Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
eksplisit bahwa pelayanan kesehatan adalah jasa. Kedua, prinsip yang mendasari pola
hubungan horizontal kontraktual yang didasarkan pada hubungan interpersonal dan
kepercayaan itu apakah dikualifikasi sebagai jual beli antara produsen jasa pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit) dengan konsumen jasa pelayanan kesehatan (pasien).2
Terkait dengan hal tersebut di atas, yang menjadi persoalan adalah apakah
dengan demikian ketentuan hukum perdata mengenai perikatan serta merta dapat
diterapkan terhadap hubungan horizontal kontraktual yang terjadi antara dokter dan
pasien yang didasarkan pada hubungan interpersonal dan berdasarkan kepercayaan.
Dalam konteks global, ketentuan dalam pasal 1 paragraf 3 (b) General
Agreement on Trade in Services (GATS) tidak merinci apa yang dimaksudkan dengan
jasa atau service, tetapi dalam General Agreement in Tariffs on Trade (GATT) 1991
dapat ditemukan ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai daftar klasifikasi
sektor jasa (service sectoral classification list) yang menyebutkan secara rinci sektorsektor apa saja yang termasuk dalam bidang jasa. Dalam ketentuan tersebut antara lain
termasuk jasa-jasa terkait dengan kesehatan dan sosial (health related and social
services). Dari dokumen GATT 1991 tersebut jelas bahwa kesehatan sebagai salah satu
sector jasa dalam prinsip yang mendasari pola hubungan horizontal-kontraktual antara
dokter dan pasien pada hakikatnya merupakan jual beli jasa antar penjual jasa
pelayanan kesehatan dengan pembeli jasa pelayanan kesehatan.
Dengan diakuinya pelayanan kesehatan sebagai suatu jasa menurut dokumen
GATT 1991 tersebut menunjukkan adanya kepastian bahwa pelayanan kesehatan
termasuk jasa yang dapat diperjualbelikan di lapangan bisnis. Paradigma baru yang
dihadapi saat ini dan di masa yang akan datang ialah bahwa profesi bidang kesehatan
merupakan salah satu sektor bisnis yang bertujuan mencari keuntungan. Dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization yang kemudian dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, kiranya terjawab sudah keraguan sementara pihak
Hermien Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Bandung, Citra Aditya Bakti,
hlm. 178
Tahun 1995. Tindakan disiplin yang dimaksud merupakan salah satu tindakan
administratif, yaitu berupa pencabutan izin praktik untuk jangka waktu tertentu atau
hukuman lainnya sesuai dengan besarnya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan.
Standar profesi yang harus dipatuhi dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga mutu atau kualitas
pelayanan kesehatan yang dihasilkan. Ini berarti bahwa proses dan prosedur
pengendalian mutu upaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sudah distandarisasi.
Apabila proses dan prosedur kegiatan pengadaan jasa pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit itu dikaitkan dengan wadah badan hukum yayasan bagi Rumah Sakit
swasta, maka wadah hukum yayasan itu idealnya bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak dimaksudkan untuk
mencari keuntungan (non-profit oriented; nirlaba) untuk kepentingan pribadi pendiri
dan/atau pengurus yayasan. Pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, menegaskan bahwa yayasan dapat mendirikan badan usaha. Badan usaha
yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk di antaranya yang berkaitan dengan
pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, dan lain-lain. Selanjutnya, apabila proses
kegiatan pengadaan jasa pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga profesional di
Rumah Sakit, yang dalam menjalankan tugas profesinya diikat oleh kode etik profesi
dan lafal sumpah (khususnya dokter), kiranya perlu dipikirkan apakah jasa yang berupa
pelayanan kesehatan dalam proses produksi kegiatan di Rumah Sakit itu dapat
diidentikkan dengan jasa dalam proses industri atau bisnis pada umumnya.
C. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha ini sudah diatur dalam pasal 19
sampai dengan pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Tanggung jawab pelaku usaha ini meliputi usaha periklanan (Pasal 20),
pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain (Pasal 24),
pelaku usaha yang memproduksi barang (Pasal 25), dan pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa (Pasal 26).
