Anda di halaman 1dari 15

http://news.bisnis.

com/read/20140327/78/214603/pembangunan-jalan-lintasselatan-jateng-baru-26

Bisnis.com, SEMARANG--Pembangunan jaringan jalan lintas selatan (JLS) Jawa Tengah


sepanjang 212,25 kilometer mandek di level 26% lantaran keterbatasan anggaran pusat dan
daerah.
Selain itu akibat pembebasan lahan yang belum rampung, dan ketergantungan pada kucuran
kredit dari Islamic Development Bank.
Kepala Bidang Bina Teknik Dinas Bina Marga Jateng Hanung Triyono menuturkan JLS yang
telah dibangun baru sekitar 55 km atau 26% dari 212,25 km yang direncanakan dari Wonogiri
hingga Cilacap.
"Yang sudah terbangun itu 55 KM di Wonogiri-Purworejo, yang Kebumen dan Cilacap belum,"
ujarnya, Rabu (26/3/2014).
Sejak 2005, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berupaya melakukan penyediaan lahan
untuk proyek ini.
Namun, lahan yang telah siap untuk JLS segmen Kebumen baru 39,74 km dari kebutuhan 55,87
km sedangkan tanah untuk segmen Cilacap baru 18,15 km dari kebutuhan 101,98 km.
Untuk pembebasan tanah di Kebumen, Pemprov Jateng menyiapkan anggaran Rp18,5 miliar
pada tahun ini.

"Kita harap fisik segera digarap, nanti pembebasan jalan berjalan beriringan dengan progres
fisik," ungkapnya.
Proyek JLS Jateng, lanjutnya, membutuhkan pendanaan yang besar sehingga pemerintah pusat
yang berwenang dalam pembangunan fisik harus menggandeng lembaga keuangan internasional
IDC.
Adapun pembiayaan JLS segmen Cilacap akan ditarik dari pinjaman yang dikucurkan Asian
Development Bank.
"Kalau kredit bantuan dari luar negeri, regulasinya panjang. Saat ini sedang prakualifikasi, kalau
tidak ada hambatan pada Oktober akan dimulai konstruksi JLS Wonogiri-Kebumen," kata
Hanung.
Untuk itu, Pemprov Jateng akan mengusulkan agar pendanaan JLS segmen Kebumen senilai
Rp272 miliar diambilalih oleh pemerintah pusat melalui alokasi APBN.
"Kita usul bagaimana kalau di-handle APBN saja. Tapi mungkin tidak tahun ini karena belum
dianggarkan," ujarnya.

http://www.beritakebumen.info/2012/09/warga-ambal-ingin-jls-dibangun.html
Warga Ambal Ingin JLS Dibangun

Written By berita kebumen on 16 September 2012 | 16.23

AMBAL (www.beritakebumen.info) - Warga Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen


sudah cukup lama menanti realisasi pembangunan fisik Jalan Lintas Selatan (JLS).
Pasalnya, pembebasan lahan untuk JLS di Desa Sumberjati, Kaibon, Petangkuran,
Ambalresmi, Kenoyojayan, dan Entak, sudah dilakukan sejak tahun 2007.
Di Kecamatan Ambal, JLS yang memanfaatkan Jalan Diponegoro hanya berjarak
sekitar 800 meter dari pantai, dan sekitar 1 kilometer dari jalan utama yang ada
sekarang (Jalan Deandels).
Tanah yang telah diganti rugi, dipasang patok bertuliskan RMJ (Ruang Milik Jalan).
Namun karena tidak ada kejelasan kapan akan dimulai pembangunan fisiknya,
warga kemudian memanfaatkannya untuk lahan pertanian.
Irfangi (60) warga Desa Ambalresmi mengaku memperoleh ganti rugi Rp 25.000 per
meter untuk tanah warisan yang terkena proyek JLS. "Tanah kami yang terkena
proyek JLS, panjang 30 meter, lebar 8 meter," ujar Irfangi sambil istirahat setelah
menanam palawija di bekas tanahnya.
Kepala Desa Ambalresmi, Tino Anwar, sangat berharap JLS segera dibangun.
Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat akan meningkat karena peluang usaha
semakin terbuka.
"JLS juga akan membuka potensi desa, baik pertaniannya maupun pantai yang

