Anda di halaman 1dari 3

Hacksaw Ridge (2016)

Review By Hafilova

Lebih banyak terlibat dalam genre aksi kelas dua belakangan ini, karier seorang
bad boy macam Mel Gibson sebagai aktor mungkin sama suramnya dengan
kehidupan pribadinya yang penuh kontroversi, tetapi untuk soal lain jangan
pernah sekalipun meragukan kemampuannya ketika berada di balik layar
sebagai seorang sutradara. Sejak Oscar melabelinya sebagai sutradara terbaik
dalam Braveheart lalu The Passion of The Christ yang brutal, cantik dan personal
serta Apocalypto yang mendebarkan, susah untuk kemudian tidak terkagumkagum dengan karya-karya kolosal historis buatan Gibson, pun begitu dengan
Hacksaw Ridge, sebuah biopik perang dunia ke-2 yang luar biasa. Mungkin tidak
berlebihan jika kemudian mencapnya salah satu film perang terbaik setelah
Saving Private Ryan-nya Spielberg.
Entah lupa atau luput dari perhatian para sineas Hollywood, kisah nyata tentang
sepak terjang Desmond Doss, seorang tentara pembangkang idealis peraih
Medal of Honor di pertempuran Okinawa dalam perang dunia ke 2 yang emoh
untuk membawa senjata ke medan tempur baru tahun ini benar-benar
kesampaian diangkat ke layar lebar. Tentu saja ada perjudian ketika Summit

kemudian mempercayakan penyutradaraannya pada Gibson dan aktor yang


pernah tenar lewat franchise Mad Max dan Lethal Weapon itu mengingat ia
sedang tidak dalam kondisi terbaiknya setelah Apocalypto 2006 silam. Namun
Gibson selalu berhasil membuat kejutan, dan ia pun membayar lunas
kepercayaan dan 40 juta Dolar yang diberikan kepadanya.
Membuka Hackshaw Ridge langsung dengan sebuah sekuen pertempuran
dahsyat antara tentara Amerika melawan pasukan Jepang di perang Okinawa,
sebelum kita benar-benar tahu apa yang terjadi di sana dengan cepat Gibson
kemudian menarik ceritanya jauh ke belakang, membawa kita mundur 16 tahun
untuk bertemu dan berkenalan Desmond Doss kecil di Lynchburg, Virginia. Butuh
hampir separuh film Gibson membuat penontonnya menunggu untuk bisa
menikmati hidangan utamanya. Dari sini naskah garapan Andrew Knight dan
Robert Schenkkan mencoba memberi dasar dan motif buat karakter Desmond
melalui hubungannya dengan kedua orang tuanya, Tom (Hugo Weaving) dan
Rachel Griffiths serta kakak laki-lakinya dan juga memolesnya bersama narasi
romansanya dengan suster cantik Dorothy Schutte (Teresa Palmer). Bangunan
plot yang mungkin tidak sampai terlalu dalam, bahkan romantika antara
Desmond dan Dorothy pun cenderung corny, tetapi bagaimanapun itu
background cerita itu perlu untuk melihat bagaimana sisi idealisme pacifis dan
spiritualisme Doss terbentuk, bagaimana insiden masa lalu dan pengaruh
ayahnya yang seorang alkoholik dan mantan pejuang perang dunia pertama
yang stress dan suka memukuli ibunya memberinya pandangan hidup yang
berbeda dalam melihat peperangan.
Dan pertunjukan sebenarnya pun dimulai ketika Desmon mulai berada di kamp
pelatihan. Momentum Hacksaw Ridge pun mulai dibentuk dari sekuen yang khas
Platoon banget lengkap dengan teriakan kasar nan konyol Sersan Howell yang di
luar dugaan bisa dimainkan dengan sangat baik oleh Vince Vaughn. Gibson
kemudian memperkenalkan beberapa karakter infanteri, memang terasa
stereotip dan beberapa kehadirannya tidak terlalu penting namun dibutuhkan
dalam tugasnya menguatkan plot dan karakter Desmond nanti. Sebelum benarbenar masuk ke medan tempur, konflik internal sudah terlebih dahulu muncul
ketika Desmond mati-matian ngotot untuk tidak mau mengangkat senjata terang
melanggar aturan kemiliteran. Terjadi gesekan horizontal antara Desmond dan
atasannya dan sesama prajurit. Dicap sebagai pembangkang yang tidak patuh

pada perintah, Desmond harus menjalani hari-hari sulit di kamp pelatihan,


tindakannya berujung dengan penjara dan itu berarti ia harus rela membuang
cita-citanya mengabdi demi negara.
Tentu saja Hacksaw Ridge tidak akan menjadi film perang jika kemudian
Desmond harus mendekam di penjara. Jadi mungkin kamu bisa menebak kirakira apa ujung dari konflik di kamp pelatihan itu. Memasuki medan tempur
Gibson terlihat habis-habisan mengeksploitasi segala hal yang ia suka.
Kombinasi dramatisasi antara kebrutalan, kepahlawanan dan sisi religius mampu
bersinergi dengan sempurna bersama kekuatan karakter unik seorang Desmond
Doss. Kekacauan dalam adegan peperangan dihadirkan dengan sangat baik.
Pertempuran digambarkan begitu masif dan cepat namun hebatnya kita tetap
bisa mengikuti pergerakan karakter utamanya dengan baik. Setiap desingan
peluru dan ledakan granat yang tersaji dalam balutan sinematografi ciamik
Simon Duggan benar-benar memamerkan apa itu arti dari horor perang,
membuatmu cemas, panik, takut dan tidak nyaman di saat bersamaan ketika
pasukan Jepang menyerang membabi-buta. Darah berhamburan, potongan
tubuh berserakan, isi perut terkeluar, ya, itulah gambaran yang kamu dapatkan
dari Hacksaw Ridge yang begitu intens, brutal dan kotor. Ketegangan semakin
menjadi-jadi ketika jagoan kita melancarkan aksi heroik yang bisa dibilang gila
ketika ia menyelamatkan satu per satu tentara yang tersisa dengan semangat
dan keyakinan diri yang luar biasa.
Andrew Garfield memberikan salah satu penampilan terbaiknya sebagai seorang
pahlawan perang yang tidak biasa. Desmond Doss tidak punya perawakan yang
tangguh sebagai seorang prajurit, Ia ceking dan diremehkan apalagi ketika
punya niat gila untuk nekat terjun ke neraka perang tanpa membawa senjata
dan tanpa niat membunuh. Garfield memberikan jiwa buat karakter Desmond, ia
tidak pernah kehilangan grip dalam mengawal emosi Desmond dan bagaimana
filosofi hidupnya yang kemudian secara ajaib mampu membawanya jauh dari
perkiraan orang sebelumnya. Sementara karakter pendukung lainnya meski
tidak mendapatkan porsi yang cukup, tetapi senang rasanya melihat seorang
Vince Vaughn dan Sam Worthington mampu memberikan kesan tersendiri untuk
mendukung tokoh utamanya dengan penuh simpati. Hugo Weaving yang
berperan sebagai Tom Doss pun sama mengkilapnya ketika mewakili tokoh ayah
bermasalah akibat perang masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai