Anda di halaman 1dari 14

Pancasila ialah sebagai dasar negara yang sering disebut dasar falsafah negara

(philosophiche grondslag atau dasar filsafat negara) ideologi negara (staatsidee),


dari negara.
Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Dengan
tujuan, pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan suatu
negara.
Pengertian Pancasila Sebagai dasar negara yang dimaksud sesuai dengan bunyi
pembukaan pada UUD 1945 Alenia IV yang menyatakan
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undangundang dasar Negara Republik Indonesia yang membentuk dalam suatu susunan
negara Indonesia yang berkedaulatan rekyat dengan berdasarkan kepada
ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia Norma hukum pokok yang disebut pokok kaidah
fundamental dari negara itu dalam hukum mempunyai hakikat dan juga
kedudukan yang kuat, tetap, dan tidak berubah bagi negara yang terbentuk dengan
perkataan lain. Dengan jalan hukum tidak bisa diubah-ubah. Fungsi dari pancasila
Sebagai pokok kaidah yang fundamental. Hal yang paling penting sekali karena
UUD harus berasal dan berada dibawah pokok kaidah negara yang fundamental
itu.
Sebagai dasar Negara Pancasila yang digunakan untuk mengatur seluruh
tatanan kehidupan bangsa dan juga negara Indonesia, segala sesuatu yang
hubungannya dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang wajib atau harus berdasarkan Pancasila. Hal ini
artinya semua peraturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia harus
bersumberkan kepada Pancasila.
Maksud dari Pancasila Sebagai Dasar Negara yang artinya Pancasila dijadikan
sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintah Negara. Ketetapan
MPR NO. III/MPR/2000 menyatakan bahwa pancasila menurutnya yaitu "sebagai
hukum dasar Nasional"
Didalam kedudukannya sebagai dasar negara republik Indonesia Fungsi
pancasila adalah sebagai berikut ini
1. Cita-cita hukum bagi hukum dasar suatu Negara.

2. Sumber hukum Indonesia. Demikian Pancasila merupakan asas kerohanian


tertib hukum di Indonesia.
3. Geistlichenhinterground dari UUD atau Suasana kebatinan
4. Sumber semangat bagu Undang-Undang 1945, pelaksanaan pemerintahan,
penyelenggara Negara.
5. Norma yang wajib mengharuskan UUD mengandung isi yang diwajibkan
pemerintah dan lainnya penyelenggara Negara telah memegang teguh citacita moral rakyat yang luhur.

Sumber hukum dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu sumber hukum formil dan
sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah bentuk hukum yang
menyebabkan hukum itu berlaku sebagai hukum positif dan diberi sanksi oleh
penguasa negara, misalanya undang-undang, traktat, yurisprodensi, pendapat para ahli
hukum terkenal (doktrin). Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang
menentukan isi suatu norma hukum.
Ada pula yang membedakan sumber hukum sebagai kenborn, yaitu sumber hukum
untuk mengetahui atau mengenal (kennen) sesuatu dan sumber hukum sebagai
welborn, yaitu sumber hukum yang sebenarnya. Mengenai sumber hukum juga
terdapat bermacam-macam anggapan. Ahli sejarah berbeda pandangannya tentang
sumber hukum dengan ahli sosiologi dan antropologi. Demikian pula ahli ekonomi
akan berbeda pendapatnya dengan ahli agama atau filsuf.
Menurut pandangan ahli sejarah, sumber hukum adala undang-undang atau dokumen
lain yang bernilai undang-undang. Bagi ahli sosiologi dan antropologi, sumber
hukmum justru adalah masyarakat seluruhnya. Sumber hukum menurut ahli ekonomi
adalah apa yang tampak di lapangan penghidupan ekonomi dan ini berbeda dengan
ahli agama yang menganggap sumber hukum tidak lain adalah kitab-kitab suci.
Pandangan tersebut ukuran yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu hukum
itu adil, mengapa orang mentaati hukum dan sebagainya.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah
masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu
dalam suatu kehidupan bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah
kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup
kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus
mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan
perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat

menciptakan suasana damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan


masyarakat.
Aliran Positivisme Hukum, khususnya Legisme, menganggap bahwa undang-undang
adalah satu-satunya sumber hukum, karena hukum disamakan dengan undangundang. Jadi hanya ada sumber hukum formil saja. Apa yang dirasakan adil dan
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tidak atau belum semuanya diserap
dalam undang-undang yang telah ada, sering dijumpai undang-undang yang
mencerminkan rasa kaedilan masyarakat.
Berhubung dengan itu, disamping hukum yang berwujud undang-undang (formil)
masih diperlukan sumber hukum yaitu sumber hukum materiil. Bahkan dibutuhkan
sumebr dari segala sumber hukum sebagai alat penilai, ukuran, atau batu ujian
terhadap hukum yang berlaku itu benar-benar sesuai dengan rasa keadilan serta dapat
menciptakan suasana damai dan ketertiban dalam masyarakat.
1. Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi
ketentuan hukum yang berlaku umum. Sumber hukum formil itu adalah proses yang
membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Dengan
kata lain sumber hukum formal adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi
ketentuan hukum positif (Positiveringsporces). Proses ini ada dua, yakni perundangundangan (legislation) dan kebiasaan.
Perundang-undangan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan
hukum yang berlaku umum yang dilakukan melalui prosedur yang ditentukan.
Termasuk perundang-undangan ini, dalam hukum nasional Indoensia misalnya
pembentukan Undang-undang, penetapan Peraturan Pemerintah dan penetapan
Peraturan Daerah.
Kebiasaan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum
yang berlaku umum yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku bagi perundangundangan, yakni ditetapkan bukan oleh penguasa masyarakat yang berwenang atau
ditetapkan oleh penguasa masyarakat yang berwenang tetapi tidak dilakukan melalui
prosedur yang ditentukan. Proses ini tidak dilakukan melalui prosedur yang
ditentukan. Proses ini biasanya harus disertai dengan pengulangan dan penerimaan
umum ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. Dibandingkan dengan perundangundangan, kebiasaan lebih sukar diketahui awal dan akhir prosesnya.
Dalam kepustakaan sering dicampur-adukan pengertian sumber hukum sebagai
proses, yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum
dengan pengertian ketentuan hukum yang merupakan produk dari proses tersebut.
Pencampur-adukan ini terjadi dalam kepustakan hukum nasional Indonesia dan
kepustakaan hukum Internasional.
2. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil ialah faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang
berlaku. Sumber hukum materiil itu ialah prinsip-prinsip yang menentukan isi
ketentuan hukum yang berlaku.
Diantara prinsip-prinsip yang diterima umum dalam masyarakat itu terdapat prinsipprinsip hukum. Prinsip hukum ini tidak berbeda menurut hakikatnya dengan
ketentuan hukum. Prinsip hukum dan ketentuan hukum sama-sama merupakan
ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara umum,
sedangkan ketentuan

