Anda di halaman 1dari 18

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT

SEBAGAI PRODUSEN JASA PELAYANAN KESEHATAN


Abdul Rokhim1
(Dipublikasikan dalam JurnalNegara dan Keadilan, Program Pascasarjana Unisma
Malang, ISSN: 2302-7010, Vol. 5 No. 8, Pebruari 2016, h. 58-67)
Abstract
Hospitals, as legal entities functioning as entrepreneurs in the field of healthcare
services, theoretically legally be subjected to three forms of responsibility, namely: (1)
Management of the Hospital as employers should be held responsible civilly for errors
made by the health workers as employees if the actions undertaken by the health
workers on the orders of the management of the Hospital; (2) Hospitals as businesses
that run the health service is responsible to the patient, in case of malpractice committed
by health personnel assigned by the Hospital; and (3) The loss suffered by the victims of
malpractice patients who were treated by medical personnel at the hospital is the
responsibility of the Hospital who cared for him, unless the hospital has insured patients
to the insurance company.
Keywords: Responsibilities; Hospital; Manufacturers; Health Services
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan Rumah Sakit sebagai tempat praktik pelayanan medik
mengalami perjalanan yang panjang, demikian juga mengenai pengelolaan serta
persyaratan apa yang diperlukan untuk memberikan kepuasan bagi si sakit. Tujuan
semula dari Rumah Sakit mengalami pertumbuhan yang erat berkait dengan masalah
organisasi dan/atau kelembagaannya berikut sistem manajemen atau pengelolannya.
Khususnya yang erat berkait dengan perubahan paradigma dalam memasuki era
ekonomi global, maka manjadi masalah yang sangat mendasar sifatnya bila dikaitkan
dengan pengertian jasa sebagaimana yang dimaksudkan oleh Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Mengenai upaya jasa pelayanan kesehatan dari Rumah Sakit, menurut Hermien
Hadiati Koeswadji, kiranya perlu disimak dua hal penting yang sifatnya sangat prinsipil,
yaitu: Pertama, kata-kata jasa pelayanan kesehatan sudah menunjukkan secara
1

Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

eksplisit bahwa pelayanan kesehatan adalah jasa. Kedua, prinsip yang mendasari pola
hubungan horizontal kontraktual yang didasarkan pada hubungan interpersonal dan
kepercayaan itu apakah dikualifikasi sebagai jual beli antara produsen jasa pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit) dengan konsumen jasa pelayanan kesehatan (pasien).2
Terkait dengan hal tersebut di atas, yang menjadi persoalan adalah apakah
dengan demikian ketentuan hukum perdata mengenai perikatan serta merta dapat
diterapkan terhadap hubungan horizontal kontraktual yang terjadi antara dokter dan
pasien yang didasarkan pada hubungan interpersonal dan berdasarkan kepercayaan.
Dalam konteks global, ketentuan dalam pasal 1 paragraf 3 (b) General
Agreement on Trade in Services (GATS) tidak merinci apa yang dimaksudkan dengan
jasa atau service, tetapi dalam General Agreement in Tariffs on Trade (GATT) 1991
dapat ditemukan ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai daftar klasifikasi
sektor jasa (service sectoral classification list) yang menyebutkan secara rinci sektorsektor apa saja yang termasuk dalam bidang jasa. Dalam ketentuan tersebut antara lain
termasuk jasa-jasa terkait dengan kesehatan dan sosial (health related and social
services). Dari dokumen GATT 1991 tersebut jelas bahwa kesehatan sebagai salah satu
sector jasa dalam prinsip yang mendasari pola hubungan horizontal-kontraktual antara
dokter dan pasien pada hakikatnya merupakan jual beli jasa antar penjual jasa
pelayanan kesehatan dengan pembeli jasa pelayanan kesehatan.
Dengan diakuinya pelayanan kesehatan sebagai suatu jasa menurut dokumen
GATT 1991 tersebut menunjukkan adanya kepastian bahwa pelayanan kesehatan
termasuk jasa yang dapat diperjualbelikan di lapangan bisnis. Paradigma baru yang
dihadapi saat ini dan di masa yang akan datang ialah bahwa profesi bidang kesehatan
merupakan salah satu sektor bisnis yang bertujuan mencari keuntungan. Dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization yang kemudian dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, kiranya terjawab sudah keraguan sementara pihak

Hermien Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Bandung, Citra Aditya Bakti,

hlm. 178

akan kesiapan hukum di Indonesia dalam menyongsong globalisasi pelayanan


kesehatan.
Dalam kaitannya dengan Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan kegiatan
upaya pelayanan kesehatan oleh tenaga professional, Rumah Sakit sebagai sarana
kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya pelayanan kesehatan dasar atau kesehatan
rujukan, dan/atau upaya pelayanan kesehatan penunjang.
Pada prinsipnya upaya pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dari
upaya pelayanan kesehatan dasar sampai upaya rujukan yang lebih canggih. Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan
tersebut, oleh karena itu ia wajib merujuk pada sarana kesehatan rujukan yang lebih
mampu, seperti Rumah Sakit, dokter spesialis, dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud upaya pelayanan kesehatan penunjang adalah upaya yang diberikan oleh
sarana pelayanan kesehatan penunjang di antaranya adalah laboratorium dan apotek.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya melakukan
kegiatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mencakup semua kegiatan yang
mengubah in put (masukan) berupa pasien untuk diproses dengan memanfaatkan semua
perangkat keras yang terdiri dari sarana, prasarana dan peralatan, serta semua perangkat
lunak meliputi manajemen, pembiayaan dan sumber daya manusia (tenaga kesehatan)
dengan tujuan penderita (pasien) menjadi sembuh sebagai out put atau keluarannya.
Dengan catatan, semua kegiatan dan proses transformasi (penyembuhan) itu harus
dilakukan sesuai dengan prosedur atau standar profesi yang diatur dalam Undangundang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.
B. Standar Profesi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan
sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Bagi tenaga kesehatan yang
tidak mematuhi standar profesi dapat dikategorikan telah melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya, sehingga dapat dikenakan tindakan disiplin.
Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian ini ditentukan oleh Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (MSTK) sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 56

Tahun 1995. Tindakan disiplin yang dimaksud merupakan salah satu tindakan
administratif, yaitu berupa pencabutan izin praktik untuk jangka waktu tertentu atau
hukuman lainnya sesuai dengan besarnya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan.
Standar profesi yang harus dipatuhi dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga mutu atau kualitas
pelayanan kesehatan yang dihasilkan. Ini berarti bahwa proses dan prosedur
pengendalian mutu upaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sudah distandarisasi.
Apabila proses dan prosedur kegiatan pengadaan jasa pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit itu dikaitkan dengan wadah badan hukum yayasan bagi Rumah Sakit
swasta, maka wadah hukum yayasan itu idealnya bertujuan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak dimaksudkan untuk
mencari keuntungan (non-profit oriented; nirlaba) untuk kepentingan pribadi pendiri
dan/atau pengurus yayasan. Pasal 7 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan, menegaskan bahwa yayasan dapat mendirikan badan usaha. Badan usaha
yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk di antaranya yang berkaitan dengan
pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, dan lain-lain. Selanjutnya, apabila proses
kegiatan pengadaan jasa pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga profesional di
Rumah Sakit, yang dalam menjalankan tugas profesinya diikat oleh kode etik profesi
dan lafal sumpah (khususnya dokter), kiranya perlu dipikirkan apakah jasa yang berupa
pelayanan kesehatan dalam proses produksi kegiatan di Rumah Sakit itu dapat
diidentikkan dengan jasa dalam proses industri atau bisnis pada umumnya.
C. Tanggung Jawab Rumah Sakit
Mengenai tanggung jawab hukum pelaku usaha ini sudah diatur dalam pasal 19
sampai dengan pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Tanggung jawab pelaku usaha ini meliputi usaha periklanan (Pasal 20),
pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain (Pasal 24),
pelaku usaha yang memproduksi barang (Pasal 25), dan pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa (Pasal 26).
Dalam kaitan ini, maka fokus pembahasan dibatasi pada 2 (dua) pelaku usaha

