Pancasila Ialah Sebagai Dasar Negara Yang Sering Disebut Dasar Falsafah Negara
Pancasila Ialah Sebagai Dasar Negara Yang Sering Disebut Dasar Falsafah Negara
Sumber hukum dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu sumber hukum formil dan
sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah bentuk hukum yang
menyebabkan hukum itu berlaku sebagai hukum positif dan diberi sanksi oleh
penguasa negara, misalanya undang-undang, traktat, yurisprodensi, pendapat para ahli
hukum terkenal (doktrin). Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang
menentukan isi suatu norma hukum.
Ada pula yang membedakan sumber hukum sebagai kenborn, yaitu sumber hukum
untuk mengetahui atau mengenal (kennen) sesuatu dan sumber hukum sebagai
welborn, yaitu sumber hukum yang sebenarnya. Mengenai sumber hukum juga
terdapat bermacam-macam anggapan. Ahli sejarah berbeda pandangannya tentang
sumber hukum dengan ahli sosiologi dan antropologi. Demikian pula ahli ekonomi
akan berbeda pendapatnya dengan ahli agama atau filsuf.
Menurut pandangan ahli sejarah, sumber hukum adala undang-undang atau dokumen
lain yang bernilai undang-undang. Bagi ahli sosiologi dan antropologi, sumber
hukmum justru adalah masyarakat seluruhnya. Sumber hukum menurut ahli ekonomi
adalah apa yang tampak di lapangan penghidupan ekonomi dan ini berbeda dengan
ahli agama yang menganggap sumber hukum tidak lain adalah kitab-kitab suci.
Pandangan tersebut ukuran yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu hukum
itu adil, mengapa orang mentaati hukum dan sebagainya.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah
masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu
dalam suatu kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah
kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup
kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus
mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan
perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat
hukum mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara rinci. Prinsip hukum
itu di Indonesia misalnya ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam perwakilan permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
b. Sumber dari Segala Sumber Hukum (Sumber Tertib Hukum)
Sumber tertib hukum, yang biasanya disebut sumber dari segala sumber hukum
(maha sumber hukum) adalah sumber hukum yang terakhir dan tertinggi. Sumber
tertib hukum inipun berbeda-beda, bergantung kepada masyarakat, bangsa, dan
negara masing-masing.
Bagi negara yang mengikuti paham negara teokrasi, yang menjadi sumber dari segala
sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun
dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Untuk negara yang mengikuti
paham negara kekuasaan (menurut teori Hobbes), yang dianggap sebagai sumber dari
segala sumber hukum adalah kekuasaan atas kekuatan. Jadi, kekuasaan negara yang
diutamakan.
Sumber dari segala sumber hukum Negara yang mengikuti paham kedaulatan rakyat
adalah kedaulatan rakyat (teori Kontrak Sosial dari Rousseau). Teori kedaulatan
rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat Negara Pancasila,
karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan
sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita berbeda
dengan teori Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan Jhon Locke (yang
berpengaruh ke arah demokrasi parlementer).
Menurut Hans Kelsen, dalam dua bukunya Allgemetre Straatslehre dan Reine
Rechtslehre, setiap norma hukum berlaku atas dasar kekuatan norma yang lebih tinggi
kedudukannya, demikian seterusnya. Walaupun demikian, dasar validitas itu pada
suatu saat harus berhenti, yakni pada satu norma yang paling tinggi, yang disebut
Grundnom atau Ursprungnorm.
Sebagai suatu norma, tentu perwujudan Grundnorm ini tidak dapat dilihat atau diraba
seperti halnya benda. Norma tersebut belum sesuatu yang nyata (Sein), tetapi masih
sesuatu yang ideal (sollen). Berlakunya norma itu dapat dirasakan sebagai kenyataan.
Kelsen juga menyatakan bahwa berlakunya hukum (Geltung des Rechts) sama halnya
dengan kekuasaan negara. Meskipun hal tersebut tidak konkert, namun tertib hukum
yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat.
Bagaimana halnya dengan negara kita mengenai tertib hukum yang tertinggi ini?
Tertib hukum yang tertinggi dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum itu,
berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat itu menurut sejarah pembentukan negara kita,
semula diwakili kepada suatu badan istimewa yang disebut Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Badan ini memiliki keistimewaan yaitu:
(1) Karena badan ini mewakili seluruh bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai
pembentuk negara Republik Indonesia;
(2) Karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, badan ini adalah badan yang
melahirkan atau membentuk negara Republik Indonesia.
(3) Karena badan seperti itu menurut teori hukum mempunyai wewenang menetapkan
dasar negara yang paling fundamental, yang disebut dasar falsafah negara atau norma
dasar hukum negara.
Jadi dasar negara kita, Pancasila telah disahkan oleh suatu badan yang memang
berwenang untuk itu. Dasar negara Pancasila itu dinyatakan secara tegas dalam
pokok-pokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945. dengan demikian, jelas pula bahwa
Pancasila itu yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara kita.
