Anda di halaman 1dari 12

1.

Analisa Mengenai Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian Pada Jaman


Penjajahan, Orla, Orba
1.1 Kebijaksanaan Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan
Pembicaraan sektor pertanian di Indonesia pada masa penjajahan Belanda tidak dapat
dipisahkan dengan system perekonomian Belanda, yakni kapitalistik, tidak banyak perhatian
pemerintah terhadap sektor ini. Perkembangan disektor pertanian diserahkan sepenuhnya kepada
kekuatan permintaan dan penawaran dan membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan
pasar, terutama untuk subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan ini berkembang sebagai
perusahaan-perusahaan besar swasta yang hasilnya diekspor dari daerah jajahan ke pasar di
Eropa sebagai bahan mentah untuk perkembangan industrinya. Perusahaan swasta perkebunan
besar yang berkembang adalah untuk komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada tembakau,
the, dan tebu. Ini berarti bahwa teknologi perkebunan diserahkan agar secara mandiri
dikembangkan oleh perusahaan perkebunan besar.
Pemerintahan

jajahan

Belanda

mempunyai

kebijakan

yang

berbeda

terhadap

perkembangan sektor pangan, khususnya beras. Selain sebagai bahan makanan pokok untuk
pegawai pemerintahan jajahan. Beras digunakan untuk membayar upah pegawai swasta dibidang
perkebunan. Hal ini berarti selain untuk komoditas ekonomi beras juga digunakan sebagai
komoditas politik dimana harga beras dibuat selalu murah dipasaran. Tahun 1863, karena
kegagalan panen pemerintah Hindia Belanda menghapus bea masuk beras impor agar harga
beras tetap murah. Ketika penghasilan petani jatuh akibat depresi dunia, Pemerintah menurunkan
pajak tanah. Dibidang produksi, pemerintah jajahan Belanda menjalankan kebijaksanaan yang
disebut Olie Vlek, yakni satu program penyuluhan percontohan yang bertujuan untuk
menyebarluaskan cara-cara bertani yang lebih baik. Namun program semacam ini sangat terbatas
jangkauannya.
Masa depresi tahun 30an merupakan awal kebijaksanaan pengendalian langsung harga
beras. Pada awal tahun 1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi
langsung oleh Pemerintah. Selain itu pemerintah menggalakkan perdagangan beras antar pulau
atau antar provinsi. Hal ini bertujuan agar persediaan beras stabil dan tidak membuat kenaikan
biaya hidup dikota besar. Menjelang tahun 1939 dibentuknya suatu badan pemerintah khusus
melaksanakan dan mengawasi kebijakan pemerintahan dalam bidang pemasaran beras yang
bernama Stiching Het Voedingsmidlenfons (VMF). Badan ini merupakan pendahulu Bulog, yang
1