hukum mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara rinci. Prinsip hukum
itu di Indonesia misalnya ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam perwakilan permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
b. Sumber dari Segala Sumber Hukum (Sumber Tertib Hukum)
Sumber tertib hukum, yang biasanya disebut sumber dari segala sumber hukum
(maha sumber hukum) adalah sumber hukum yang terakhir dan tertinggi. Sumber
tertib hukum inipun berbeda-beda, bergantung kepada masyarakat, bangsa, dan
negara masing-masing.
Bagi negara yang mengikuti paham negara teokrasi, yang menjadi sumber dari segala
sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun
dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Untuk negara yang mengikuti
paham negara kekuasaan (menurut teori Hobbes), yang dianggap sebagai sumber dari
segala sumber hukum adalah kekuasaan atas kekuatan. Jadi, kekuasaan negara yang
diutamakan.
Sumber dari segala sumber hukum Negara yang mengikuti paham kedaulatan rakyat
adalah kedaulatan rakyat (teori Kontrak Sosial dari Rousseau). Teori kedaulatan
rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat Negara Pancasila,
karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan
sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita berbeda
dengan teori Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan Jhon Locke (yang
berpengaruh ke arah demokrasi parlementer).
Menurut Hans Kelsen, dalam dua bukunya Allgemetre Straatslehre dan Reine
Rechtslehre, setiap norma hukum berlaku atas dasar kekuatan norma yang lebih tinggi
kedudukannya, demikian seterusnya. Walaupun demikian, dasar validitas itu pada
suatu saat harus berhenti, yakni pada satu norma yang paling tinggi, yang disebut
Grundnom atau Ursprungnorm.
Sebagai suatu norma, tentu perwujudan Grundnorm ini tidak dapat dilihat atau diraba
seperti halnya benda. Norma tersebut belum sesuatu yang nyata (Sein), tetapi masih
sesuatu yang ideal (sollen). Berlakunya norma itu dapat dirasakan sebagai kenyataan.
Kelsen juga menyatakan bahwa berlakunya hukum (Geltung des Rechts) sama halnya
dengan kekuasaan negara. Meskipun hal tersebut tidak konkert, namun tertib hukum
yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat.
Bagaimana halnya dengan negara kita mengenai tertib hukum yang tertinggi ini?
Tertib hukum yang tertinggi dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum itu,
berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat itu menurut sejarah pembentukan negara kita,
semula diwakili kepada suatu badan istimewa yang disebut Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Badan ini memiliki keistimewaan yaitu:
(1) Karena badan ini mewakili seluruh bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai
pembentuk negara Republik Indonesia;
(2) Karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, badan ini adalah badan yang
melahirkan atau membentuk negara Republik Indonesia.
(3) Karena badan seperti itu menurut teori hukum mempunyai wewenang menetapkan
dasar negara yang paling fundamental, yang disebut dasar falsafah negara atau norma
dasar hukum negara.

Jadi dasar negara kita, Pancasila telah disahkan oleh suatu badan yang memang
berwenang untuk itu. Dasar negara Pancasila itu dinyatakan secara tegas dalam
pokok-pokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945. dengan demikian, jelas pula bahwa
Pancasila itu yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara kita.
Apabila kita menggunakan teori Kelsen untuk menjelaskan pengertian Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum0, bukan berarti
pandangan Kelsen adalah penganut Positivisme Hukum dan dapat pula dimasukkan
ke dalam Neokantianisme. Dalam pandangan Positivisme Hukum, terutama Legisme,
hukum identik dengan undang-undang sehingga tiada hukum diluar undang-undang.
Disamping hukum yang tertulis dalam undang-undang masih terdapat hukum lain
yang tidak tertulis, seperti hukum adat. Harus diakui bahwa hukum adat dapat
dikatakan sebagai salah satu bentuk hukum tidak tertulis yang mencerminkan
kepribadian bangsa, mengandung nilai-nilai bangsa, dan lebih dalam lagi meminjam
istilah von Savigny memuat volksgetst Indonesia. Dengan demikian, apabila kita ingin
menemukan hukum yang dirasakan adil oleh bangsa Indonesia, hendaklah
memperhatikan juga hukum tidak tertulis itu, terutama asas-asasnya yang sesuai
dengan tujuan pembangunan nasional.
Kata memperhatikan mengandung unsur pertimbangan yang hati-hati, karena dapat
saja terjadi nilai-nilai dalam hukum adat itu ternyata tidak sesuai apabila diangkat ke
tingkat nasional, yang berarti berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia.
Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Sunaryati Hartono Sunario, karena
pluralisme hukum tidak lagi ingin dipertahankan, maka unsur-unsur hukum adat dan
hukum agama ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum
sistem hukum nasional, yang di akhir abad ke-20 ini diperkirakan tidak lagi hanya
akan terbagi-bagi dalam hukum tata negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum
acara dan hukum administrasi negara, tetapi yang akan mengenal jauh lebih banyak
bidang hukum lagi seperti hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum kesehatan dan
hukum komputer.
Dalam ketetPn MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, dinyatakan, Sumber tertib hukum suatu negara
atau yang biasa dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia, ialah cara mengenai
kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial,
perdamian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan
negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan.
Dalam kutipan diatas juga tertulis cita-cita hukum sebagai suatu terjemahan yang
kurang tepat dari kata rechtsidee, lebih tepat ditulis cita hukum saja. Ketetapan
ini menurut Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1978 masih berlaku sampai sekarang, walaupun diakui perlu dilakukan
penyempurnaan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan di padatkan oleh PPKI atas nama
rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dijelaskan bahwa Pembukaan UUD
1945 sebagai pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memuat Pancasila
sebagai dasar negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk
MPR hasil pemilihan umum

yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 berwenang menetapkan dan
mengubah undang-undang dasar, karena mengubah isi Pembukaan berarti
pembubaran negara.
c. Perwujudan Sumber dari Segala Sumber Hukum bagi Republik Indonesia
Perwujudan sumber dari segala sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
1) Proklamasi kemerdekaaan 17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
merupakan titik kulminasi dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
setelah selama berabad-abad dengan didorong oleh Amanat Penderitaan Rakyat
(Ampera) yang berjiwakan Pancasila. Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi tersebut,
maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Undang-undang Dasar
Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasannya. Kemudian atas dasar aturan Peralihan UUD 1945 itu, PPKI telah pula
memilih Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad
Hatta sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian Negara dan Hukum Nasional kita
lahir pada saat Declaratoin of Independence yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menetapkan tiga hal:
(1) pembubaran Konstituante;
(2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar
Sementara 1950; dan
(3) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit tersebut dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatsnoodrecht),
mengingatkan keadaan ketatanegaraan yang membudayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara.
3) Undang-Undang Dasar, Proklamasi, termasuk Pembukaan, Batang Tubuh dan
Penjelasannya
Pernah terjadi suatu polemik mengenai dua naskah UUD 1945 yang berbeda, yakni
antara naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15
Pebruari 1946 dan naskah yang dilampirkan pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
(Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959). Perlu ditegasakan disini bahwa apabila
disebutkan Undang-undang Dasar 1945, maka yang dimaksudkan seharusnya
adalah UUD 1945 sebagaimana naskahnya dimuat dalam Berita Republik Indonesia
tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946. dasar pertimbangannya adalah sebagai
berikut:
a) Setelah sekian tahun ditinggalkan, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan
Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut diumumkan dalam
Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Lembaran Negara
tersebut memuat pula lampiran naskah UUD 1945 yang isinya ternyata terdapat
banyak kesalahan cetak, sehingga sangat mengganggu pengertian. Lebih jauh lagi
naskah UUD 1945 dalam lampiran itu tidak sesuai dengan naskah yang memuat
dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946.

b) Dalam acara Pemandangan Umum Babak II Sidang konstituante RI tanggal 21 Mei


1959, Pemerintah RI telah memberikan keterangan yang mendukung alasan pertama
diatas. Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Djuanda memberikan keterangan
(sebagai jawaban pemerintah dalam rangka kembali ke UUD 1945), yang kutipan
lengkapnya adalah sebagai berikut: Saudara Ketua, Pemerintah perlu menegaskan
pertama-tama,bahwa menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai UndangUndang Dasar Republik Indonesia, pemerintah berpegang pada naskah yang dimuat
dalam Berita Republik Indonesia Tahun II no 7, tanggal 15 Pebruari 1946, yang harus
dipandang sebagai pemberitaan resmi oleh pemerintah.
c) Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak disebutkan adanya lampiran
naskah UUD 1945 yang telah diadakan perubahan. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa perbedaan naskah UUD 1945 pada lampiran itu semata-mata karena kesalahan
pengetikan, bukan sesuatu yang disengaja.
UUD 1945 terdiri atas Pembukaan (4 alenia), Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4
Pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasannya.
Pembukaan UUD 1945 adalah penuangan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, yakni jiwa Pancasila. Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan
yang terinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dari segala hukum yang
meliputi pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum, cita moral yang mengenai
kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial,
perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat, bentuk, dan tujuan
negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi
nurani manusia telah dimumikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila.
Pancasila yang menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diuraikan
terinci dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung nilai-nilai Pancasila,
selanjutnya dijabarkan dalam Pasal-Pasal dari Batang Tubuh UUD 1945.
4) Surat Perintah 11 Merat 1966
Inti pokok dari Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah perintah kepada
Letjen Soeharto Mentri/Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama
Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi (PBR) Soekarno, agar
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kestabilan jalanya pemerintahan dan revolusi, termasuk menjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Pangti ABRI/PBR Mandataris MPR,
demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan
dengan pasti segala ajaran PBR. Apabila kurangnya stabilitas ini tidak diatasi, maka
akan terjadi perpecahan bangsa dan negara dan adanya kesalahan dalam penerapan
ajaran-ajaran PBR.
Supersemar ini memberi legitimasi kepada Letjen Soeharto untuk mulai mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu agar pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 dapat berlangsung secara murni dan konsekuen.dalam sejarah telah
tercatat, bahwa Letjen Soeharto kemudian melakukan berbagai tindakan strategis,
seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama dengan organisasi
massa dibawah naungannya serta memberi laporan pertanggung jawaban pada
Presiden/PBR.