potensial dikembangkan sebagai objek wisata," tegas Tino yang juga sebagai ketua
paguyuban 32 kepala desa di Kecamatan Ambal.
Karena potensi pertanian dan wisata pantai ada di sebelah selatan Jalan
Diponegoro, diharapkan dibangun jembatan penyeberangan di JLS untuk
memudahkan masyarakat menuju ladang maupun wisatawan yang hendak ke
pantai.
Desa Ambalresmi menjadi pusat kota Kecamatan Ambal yang berkembang pesat. Di
desa itu pula banyak dijumpai warung sate ambal yang sudah menjadi 'ikon' kuliner
di Kabupaten Kebumen. (Suk/krjogja)

http://selamatkanbumi.com/fasisme-kesurupan-pasir-besi/

Fasisme Kesurupan Pasir Besi

Relawan FKMA | On 14, Mar 2013


Kekerasan Negara Terhadap Petani : Studi Kasus Pesisir Selatan
Kebumen
Napak Tilas Negeri Kebumen

Sebelum dikenal secara luas dengan nama Kebumen, daerah ini disebut dengan
nama Kabumian. Kata tersebut konon berasal dari sebuah tempat bermukimnya
seorang pelarian dari Mataram yang bernama Pangeran Mangkubumi (Kyai Bumi)
disaat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Secara geografis, Kabupaten Kebumen
terletak pada 727-750 Lintang Selatan dan 10922-10950 Bujur Timur. Di
sebelah Timur, kabupaten Kebumen berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan
Wonosobo. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap.
Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan di bagian selatan
berbatasan dengan Samudera Indonesia (Wikipedia, 2010).
Secara administratif, Kabupaten Kebumen terdiri dari 26 kecamatan dengan luas
wilayah 128.110 Ha. Kabupaten yang berpenduduk 1.212.809 jiwa ini memiliki
karakter tofografi daerah pantai di bagian Selatan dan pegunungan di bagian Utara.
Daerah ini sebagian besarnya adalah dataran rendah. Dari luas keseluruhan wilayah
yang ada, 31,04 persennya dikategorikan sebagai lahan sawah dan pertanian yang
tersebar di wilayah dataran tinggi hingga dataran rendah. 1[1] Luas sisa 68.96
persen daerah tersebut dikategorikan sebagai lahan kering yang diperuntukkan
sebagai

areal

bangunan,

tegalan

dan

hutan

negara

(regionalinvestment.bkpm.go.id).
Pertanian Lahan Pantai Selatan Jawa Versus Urbanisasi
Dari 26 kecamatan yang tersebar di seluruh kabupaten Kebumen, 7 diantaranya
terletak di pesisir Selatan, yaitu Mirit, Ambal, Bulus Pesantren, Klirong, Petanahan,
Puring dan Ayah. Hampir dari keseluruhan penduduknya hidup dari pertanian lahan
pantai yang mulai berkembang sejak tahun 1980-an. Sistem pertanian tersebut
bermula dari ditemukannya sumber air tawar yang berlimpah di sepanjang pesisir
selatan Jawa yang berasal dari kandungan mineral berjenis Fe. Menurut Prof.
Supriyanto, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM (2011), kandungan mineral pasir
besi (Fe) yang terdapat di sepanjang pesisir Selatan Jawa mampu mengikat unsurunsur senyawa dari besi yang kemudian menghasilkan air tawar sebagai sumber
irigasi dan mampu mencegah terjadinya abrasi sekaligus menjadi penjaga
ekosistem dan salah satu faktor penentu keberlangsungan pertanian pesisir.
1