Apabila kita menggunakan teori Kelsen untuk menjelaskan pengertian Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum0, bukan berarti
pandangan Kelsen adalah penganut Positivisme Hukum dan dapat pula dimasukkan
ke dalam Neokantianisme. Dalam pandangan Positivisme Hukum, terutama Legisme,
hukum identik dengan undang-undang sehingga tiada hukum diluar undang-undang.
Disamping hukum yang tertulis dalam undang-undang masih terdapat hukum lain
yang tidak tertulis, seperti hukum adat. Harus diakui bahwa hukum adat dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk hukum tidak tertulis yang mencerminkan
kepribadian bangsa, mengandung nilai-nilai bangsa, dan lebih dalam lagi meminjam
istilah von Savigny memuat volksgetst Indonesia. Dengan demikian, apabila kita ingin
menemukan hukum yang dirasakan adil oleh bangsa Indonesia, hendaklah
memperhatikan juga hukum tidak tertulis itu, terutama asas-asasnya yang sesuai
dengan tujuan pembangunan nasional.
Kata memperhatikan mengandung unsur pertimbangan yang hati-hati, karena dapat
saja terjadi nilai-nilai dalam hukum adat itu ternyata tidak sesuai apabila diangkat ke
tingkat nasional, yang berarti berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia.
Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Sunaryati Hartono Sunario, karena
pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan, maka unsur-unsur hukum adat dan
hukum agama ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum
sistem hukum nasional, yang di akhir abad ke-20 ini diperkirakan tidak lagi hanya
akan terbagi-bagi dalam hukum tata negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum
acara dan hukum administrasi negara, tetapi yang akan mengenal jauh lebih banyak
bidang hukum lagi seperti hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum kesehatan dan
hukum komputer.
Dalam ketetPn MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, dinyatakan, Sumber tertib hukum suatu negara
atau yang biasa dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia, ialah cara mengenai
kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial,
perdamian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan
negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan.
Dalam kutipan diatas juga tertulis cita-cita hukum sebagai suatu terjemahan yang
kurang tepat dari kata rechtsidee, lebih tepat ditulis cita hukum saja. Ketetapan
ini menurut Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1978 masih berlaku sampai sekarang, walaupun diakui perlu dilakukan
penyempurnaan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan di padatkan oleh PPKI atas nama
rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dijelaskan bahwa Pembukaan UUD
1945 sebagai pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memuat Pancasila
sebagai dasar negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk
MPR hasil pemilihan umum
yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 berwenang menetapkan dan
mengubah undang-undang dasar, karena mengubah isi Pembukaan berarti
pembubaran negara.
c. Perwujudan Sumber dari Segala Sumber Hukum bagi Republik Indonesia
Perwujudan sumber dari segala sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
1) Proklamasi kemerdekaaan 17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
merupakan titik kulminasi dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
setelah selama berabad-abad dengan didorong oleh Amanat Penderitaan Rakyat
(Ampera) yang berjiwakan Pancasila. Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi tersebut,
maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Undang-undang Dasar
Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasannya. Kemudian atas dasar aturan Peralihan UUD 1945 itu, PPKI telah pula
memilih Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad
Hatta sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian Negara dan Hukum Nasional kita
lahir pada saat Declaratoin of Independence yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menetapkan tiga hal:
(1) pembubaran Konstituante;
(2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar
Sementara 1950; dan
(3) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit tersebut dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatsnoodrecht),
mengingatkan keadaan ketatanegaraan yang membudayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara.
3) Undang-Undang Dasar, Proklamasi, termasuk Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasannya
Pernah terjadi suatu polemik mengenai dua naskah UUD 1945 yang berbeda, yakni
antara naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15
Pebruari 1946 dan naskah yang dilampirkan pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
(Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959). Perlu ditegasakan disini bahwa apabila
disebutkan Undang-undang Dasar 1945, maka yang dimaksudkan seharusnya
adalah UUD 1945 sebagaimana naskahnya dimuat dalam Berita Republik Indonesia
tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946. dasar pertimbangannya adalah sebagai
berikut:
a) Setelah sekian tahun ditinggalkan, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan
Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut diumumkan dalam
Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Lembaran Negara
tersebut memuat pula lampiran naskah UUD 1945 yang isinya ternyata terdapat
banyak kesalahan cetak, sehingga sangat mengganggu pengertian. Lebih jauh lagi
naskah UUD 1945 dalam lampiran itu tidak sesuai dengan naskah yang memuat
dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946.
Tanggal 31 Maret 1966 disebut sebagai tonggak pelaksanaan orde Baru karena
dengan keluarnya Supersemar, maka bagi pemegang Supersemar, terbukanya jalan
untuk melaksanakan cita-cita Orde Baru, karena sumber utama dari segala kekacauan
adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), maka tindakan pertama dalam mewujudkan
cita-cita Orde Baru adalah membubarkan PKI dan organisasi massa di bawah
naungannya, serta mengamankan 15 orang menteri yang mempunyai indikasi terlibat
G-30 S/PKI.
