Anda di halaman 1dari 42

DAFTAR ISI

BAB I.......................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................6
BAB III..................................................................................................................10
BAB IV..................................................................................................................14
BAB V....................................................................................................................18
BAB VI..................................................................................................................22
BAB VII.................................................................................................................28
BAB VIII................................................................................................................34
ANALISIS.............................................................................................................39

1 | Membedah Politik Orde Baru

BAB I
PROBLEMATIKA PEMILU

Pesta Tanpa Hura-Hura


Pemilu diyakini sebagai sarana yang paling demokratis untuk memilih elit
politik. Karena sifatnya yang demokratis, maka kegiatan Pemilu selamanya
mengikutsertakan mayoritas penduduk yang berhak memilih. Dalam Pemilu para
pemilih bebas menentukan siapa yang dipilih, dan para calon elit juga bebas
mengumbar janji untuk menarik massa sebanyak mungkin.
Demokrasi bagi bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai alat demokrasi terutama digunakan
untuk membentuk suatu pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyatnya.
Caranya bisa bermacam-macam. Demokrasi selamanya menghendaki rakyat
terlibat langsung dalam pemilihan wakil-wakilnya. Terlibat langsung artinya
rakyat mengetahui betul kualitas dan popularitas dari calon yang hendak dipilih,
kedua aspek ini berdiri terpisah. Dalam negara berkembang, faktor-faktor diluar
kualitas memainkan peranan penting berhubungan dengan masih tingginya
sentimen promordialisme dan patrimonialisme dalam masyarakat. Kampanye
Pemilu yang bertujuan untuk menarik sebanyak mungkin suara, tidak sekedar
melibatkan rakyat dalam berpikir. Keterlibatan emosional terhadap partai atau
tokoh merupakan kunci seseorang untuk menentukan pilihannya.
Adanya keterlibatan emosional menyebabkan pelaksanaan demokrasi selalu
mengandung unsur hura-hura yang tercermin dari pawai kampanye. Fakta
menunjukkan, sejak tahun 1971 kampanye pawai sangat efektif menarik suara
massa, padahal saat itu kramanan dan ketertiban tidak semantap sekarang. Aneh
bukan, semakin mantam sistem keamanan kita dan Pancasila diakui sebagai
ideologi tunggal, malah pawai kampanye dilarang. Masalah utama yang perlu
diselesaikan adalah bagaimana memilih wakil rakyat yang asli yang matang di

2 | Membedah Politik Orde Baru

pohon bukan yang karbitan. Pawai kampanye dapat membantu rakyat


memecahkan masalah utama ini dengan melihat seara nyata kualitas dan
popularitas si calon.
Betulkah Pemilu Kita Makin Deomokratis?
Adanya partai politik tidak cukup dijadikan tolak ukur utuk menyebut suatu
negara itu demokratis. Syarat yang paling penting adalah partai-partai tersebut
dapat berkompetisi dalam satu Pemilu bebas, karena Pemilu yang bebas
merupakan cermin dari masyarakat yang demokratis. Menyimak perubahanperubahan kehidupan politik yang muncul sejak Pemilu 1971, tak pelak lagi
Sistem Kepartaian Indonesia mulai menampakkan bentuk Sistem yang
Hegemonik, dalam sistem ini hanya ada satu partai yang terus menerus
mendominasi Pemilu dan birokrasi ( Partai Golkar), sedangkan partai lain (PPP
dan PDI) secara syah berdiri tetapi tidak mampu berkompetisi dalam Pemilu
dengan partai yang dominan yaitu Golkar. Masaahnya pembentukan SIstem
Hegemonik ini diusahakan sejalan dengan pembangunan ekonomi yang tidak
bisa disangkal menunjukkan grafik yang menakjubkan. Tumbuhnya sikap dan
kesadaran politik yang kurang ditampung oleh OPP menjelang pemilu 1987
menyebabkan banyaknya muncul perilaku menyimpang. Ada warga NU yang
merasa aspirasinya tidak tertampung PPP lari ke Golkar atau PDI, ada
pensiunan pegawai negeri sipil yang pulang kandang ke PDI. Semua perilaku
menyimpang ini ditafsirkan bahwa pelaksanaan Pemilu di Indonesia semakin
demokratis.
Partai Sebagai Organisasi
Partai adalah organisasi yang terbentuk karena persaaan aspirasi dan
persepsi politik antar para angotanya. Sebagai satu organisasi, partai memiliki
tujuan yang bersifat jangka panjang, menengah, pendek yang saling
berkesinambungan. Partai memiliki label yang digunakan untuk mencapai tujuantujuan