saja, yaitu pelaku usaha periklanan yang diatur dalam Pasal 20 dan pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa yang diatur dalam Pasal 26.
Pasal 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan: Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi
dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Selanjutnya, pasal 26 Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Supaya dapat dimengerti arti dan hakikat, serta fungsi tanggung jawab.
kepustakaan telah memberikan arti pada tanggung jawab itu sebagai "liability".
Kepustakaan telah menyebutkan bahwa kata "liability" dinyatakan sebagai semua hutang
dan kewajiban (all character of debts and obligations),3 yang harus dibayar atau
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau perjanjian.
Pengertian "liability" yang sangat luas itu, dan apabila dikaitkan dengan fungsi
Rumah Sakit sebagai pelaku usaha sebagai tempat bekerjanya Tenaga Kesehatan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, merupakan tanggung jawab khusus dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas profesinya.
Dengan demikian, secara teoritis yuridis Rumah Sakit terkait dengan fungsinya
dapat mencakup 3 (tiga) macam bentuk tanggung jawab (liability) yang fokusnya
ditujukan kepada perlindungan konsumen, yaitu:
(1) "vicarious liability";
(2) "strict liability";
(3) " insurance liability " atau juga dikenal sebagai "no fault liability".4
Vicarious Liability adalah penyimpangan dari norma yang membebankan
tanggung jawab secara perdata kepada orang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum (tort). Hubungan hukum yang dapat menyebabkan satu pihak bertanggung jawab
atas kesalahan pihak lain, misalnya orang tuang bertanggung jawab atas kesalahan
anaknya, tanggung jawab suami kepada istrinya, pemilik kendaraan kepada sopirnya,
3

Henry Cambell Black, 1990, Blacks Law Dictionary, ed. VI, St. Paul, Minnesota West
Publishing Co., hlm. 823
4
Ibid., hlm. 1404, hlm. 1275, dan hlm. 824

dan majikan kepada karyawannya. Dalam hal tertentu, manajemen Rumah Sakit selaku
majikan harus bertanggung jawab secara perdata atas kesalahan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan selaku karyawannya. Hal itu terjadi manakala perbuatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut atas perintah atau suruan dari pihak
manajemen Rumah Sakit.
Strict Liability (tanggung jawab mutlak) berarti unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam
pasal ini dijelaskan merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Hakim Agung pada Mahkamah Agung Takdir Rakhmadi mengatakan
selama ini belum ada kasus yang dibawa penggugat ke pengadilan. Oleh karena itu,
konsep strict liability belum pernah diterapkan di Indonesia.5 Sesuai dengan prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability), pihak Rumah Sakit selaku pelaku usaha yang
menjalankan jasa pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab secara mutlak kepada
pasien yang menjadi korban malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit, dimana pasien (korban) secara hukum tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan Rumah Sakit atau tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit yang bersangkutan.
Insurance Liability, artinya perusahaan asuransi bertanggung jawab untuk
memberikan proteksi (ganti kerugian) terhadap gugatan yang timbul akibat kerugian
atau kerusakan yang timbul dari perbuatan orang lain atau harta bendanya (insurance
that provides protection from claims arising from injuries or damage to other people or
property).6 Mengacu pada prinsip insurance liability, kerugian yang diderita oleh pasien
yang dirawat oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit menjadi tanggung jawab pihak
ketiga, yakni perusahan asuransi. Pengalihan tanggung jawab dari Rumah Sakit kepada
perusahan asuransi ini terjadi berdasarkan perjanjian asuransi yang berisi pengalihan
risiko atas kerugian yang dialami oleh pasien korban malpraktik yang dirawat di Rumah
Sakit tersebut. Terkait perjanjian asuransi ini, pihak asuransi selaku penanggung wajib
5

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d089548aabe8/konsep-dan-praktik-strict-liabilitydi-indonesia. Diakses 6 Pebruari 2015


6
http://www.artikata.com/arti-106721-liability%20insurance.html. Diakses 6 Pebruari 2015

membayar ganti kerugian itu, karena ia telah menerima pembayaran premi dari pihak
Rumah Sakit. Dengan demikian, pada hakikatnya, insurance liability itu juga merupakan
tanggung jawab Rumah Sakit selaku tertanggung. Sedang, pasien adalah penerima
manfaat (beneficiary) dari perjanjian asuransi itu.
Dalam

membicarakan

permasalahan

"liability"