Seiring dengan kemajuan teknologi, sistem irigasi air tawar sumur renteng lahan
pantai yang pada awalnya dikelola dengan teknik sederhana berkembang menjadi
lebih modern sehingga mampu mendongkrak produktifitas pertanian dalam skala
lahan yang lebih luas. Di penghujung tahun 1990, pola pertanian ini selain
berdampak pada peningkatan ekonomi rumah tangga petani juga mampu
menurunkan angka urbanisasi di sekitar wilayah pesisir Kebumen.
Menurut Chusni Ansori Dkk (2011), Pantai Selatan Jawa secara umum memiliki
potensi kandungan mineral pasir besi yang melimpah. Dalam penelitiannya, Chusni
menyebutkan bahwa di pantai selatan Yogyakarta, khususnya di sekitar muara
sungai Progo memiliki cadangan 605 juta ton Pasir Besi (Fe) dengan luas area pantai
sepanjang 22 KM dan lebar 1.8 KM. Selanjutnya, di dalam peta sebaran pasir besi di
sebagian wilayah Kabupaten Purworejo dan Kebumen, ia menyimpulkan pasir besi
terdapat pada areal sepanjang 39,16 km serta lebar variasi 1,8 km di bagian timur
hingga 3,4 km di bagian barat. 2[2] Di sebelah Barat Kebumen, tepatnya di
kabupaten Cilacap bagian Selatan juga memiliki kandungan mineral pasir besi yang
melimpah,

namun

sayangnya

mineral

tersebut

bukan

digunakan

untuk

kemakmuran pertanian, melainkan untuk kepentingan industri pertambangan. Ini


terbukti dengan aktivitas penambangan pasir besi yang dilakukan oleh PT. Antam
Tbk di wilayah tersebut dengan kemampuan produksi 300.000 ton biji besi per
tahun dari sejak tahun 1971 hingga 2002.
Melimpahnya kandungan mineral pasir besi di pesisir selatan Jawa secara khusus
telah membentuk suatu pola dan karakter pertanian yang khusus. Mineral berjenis
Fe ini menjadi sumber utama ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian
lahan pantai. Berbeda dengan pola sistem pertanian tadah hujan dan ladang,
dimana sistem irigasinya kerap dihadapkan pada situasi rawan banjir ataupun
kekeringan akibat kerusakan-kerusakan lingkungan yang saat ini semakin buruk.
Berkembangnya sistem dan pola pertanian lahan pantai, kini tidak hanya mampu
memberikan penghidupan petani di 7 kecamatan pesisir selatan Kebumen, namun
juga telah mampu menghidupi lebih dari 2 juta petani lahan pantai di pesisir selatan
Jawa.

Krisis ketersediaan tanah produktif untuk pertanian di Pulau Jawa yang disebabkan
oleh kepadatan populasi penduduk, penguasaan tanah untuk Properti, Real Estate,
kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan hutan negara, kini terimbangi
dengan lahirnya bentuk pertanian baru dengan memanfaatkan lahan pesisir
pantai menjadi areal pertanian produktif.
Ancaman Mega Proyek Jaringan Jalan Lintas Selatan Jawa dan Kepentingan
Militer
Pasir besi merupakan salah satu jenis mineral yang tak terbaharui dengan
kegunaan yang cukup penting di dunia industri dan pertambangan. Bahan mentah
pasir besi dapat dimanfaatkan sebagai tambahan dalam industri semen dan industri
pembuatan baja (Chusni Anshori Dkk, 2011). Ribuan juta ton mineral ini tersebar di
seluruh pesisir selatan Jawa, pulau Sumatera bagian Barat, dan di beberapa wilayah
di Indonesia bagian Timur. Sebagian dari ribuan juta ton tersebut hampir
setengahnya berada di pulau Jawa bagian Selatan. Hal ini dipengaruhi secara
geografis oleh keberadaan gunung-gunung api aktif. Dalam penelitian Distribusi
Mineralogi Pasir Besi Pada Jalur Pantai Selatan Kebumen-Kutoarjo yang dilakukan
oleh

Chusni

keberadaan

Ansori,
sungai

Sudarsono
besar

yang

dan

Saefudin

berhulu

pada

(2011),
batuan

mengatakan
produk

bahwa

gunung

api,

memungkinkan keberadaan endapan residual pasir besi di bagian hilirnya.