bertugas mengendalikan di bidang pangan yang sangat penting pada pemerintahan Orde Baru.
Pendirian VMF pada tahun 1939 merupakan cerminan pandangan Pemerintah Belanda bahwa
masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari Pemerintah. Selanjutnya
Jepang mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Pada masa pemerintahan Jepang
kebutuhan dibidang pertanian ditujukan pada pemenuhan kebutuhan militer ditambah dengan
berbagai kebijaksanaan Pemerintah Belanda sebelumnya meninggalkan ciri-ciri pada berbagai
kebijaksanaan beras yang diambil Pemerintah Indonesia selama 20 tahun setelah itu.
Perekonomian Indonesia sehabis perang masih tidak banyak berbeda dengan perekonomian
sebelum perang. Ekspor hasil-hasil pertanian seperti kopra, karet, teh, kopi dan tembakau tetap
merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir tahun 1960an.
1.2 Kebijaksanaan Pangan pada Pemerintahan Orde Lama
Pemerintahan Orde Lama tidak mempunyai kesempatan yang baik untuk memperhatikan
perkembangan ekonomi, termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan
besar dinasionalisasi dari milik swasta Belanda menjadi perusahaan perkebunan perkebunan
milik Negara. Dalam subsektor tanaman pangan (khususnya beras), kebijaksanaan yang
sebelumnya ditempuh dalam menjaga kestabilan harga beras, dialihkan menjadi kebijaksanaan
yang ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas
mengelola administrasi dan keamanan negara saat itu (Pegawai Negeri Sipil & Militer). Menurut
Timmer, proses politisasi sistem pemasaran beras ini bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa
beras sama sekali tidak dianggap bahan politik bagi produsennya (petani padi), dimana
kepentingan utama petani adalah penghasilannya sendiri.
Terbatasnya devisa untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan produksi dalam
negeri melatarbelakangi masa ini. Misalnya, dalam tahun 1952 Program Kesejahteraan Kasino
yang bertujuan mencapai swasembada beras sebelum tahun 1956, menggunakan pendekatan
program penyuluhan percontohan. Program ini persis sama dengan program pada masa
penjajahan Belanda, yakni Olie Vlek, kecuali jumlah petak percontohan diperbanyak. Program
Padi Sentra, dimulai 1959 yang bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 adalah satu
program yang gagal. Disamping itu, padi sentra juga dimaksudkan untuk menyediakan jasa-jasa
penyuluhan. Meskipun program ini mempunyai banyak kelemahan, tetapi ia telah memberikan
arah bagi program sesudahnya dalam tahun 1960an dan 1970an.

Pada tahun 1963 presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras dengan
jagung. Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri Sipil & Militer yang semula
memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini mengalami banyak
kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari masyarakat sehingga dihentikan. Pada
tahun 1963, program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor, merupakan sumber inspirasi bagi
berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal). Program bimas yang diperluas dimulai
1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani
yang baik. Kelima cara ini mencangkup penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik,
penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan koperari yang
kuat. Panca usaha tetap merupakan pegangan kebijaksanaan selama Pemerintahan Orde Baru.
Sewaktu pemerintahan Orde Baru mulai memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2 %
lebih tinggi daripada produksi tahun 1954, tingkat produksi yang terakhir ini hanya kurang lebih
sama dengan tingkat produksi sebelum perang Dunia II. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar
2% per tahun, mengakibatkan makin membesarnya defisit beras bagi Negara. Menurunnya
kesediaan beras per kapita untuk dikonsumsi, dari 107 kg dalam tahun 1960 menjadi 92 kg
dalam tahun 1965. Produksi ubi jalar tidak menunjukkan kenaikan, meskipun produksi ubi kayu,
jagung, kacang tanah, kacang kedelai menunjukkan kenaikan, dan hanya produksi jagung yang
tumbuh melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun ke dalam
negeri. Dalam tahun 1965 harga nominal beras adalah seratus kali harga beras tahun 1960 dan
harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hampir sama dengan harga beras. Hal ini
berdampak pasa menciutnya cadangan devisa impor beras sehingga menurun menjadi 200.000
ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah adanya
kemungkinan menaikan produksi beras melalui program Bimas.
1.3 Kebijaksanaan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru
Sejak awal, pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang
cukup. Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru
diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi. Pada pertengahan 1966, Kolognas,
suatu badan yang baru dibentuk untuk menangani masalah logistik distribusi barang-barang
3