erat

kaitannya

dengan

pembicaraan mengenai "medical malpractice" yang berkaitan erat dengan Tenaga Medis
yang terdiri dari Dokter dan Dokter Gigi kepustakaan menyebutkannya sebagai
"professional misconduct" atau "unreasonable lack of skill". Sebetulnya penyebutan
tersebut tidak hanya berkaitan dengan dokter sebagai tenaga profesional, tetapi juga ahli
hukum ("lawyer") dan akuntan ("accountants").
Dalam mengkaji "medical malpractice" kita tidak dapat terlepas dari awal mula
konsep tersebut lahir dan berkembang, yaitu konsep pemikiran barat, khususnya Anglo
Amerika yang dengan jelas menyebutkan sebagai "medical malpractice" karena
dikembangkan dari sistem hukum "tort" yang hanya dikenal dalam sistem peradilan
"jury" ('jury system"). Sistem peradilan ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut
sistem hukum kodifikasi yang berasal dari Belanda. Di samping itu, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak menggunakan istilah "malpraktek
pidana" dan "malpraktek perdata", tetapi menyebutkan sebagai kesalahan dan/atau
kelalaian.7
Rumah Sakit sebagai organ yang semula didirikan berdasarkan tujuan sosial,
kemanusiaan atau keagamaan itu dalam sejarah pertumbuhannya telah mengalami
perkembangan, sehingga Rumah Sakit berfungsi untuk mempertemu-kan 2 (dua) tugas
yang prinsipiil yang membedakan dengan organ lain yang memproduksi jasa. Rumah
Sakit merupakan organ yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik
medik karena merupakan tempat bekerjanya para profesional penyandang lafal sumpah
medik yang diikat oleh dalil-dalil Hippocrates dalam melakukan tugasnya. Di samping
itu, segi hukum sebagai dasar bagi wadah Rumah Sakit sebagai organ yang bergerak
dalam hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat yang diikat oleh norma hukum
dan norma etik masyarakat. Kedua norma tersebut berbeda, baik dalam pembentukannya
7

Hermien Hadiati Koeswadji, 2002, Op. Cit., hlm. 188

maupun dalam pelaksanaannya apabila dilanggar.


Sehubungan dengan hal tersebut itulah, maka dalam Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia tahun 2001 (KODERSI 2001) ditegaskan bahwa Rumah Sakit sebagai sarana
pelayanan kesehatan merupakan unit sosio ekonomi yang harus mengutamakan tugas
kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya, dan bukan untuk mencari keuntungan
semata. Sebagai unit sosio ekonomi dengan demikian, Rumah Sakit harus memiliki
nilai-nilai dasar Rumah Sakit, yang oleh kepustakaan disebutkan, "... it is necessary for
a hospital to stipulate strict medical standards which must be observed by the hospital
staff as an ethical code and abide by its guiding principles of medical care".8 Artinya,
perlu bagi Rumah Sakit untuk menetapkan standar medis yang ketat yang harus
diperhatikan oleh staf Rumah Sakit sebagai kode etik dan mematuhi prinsip-prinsip
perawatan medis.
Dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) bahkan sudah ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab Rumah Sakit meliputi tanggung jawab
umum dan tanggung jawab khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, Rumah Sakit harus
senantiasa menyesuaikan kebijakan pelayanannya ("health care service policy") pada
harapan dan kebutuhan masyarakat setempat, dan yang akan tercermin dalam/melalui
strategic planning, baik jangka pendek, menengah maupun panjang.
Yang merupakan tanggung jawab umum Rumah Sakit adalah kewajiban
pimpinan Rumah Sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan,
peristiwa, kejadian dan keadaan di Rumah Sakit. Sedangkan tanggung jawab khusus
muncul jika ada anggapan bahwa Rumah Sakit telah melanggar kaidah-kaidah, balk
dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau disiplin.9
Akan sangat dirasakan perkembangan paradigma fungsi dan status Rumah Sakit
ini khususnya bagi Rumah Sakit pemerintah, karena Rumah Sakit harus mengutamakan
pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta tidak mendahulukan
urusan biaya.10 Pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan pada
8

Kampachi Yoshika, 1982, Oriental Medical Ethics from the Standpoint of life Science,
Shinseri Hospital, Osaka, Jepang, hlm. 89
9
Penjelasan pasal 2 KODERSI 2001
10
Pasal 3 KODERSI 2001 berikut Penjelasannya.