Selanjutnya Ia juga juga mengatakan sumber pasir besi di pantai selatan
Yogyakarta dipengaruhi oleh keberadaan DAS Progo yang berhulu di Merapi, begitu
juga keberadaan potensi pasir besi di muara sungai Bogowonto dan Wawar
diperkirakan berkaitan dengan produk gunung api, dan dengan sifat dan
karakteristik

tertentu

yang

terkandung

di

dalamnya,

kemungkinan

berpengaruh terhadap kelimpahan titanium di dalam endapan pasir besi.

akan

Meningkatnya kebutuhan industri baja di negara-negara dunia pertama serta


lahirnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti China yang juga membutuhkan
mineral pasir besi memaksa petani harus berhadap-dhadapan dengan korporasi
pertambangan. Selama lebih dari 2 dekade, industri pertambangan pasir besi
dipesisir selatan Jawa semakin meluas, baik yang beroperasi lewat korporasi swasta
ataupun milik negara (BUMN). Mulai dari Banyuwangi, Lumajang, Blitar (Jawa
Timur), Kulon Progo, Purworejo, Kebumen, Cilacap (Jawa Tengah), Tasik Malaya,
Ciamis (Jawa Barat) dan beberapa lokasi lainnya di Propinsi Banten (FKMA, 20112013).
Perampasan-perampasan

tanah

petani lahan pesisir pantai dilakukan

lewat

berbagai macam regulasi dan represifitas aparatus negara (TNI-POLRI, serta milisimilisi sipil yang dibackup oleh negara-korporasi dan bahkan akhir-akhir ini diperkuat
oleh organisasi keagamaan. Tidak kurang dari 20 petani selama 2010-2012 telah
dikriminalisasi demi kepentingan pertambangan pasir besi di pesisir selatan Jawa
(FKMA, 2013).

Di Kebumen sendiri, jauh sebelum peristiwa menguatnya isu

penolakan tambang pasir besi, sebenarnya telah didahului oleh beberapa rentetan
peristiwa yang menjadi akar konflik. Dari hasil wawancara penulis selama penelitian
lapangan, setidaknya ada beberapa faktor pemicu yang menjadi akar konflik agraria
di pesisir selatan Kebumen.
Pertama, Klaim sejarah sepihak yang dilakukan TNI AD terhadap tanah. TNI AD
mengklaim berhak atas tanah di pesisir selatan Kebumen yang

merupakan

pemberian KNIL dan selanjutnya pasca kemerdekaan berkembang menjadi arena


latihan dan sarana ujicoba senjata berat dan laboratorium lapangan Distlibang.

Kedua, meninggalnya 5 orang anak petani yang terkena bom aktif TNI AD pada
tahun 1997, tragedi ini bermula ketika mereka mencoba menendang sebuah benda
yang tidak

lain adalah bom yang masih aktif di areal latihan TNI AD. Ketiga,

Lahirnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintahan Kabupaten Kebumen


untuk periode tahun 2007-2027 yang mengisyaratkan di dalamnya mensetujui
adanya kegiatan pertambangan pasir besi di pesisir selatan Kebumen. Regulasi
tersebut juga mendorong klaim baru dari TNI AD yang menyatakan TNI AD memiliki
hak atas tanah sepanjang 22.5 km dengan lebar hingga 500 meter dari bibir pantai
yang direncanakan untuk pembangunan Pusat Latihan Tempur TNI AD (Puslatpur
TNI AD). Di lain pihak, petani menyatakan bahwa klaim tersebut sangat tidak
berdasar, karena batas tanah negara (yang diklaim TNI AD) dan tanah rakyat
terletak pada 220 meter dari bibir pantai. Itu dibuktikan dengan bukti penarikan
pajak dan pendirian patok