Tanggal 31 Maret 1966 disebut sebagai tonggak pelaksanaan orde Baru karena
dengan keluarnya Supersemar, maka bagi pemegang Supersemar, terbukanya jalan
untuk melaksanakan cita-cita Orde Baru, karena sumber utama dari segala kekacauan
adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), maka tindakan pertama dalam mewujudkan
cita-cita Orde Baru adalah membubarkan PKI dan organisasi massa di bawah
naungannya, serta mengamankan 15 orang menteri yang mempunyai indikasi terlibat
G-30 S/PKI.
Sidang MPRS IV tahun 1966 menerima dan memperkuat Supersemar ini dengan
mengangkatnya menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. hal ini berarti bahwa
semenjak itu kekuasaan pemegang Supersemar tidak lagi bersumber pada hukum tata
negara yang tidak tertulis, tetapi bersumberkan pada kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh MPR/MPRS (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
Dalam sidang V MPRS tahun 1968, MPRS memberikan penafsiran yang lebih luas
atau penjelasan resmi terhadap Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk lebih
disesuaikan dengan perkembangan Orde Baru, yang dituangkan dalam Ketetapan
MPRS No. XLIII/MPRS/1968. dengan penafsiran resmi tersebut, maka pengemban
Supersemar diberi wewenang untuk:
(1) mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah kembalinya G30S/PKI;
(2) mengambil tindakan-tindakan untuk membersihkan aparatur negara dari semua
bentuk penyelewengan-penyelewengan;
(3) mengamankan kebijaksanaan pengembalian pelaksanaan UUD 1945; dan
(4) memelihara persatuan bangsa dan tegaknya negara persatuan Republik Indonesia
atas landasan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam perkembangan berdasarkan Ketetapan MPR No X/MPR/1973, isi ketetapan
MPRS tahun 1968 diatas memuat kembali dan diperluas/ditambah dengan tiga
wewenang lain kepada Presiden/Mandataris MPR, yaitu:
(1) melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dan menyusun serta
melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN;
(2) membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila; dan
(3) melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada
kepentingan nasional.
d. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Satu hal yang erat kaitannya dengan pembahasan mengenai sumber dari segala
sumber hukum ini adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal ini
telah diatur pula dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Menurut ketetapan itu, tata urutan peraturan perundang-undangan (dalam Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 disebut peraturan perundangan) adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2) Ketetapan MPR.
3) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden.
6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: Peraturan Menteri; Instruksi
menteri dan lain-lain.