Dalam kaitan ini, maka fokus pembahasan dibatasi pada 2 (dua) pelaku usaha
saja, yaitu pelaku usaha periklanan yang diatur dalam Pasal 20 dan pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa yang diatur dalam Pasal 26.
Pasal 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan: Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi
dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Selanjutnya, pasal 26 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Supaya dapat dimengerti arti dan hakikat, serta fungsi tanggung jawab.
kepustakaan telah memberikan arti pada tanggung jawab itu sebagai "liability".
Kepustakaan telah menyebutkan bahwa kata "liability" dinyatakan sebagai semua hutang
dan kewajiban (all character of debts and obligations),3 yang harus dibayar atau
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau perjanjian.
Pengertian "liability" yang sangat luas itu, dan apabila dikaitkan dengan fungsi
Rumah Sakit sebagai pelaku usaha sebagai tempat bekerjanya Tenaga Kesehatan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, merupakan tanggung jawab khusus dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas profesinya.
Dengan demikian, secara teoritis yuridis Rumah Sakit terkait dengan fungsinya
dapat mencakup 3 (tiga) macam bentuk tanggung jawab (liability) yang fokusnya
ditujukan kepada perlindungan konsumen, yaitu:
(1) "vicarious liability";
(2) "strict liability";
(3) " insurance liability " atau juga dikenal sebagai "no fault liability".4
Vicarious Liability adalah penyimpangan dari norma yang membebankan
tanggung jawab secara perdata kepada orang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum (tort). Hubungan hukum yang dapat menyebabkan satu pihak bertanggung jawab
atas kesalahan pihak lain, misalnya orang tuang bertanggung jawab atas kesalahan
anaknya, tanggung jawab suami kepada istrinya, pemilik kendaraan kepada sopirnya,
3
Henry Cambell Black, 1990, Blacks Law Dictionary, ed. VI, St. Paul, Minnesota West
Publishing Co., hlm. 823
4
Ibid., hlm. 1404, hlm. 1275, dan hlm. 824
dan majikan kepada karyawannya. Dalam hal tertentu, manajemen Rumah Sakit selaku
majikan harus bertanggung jawab secara perdata atas kesalahan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan selaku karyawannya. Hal itu terjadi manakala perbuatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut atas perintah atau suruan dari pihak
manajemen Rumah Sakit.
Strict Liability (tanggung jawab mutlak) berarti unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam
pasal ini dijelaskan merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Hakim Agung pada Mahkamah Agung Takdir Rakhmadi mengatakan
selama ini belum ada kasus yang dibawa penggugat ke pengadilan. Oleh karena itu,
konsep strict liability belum pernah diterapkan di Indonesia.5 Sesuai dengan prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability), pihak Rumah Sakit selaku pelaku usaha yang
menjalankan jasa pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab secara mutlak kepada
pasien yang menjadi korban malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit, dimana pasien (korban) secara hukum tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan Rumah Sakit atau tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit yang bersangkutan.
Insurance Liability, artinya perusahaan asuransi bertanggung jawab untuk
memberikan proteksi (ganti kerugian) terhadap gugatan yang timbul akibat kerugian
atau kerusakan yang timbul dari perbuatan orang lain atau harta bendanya (insurance
that provides protection from claims arising from injuries or damage to other people or
property).6 Mengacu pada prinsip insurance liability, kerugian yang diderita oleh pasien
yang dirawat oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit menjadi tanggung jawab pihak
ketiga, yakni perusahan asuransi. Pengalihan tanggung jawab dari Rumah Sakit kepada
perusahan asuransi ini terjadi berdasarkan perjanjian asuransi yang berisi pengalihan
risiko atas kerugian yang dialami oleh pasien korban malpraktik yang dirawat di Rumah
Sakit tersebut. Terkait perjanjian asuransi ini, pihak asuransi selaku penanggung wajib
5
membayar ganti kerugian itu, karena ia telah menerima pembayaran premi dari pihak
Rumah Sakit. Dengan demikian, pada hakikatnya, insurance liability itu juga merupakan
tanggung jawab Rumah Sakit selaku tertanggung. Sedang, pasien adalah penerima
manfaat (beneficiary) dari perjanjian asuransi itu.
