakan negara berkembang mengkhususkan diri pada beberapa barang pertanian
untuk ekspor. Begitu output dan produktivitas barang-barang yang dapat diekspor
membesar, ekspor akan naik dan selanjutnya memperbesar penerimaan devisa. Dengan
demikian surplus pertanian mendorong pembentukan modal jika barang-barang modal
diimpor dengan menggunakan devisa ini. Pendapatan devisa dapat dipergunakan untuk
memperbaiki efisiensi industri lain dan membantu pendirian industri-industri baru dengan
mengimpor bahan-bahan baku langka, mesin, peralatan modal dan keterampilan teknik.
adalah dari agraris ke jasa seperti misalnya Singapura. Hal yang demikian ini barangkali berlaku
juga untuk Bali, yakni dari agraris langsung ke jasa.
Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)
1960
1977
2007 (Agustus)
57,6
46,9
22,5
2. Industri Pengolahan
8,4
11,9
27,4
34,0
53,2
50,1
100
100
100
3. Jasa
(listrik,
air,
gas,
konstruksi,
Tabel diatas adalah data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri
pengolahan, dan jasa) dalam pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun
1960, 1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari 57,6
persen pada tahun 1960 menajdi 46,9 persen pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi 22,5
persen pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus mengalami
kenaikan, dari hanya 8,4 persen pada tahun 1960, telah menjadi 11,9 peren pada tahun 1977, dan
sekarang ini telah mencapai lebih dari 27 persen. Perkembangan sektor industri yang paling
menonjol adalah pada masa akhir pemerintahan Suharto sampai sekarang, yakni setelah tahun
1980an. Cara lain yang juga biasa dipergunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu
negara adalah jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor, seperti terlihat
pada tabel berikut :
PDB)
Negara
Bangladesh
Cina
1970
42
1998
22
35
18
78
72
10
India
45
29
71
64
Indonesia
45
20
66
55
Jepang
20
Korea Selatan
26
49
18
Malaysia
29
13
54
27
Myanmar
38
53
78
73
Nepal
67
40
94
83
Pakistan
37
26
59
52
37
24
86
79
Filipina
30
17
58
46
Singapura
Sri Langka
28
21
55
48
Thailand
26
11
80
64
Vietnam
Sumber : World Bank database
26
77
71
Namun cara ini kadang-kadang memberikan gambaran yang membingungkan. Hal ini
disebabkan oleh karena serapan sektor industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena
teknologi yang dipakai adalah teknologi padat modal. Oleh karenanya jumlah tenaga kerja di
sektor industri masih tetap belum dominan, meskipun peranan sektor industri terhadap
pembentukan PDB telah besar. Hal ini akan ditunjukkan pada tabel di bawah ini :
Sektor
1. Pertanian, Pertambangan dan Penggalian
2. Industri pengolahan
3. Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi,
2007(Agustus)
Ribu Orang
% dari total
42.201,1
42,23
12.368,7
12,38
45.360,4
45,39
99.930,2
100
11
Tenaga kerja di sektor industri pada tahun 2007 (Agustus) hanya sekitar 12 persen dari
seluruh tenaga kerja yang diserap perekonomian Indonesia, dan di sektor pertanian angkanya
mencapai lebih dari 42 persen.
12