Menurut Stufentheorle dari Hans Kelsen, setiap norma itu mendasarkan validitasnya
dari norma lain yang lebih tinggi, Groundnorm tersebut harus diterima secara
aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih
lanjut).
Teori Kelsen ini sesungguhnya masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus
kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan
hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Teori
jenjang kelsen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Hans
Nawlasky dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtsnormen atau Die Lehre von
dem Stufenoufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih
bersifat khusus, karena ia sudah diterapkannya terhadap norma hukum sebagai
aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara.
Nawiasky memberi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu: (1)
Staatsfundam entalnorm (2) Staatsgrundgestze (3) Formelle Gesetze dan (4)
Verordnungen dan Autonome Satzungen. Ia sengaja menggunakan istilah
Staatsfundam entalnorm bukan Grundnom atau Staatsgrundnorm, untuk
menyebutkan norma yang tertinggi itu. Pertimbangannya, norma hukum dasar dari
suatu negara mungkin saja untuk diubah, sedangkan norma tertinggi Grundnom yang
pada hakikatnya tidak mudah diubah-ubah.
Jika Staatsfundam entalnorm adalah norma dasar negara, yakni sebagai norma
tertinggi, maka Staatsgrundgesetze merupakan aturan-aturan dasar/pokok negara.
Biasanya, aturan-aturan dasar negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen
negara disebut dengan undang-undang dasar atau Verfassung, dan apabila ditungkan
dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau Grundgesetze.
Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara membentuk peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengikat umum, sifatnya masih merupakan
aturan-aturan pokok dan belum mengundang suatu sanksi dan sifatnya masih umum.
Formelle Gesetze atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat
dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan pelaksanaan
(Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang buru pada sistem
undang-undang ini kita memperoleh suatu tata norma hukum yang mengikat
(verbinlich) secara nyata. Terakhir adalah Verordnungen dan Autonome Satzungen
atau peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom. Dalam hal ini
merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya delegasian atau atribusian. Hans
Nawlasky mengemukakan lebih lanjut bahwa apa yang disebut sebagai peraturan
perundang-undangan dalam suatu negara Formelle Gesetze dan semua peraturan
pelaksanaannya.
Hamis Attamimi dalam disertasinya dengan mengutip Nawlasky dan Carl Schmitt
menjelaskan bahwa isi Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar
bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara
(Staatverfassung), termasuk norma perubahannya. Hakikat hukum suatu
Staatsfundam entalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undangundang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang
dasar, sedangkan konstitusi, menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau
consensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine
Gesammtenscheidung Uber Art und Form etner Politischen Einhet) yang disepakati
oleh suatu bangsa.
Staatsfundam entalnorm ini masih bersifat abstrak. Dibawahnya terdapat
Staasgrundgesetz yaitu dasar negara yang biasanya berupa undang-undang dasar
(Verfassung) atau konstitusi. Sifat aturan dalam undang-undang dasar tersebut masih

abstrak, walaupun lebih konkret dibandingkan Staatsfundam entalnorm. Jenis norma


hukum yang lebih rendah lagi adalah Formelle Gesetze karena suatu dapat dilengkapi
ketentuan-ketentuan

mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggannya. Jenis terakhir adalah Verordnungen dan