dan

cara

pencapaian

yang

menyangkut

usaha

memaksimalkan

pendayagunaan simbol-simbol politik yang dimiliki. Kemungkinan partai terlibat

3 | Membedah Politik Orde Baru

dalam proses politik tergantung laku atau tidak ide yang mereka jual kepada
masyakarakat. Dan tersedianya tenaga muda sangat menentukan suatu partai. Di
satu sisi, sistem rekrutmen politik kurang membuka kepentingan bagi tenaga
muda untuk ikut dalam proses politi, kalaupun ada yang ikut segelintir orang
tersebut hanya bersikap nderek bapak daripada mengemukakan ide mereka.
Beli Harimau Diberi Kucing
Isu penting yang mencuat dalam pemilu 1992 adalah regenerasi pemimpin,
semenjak Presiden Soeharto melontarkan semacam isyarat bahwa tahun 19881993 bakal menjadi tahun terakhir menjabat dirinya sebagai presiden. Segera
isyarat ini menjadi isu politik yang tidak pernah putus dibicarakan orang.
Setidaknya ada dua penyebab utama, yang pertama adanya satu kelompok
generasi yang demikian lama memegang kendali politik, kedua adanya hambatan
psichologis yang berasal dari kultur politik bangsa.
Secara umum ada enam faktor penting untuk memilih seorang pemimpin;
intellectual capacity, self-significance, vitality, training, experience, reputation
(Titus, 1986) dan tentunya keenam faktor ini saling berhubungan. Idealnya
seorang

pemimpin

memiliki

sifat

kepemimpinan,

kemampuan

untuk

mempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama atau bertindak sesuai dengan
kehendak bersama. Pola rekrutmen politik indonesia tidak akan berubah selama
penggunaan vote getter. Saya tidak setuju dengan pola seperti ini sebab mereka
tidak memilik integritas pribadi sebagai bagian dari kualitas pribadi seorang
pemimpin. Penggunaan vote getter dalam pemilu adalah sebuah tindakan
membohongi pemilih khususnya. Karena pada dasarnya pemimpin yang baik
adalah mereka yang diwisuda oleh rakyat, karena itu harus diberi kesempatan
yang lebih luas kepada anggota masyarakat untuk menguji kualitas intelektual dan
kualitas pribadi si calon.
Dicari Balon Anti Kempes
Pemilu lahir dari dua arus pemikiran yang saling bertentangan tentang
terminologi yang paling laku dari ilmu politik, yakni demokrasi. Tidak heran

4 | Membedah Politik Orde Baru

kalau pemilu kemudian dipandang sebagai pesta pora demokrasi. Para pakar ilmu
administrasi percaya bahwa syarat yang paling mutlak menjadi seorang pemimpin
adalah adanya integrated personality.
Persoalannya, kenapa banyak tokoh politik kita yang tidak memiliki
integrated personality, sebab banyak diantara mereka yang tidak memenuhi tiga
syarat utama menjadi seorang pemimpin yakni popularity, acceptability, dan
capability (Sergiovanni and Corbally 19860). Harus diakui bahwa selama ini jalan
yang abnormal yang paling banyak dilakukan dan berhasil menarik perhatian
massa. Dan itu yang menjadi salah satu persoalan mengenai figur pemimpin di
indonesia.
Fenomena Kampanye 1992
Dari segi isi (substansi) kampanye, dibedakan adanya tiga bidang isu yaitu
dibidang ekonomi mencakup kesenjangan, keleluasaan berusaha dan pemerataan.
Dibidang politik menyeruak isu pembatasan jabatan presiden dan penciptaan
kehidupan demokrasi yang lebih emansipatif dan responsif. Teori Hutington,
Zimmermann (1980) mengemukakan bahwa modernisasi akan membawa tiga
dampak, pertama frustasi sosial, kedua bentuk partisipasi politik langsung yang
tidak formal dan yang ketiga adalah dampak yang saling terkait dianatara kedua
dampak di atas tersebut. Jika dikaji ketiga dampak modernisasi yang digambarkan
tadi disebabkan oleh adanya konflik kepentingan. Masalahnya bagaimana kita
mengendalikan konflik yang ada, agar menguntungkan upaya pembangunan?
Etzioni (1961) mengemukakan tiga cara mengatasi konflik yaitu, coercive,
remunerative, dan normative.