Dalam
membicarakan
permasalahan
"liability"
erat
kaitannya
dengan
pembicaraan mengenai "medical malpractice" yang berkaitan erat dengan Tenaga Medis
yang terdiri dari Dokter dan Dokter Gigi kepustakaan menyebutkannya sebagai
"professional misconduct" atau "unreasonable lack of skill". Sebetulnya penyebutan
tersebut tidak hanya berkaitan dengan dokter sebagai tenaga profesional, tetapi juga ahli
hukum ("lawyer") dan akuntan ("accountants").
Dalam mengkaji "medical malpractice" kita tidak dapat terlepas dari awal mula
konsep tersebut lahir dan berkembang, yaitu konsep pemikiran barat, khususnya Anglo
Amerika yang dengan jelas menyebutkan sebagai "medical malpractice" karena
dikembangkan dari sistem hukum "tort" yang hanya dikenal dalam sistem peradilan
"jury" ('jury system"). Sistem peradilan ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut
sistem hukum kodifikasi yang berasal dari Belanda. Di samping itu, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak menggunakan istilah "malpraktek
pidana" dan "malpraktek perdata", tetapi menyebutkan sebagai kesalahan dan/atau
kelalaian.7
Rumah Sakit sebagai organ yang semula didirikan berdasarkan tujuan sosial,
kemanusiaan atau keagamaan itu dalam sejarah pertumbuhannya telah mengalami
perkembangan, sehingga Rumah Sakit berfungsi untuk mempertemu-kan 2 (dua) tugas
yang prinsipiil yang membedakan dengan organ lain yang memproduksi jasa. Rumah
Sakit merupakan organ yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik
medik karena merupakan tempat bekerjanya para profesional penyandang lafal sumpah
medik yang diikat oleh dalil-dalil Hippocrates dalam melakukan tugasnya. Di samping
itu, segi hukum sebagai dasar bagi wadah Rumah Sakit sebagai organ yang bergerak
dalam hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat yang diikat oleh norma hukum
dan norma etik masyarakat. Kedua norma tersebut berbeda, baik dalam pembentukannya
7
Kampachi Yoshika, 1982, Oriental Medical Ethics from the Standpoint of life Science,
Shinseri Hospital, Osaka, Jepang, hlm. 89
9
Penjelasan pasal 2 KODERSI 2001
10
Pasal 3 KODERSI 2001 berikut Penjelasannya.
10
yang isinya merupakan milik pasien dan bersifat konfidensial, sedangkan rekaman
catatannya menjadi milik Rumah Sakit yang disimpan di bagian Rekam Medik Rumah
Sakit.
Bila apa yang telah diuraikan tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka undang-undang tersebut belum
mengatur mengenai jasa pelayanan kesehatan dan Rumah Sakit. Yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah pelaku
usaha periklanan (Pasal 20), pelaku usaha importir (Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)),
pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa (Pasal 24 ayat (1) a dan b dan ayat (2)),
pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan (Pasal 25
ayat (1) dan ayat (2) a, b)), pelaku usaha yang memperdagangkan jasa (Pasal 26), dan
pelaku usaha yang memproduksi barang (Pasal 27 a, b, c, d, dan e).
Dengan mengacu pada ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen jasa pelayanan kesehatan tidak identik
dengan konsumen jasa produsen (industri). Oleh karena kedudukan Rumah Sakit sebagai
pengelola jasa pelayanan kesehatan juga tidak dapat disamakan dengan perusahaan yang
memproduksi atau memperdagangkan jasa di bidang pelayanan kesehatan tidak
boleh semata-mata (murni) bertujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented).