dasarnya merupakan penyelenggaraan pelayanan secara menyeluruh, yang satu dengan


yang lain terkait sedemikian rupa, sehingga terlaksana pelayanan Rumah Sakit yang
mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Setiap saat siap memberikan pelayanan;
2. Beranjak dari pendirian dan pandangan bahwa manusia adalah suatu kesatuan psikososio-somatik;
3. Memberi layanan kepada pasien selaku konsumen yang dewasa dan mengakui serta
menghormati sepenuhnya hak-haknya;
4. Menjamin diberikannya mutu pelayanan teknik medik yang menunjukkan
kemampuan dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai
tindakan pengawasan dan pengamanannya;
5. Menjamin terselenggaranya mutu pelayanan yang manusiawi dan dilakukan dengan
dedikasi tinggi serta penuh kehati-hatian:
6. Diselenggarakan sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi untuk kepentingan seluruh
rakyat yang pada hakikatnya merupakan sumber pembiayaan proses pelayanan
Rumah Sakit, dan oleh karena itu tidak diperkenankan mendahulukan dan
mengutamakan hal ihwal yang menyangkut biaya dari layanan. khususnya dalam
menghadapi kasus gawat darurat;
7. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka tugas penting Rumah Sakit ialah
membina iklim manajerial yang kondusif bagi pendidikan dan pelatihan kepribadian
karyawan. Hal inilah yang menandai corak dasar pelayanan Rumah Sakit sebagai satu
kesatuan, baik dalarn hubungan internal maupun eksternal. sebagai upaya Rumah Sakit
memproteksi kepentingan pasien khususnya dan khalayak ramai pada umumnya. Hal
tersebut disebabkan ciri Rumah Sakit modern selain padat karya juga padat modal.
bahkan padat teknologi, padat perubahan dan penyesuaian dengan unsur sumber daya
manusia.
Bila hal tersebut dikaitkan dengan Rumah Sakit dalam melakukan promosi
pemasaran, dengan demikian harus bersifat informatif, tidak komparatif, berpijak pada
dasar yang nyata, tidak berlebihan, dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.

Dalam upaya pelayanan kesehatan dan Rumah Sakit konsep pemasaran


(marketing) tampak lebih berkonotasi negatif, karena membangkitkan pemikiran ke arah
promosi periklanan dan penjualan ("sales"). Padahal, hakikat dan sari pati pemasaran
adalah komunikasi. lni berarti bahwa promosi sebagai sarana pemasaran Rumah Sakit
dapat dilakukan dan lebih merupakan penyuluhan yang bersifat informatif, edukatif,
preskriptif dan preparatif bagi masyarakat pada umumnya dan pasien khususnya.
Secara rinci yang dimaksud dengan informatif ialah memberikan pengetahuan
mengenai hal ihwal yang ada relevansinya dengan berbagai pelayanan dan program
Rumah Sakit yang efektif bagi pasien/konsumen. Mengenai hal ini khususnya informasi
unsur-unsur sistem kesehatan nasional yang merupakan sumber daya kesehatan yang
pada dasarnya dalam proses transformasi yang meliputi perangkat keras dan perangkat
lunak. Keunggulan dalam hal penyediaan perangkat keras saja tidak menjamin keluaran
yang berupa jasa pelayanan kesehatan yang bermutu, karena dibalik perangkat keras itu
dimanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dari perangkat lunak, yang khususnya
terdiri dari sumber daya manusia. Itu pun proses dan prosedur proses transformasi sudah
distandardisasi, sehingga harus dipatuhi dan bila tidak dapat merupakan pelanggaran
yang dalam tahap lanjut dapat berupa "medical malpractice".
Sedangkan yang dimaksud dengan edukatif bermaksud untuk memperluas
cakrawa!a masyarakat tentang herhagai fungsi clan proaram Rumah Sakit, bagaimana
proses pehyelenggaraan kegiatan upaya pelayanan kesehatan dilakukan yang mencakup
keberadaan perangkat keras dan perangkat lunak. Keberadaan perangkat keras yang
berlebihan dan tidak adanya perangkat lunak yang memadai, karena tidak/belum adanya
skill yang terampil untuk mengoperasikan perangkat keras yang canggih, tidak akan
membawa pada hasil yang berupa pelayanan kesehatan yang diharapkan.
Demikian juga harus bersifat preskriptif, yaitu dengan memberikan petunjukpetunjuk kepada masyarakat dan khususnya pasien mengenai peran pencari pelayanan
kesehatan dalam proses diagnosis dan terapi. Sedangkan preparatif bermaksud
membantu pasien dan/atau keluarga pasien dalam proses pengambilan keputusan
("decision making process") yang dituangkan melalui "information for consent" dan
"informed consent". Proses tersebut dituangkan dalam Rekam Medik ("medical record")