yang telah terpasang dari sejak jaman

penjajahan

Belanda. Selanjutnya konflik semakin menajam setelah keluarnya SK Pemkab


Kebumen, No. 660.1/28/2010 yang menyetujui PT. Mitra Niagatama Cemerlang
(MNC) untuk menambang pasir besi dengan luas konsesi 984, 79 ha di 6 desa
wilayah administrasi kecamatan Mirit. Konflik terus memuncak, saat petani dari 25
desa yang berasal dari 3 kecamatan (Mirit, Ambal, Bulus Pesantren)melakukan aksi
penolakan rencana pendirian Puslatpur TNI AD dan pertambangan pasir besi di desa
Setro Jenar pada 16 April 2011. Aksi penolakan tersebut disambut dengan tindak
kekerasan oleh TNI AD, 6 warga terkena luka tembak, 8 orang lainnya luka-luka
akibat penganiayaan TNI AD (Kontras, 2011).
Selain dihadapkan dengan ancaman korporasi pertambangan, petani pesisir selatan
Kebumen kini kembali berhadapan dengan Rencana pembangunan fisik Jaringan
Jalan Lintas Selatan (JJLS) sepanjang 57 km. Mega proyek ini memiliki sumber
pendanaan dari Asian Development Bank (ADB) melalui Islamic Development
Bank (IDB). Menurut Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen, H. Suroso SH, proyek
ini akan dilakukan secara bertahap. Tahap I akan dilaksanakan pada tahun 2011
dengan panjang 21 km yang dimulai dari Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit hingga
Desa Ayam Putih, Kecamatan Bulus Pesantren. Tahap II akan dilaksanakan dari
Jembatan Luk Ulo, Desa Ayam Putih, Kecamatan Bulus Pesantren hingga Desa
Tambak Mulyo, Kecamatan Puring.

JLLS ini akan berhadapan dengan pembebasan lahan penduduk di 30 desa di tujuh
kecamatan wilayah kabupaten Kebumen. Klaim TNI AD yang menyatakan berhak
atas tanah 500 meter dari bibir pantai sepanjang 22.5 km dengan sangat jelas
diduga oleh warga merupakan skenario untuk mendapatkan bagian dari dana
pembebasan lahan JLLS yang dianggarkan mencapai ratusan miliyar rupiah
sekaligus mempermudah korporasi pertambangan pasir besi bercokol di atas tanah
tersebut. Struktur pendanaan JLLS yang terbangun lewat Asian Development Bank
(ADB) melalui Islamic Development Bank (IDB) dapat mengisyaratkan munculnya
kelompok-kelompok atas nama Islam dari luar wilayah pesisir selatan Kebumen
yang berjihad secara mati-matian mendukung rencana pertambangan di pesisir
selatan Kebumen.
Relasi Sekamar Korporasi Semen dan Pasir Besi
Telah disebutkan dalam uraian diatas bahwa kandungan mineral Fe (pasir besi)
dalam bentuk bahan mentah (raw material) yang terdapat di sepanjang pesisir
selatan Jawa selain dibutuhkan untuk kepentingan industri baja juga digunakan
sebagai bahan tambahan dalam industri semen. Senada dengan ini, maka tidak
salah jika analisa tersebut dikaitkan dengan meningkatnya angka pertumbuhan
pendirian pabrik semen di pulau Jawa.
Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso dalam keterangannya di
rapat kerja Kementrian Perindustrian, 12 Februari 2013, menyatakan industri semen
akan tumbuh 10 persen pada tahun 2013. Total konsumsi semen pada tahun 2012
mencapai 55 juta ton, maka dengan kenaikan 10 persen, konsumsi tahun 2013 akan
mencapai

60

juta

ton

(Tempo,

2013).