kebutuhan. Karena terbatasnya devisa, impor beras juga terhambat, tidak mencapai tingkat yang
diperlukan Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967, diganti dengan Bulog, sebuah
badan yang mengelola persediaan pangan, bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering
yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tajam sekali, sampai 300 % dalam tahun itu.
Terjadi krisis beras, persediaan beras tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Pada tahun 1968
diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan perubahan ini merupakan awal
kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup untuk memelihara
keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Pada waktu itu
dicetuskan rumus Tani yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan harga.
Program Bimas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas
Gotong-royong disamping Bimas Biasa pada awal musim tanam 1968. Pembelian kredit dan
distribusi pupuk dan pestisida kepada para petani dilaksanakan atas dasar kontrak dengan para
penjual pupuk dan pestisida dari luar negeri melalui para kepala desa. Bulog membayar
perusahaan-perusahaan asing atas pelaksaan program ini dan nantinya Bulog menerima
pembayaran dalam bentuk gabah (1/6 dari hasil panen yang diperoleh petani) melalui para kepala
desa. Bulog diserahi tugas untuk mengelola buffer stock, dan telah berhasil melaksanakan
kebijaksanaan harga yang stabil. BUUD diserahi tugas untuk ikut serta dalam pelaksanaan harga
minimum yaitu memberikan persaingan terhadap para pedagang dibidang pembelian padi petani.
Disamping itu pemerintah juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional
dengan tujuan mengurangi tingkat fertilitas penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan
kebutuhan manusia akan bahan makanan beras juga dapat dikekang. Maka pada tahun 1984
Pemerintah Indonesia telah menyatakan tingkat swasembada beras tercapai.
Setelah dicapainya swasembada beras ditahun 1984, perekonomian Indonesia malah
mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun 1997/1998.
Sejak itu sampai dengan pergantian pemerintahan ke Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan
Presiden SBY, kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis. Kondisi ini diperburuk oleh adanya
konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi agak melandai. Terobosan
dalam meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan terus
berlangsung. Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah
6,84 juta ha, dengan indeks pertanaman rata-rata 1,61 (atau luas panen sekitar 12 juta hektar).
4

Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui
peningkatan indeks pertanaman.
Penerapan kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur
disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju telah
mengakibatkan dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) produksi padi menaik dengan persentase
kenaikan yang meninggi dari tahun ke tahun. Bahkan, pada tahu 2008 produksi tanaman padi
menembus angka 60 juta ton Gabah Kering Gilinh (GKG), pertama dalam sepanjang sejarah
Indonesia.
Tabel Produksi Padi di Indonesia, 2005-2009
Padi
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/Ha)

2005
54.151
11.839
45,74

2006
54.455
11.786
46,20

2007
57.157
12.148
47,05

2008
60.326
12.327
48,94

2009
62.6561
12.669
49,38

Padi Sawah
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/ha)

51.317
10.733
47,81

51.647
10.713
48,21

54.200
11.041
49,29

57.170
11.258
50,78

59,386
11.596
51,21

Padi Ladang
Produksi (000 ton)
Luas Panen (000 ha)
Produktivitas (ku/ha)

2.833
1.10
25,63

2.807
1.073
26,15

2.958
1.106
26,73

3.156
1.070
29,51

3.175
1.073
29,58

Dengan hasil produksi padi sebesar itu, pada tahun 2008 Indonesia kembali dinyatakan
sebagai Negara yang berswasembada beras. Pencapaian status swasembada beras pada tahun
2008 terasa sangat istimewa karena pada tahun itu dunia tengah mengalami krisis pangan.

Tabel Produksi Beberapa Jenis Tanaman Pangan non Beras, 2002-2007 (ribu ton)
Jenis Tanaman
Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar

2002
9.654,1
16.913,1
1.771,6

2003
10.886,4
18.523,8

2004
2005
2006
2007*
11.225,2 12.523,9 11.610,6 10.152,0
19.424, 19.321,2 19.927, 12.617,0