10

yang isinya merupakan milik pasien dan bersifat konfidensial, sedangkan rekaman
catatannya menjadi milik Rumah Sakit yang disimpan di bagian Rekam Medik Rumah
Sakit.
Bila apa yang telah diuraikan tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka undang-undang tersebut belum
mengatur mengenai jasa pelayanan kesehatan dan Rumah Sakit. Yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah pelaku
usaha periklanan (Pasal 20), pelaku usaha importir (Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)),
pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa (Pasal 24 ayat (1) a dan b dan ayat (2)),
pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan (Pasal 25
ayat (1) dan ayat (2) a, b)), pelaku usaha yang memperdagangkan jasa (Pasal 26), dan
pelaku usaha yang memproduksi barang (Pasal 27 a, b, c, d, dan e).
Dengan mengacu pada ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen jasa pelayanan kesehatan tidak identik
dengan konsumen jasa produsen (industri). Oleh karena kedudukan Rumah Sakit sebagai
pengelola jasa pelayanan kesehatan juga tidak dapat disamakan dengan perusahaan yang
memproduksi atau memperdagangkan jasa di bidang pelayanan kesehatan tidak
boleh semata-mata (murni) bertujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented).
Mengingat dalam melaksanakan fungsinya sebagai tempat atau sarana pelayanan
kesehatan, Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, idealnya bertujuan untuk
kepentingan sosial kemanusiaan yang bersifat amal pengabdian (charity; filantropis).
Dalam hal upaya pelayanan kesehatan, tanggung jawab Rumah Sakit tidak bisa
dilepaskan dengan tanggung jawab dokter sebagai penanggung jawab langsung dari
tindakan medis yang dilakukannya atau yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung
jawab yang dibebankan kepada seorang dokter yang melakukan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit, selain mencakup tanggung jawab etis, juga tanggung jawab profesi dan
tanggung jawab hukum.
Terkait dengan tanggung jawab Rumah Sakit yang menjadi tempat tindakan
medis itu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, umumnya lebih banyak bertumpu pada

11

tanggung jawab administrasi, khususnya menyangkut perizinan dan pengawasan dari


pihak manajemen Rumah Sakit terkait dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit yang bersangkutan. Sepanjang pihak
manajemen Rumah Sakit bekerja dan menjalankan fungsinya sesuai peraturan
perundang-undangan dan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), maka
kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, termasuk dokter, yang bekerja di
Rumah Sakit tersebut secara etik dan hukum menjadi tanggung jawab pribadi tenaga
kesehatan yang bersangkutan.
Untuk melihat sejauh mana tindakan seorang dokter, termasuk yang
melksanakan tugas pelayanan medis di Rumah Sakit, mempunyai implikasi dan
tanggung jawab yuridis jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan,
serta unsur-unsur apa saja yang dijadikan ukuran untuk menentukan ada tidaknya
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, tidak bisa terjawab dengan hanya
mengemukakan sejumlah perumusan tentang apa dan bagaimana terjadinya kesalahan.
Tetapi penilaian mengenai rumusan tersebut harus dilihat dari dua sisi, yaitu pertama
harus dinilai dari sudut etik dan baru kemudian dilihat dari sudut hukum.
Jika ditinjau dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di bidang tenaga
kesehatan berarti sudah disyaratkan adanya kecermatan yang tinggi, demikian juga
dengan berbagai ketentuan khusus yang berlaku bagi seorang dokter. Berarti dengan
tidak mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan. Di samping
itu, dalam melaksanakan tugasnya dokter harus senantiasa mengutamakan dan
mendahulukan kepentingan pasien, memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua
objek pelayanan kesehatan, serta berusaha menjadi pengabdi masyarakat yang baik.
Dilihat dari sudut hukum, kesalahan yang diperbuat oleh seorang dokter,
termasuk yang melakukan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, meliputi beberapa
aspek hukum, yaitu aspek hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi
negara. Ketiga aspek hukum ini saling berkaitan satu sama lain. Jadi, untuk dapat
menyatakan bahwa seorang dokter telah melakukan suatu kesalahan, penilaiannya harus
beranjak dari transaksi terapeutik, kemudian baru dilihat dari segi hukum administrasi,
apakah dokter yang bersangkutan mampu dan berwenang melaksanakan perawatan?