Peningkatan

ini

dipengaruhi

oleh

pembangunan proyek infrastruktur dalam kerangka Masterplan Percepatan dan


Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan pembangunan sektor
properti swasta. Properti swasta ditujukan untuk fasilitas kelas menengah yang
angkanya terus meningkat.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ASI menyatakan realisasi pembangunan
dalam industri semen pada tahun 2012-2013 akan didukung oleh unit-unit pabrik
baru dari investasi PT. Semen Padang, PT Semen Bosowa, Anhui, Siam Cement
Group, PT. Semen Gresik dan PT Semen Tonasa dengan kapasitas produksi

mencapai 67 juta ton. Pada tahun 2013 PT Semen Gresik akan beroperasi di Sorong,
Papua Barat. Di Sulawesi Selatan, PT. Semen Tonasa akan mengoperasikan pabrik
barunya di Pangkep dengan produksi 2,5 juta ton. Dan di Banyuwangi, Jawa Timur,
akan

hadir

PT

Semen

Bosowa

yang

akan

menghasilkan

produksi

semen

berkapasitas 1.2 juta ton pertahun (Tempo, 2013).


Jika melihat perkembangan 1 dekade terakhir, maraknya isu pendirian pabrik semen
di pulau jawa, khususnya Propinsi Jawa tengah, seperti Pati, Blora, Rembang,
Wonogiri dapat diketahui karena selain didukung oleh Pemerintah juga dikarenakan
beberapa faktor ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Gugusan gunung
dan bukit-bukit karst yang tersebar di pesisir selatan dan utara Jawa merupakan
faktor penting dalam penyediaan bahan baku industri semen. Maka tidak
mengherankan jika rencana pendirian pabrik semen ini dipusatkan di propinsi Jawa
Tengah, selain kaya akan mineral karts juga kaya akan mineral pasir besi, yang
keduanya saling dibutuhkan dalam industri pabrik semen. Dengan demikian
korporasi pertambangan pasir besi dan semen akan menjadi 2 monster besar
pengancam keberlangsungan kehidupan pertanian pesisir selatan Jawa. Melihat
fenomena ini maka tidak salah apa yang telah diramalkan oleh sejarawan termasyur
E. Hobsbawm. Ia mengatakan petani adalah kenyataan masa lampau dan sedang
dalam proses melenyap.
Ancaman dan Masa Depan
Setahun

setelah

tragedi

16

April

yang

menggegerkan

negeri

Kabumian,

pemerintahan Kabupaten Kebumen kembali memberi kado yang tidak kalah


menggemparkan kepada seluruh rakyatnya. Sebuah Peraturan Daerah Nomor. 23
Tahun 2012 disahkan. Di dalam Perda tersebut, tepatnya di dalam paragrap 5, pasal
34 disebutkan Kawasan Peruntukan Pertambangan. Sebuah regulasi yang
membuka

lebar

kepada

korporasi

pertambangan

untuk

menjamah

dan

mengekspolitasi tanah Kabumian dengan cap legal.


Di dalam pasal 34 ayat a (mineral logam), disebutkan pertambangan mangan akan
berada di kecamatan Ayah dan Buayan. Pasir besi di sepanjang pantai dan
Pertambangan emas di Kecamatan Ayah, Buayan, Karang gayam, Sadang dan
Karang sambung. Selanjutnya dalam ayat b (mineral bukan logam), pertambangan