1.991,5

7
1.901,8

1.857,0

6
1.851,8

1.258,0
5

Kacang Tanah
Kacang Kedelai
Kacang Hijau

718,1
673,1
288,1

785,5
671,6
335,2

837,5
723,5
310,4

836,3
808,4
309,7

838,0
749,0
---

636,0
405,0
--

Stock beras di dalam negeri pun bertambah. Dengan produksi padi diatas 60 juta ton,
Indonesia memiliki kelebihan produksi antara 1,5-2 juta ton beras dengan stock akhir 5,83 juta
ton. Ini belum termasuk produksi bahan pangan non beras yang membantu ketahanan pangan,
sehingga pada tahun 2008 dipastikan tidak mengimpor beras. Pada tahun 2009, pemerintah
setelah menghitung pencapaian produksi padi nasional berdasarkan angka ramalan produksi dan
ditetapkan bahwa Indonesia bisa mengekspor beras 100 ribu ton. Kemampuan ekspor ini telah
mengubah Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras, kini sudah
tidak mengimpor lagi, bahkan bisa mengekspor beras. Produksi bahan makanan lainnya,
terutama jagung dan ubi kayu mengalami peningkatan yang berarti sekitar 2 juta ton untuk
jagung dan sekitar 3 juta ton untuk ubi kayu dalam waktu 4 tahun (2002-2006).
2. Analisa Mengenai Kebijakan Pembangunan Tanaman non-Pangan
Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa
sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga
disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman kas. Perkembangan
tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan kepada perusahaan besar
perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan
berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan kering) karena kurangnya
perhatian pemerintah, dan banyak ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah
kira-kira pertengahan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan pemerintah. Di
Departemen Pertanian terdapat Direktorat

Pangan dan Direktorat Tanaman Perkebunan,

sementara Direktorat Pangan sangat sibuk mengurus perkebunan Bimas-Inmas, maka Direktorat
Tanaman Perkebunan mengembangkan bibit unggul dan tanaman perkebunan baru di antaranya,
tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga
disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan adanya RPTE
(Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman
perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili.

Mengenai kebijakan pemasaran, ada baiknya membandingkan cara yang dilakukan di


Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya, produksi kopi melonjak dengan
tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk
mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di Negara maju Eropa dan Amerika Serikat,
dimana pada saat kelebihan produksi pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk
kemudian, karena tidak ada pembeli potensial maka disumbangkan ke luar negeri. Jadi di Negara
maju, stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik namun di
Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani sendiri.
Sesungguhnya, dengan laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun subsector perkebunan
adalah salah satu subsector yang mengalami pertumbunan yang konsisten, baik ditinjau dari areal
maupun produksi. Secara keseluruhan areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per tahun.
pada periode 2000-2003, misalnya total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha. Dari
beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi,
kako, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet kakao malah tumbuh lebih pesat dibandingkan tanaman
perkebunan lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% per tahun. Pertumbuhan
yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan
pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk
mendorong perluasan areal komoditas tersebut. CPO dari kelapa sawit dan karet merupakan dua
komoditas yang mempunyai kontribusi yang dominan. Pertumbuhan produksi komoditas kakao
dan kopi juga relatif pesat pada periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan
sejak 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produk tersebut.
3. Analisa Mengenai Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia
3.1 Peran Sektor Pertanian
Suatu negara, betapapun kecil wilayahnya seperti Singapura, dan Brunai Darusalam, pasti
mempunyai sektor pertanian. Pada awalnya sektor inilah yang mendominasi kehidupan satu
bangsa. Dengan adanya pembangunan ekonomi, peran sektor pertanian biasanya mengalami
penurunan yang dibarengi dengan makin meningkatnya peran sektor lain, terutama sektor
industri. Oleh karena itu perubahan struktur perekonomian suatu negara biasanya dimulai dengan
sektor pertanian untuk kemudian sektor industri dan jasa. Sektor pertanian pada umumnya
memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
Peran tersebut, antara lain :
7

1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat. Di banyak negara, terutama negara berkembang, produksi pangan
mendominasi

sektor

pertanian.

