Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FILSAFAT ILMU

Dosen :
Lengsi Manurung
Di Susun Oleh :
Kelompok 1
1.
2.
3.
4.

Ade Setiwan
Adhitya Ramadhan
Putri Eka Prasetianingsih
Rizky Fauzi

: 201343501960
: 201343501961
: 201343501956
: 201343501943

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas


limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun tugas mata
kuliah Ilmu Filsafat yang berbentuk Makalah. Makalah ini disusun untuk
membantu mengembangkan kemampuan pemahaman terhadap Epistemologi.
Pemahaman tersebut dapat dipahami melalui pendahuluan, pembahasan, serta
penarikan garis kesimpulan.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Ilmu
Filsafat, Ibu Lengsi Manurung. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya
makalah ini. Harapan dari kami, semoga makalah ini dapat menambah wawasan
dan ilmu, khususnya bagi kami sendiri selaku penulis dan pada umumnya bagi
pembaca makalah ini.

Jakarta, 18 September 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................2
C. Rumusan Masalah..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Pengertian Epistemologi.......................................................................................3
Epistemologi Filsafat.............................................................................................4
Ruang Lingkup Epistemologi.............................................................................7
Objek Dan Tujuan Epistemologi........................................................................9
Aliran-Aliran Epistemologi...............................................................................10
Landasan Epistemologi......................................................................................13
Pengaruh Epistemologi Terhadap Peradaban Manusia.............................14

BAB III PENUTUP..............................................................................................16


Kesimpulan............................................................................................................16
Saran.........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17
A.
B.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat
memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita
tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat
diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu
pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita
mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat
menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya
kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya
(Luis O. Kattsoff, 2004)
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem
dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, ontologi dan
aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang
bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.
Ontologi adalah teori tentang ada, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang
menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang
membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang
dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan
secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi.
Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan
(ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian
timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).

B. Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :


Mengetahui arti dari epistemologi.
Mengetahui apa yang di maksud epistemologi filsafat.
Mengetahui ruang lingkup Epistemoligi.
Mengetahui apa saja objek dan tujuan epistemologi.
Mengetahui aliran-aliran yang ada dalam Epistemologi.
Mengetahui apa landasan dari epistemologi.
Mengetahui apa saja pengaruh epistemologi terhadap peradaban manusia.

C. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang dan tujuan penulisan di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apa pengertian epistemologi ?


Apa yang di maksud epistemologi filsafat ?
Bagaimana ruang lingkup epistimologi ?
Apa saja objek dan tujuan epistemology ?
Apa saja aliran-aliran yang ada dalam epistemologi ?
Apa landasan dari epistemology ?
Bagaimana pengaruh epistemologi terhadap peradaban manusia ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat,

dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung


berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia.
Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan
pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu:
kata Episteme dengan arti pengetahuan dan kata Logos berarti teori,
uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of
knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat
pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat
ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh
pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan
apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya
pertanyaan

epistemologi

dapat

menggambarkan

manusia

mencintai

pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk


menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi.
Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang
sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Dalam epistemologi proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah
yang paling mendasar, sebab hal inia kan mewarnai pemikiran kefilsafatannya.
Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan
yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan a priori
adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik
pengalaman indera maupun pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
B. Epistemologi Filsafat

Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu


yang di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran
kebenaran pengetahan filsafat).
1. Objek filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau
struktur filsafat dalam garis besar terdiri dari ontologi, epistemologi, dan
eksiologi. Isi setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa yang di teliti
(pemikiranya). Jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat
pendidikan, jika yang di pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah
filsafat hukum, dan begitu juga seterusnya. Seberapa luas yang
kemungkinaan dapat di pikirkan? luas sekali.yaitu semua yang ada dan
mungkin ada, inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan etika jadilah filsafat
etika, dst. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain.
Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti ojek yang
ada dan mungkin ada. Sebenarnaya masih ada objek lain yang di sebut
objek forma yang menjelaskan tentang sifat kemendalaman penelitian
filsafat. Ini di bicarakan pada efistemologi filsafat. Perlu juga di tegaskan
(lagi) bahwa sains meneliti objek-objek yang ada dan emperis, yang ada
tetapi abstak (tidak emperis) tidak dapat meneliti oleh sain. Sedangkan
filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada,
sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.
2. Cara memperoleh pengetahuan filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan)
cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita
hormat ke pada filosof antara lain karena ketelitian mereka, sebelum
mencari