phospat dan kalsit akan berlokasi di Kecamatan Ayah dan Buayan. Di bagian ayat c
(batuan) dan d (batu bara) pertambangan jenis andesit dan batu bara juga berlokasi
di Kecamatan Ayah dan Buayan. Kecamatan Ayah dan Buayan merupakan 2 wilayah
yang dominan untuk peruntukan wilayah pertambangan, terutama jenis emas dan
batu bara.
Konsentrasi pertambangan yang pada mulanya hanya diperkirakan terjadi di bagian
pesisir selatan Kebumen ternyata meluas hingga ke arah utara. Hal ini patut
diwaspadai sebagai ancaman yang nyata bagi keseluruhan penduduk yang telah
mengantungkan hidupnya dari pertanian. Karena tidaklah mungkin pertambangan
dan pertanian dapat berdiri sejajar. Konflik agraria yang pada abad 20 ditandai
dengan ketimpangan struktur kepemilikan tanah kini pada abad 21 telah meluas
hingga isu-isu kerusakan ekologis dikarenakan meluasnya industri pertambangan.
Masa depan pertanian pesisir selatan dan utara Kebumen terlihat secara jelas
dalam sebuah wilayah konflik yang pasti. Jalan keluar yang tidak bisa ditawar lagi
adalah sebuah perlawanan sosial. Perlawanan yang tidak lagi menggantungkan
keberhasilan pada sebuah gaya kepemimpinan yang feodal/messianistik. Lebih dari
2 abad sejarah perlawanan petani membuktikan perlawanan-perlawanan bergaya
kharismatik tersebut mati seiring dengan ditangkapnya pemimpin-pemimpin
gerakannya. Di sisi lain, memilih perlawanan gaya legal, perlawanan yang bertumpu
pada jalur-jalur legal dengan memanfaatkan negara sebagai instrument untuk
mencapai keadilan juga kerap berbuah pahit. Walapun lembaga-lembaga peradilan
memutuskan secara de Jure memenangkan gugatan petani tetapi secara de Facto
petani tetap tidak diperbolehkan menguasai tanah menang di atas kertas.
Menurut pengamatan penulis dari penelitian yang dilakukan di sebuah wilayah yang
bernama Deli, Propinsi Sumatera Utara, setengah dari 32 kelompok tani yang
berhasil mendapatkan kembali tanahnya yang dirampas korporasi perkebunan
adalah kelompok-kelompok yang tidak berjuang di jalur legal. Walaupun tidak bisa
disederhanakan secara pasti, namum setengah dari kelompok-kelompok yang
berhasil adalah kelompok yang tidak pernah berjuang di meja peradilan dan tidak
bermitra dengan NGO. Dengan gaya yang disebut oleh penulis sebagai perlawanan
ektra legal, petani lebih memilih melakukan pelumpuhan terhadap komoditas

produksi perkebunan, walaupun cara yang demikian akan dicap illegal oleh hukum
positif (negara).
Di dalam kapitalisme yang matang, untuk menstabilkan modal-modal di negaranegara dunia ketiga, maka dibutuhkan kekuatan penyeimbang. Kekuatan
penyeimbang

tersebut

adalah

NGO,

kekuatan

untuk

membuat

kapitalisme

demokratik tetap dapat bekerja. Di arena konflik, NGO kerap memainkan peran
sebagai pengkritik kebijakan pemerintah, namun di sisi lain juga berperan sebagai
agen

untuk

memberikan

penjelasan

kepada

masyarakat

tentang

kebijakan

pemerintah ataupun isu-isu masyarakat sipil, HAM dan demokrasi yang dalam arti
luas memainkan peran untuk mengurangi peran negara namun memperbesar peran
pasar. Hal itu untuk mengurangi ongkos produksi (kapitalisme) yang selama ini
banyak dikorupsi oleh birokrasi negara. Maka tidaklah heran jika jutaan dolar
digelontorkan untuk para penggiat NGO setiap tahunnya demi tetap menstabilkan
modal dan mencuci pikiran masyarakat agar tetap dapat terkontrol di ranah yang
telah ditentukan.
Tidak ada salahnya untuk kembali merenungkan bagaimana perlawanan sosial
dibangun secara mandiri tanpa harus bergantung kepada kelompok-kelompok lain
yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan alat produksi. (M. Afandi,
Relawan FKMA)
Catatan pustaka :
1. Chusni Ansori Dkk, Distribusi Mineralogi Pasir Besi Pada Jalur Pantai Selatan
Kebumen-Kutoarjo, Makalah, Buletin Sumber Daya Geologi vol. 6. 2011.
2. www.kontras.org/buletin/indo/newsletter.
3. Id.wikipedia.org.
4. www.regionalinvestment.bkpm.go.id
5. Dokumen Sejarah FKMA, 2011-2013.
6. www.tempo.co.id.