Autonome Satzungen berupa peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi yang
bersifat konkret.
Menurut A. Hamid S. Attamimi, yang dapat disebut sebagai peraturan perundangundangan hanya undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang
sampai dengan Keputusan KDH tingkat II. UUD 1945 (Batang Tubuhnya) bukan
peraturan perundang-undangan karena ia dibentuk oleh badan yang membentuk
negara ini (PPKI). Demikian pula, hanya dengan Ketetapan MPR sebagai produk
hukum lembaga tertinggi negara, sehingga seharusnya keduanya dimasukkan sebagai
aturan dasar negara (staatsgrundgesetze menurt teori Nawiasky).
Menteri Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ini banyak mengandung kekurangan,
terutama jika ditinjau dari sudut ilmu perundang-undangan. Hal ini bukan tidak
disadari oleh MPR, mengingat dalam ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978, telah ada amanat untuk menyempurnakan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 itu.
Ada tujuh catatan yang dibeerikan oleh Maria Farida Indrarti yang pendapanya juga
sejalan dengan pemikiran A. Hamid S. Attamimi:
Pertama. Istilah tata urutan yang sebaiknya diganti dengan tata susunan. Istilah
pertama tidak mencerminkan suatu tingkatan atau jenjang (hirarki) dari peraturan
perundang-undangan yang mengandung fungsi, materi dan jenis yang berbeda.
Kedua. Istilah bentuk peraturan perundang-undangan sebaiknya diganti dengan
jenis. Kata bentuk lebih menunjuk pada ciri-ciri lahiriah, sedangkan jenis
berarti macam peraturanperundang-undangan tersebut.
Ketiga. Istilah perundangan seharusnya diganti dengan perundang-undangan,
mengingat kata dasarnya adalah undang-undang.
Keempat. Didalam ketetapan tersebut disebutkan Keputusan Presiden yang einmahlig
(berlaku sekali saja), sedangkan keputusan yang bersifat mengatur dan berlaku terus
menerus tidak disebut dalam ketetapan itu.
Kelima. Peraturan Menteri sebaiknya diganti dengan Keputusan Menteri.
Keenam. Instruksi Menteri tidak tepat dimasukkan ke dalam susunan peraturan
perundang-undangan karena instruksi bersifat konkret dan merupakan perintah dari
atsan kepada bawahan, padahal peraturan perundang-undangan itu bersifat umum.
Ketujuh. Perkataan dan lain-lain adalah tidak benar, karena dapat diartikan secara
luas.
Berdasarkan catatan di atas, maka susunan yang disarankan adalah:
1) Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat:
(a) Undang-undang/peraturan pemerintah undang-undang.
(b) Peraturan Pemerintah.
(c) Keputusan Presiden.
(d) Keputusan Kepala lembaga pemrintah non departemen.
(e) Keputusan Direktur Jenderal.
(f) Keputusan badan negara (yang otonomi).
2) Peraturan perundang-undangan tingkat daerah:
(a) Peraturan daerah tingkat I
(b) Keputusan Gubernur KDH I
(c) Peraturan daerah tingkat II
(d) Keputusan Bupati/Walikota KDH II

Undang-Undang dasar 1945 dan ketetapan MPR/MPRS tidak dimasukkan ke dalam


tata susunan peraturan perundang-undangan itu karena dalam Pembukaan UUD 1945
mengandung norma dasar negara (Staatsfundam entalnorm) dan Batang Tubuh UUD
1945 adalah aturan dasar negara (Staatsgrundgestze). Menggolongkan UUD 1945 ke
dalam peraturan perundang-undangan, menurut Attamimi, sama dengan
menempatkannya terlalu rendah. Padahal, Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945,
baik dalam rumusannya maupun dalam pokok-pokok pikirannya, adalah norma
hukum yang paling tinggi, sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 tidak dapat
dipersamakan dengan undang-undang formal biasa, karena selain lembaga
pembentukannya tidak sama, juga kedudukannya juga tidak sama.
Ketetapan-ketetapan MPR yang merupakan produk dari lembaga tertinggi negara
semestinya juga termasuk dalam aturan-aturan dasar negara (Staatsgrundgestze),
sehingga apabila Pembukaan UUD 1945 adalah norma dasar negara (Staatsfundam
entalnorm) dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR merupakan aturanaturan dasar negara, maka sebenarnya yang termasuk peraturan perundang-undangan
di Republik Indonesia adalah undang-undang ke bawah atau undang-undang dan
peraturan-peraturan pelaksanaannya yang bersifat delegasian atau atribusian.
Pertanyaan kita sekarang, bagaimana halnya dengan Grundnorm atau Staatsfundam
entalnorm di negar kita?
Kita sudah sepakat bahwa pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.
Rumusan pancasila ini dijumpai dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Dengan kata lain, jika mengikuti teori Nawiasky, Staatsfundam entalnorm indonesia
adalah pembukaan UUD 1945 karena didalamnya dimuat rumusan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum.
3. Pancasila sebagai Sumber dari Filsafat Hukum Indonesia
Segala sesuatu yang dibuat menuasia tentu ada tujuannya. Pancasila dibuat (dalam
arti digali) oleh Bangsa Indonesia juga ada tujuannya. Tujuannya adalah untuk
dipergunakan sebagai dasar negara. Jadi, dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki
fungsi utama sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Dilihat dari materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang
merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara Pancasaila
terbuat dari materi atau bahan dalam negeri yang merupakan asli murni dan
menjadi kebanggan bangsa. Dasar negara kita tidak diimpor dari luar, meskipun
mungkin saja mendapat pengaruh dari luar negeri.
Dilihat dari kedudukannya, Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi,
yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berarti kita
menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan
hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa
keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup Indonesia, yaitu Filsafat
Hukum pancasila, yang merupakan hasil kajian dan perenungan jiwa yang dalam dari
Bangsa Indonesia.
Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pembukaan UUD1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsipprinsip yang terkandung dalam Batang Tubuh UUD 1945 serta Penjelasannya.
Pancasila dengan demikian adalah identik dengan kebenaran dan keadilan bagi
bangsa Indonesia, sehingga tepat sekali jika Pancasila dijadikan sebagai sumber dari
segala sumber hukum.