5 | Membedah Politik Orde Baru

BAB II
PROBLEMATIKA WAKIL RAKYAT

Generasi Baru Wakil Rakyat


Sama halnya dengan memiliki barang baru, kita menaruh harapan yang
besar sekali kepada DPR baru ini. Sekitar 40% anggota DPR 1992- 1997 adalah
lulusan perguruan tinggi. Orang kedalam proses politik, disebut Rekrutmen
Politik. Tujuh variable yang menentukan terpilih atau tidak terpilihnya seseorang.
Menurut Czudnowski, ke tujuh penampilan yang menentukan penampilan kerja
(performance) dari seorang elit politik. 1) Social Background, 2) Political
Socialization, 3) Initial Political Activity, 4) Apprenticeship, 5) Occupational
Variables, 6) Motivations, 7) SCSelection
Bagaimana DPR 1992-1997?
Diliat dari latar belakang sosial anggota DPR 1992-1997, tampak bahwa
mayoritas mereka berasal dari golongan menengah ke atas. Kesenjangan sosial
antara wakil dan orang yang diwakili ini, bukan mustahil akan membawa masalah
tatkala keduanya berinteraksi. Harus diakui bahwa banyak kasus, banyak wakil
rakyat kita yang gagal membangun komunikasi yang efektif dengan rakyatnya.
Harus menjadi catatan anggota DPR 1992-1997, bahwa masih ada kesenjangan
yang cukup lebar antara cita-cita menciptakan kehidupan yang demokratis,
dengan kondisi yang mendukung perwujuduan cita-cita itu. Upaya paling awal
yang harus dilakukan para anggota DPR kita adalah meletakkan proses
musyawarah sama pentingnya dengan pencapaian mufakat.
Sekitar Daftar Calon Legislatif
Kampanye Pemilu 1992 sendiri baru boleh berlangsung antara 10 Mei 1992
sampai 3 juni 1992. Namun bagi ilmuwan politik, DCS itu sendiri sudah
merupakan awal dari kampanye.
6 | Membedah Politik Orde Baru

Isu dan Kandidat


Tanggapan partai terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat, yang
tercemin dari kualitas kandidat yang ditampilkan, akan sangat mempengaruhi
keputusan pemilih. Schulman dan Pomper membedakan isu ke dalam dua jenis.
Pertama, yang disebut Short Term Issue (isu jangka pendek); persoalan dalam
masyarakat yang menurut pemecahan segera, seperti kenaikan harga. Kedua,
Long Term Isssue (isu jangka panjang); persoalan yang menyangkut masa depan
bangsa dan Negara, seperti kebijaksanaan industrialisasi. Perubahan kehidupan
masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitas, akan memunculkan isu-isu
baru yang lebih berat, lebih berbeda.
Untuk menangani sederet isu di atas jelas dibutuhkan calon pemimpin yang
lebih berkualitas. Tampaknya dibandingkan dengan DCS dalam pemilu-pemilu
sebelumnya, OPP cukup tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam sistem
rekrutmen (pengikutsertaan seseorang secara aktif dalam politik) yang kita anut,
kedudukan partai sebagai satu institusi sangat dominan.
Demokrasi adalah soal jiwa dan semangat untuk tidak tergantung terhadap
satu kekuatan tertentu. Para wakil harus sadar bahwa PPP, Golkar, PDI, hanyalah
sarana mengekpresikan jiwa dan semangat demokrasi mereka.
Wakil Rakyat : Boneka Politik atau Robot Politik?
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, unsur psikologi , memainkan
peran sangat penting dalam politik. Kedua, harus ada hubungan langsung dan
salin bergantung antara elit dengan rakyat.
Boneka politik?
Sejarah kepartaian kita menunjukkan, bahwa inisiatif pembentukan
organisasi politik berawal dari didirakannya Volksraad (Dewan Rakyat). Dibidang
keuangan, kehidupan partai masih ditunjang oleh eksekutif sekalipun porsi yang