Sidang MPRS IV tahun 1966 menerima dan memperkuat Supersemar ini dengan
mengangkatnya menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. hal ini berarti bahwa
semenjak itu kekuasaan pemegang Supersemar tidak lagi bersumber pada hukum tata
negara yang tidak tertulis, tetapi bersumberkan pada kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh MPR/MPRS (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
Dalam sidang V MPRS tahun 1968, MPRS memberikan penafsiran yang lebih luas
atau penjelasan resmi terhadap Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk lebih
disesuaikan dengan perkembangan Orde Baru, yang dituangkan dalam Ketetapan
MPRS No. XLIII/MPRS/1968. dengan penafsiran resmi tersebut, maka pengemban
Supersemar diberi wewenang untuk:
(1) mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah kembalinya G30S/PKI;
(2) mengambil tindakan-tindakan untuk membersihkan aparatur negara dari semua
bentuk penyelewengan-penyelewengan;
(3) mengamankan kebijaksanaan pengembalian pelaksanaan UUD 1945; dan
(4) memelihara persatuan bangsa dan tegaknya negara persatuan Republik Indonesia
atas landasan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam perkembangan berdasarkan Ketetapan MPR No X/MPR/1973, isi ketetapan
MPRS tahun 1968 diatas memuat kembali dan diperluas/ditambah dengan tiga
wewenang lain kepada Presiden/Mandataris MPR, yaitu:
(1) melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dan menyusun serta
melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN;
(2) membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila; dan
(3) melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada
kepentingan nasional.
d. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Satu hal yang erat kaitannya dengan pembahasan mengenai sumber dari segala
sumber hukum ini adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal ini
telah diatur pula dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Menurut ketetapan itu, tata urutan peraturan perundang-undangan (dalam Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 disebut peraturan perundangan) adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2) Ketetapan MPR.
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden.
6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: Peraturan Menteri; Instruksi
menteri dan lain-lain.
Menurut Stufentheorle dari Hans Kelsen, setiap norma itu mendasarkan validitasnya
dari norma lain yang lebih tinggi, Groundnorm tersebut harus diterima secara
aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih
lanjut).
Teori Kelsen ini sesungguhnya masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus
kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan
hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Teori
jenjang kelsen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Hans
Nawlasky dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtsnormen atau Die Lehre von
dem Stufenoufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih
bersifat khusus, karena ia sudah diterapkannya terhadap norma hukum sebagai
aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara.
Nawiasky memberi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu: (1)
Staatsfundam entalnorm (2) Staatsgrundgestze (3) Formelle Gesetze dan (4)
Verordnungen dan Autonome Satzungen. Ia sengaja menggunakan istilah
Staatsfundam entalnorm bukan Grundnom atau Staatsgrundnorm, untuk
menyebutkan norma yang tertinggi itu. Pertimbangannya, norma hukum dasar dari
suatu negara mungkin saja untuk diubah, sedangkan norma tertinggi Grundnom yang
pada hakikatnya tidak mudah diubah-ubah.
Jika Staatsfundam entalnorm adalah norma dasar negara, yakni sebagai norma
tertinggi, maka Staatsgrundgesetze merupakan aturan-aturan dasar/pokok negara.
Biasanya, aturan-aturan dasar negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen
negara disebut dengan undang-undang dasar atau Verfassung, dan apabila ditungkan
dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau Grundgesetze.
Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara membentuk peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengikat umum, sifatnya masih merupakan
aturan-aturan pokok dan belum mengundang suatu sanksi dan sifatnya masih umum.
Formelle Gesetze atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat
dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan pelaksanaan
(Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang buru pada sistem
undang-undang ini kita memperoleh suatu tata norma hukum yang mengikat
(verbinlich) secara nyata. Terakhir adalah Verordnungen dan Autonome Satzungen
atau peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom. Dalam hal ini
merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya delegasian atau atribusian. Hans
Nawlasky mengemukakan lebih lanjut bahwa apa yang disebut sebagai peraturan
perundang-undangan dalam suatu negara Formelle Gesetze dan semua peraturan
pelaksanaannya.
Hamis Attamimi dalam disertasinya dengan mengutip Nawlasky dan Carl Schmitt
menjelaskan bahwa isi Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara
(Staatverfassung), termasuk norma perubahannya. Hakikat hukum suatu
Staatsfundam entalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undangundang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang
dasar, sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau
consensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine
Gesammtenscheidung Uber Art und Form etner Politischen Einhet) yang disepakati
oleh suatu bangsa.
Staatsfundam entalnorm ini masih bersifat abstrak. Dibawahnya terdapat
Staasgrundgesetz yaitu dasar negara yang biasanya berupa undang-undang dasar
(Verfassung) atau konstitusi. Sifat aturan dalam undang-undang dasar tersebut masih