Karena Pembukaan UUD 1945 merupakan Staatsfundam entalnorm, yang


mengandung pancasila itu, serta Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum, maka dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD1945 adalah filsafat hukum
Indonesia. Apabila Pembukaan UUD 1945 merupakan filsafat hukum Indonesia,
maka Batang Tubuh UUD 1945 adalah teori hukumnya. Dikatakan demikian karena
dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif
Indonesia. Teori hukum tersebut meletakkan dasar-dasar failsafati hukum positif kita.
Adapun penjelesan UUD 1945 kita memberikan latar belakang pikiran dan suasana
batin yang muncul pada saat UUD 1945 itu dibentuk.
Jadi penjabaran tentang filsafat hukum Indonesia itu ada dalam teori hukumnya.
Sesuai dengan bunyi kalimat kunci dalam Penjelasan UUD 1945: Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dalam
Pasal-pasalnya, maka dalam mengintepretasikan Pembukaan UUD 1945 (sebagai
filsafat hukum Indonesia), tidak dapat dilakukan langsung begitu saja, melainkan
harus melalui pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945
(sebagai teori hukumnya), kemudian masuk dalam pasal-pasal setelah perubahan
UUD 1945 I s/d IV (1999-2002) yang masihperlu penyempurnaan bagi melalui
Perubahan ke IV sebelum tahun 2009.
Apabila filsafat hukum mengadakan penilaian tehadap hukum (apakah hukum yang
ada itu sudah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan), maka
bagi bangsa Indonesia, yang dipergunakan sebagai ukuran, alat penilai atau batu
ujiannya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang identik
dengan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. ini pedoman bagi
Mahkamah Konstitusi R.I.
Fungsi hukum nasional kita adalah pengayoman sebagaiamana pernah diintroduksi
oleh saharjo pada tahun 1963. hukum dengan aturan-aturannya yang terutama
bersumber pada rasa keadilan agar dapat melindungi:
(1) segenap bangsa Indonesia;
(2) seluruh tumpah dara Indonesia;
(3) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia;
(4) masyarakat Indonesia dan individu-individunya,warganegaranya;
(5) jiwa, kebebasan individu, kehormatan, dan harta bendanya; dan
(6) terhadap usaha mencerdaskan bangsa agar pelaksanaan pembangunan
menyeluruh.
Pembangunan hukum Indonesia harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan
di segala bidang, sehingga tercapai pula ketertiban dan kepastian hukum yang
mengarah pada manfaat untuk meningkatkan pembinaan kesatuan bangsa NKRI.
Filsafat Hukum dan Filsafat Negara serta Ideologi Pancasila itu adalah pedoman
dasar bertindak atau perilaku sesuai dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia
yang berbeda dengan Volksgeist bangsa-bangsa lain.
Soedjono Dirdjosisworo menegaskan bahwa Filsafat Peradilan Pidana dan
perbandingan hukum merupakan sumber pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
Dalam disertai saya, ditegaskan bahwa hukum peradilan itu bersumber pada
Filsafat Peradilan yang merupakan bagian dari Filsafat Hukum Pancasila. Pada
bagian lain dikatakan Penjabaran Kekuasaan Kehakiman yang merdeka itu
bersumber pada Staatsidee (Filsafat Negara) dan Rechtsidee (Filsafat Hukum).

Anda mungkin juga menyukai