7. Luas wilayah keseluruhan Kebumen adalah 128.111 Ha. Tercatat 39.768


hektar (31,04 %) merupakan lahan sawah dan 88.343 hektar (68.96 %) lahan
kering. Lahan kering digunakan untuk bangunan seluas 35.985 hektar,
tegalan 28.777 hektar, hutan negara 16.861 hektar dan sisanya digunakan
untuk keperluan lainnya.
8. Di pesisir selatan Kabupaten Cilacap, penambangan pasir besi dilakukan oleh
PT. Antam Tbk dari sejak tahun 1960 dan memproduksi 300.000 ton/tahun.
Tujuan ekspor dari penambangan ini adalah Jepang, lihat Chusni Ansori dkk
(2011).
Tags
#Pasir Besi #Pertambangan JLLS Kapitalisme Kebumen TNI AD

http://www.perpustakaan-stpn.ac.id/buku/?id=5810

PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN JALAN LINTAS SELATAN DI


KABUPATEN KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH
Pengarang :

RAHMI HAYATI

Penerbit :

STPN Yogyakarta

Tahun terbit :

2011

Tebal :

91 halaman

Indonesia sebagai negara berkembang senantiasa melaksanakan pembangunan di


segala bidang, termasuk pembangunan fisik seperti pembangunan jalan, jembatan
dan lain-lain. Masalah yang biasa dihadapi dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum adalah ketersediaan tanah yang terbatas
sementara kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Pengadaan tanah untuk
pembangunan Jalan Lintas Selatan(JLS) di Pulau Jawa yang terlaksana karena
adanya program pemerintah untuk
menyeimbangkan tingkat pembangunan antara kawasan Jawa bagian Utara dan
Selatan. Kabupaten Kebumen sebagai salah satu kabupaten di bagian Selatan Jawa
juga melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tersebut.
Pembangunan JLS di Kabupaten Kebumen tidak dilakukan dengan cara
meningkatkan kualitas jalan yang sudah ada (dikenal sebagai Jalan Deandels)
melainkan merintis jalur baru(dikenal sebagai Jalan Diponegoro).Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana jalannya proses kegiatan
pengadaan tanah untuk pembangunan JLS di Kabupaten Kebumen dan apakah
pelaksanaan tersebut sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu juga
untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengadaan tanah
tersebut serta upaya-upaya yang telah ditempuh untuk mengatasinya.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan jenis
penelitian studi kasus. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Kebumen khususnya
daerah-daerah yang dilalui oleh rencana pembangunan JLS disana. Data primer
yang diambil bersumber dari keterangan para aparat Kantor Pertanahan Kabupaten
Kebumen,anggota Panitia Pengadaan Tanah, masyarakat bekas pemegang hak atas
tanah. Data sekunder berasal dari dokumen-dokumen terkait pengadaan tanah JLS
Kabupaten Kebumen. Teknik pengumpulan data adalah melalui wawancara,
dokumentasi dan studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif.
Kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan JLS di Kabupaten Kebumen mulai
dilaksanakan sejak tahun 2006 dan dibagi menjadi beberapa tahap berdasarkan
tahun anggaran. Secara garis besar kegiatan ini dilakukan sesuai prosedur yang
telah ditetapkan, meliputi penetapan lokasi, pembentukan Panitia Pengadaan Tanah,
penyuluhan, penetapan batas lokasi, identifikasi dan
inventarisasi, pengumuman hasil identifikasi dan inventarisasi, pembentukan
lembaga/ tim penilai harga tanah, musyawarah tentang bentuk dan besarnya ganti
rugi, pembayaran ganti rugi, dan pelepasan hak atas tanah. Tapi dalam
pelaksanaannya, tidak semua prosedur tersebut dipenuhi sehingga perlu perbaikan
terhadap kinerja Panitia Pengadaan Tanahnya maupun instansi pemerintahan lain
yang terlibat dalam kegiatan ini agar terhindar dari masalah di kemudian hari.
Beberapa kendala yang timbul selama proses pengadaan tanah dimaksud sudah
diatasi dengan berbagai upaya penanggulangan. Sebagian besar sudah dapat
diatasi dan sebagian kecilnya belum menemukan solusi.

Anda mungkin juga menyukai