12

Dari sudut hukum perdata harus dilihat apakah dokter itu telah melaksanakan pelayanan
kesehatan atau tindakan medis dengan baik serta telah melaksanakan standar profesi
sebagaimana mestinya? Sedangkan dari sudut hukum pidana harus dilihat apakah
seorang dokter itu telah melakukan kesengajaan dan atau kelalaian dalam melaksanakan
tugasnya, sehingga menimbulkan kerugian bagi orang yang dirawatnya, dan perbuatan
itu telah diatur terlebih dahulu dalam hukum pidana. Jadi, secara yuridis kesalahan yang
dilakukan oleh seorang dokter mempunyai implikasi yang luas dan bersifat
multidisipliner.
Dalam pelayanan kesehatan, masalah etika profesi telah lama diusahakan agar
benar-benar dapat berkembang dan melekat pada setiap sikap dan tindakan seorang
dokter. Hal ini karena kode etik dalam kehidupan hukum sangat memegang peranan,
dalam banyak hal yang berhubungan dengan hukum kesehatan menunjukkan bahwa
kode etik memberi makna yang positif bagi perkembangan hukum, misalnya mengenai
tindakan seorang dokter mengeluarkan "Surat Keterangan Dokter" untuk kepentingan
persidangan. Surat keterangan dokter dalam proses pemeriksaan perkara, yang isinya
menyatakan bahwa terdakwa sakit, ternyata oleh hukum diterima sebagai suatu
kenyataan bahwa perkara tersebut harus ditunda pemeriksaannya. Begitu juga dengan
"visum dokter" oleh hukum diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Ukuran yang
digunakan hakim untuk menerima surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa
terdakwa sakit, atau "visum dokter" yang menerangkan tentang keadaan korban,
penilaiannya oleh hakim hanya disandarkan pada anggapan, bahwa dokter akan
mengeluarkan surat keterangan atau visum tersebut adalah berdasarkan pada kode
etiknya. Kemudian iktikad baik sebagai seorang profesional dibuktikan oleh dokter
dengan kewajiban menaati kaidah-kaidah yang termuat dalam kode etiknya. Kerangka
pemikiran yang demikian membawa keadaan pada suatu kenyataan bahwa hukum dalam
perkembangannya juga mendapat pengaruh dari kode etik.
D. Kesimpulan
Rumah Sakit sebagai badan hukum yang menjalankan fungsinya sebagai pelaku
usaha di bidang jasa pelayanan kesehatan, secara teoritis yuridis dapat dikenai 3 (tiga)

13

bentuk "liability" (tanggung jawab), yaitu:


(1) Sesuai dengan prinsip "vicarious liability", manajemen Rumah Sakit selaku majikan
harus bertanggung jawab secara perdata atas kesalahan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan selaku karyawannya, apabila perbuatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan tersebut atas perintah atau suruan dari pihak manajemen Rumah Sakit;
(2) Sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), pihak Rumah Sakit
selaku pelaku usaha yang menjalankan jasa pelayanan kesehatan bertanggung jawab
kepada pasien (korban malpraktik) yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit, dimana pasien (korban) secara hukum tidak dibebani
kewajiban untuk membuktikan kesalahan Rumah Sakit atau tenaga kesehatan yang
ditugaskan oleh Rumah Sakit;
(3) Mengacu pada prinsip tanggung jawab asuransi (insurance liability), kerugian yang
diderita oleh pasien korban malpraktik yang dirawat oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit menjadi tanggung jawab perusahan asuransi. Pengalihan tanggung
jawab dari Rumah Sakit kepada perusahan asuransi ini terjadi berdasarkan
perjanjian asuransi antara Rumah Sakit selaku tertanggung dengan perusahaan
asuransi selaku penanggung; sedangkan pasien dalam hal ini adalah penerima
manfaat (beneficiary) dari perjanjian asuransi, bukan sebagai pihak yang
bertanggung jawab.

14

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Cambell, 1990, Blacks Law Dictionary, ed. VI, St. Paul, Minnesota West
Publishing Co.
Hermien Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum untuk Perumahsakitan, Bandung, Citra
Aditya Bakti
Kampachi Yoshika, 1982, Oriental Medical Ethics from the Standpoint of life
Science, Shinseri Hospital, Osaka, Jepang
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d089548aabe8/konsep-dan-praktik-strictliability-di-indonesia. Diakses 6 Pebruari 2015
http://www.artikata.com/arti-106721-liability%20insurance.html. Diakses 6 Pebruari
2015
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement Establishing the
World Trade Organization
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

15

16

17

18

Anda mungkin juga menyukai