Jika

output

meningkat

karena

meningkatnya

produktivitas, maka pendapatan para petani meningkat. Kenaikan pendapatan per kapita
akan sangat meningkatkan permintaan pangan. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk
akibat dari penurunan angka kematian penduduk dan penurunan angka kesuburan, akan
meningkatkan permintaan akan bahan makanan. Di samping itu, permintaan akan bahan
makanan juga meningkat karena perkembangan penduduk di kota-kota dan kawasan
industri. Dengan mempertimbangkan faktor ini maka kenaikan output bahan makanan di
sektor pertanian seharusnya melaju lebih cepat daripada laju pertumbuhan permintaan
akan bahan makanan.
2. Meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong
keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan daya beli daerah pedesaan,
sebagai akibat surplus pertanian, merupakan perangsang kuat terhadap perkembangan
industri. Pasar bagi barang manufaktur sangat kecil di negara berkembang, di mana para
petani, pekerja di ladang dan keluarganya yang merupakan dua pertiga atau empat per
lima dari keseluruhan penduduk sangat miskin untuk dapat membeli barang-barang hasil
pabrik. Rendahnya daya beli ini merupakan sempitnya pasar untuk barang industri.
Meningkatnya daya beli daerah pedesaan sebagai hasil perluasan output dan produktivitas
pertanian akan cenderung meningkatkan permintaan akan barang manufaktur dan
memperluas ukuran pasar. Ini akan menyebabkan perluasan di sektor industri.
3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian. Kebanyakan negara berkembang
mengkhususkan diri pada beberapa barang pertanian untuk ekspor hasil pertanian.
Kebanyakan negara berkembang mengkhususkan diri pada beberapa barang pertanian
untuk ekspor. Begitu output dan produktivitas barang-barang yang dapat diekspor
membesar, ekspor akan naik dan selanjutnya memperbesar penerimaan devisa. Dengan
demikian surplus pertanian mendorong pembentukan modal jika barang-barang modal
diimpor dengan menggunakan devisa ini. Pendapatan devisa dapat dipergunakan untuk
memperbaiki efisiensi industri lain dan membantu pendirian industri-industri baru dengan
mengimpor bahan-bahan baku langka, mesin, peralatan modal dan keterampilan teknik.

4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah (tabungan). Setiap


negara memerlukan sejumlah besar modal untuk membiayai pembangunan, perluasan
infra struktur, pengembangan industri dasar dan industri berat. Pada tahap awal, modal
dapat disediakan dengan meningkatkan surplus barang yang bisa dipasarkan dari sektor
pedesaan tanpa mengurangi tingkat konsumsi penduduk. Meningkatkan penerimaan
pertanian barang kali merupakan jalan terbaik bagi pembentukan modal. Ini dapat
dilakukan dengan memobilisasi pendapatan dari sektor pertanian melalui pajak hasil
bumi, pajak tanah, pajak pendapatan hasil pertanian, biaya pendaftaran tanah, biaya
sekolah, biaya untuk penyediaan jasa teknik di bidang pertanian dan biaya lain yang
mencakup sebagian atau seluruh imbalan atas pelayanan yang disediakan kepada kaum
petani. Jadi di negara yang sektor pertaniannya memegang peranan dominan, pajak hasil
bumi dalam bentuk apa pun merupakan satu keharusan untuk memobilisasi surplus
pertanian dalam rangka memacu pembangunan ekonomi.
5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan daerah pedesaan
ebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung memperbaiki kesejahteraan daerah
pedesaan. Para petani mulai mengonsumsi lebih banyak bahan makanan khususnya yang
mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi dalam bentuk biji-bijian berkualitas tinggi,
telur, susu, buah-buahan, dan sebagainya. Mereka juga menerima langsung pelayanan
jasa seperti sekolah, pusat kesehatan, irigasi, perbankan, fasilitas angkutan, dan
perhubungan. Dengan demikian surplus hasil pertanian yang semakin meningkat
mempunyai dampak meningkatkan standar kehidupan sebagian besar rakyat desa.
3.2 Perubahan Struktur
Perubahan struktur satu perekonomian biasanya ditandai oleh besarnya sumbangan oleh
masing-masing sektor terhadap penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto. Jika
dalam satu perekonomian sumbangan sektor pertanian yang paling besar, misalnya 50-60% atau
lebih, maka negara yang perekonomian mempunyai ciri tersebut negara agraris. Sedangkan
kalau sumbangan sektor industri yang menonjol, maka negaranya tersebut negara industri. Jadi
struktur perekonomian yang umum adalah dari negara agraris-industri-jasa. Namun pada
umumnya cukup dari agraris ke industri saja, tidak perlu lagi ke negara jasa. Akan tetapi karena
terdapat negara yang tidak perlu mengadakan industrialisasi terlebih dahulu, melainkan sektor
yang menonjol di negara tersebut adalah sektor jasa, maka perubahan struktur negara tersebut
9