pengetahuan

mereka

membicarakan

lebih

dahulu

(dan

mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahauan tersebut. Sifat


itu sering kurang di pedulikan kebanyakan orang. Pada umumnya orang
mementingkan apa yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara memperoleh
atau mengetahuinya. Berfilsafat ialah berpikir, berpikir itu tentu
menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John

Locke (Sidi Gazalba sistematika filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal


ini, ia melihat pada jamannya akal telah di gunakan secara terlalu bebas,
telah di gunakan sampai luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah
kekacauan pemikiran pada massa itu. Sejak 650 SM sampai berakhirnya
filsafat yunani akan mendominasi.selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu
selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinaaan Kristen;
akal di bawah agama (Kristen) modern, akan kembali mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan
filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat,
sejak ini filsafat di dominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman, francis Baacon amat
yakin pada kekuatan sain dan logika. Sain dan logika di anggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will Durant,the story of philosophy, 1959:
254) Ccondercet mendukung Bacon : sain dan logika itulah yang penting.
Kemudian pemikiran itu di ikuti pula oleh pemikiran Jerman Christian
wolff dan Lessing, bahkan pemikiran francis mendramatisasi keadaan itu
sehingga akal telah di tuhankan. Spinoza meningkatkan kemampuan akal
tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semesta ini laksana suatu system
matematika dan dapat di jelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi
aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada
keponggohan manusia dengan menggunakan akalnya, karena itu tidaklah
perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi
Atheisme dan Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman telah tunduk di
bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbch menawarkan ide yang
edan itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti
mesin, menjajakan pemikiran ini di Jerman.
Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi
pengikut Spinoza, setelah itu cukup sebagai pertanda bahwa iman telah
jatuh sampai ke titik nadirnya dan akal telah Berjaya.
David hume (1711-1704) telah meneliti akal, ia berhasil tampil dengan
argumennya tentang kerasionalan agama Kristen. Pengetahuan kita datang
dari pengalaman begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan
5

pandanngannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya


materi, karena itu materialisme harus di terima. Bila pengindraan adalah
asal-usul pemikiran, maka kesimpulanya haruslah materi adalah material
jiwa.
Tidak demikian kata Uskup georgre Berkeley (1684-1753), analisis Locke
itu justru membuktikan materi itu sebenarnaya tidak ada. David Hume
seorang uskup Irlandia berpendapat lain.katanya, kita mengetahui apa jiwa
itu sama dengan mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara
internal. Kesimpulanya ialah bawa jiwa itu bukan substansi, suatu organ
memiliki idea-idea, jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut
rangkaian idea. Hasilnya Huma sudah menghancurkan mind sebagaimana
Berkeley menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya
berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karya sendiri. Jangan kaget bila
anda mendengar kata-kata begini : No matter never mind. Semua ini garagara akal. Akal telah menggunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu, di lain
pihak memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya
membicarakan masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa
akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bawa akal itu saja dan ia bekerja
berdasarkan cara yang tidak begitu kita kenal, aturan kerjanya di sebut
logika, agaknya kita dapat mennerima kebenarnya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir
secara mendalam, sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya
sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak di ketahui adalah bagian di
belakang objek konkret itu. Secara mendalam artinya ia hendak
mengetahui bagian yang abstrak sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalamdalamnya. Kapan pengetahuan itu di katakan mendalam? Dikatakan
mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya. Dia tidak dapat
maju di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara
mendalam. Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi
orang lain. Seperti telah di buat di muka, sain mengetahui sebatas fakta
6