7 | Membedah Politik Orde Baru

diterima tidak sama. Pemerintah dapat dengan leluasa mempengaruhi pimpinan


partai dalam menyusun Daftar Calon dalam Pemilu.
Syndrome Streering Comitter Di Lembaga Legislatif
Steering Comitte tugas seksi ini mengarahkan topik yang hendak dibahas,
hingga tujuan yang hendak dicapai dalam seminar dapat dipenuhi. Kenyataanya
dari banyak penyelenggaraan seminar, seksi ini beralih fungsi menjadi seksi yang
terlibat dalam perumusan hasil-hasil seminar. Namun, dalam prakteknya seksi ini
justru sudah membuat kesimpulan sebelum sidang dimulai.
Coba saja bayangkan, sidang ditutup selama 15 menit agar anggota Steering
Committe memiliki kesempatan merumuskan kesimpulan seminar, Setelah itu
muncul kesimpulan sepanjang 20 halaman terketik rapi. Memang tugas Steering
Committe untuk mengarahkan diskusi, tapi hal itu tidak mengenyampingkan
aspirasi yang muncul.
Isu-Isu Sekitar Sidang Umum MPR
1. Mandat Presiden
Berdasarkan Diktum pengangkatanya, Presiden berkuasa selama lima tahun,
sejak mengucapkan sumpah di depan MPR. Dalam praktek politik, bila
presiden berhalangan menjalankan tugasnya, maka wakil presiden yang
melaksanakanya. Kalau Wapres juga berhalangan maka ada 3 menteri kuncin :
Mendagri, Menlu, dan Pangab.
Biasanya pada situasi semacam ini ketua legislatif untuk sementara memegang
kendali kekuasaan. UUD 45 memungkinkanya, sebab kekuasaan politik DPR
dalam bidang eksekutif tidak bisa diabaikan
2. Soal Pencalonan
Jauh hari sebelum Sidang Umum MPR dimulai, tokoh-tokoh OPP sudah
mengumumkan tokoh yang akan dijadikan presiden dan wapres. Ada dua
bahaya yang mengintip. Pertama menyangkut pidato pertanggungjawaban

8 | Membedah Politik Orde Baru

Presiden, Kedua kita selalu terkena Sindrome Calon Tunggal baik itu calom
Presiden ataupun Wakil Presiden.
3. Interupsi dan Voting
Sekalipun sudah dijaga dari segala penjuru, kasus interupsi terjadi lagi dalam
Sidang Umum MPR 1993. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan seputar
kasus ini. Pertama Interupsi tidak akan terjadi bila proses pengambilan
keputusan dilakukan dengan demokratis. Kedua, kasus Sabam tidak akan
terjadi, bila didepan tiap anggota MPR ada alat komunikasi.
4. Sikap Mental Kita
Mungkin siu ini yang paling memprihatinkan. Coba saja disimak. Sejak awal
Presiden Soeharti sudah menyataakan bahwa masih ada kekurangan dalam
pelaksanaan tugasnya dan meminta untuk diawasi oleh rakyat dan DPR.
Namun kenyataanya tidak demikian.
Dilema Wakil Rakyat
Kalau dalam dunia sepak bola dikenal prinsip total football , maka saat ini
pelatih politik kita berhasil menelorkan prinsip total politics Tidak ada pola
yang dianut. Awut-awutan, ramai-ramai menyerang dan bila perlu ramai-ramai
bertahan.
Menyedihkan disaat kita mulai mengalami kemajuan di segala bidang, di
saat perlunya partisipasi aktif rakyat dijadikan tema pidato dimana-mana, disaat
kita menumbuhkan keberanian rakyat mengemukakan aspirasinya, di saat itu pula
wakil rakyat dibuat takut oleh permainan politik awut-awutan.
Untuk memainkan politik secara lebih demokratis, setidakya ada tiga
syarat utama. Pertama perlu proses politik transparan. Kedua Norma Politik yang
demokratis menghendaki jaminan aktor politik selalu mendapatkan informasi dari
tangan pertama. Permainan politik yang demokratis didukung orang sospol yang
independen.

9 | Membedah Politik Orde Baru

BAB III
PROBLEMATIKA DEMOKRASI

Demokrasi : Garuda Mengipas Patung Liberty


Demokrasi merupakan terminologi politik yang paling sering digunakan,
namun juga yang paling problematik. Memang prinsip dasar satu kehidupan yang
demokratis adalah tiap warga negara ikut aktif dalam proses politik. Dalam
pemilu, rakyat menentukan saja yang dipandang paling pantas untuk memerintah,
serta mencatat aspirasi rakyat untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Bangun
demokrasi satu bangsa ditentukan oleh fungsi dan kedudukan kelompokkelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Bangun demokrasi yang paling
mungkin memenuhi hak individu sambil menjaga tertib sosial adalah
Consociational Democracy (CD).
Partisipasi aktif masyarakat terutama disalurkan ke partai politik. Secara
natural, partai muncul sejalan dengan semakin beragamnya kepentingan yang
muncul dalam masyarakat. Pakar ilmu politik sependapat bahawa kehadiran
birokrasi dalam masyarakat modern merupakan hal yang tidak terhindarkan.
Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi
satu masyarakat. Birokrasi itu terrcipta sebagai akibat dari kompleksitas
fungsional masyarakat modern.
Kendala pemerintah orde baru membentuk satu birokrasi yang bersih adalah
kebutuhan akan legitimasi politik.legitimasi ini, dalam negara demokratis, harus
diperoleh dari satu Pemilu. Politisasi birokrasi ini awalnya hanya bersifat
temporer. Tapi seperti yang kita ketahui, melalui Golkar birokrasi kemudian
menjadi semacam mesin politik. Salah satu gejala menarik dalam tahun 1990
10 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