adalah dari agraris ke jasa seperti misalnya Singapura. Hal yang demikian ini barangkali berlaku
juga untuk Bali, yakni dari agraris langsung ke jasa.
Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)
1960

1977

2007 (Agustus)

1. Pertanian, Pertambangan dan Penggalian

57,6

46,9

22,5

2. Industri Pengolahan

8,4

11,9

27,4

34,0

53,2

50,1

100

100

100

3. Jasa

(listrik,

air,

gas,

konstruksi,

pengangkutan, perdagangan, dan jasa


lain)
Jumlah

Tabel diatas adalah data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri
pengolahan, dan jasa) dalam pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun
1960, 1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor
pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari 57,6
persen pada tahun 1960 menajdi 46,9 persen pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi 22,5
persen pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus mengalami
kenaikan, dari hanya 8,4 persen pada tahun 1960, telah menjadi 11,9 peren pada tahun 1977, dan
sekarang ini telah mencapai lebih dari 27 persen. Perkembangan sektor industri yang paling
menonjol adalah pada masa akhir pemerintahan Suharto sampai sekarang, yakni setelah tahun
1980an. Cara lain yang juga biasa dipergunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu
negara adalah jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor, seperti terlihat
pada tabel berikut :

Tabel perubahan struktur jangka panjang di Beberapa Negara asia (1970-1998)


Nilai Tambah Pertanian (% dari

Tenaga Kerja di Pertanian (% dari

PDB)

Total Tenaga Kerja)


1970
1998
81
65

Negara
Bangladesh
Cina

1970
42

1998
22

35

18

78

72

10

India

45

29

71

64

Indonesia

45

20

66

55

Jepang

20

Korea Selatan

26

49

18

Malaysia

29

13

54

27

Myanmar

38

53

78

73

Nepal

67

40

94

83

Pakistan

37

26

59

52

Papua New Guinea

37

24

86

79

Filipina

30

17

58

46

Singapura

Sri Langka

28

21

55

48

Thailand

26

11

80

64

Vietnam
Sumber : World Bank database

26

77

71

Namun cara ini kadang-kadang memberikan gambaran yang membingungkan. Hal ini
disebabkan oleh karena serapan sektor industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena
teknologi yang dipakai adalah teknologi padat modal. Oleh karenanya jumlah tenaga kerja di
sektor industri masih tetap belum dominan, meskipun peranan sektor industri terhadap
pembentukan PDB telah besar. Hal ini akan ditunjukkan pada tabel di bawah ini :

Tabel Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor, 2007(Agustus)

Sektor
1. Pertanian, Pertambangan dan Penggalian
2. Industri pengolahan
3. Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi,

2007(Agustus)
Ribu Orang
% dari total
42.201,1
42,23
12.368,7
12,38
45.360,4
45,39

Pengangkutan, Perdagangan, Hotel,


Restoran, dan Jasa lain)
Jumlah

99.930,2

100

11

Tenaga kerja di sektor industri pada tahun 2007 (Agustus) hanya sekitar 12 persen dari
seluruh tenaga kerja yang diserap perekonomian Indonesia, dan di sektor pertanian angkanya
mencapai lebih dari 42 persen.

12

Anda mungkin juga menyukai