empiris. Ini tidak mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh
mana hal abstrak di belakang fakta empiris itu dapat di ketahui oleh
seseorang, akan banyak tergantung pada kemampuan berpikir seseorang.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, apa yang akan kita
gunakan? Ya, akal itu, apapun kelemahan akal, bahkan sekali pun akal amat
di ragukan hakikat keberadannya, toh akal yang menghasilkan apa yang di
sebut filsafat. Kelihatanya, ada satu hal yang penting di sini : janganlah
hidup ini di gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan
seluruhnya oleh filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum
di ketahui secara jelas identitasnya.
C. Ruang Lingkup Epistemologi
M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat,
sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam
aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.
Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa
yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya.
Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok : masalah
sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Mengingat epistemologi mencakup
aspek yang begitu luas, sampai Gallagher secara ekstrem menarik kesimpulan,
bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan
mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa
yang diketahui dibidang tertentu.
Dalam pembahasan-pembahsan epistemologi, ternyata hanya aspek-aspek
tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga
mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya
terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang
jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan.

M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih


banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai
epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk
pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan
dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat
perhatian yang layak.
Namun, penyederhanaan makna epistemologi itu berfungsi memudahkan
pemahaman seseorang, terutama pada tahap pemula untuk mengenali
sistematika filsafat, khususnya bidang epistemologi. Hanya saja, jika dia ingin
mendalami dan menajamkan pemahaman epistemologi, tentunya tidak bisa
hanya memegangi makna epistemologi sebatas metode pengetahuan, akan
tetapi epistemologi dapat menyentuh pembahasan yang amat luas, yaitu
komponen-komponen yang terkait langsung dengan bangunan pengetahuan.
D. Objek dan Tujuan Epistemologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman
objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu
bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama
dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama
dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki
hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan
tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk
pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek
epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa Segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Proses untuk
memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan
sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu
merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan.
Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu
tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali. Selanjutnya, apakah
8

yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan,


Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan,
apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu. Hal ini menunjukkan, bahwa tujuan
epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendati pun keadaan ini
tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi
untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam
dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang
bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan,
tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab
keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.
E. Aliran-Aliran Epistemologi
Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini, diantaranya :
1. Empirisme
Kata empiris berasal dari kata yunani empieriskos yang berasal dari kata
empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata
yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.
Manusia tahu es dingin karena manusia menyentuhnya, gula manis karena
manusia mencicipinya. John locke (1632-1704) bapak aliran ini pada
zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti
meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia
memiliki pengetahuan. Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu
sederhana, lama-lama sulit, lalu tersusunlah pengetahuan berarti.berarti,
bagaimanapun kompleks (sulit)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati
dengan indera bukan pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera
itulah sumber pengetahuan yang benar.

Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah
metode eksperimen. Kesimpulannya bahwa aliran empirisme lemah karena
keterbatasan indera manusia. Misalnya benda yang jauh kelihatan kecil,
sebenarnya benda itu kecil ketika dilihat dari jauh sedangkan kalau dilihat
dari dekat benda itu besar.
2. Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Manusia, menurut aliran ini, menmperoleh pengetahuan melalui kegiatan
akal menangkap objek. Bapak aliran ini adalah Descartes (1596-1650).
Descartes seorang filosof yang tidak puas dengan filsafat scholastic yang
pandangannya bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh
kurangnya metode berpikir yang tepat.
Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-raguan. Jika
orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang
berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada dan jelas ia sedang erang
menderang. Cogito Ergo Sun (saya berpikir, maka saya ada). Rasio
merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa
orang kepada kebenaran. Yang benar hanya tindakan akal yang terang
benderang yang disebut Ideas Claires el Distictes (pikiran yang terang
benderang dan terpilah-pilah). Idea terang benderang inilah pemberian
tuhan seorang dilahirkan ( idea innatae = ide bawaan). Sebagai pemberian
tuhan, maka tak mungkin tak benar. Karena rasio saja yang dianggap
sebagai sumber kebenaran, aliran ini disebut rasionlisme. Aliran
rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang
filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas
dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam
bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering
berguna dalam menyusun teori pengetahuan.
3. Positivisme
Tokoh aliaran ini adalah august compte (1798-1857). Ia menganut paham
empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu sangat penting dalam
memperoleh pengetahuan. Tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
10

diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat


eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misalnya
untuk mengukur jarak kita harus menggunakan alat ukur misalnya meteran,
untuk mengukur berat menggunakan neraca atau timbangan misalnya
kiloan . Dan dari itulah kemajuan sains benar benar dimulai. Kebenaran
diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat bantu
itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme
bukanlah

suatu

aliran

yang

dapat

berdiri

sendiri.

Aliran

ini

menyempurnakan empirisme dan rasionalisme.


4. Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak
hanya indera yang terbatasa, akal juga terbatas. Objek yang selalu berubah,
demikian bargson. Jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap.
Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek
bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal itu
manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak dapat memahami
sifat-sifat yang tetap pada objek. Misalnya manusia menpunyai pemikiran
yang berbeda-beda. Dengan menyadari kekurangan dari indera dan akal
maka bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi.
5. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seseorang ahli
pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara
rasionalisme dengan empirisme. Seorang ahli pikir jerman Immanuel Kant
(1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas, pada awalnya kant
mengikuti rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya
kant mengakui peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba
mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme),

tetapi

adanya

pengertian

timbul

dari

pengalaman

(empirime). Jadi, metode berpikirnya disebut metode kiritis. Walaupun ia

11

mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak
mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.
6. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme
diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini
dimiliki oleh plato dan pada filsafat modern. Idealisme mempunyai
argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang
mengajarkan bahwa materi tergantung pada spirit tidak disebut idealisme
karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan
oleh idealisme. Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme.
Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan
apriori atau deduktif dapat diperoleh dari manusia dengan akalnya.
F. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi,
ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa
disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Metode ilmiah berperan
dalam

tataran

transformasi

dari

wujud

pengetahuan

menjadi

ilmu

pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat


bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu
disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh
pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau
menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan
cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan
sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn

12

pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn


silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan
deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode
deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis
mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan
khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan premis minor yang
merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan
deduktif. Disamping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan
pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasiargumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar
adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan,
maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria
penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang
benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan.
Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu
menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya.
Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar, karena
kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan
aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626).
Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita
mau

engumpulkan

fakta

melalui

pengamatan

langsung,

maka

dia

mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagai


implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam
kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.
G. Pengaruh Epistemologi Terhadap Peradaban Manusia
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas
menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu
pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan
yang kemudian. Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi

13

terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemologi,


terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang
dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan
orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat
penguasaannya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia.
Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya.
Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu
murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan
kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu suatu kesatuan yang
merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu dipandang dari keyakinan,
kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu
negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan
epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam,
sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan
epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam
merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada
teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak
lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan
berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk
teknologi

yang

canggih

adalah

hasil

pemikiran-pemikiran

secara

epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang


bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus
disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya

14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan
yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara
terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan
atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa Segenap
proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques
Martain mengatakan, Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk
menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan
syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi
ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian
metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan
fakta secara integratif. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi
berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh
ilmu pengetahuan. Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi
terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas

15

dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di


pertanggungjawabkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta
[2] Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Posdakarya
[3] Achmadi, asmoro. 2012. Filsafat umum. PT. Raja grafindo persada, Jakarta.
Hal 118-119
[4] Hakim, M.A. dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M.Si. 2008. Filsafat Umum
Dari Metologi Sampai Teofilosofi. Pustaka Setia, Bandung. Hal 206
[5] Jujun S. Suriasumantri. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: PT. Pancaranintan Indahgraha
[6] http://barabbasayin.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-ruanglingkup.html (diakses tanggal 18 September 2016)
[7] http://ebookcollage.blogspot.com/2013/06/pengaruh-epistemologi.html
(diakses tanggal 18 September 2016)

16

Anda mungkin juga menyukai