Mengingat dalam melaksanakan fungsinya sebagai tempat atau sarana pelayanan
kesehatan, Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, idealnya bertujuan untuk
kepentingan sosial kemanusiaan yang bersifat amal pengabdian (charity; filantropis).
Dalam hal upaya pelayanan kesehatan, tanggung jawab Rumah Sakit tidak bisa
dilepaskan dengan tanggung jawab dokter sebagai penanggung jawab langsung dari
tindakan medis yang dilakukannya atau yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung
jawab yang dibebankan kepada seorang dokter yang melakukan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit, selain mencakup tanggung jawab etis, juga tanggung jawab profesi dan
tanggung jawab hukum.
Terkait dengan tanggung jawab Rumah Sakit yang menjadi tempat tindakan
medis itu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, umumnya lebih banyak bertumpu pada
11
12
Dari sudut hukum perdata harus dilihat apakah dokter itu telah melaksanakan pelayanan
kesehatan atau tindakan medis dengan baik serta telah melaksanakan standar profesi
sebagaimana mestinya? Sedangkan dari sudut hukum pidana harus dilihat apakah
seorang dokter itu telah melakukan kesengajaan dan atau kelalaian dalam melaksanakan
tugasnya, sehingga menimbulkan kerugian bagi orang yang dirawatnya, dan perbuatan
itu telah diatur terlebih dahulu dalam hukum pidana. Jadi, secara yuridis kesalahan yang
dilakukan oleh seorang dokter mempunyai implikasi yang luas dan bersifat
multidisipliner.
Dalam pelayanan kesehatan, masalah etika profesi telah lama diusahakan agar
benar-benar dapat berkembang dan melekat pada setiap sikap dan tindakan seorang
dokter. Hal ini karena kode etik dalam kehidupan hukum sangat memegang peranan,
dalam banyak hal yang berhubungan dengan hukum kesehatan menunjukkan bahwa
kode etik memberi makna yang positif bagi perkembangan hukum, misalnya mengenai
tindakan seorang dokter mengeluarkan "Surat Keterangan Dokter" untuk kepentingan
persidangan. Surat keterangan dokter dalam proses pemeriksaan perkara, yang isinya
menyatakan bahwa terdakwa sakit, ternyata oleh hukum diterima sebagai suatu
kenyataan bahwa perkara tersebut harus ditunda pemeriksaannya. Begitu juga dengan
"visum dokter" oleh hukum diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Ukuran yang
digunakan hakim untuk menerima surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa
terdakwa sakit, atau "visum dokter" yang menerangkan tentang keadaan korban,
penilaiannya oleh hakim hanya disandarkan pada anggapan, bahwa dokter akan
mengeluarkan surat keterangan atau visum tersebut adalah berdasarkan pada kode
etiknya. Kemudian iktikad baik sebagai seorang profesional dibuktikan oleh dokter
dengan kewajiban menaati kaidah-kaidah yang termuat dalam kode etiknya. Kerangka
pemikiran yang demikian membawa keadaan pada suatu kenyataan bahwa hukum dalam
perkembangannya juga mendapat pengaruh dari kode etik.
D. Kesimpulan
Rumah Sakit sebagai badan hukum yang menjalankan fungsinya sebagai pelaku
usaha di bidang jasa pelayanan kesehatan, secara teoritis yuridis dapat dikenai 3 (tiga)
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Cambell, 1990, Blacks Law Dictionary, ed. VI, St. Paul, Minnesota West
Publishing Co.
Hermien Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Bandung, Citra
Aditya Bakti
Kampachi Yoshika, 1982, Oriental Medical Ethics from the Standpoint of life
Science, Shinseri Hospital, Osaka, Jepang
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d089548aabe8/konsep-dan-praktik-strictliability-di-indonesia. Diakses 6 Pebruari 2015
http://www.artikata.com/arti-106721-liability%20insurance.html. Diakses 6 Pebruari
2015
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement Establishing the
World Trade Organization
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
15
16
17
18