adalah kuatnya tuntutan masyarakat yang terciptanya jaringan birokrasi yang


netral.
Antara Demokrasi Dan Modernisasi
Inti dari pelaksanaan satu Pemilu adalah untuk menjaring sebanyak
mungkin isu-isu politik yang berkembang dalam masyarakat; sekaligus mencari
orang yang di pandang paling tepat untuk mengantisipasi isu-isu tersebut.
Keberadaan partai politik dalam alam demokrasi, adalah untuk mengartikulasikan
dan mengagregasi isu-isu politik yang ada.
Dalam ilmu politik, khususnya yang menyangkut tingkah laku berpolitik,
dikenal adanya dua model penjelas. Pertama, aliran Columbia School yang
memandang status sosial-ekonomi seseorang sangat menentukan identifikasinya
terhadap satu kelompok. Aliran kedua dikemukakan oleh pakar dari Michigan
School. Mereka menyangkal teori pangkal psikologi bahwa memilih adalah hak
individu. Hasil pengujian statistik terhadap data dari Pemilu 1971 s.d 1982 pada
tingkat Kabupaten se-Indonesia menunjuk adanya korelasi negatif tapi signifikan
antara naiknya suara Golkar dan turunnya suara PDI.
Salah satu aspek dari pembangunan politik Indonesia adalah penumbuhan
dan pendewasaan Demokrasi Pancasila dengan dan interpretasi terhadap
penjabaran dari konsep Pancasila itu.

MEMENCAR
Modernisasi adalah gejala yang tidak terhindarkan dalam kehidupan suatu

bangsa. Gejala ini tidak berjalan cylical (menuruti satu siklus, perputaran
zaman). Gejala ini diyakini akan berlangsung secara linear, dimana ujung
batasnya tidak pernah tampak.

EMPAT PILAR
Selama ini kekuatan besar itu disimbolkan oleh seseorang. Namun, seiring

dengan laju modernisasi. Telah muncul kutub-kutub kekuasaan baru dalam


khasanah politik kita.
11 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

1. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).


Kelompok ini dengan penguasaanya terhadap senjata, kalua mau ABRI bias
menjadi satu-satunya kekuatan politik di negeri ini. Tapi seperti penegasan
ABRI sendiri. Mereka konsisten dengan pembelaan terhadap Pancasila.
2. Kelompok yang menguasai ekonomi.
Kelompok ini memiliki 2 varian yang besar yaitu: negara dan swasta. Sebagai
akibat dari strategi pembangunan ekonomi yang dianut, maka diantara kedua
kelompok ini, kelompok swasta yang paling berkembang. Indikatornya yang
paling mencolok adalah, dibantunya koperasi oleh swasta.
3. Kelompok yang menguasai karisma.
Termasuk dalam kelompok ini adalah para tokoh keagamaan, serta tokoh
masyarakat yang tidak memiliki kedudukan formal. Para tokoh ini terutama
mempunyai pengaruh yang sangat kuat di lingkungan masyarakat pedesaan,
serta utamanya digolongan orang tua.
4. Kelompok yang menguasai intelektual.
Kelompok ini diisi oleh kalangan-kalangan dari kampus dan pers. Oleh
kebanyakan anggota masyarakat, kelompok ini yang paling sulit dimengerti
apa maunya, ini sebagai akibat langsung dari ciri ke intelektualan mereka.
Sebagai pemikir, mereka diuji untuk mengujin konsep-konsep yang ada, serta
mengembara mencari konsep baru yang lebih baik. Kelompok ini memiliki
pengaruh yang sangat kuat di kalangan mahasiswa, terutama di daerah
perkotaan. Sekalipun sangat membara, kelompok ini sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kebersamaan.
Dari sudut pandang kultur jawa, yang secara efektif melandasi kerja politik
kita, pengalihan kekuasaan politik tergantung pada 3 hal. Tulisan Suryanto
Sastroatmodjo, Fenomena suksesi dalam kerajaan mataram (Bernast, 10 maret
1993) mengulas masalah ini dengan singkat tapi akurat.

12 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

1. Wahyu
Kekuasaan politik tidak lepas dari wahyu yang diterima dari seseorang.
Wahyu dating dari tuhan, dan tidak mungkin diberikan kepada dua orang pada
saat yang sama. Karena itu, logisnya hanya tuhan yang berhak memecat orang
yang berkuasa.
2. Waktu
Ibarat tanaman, kemunculan seorang elit mengikuti siklus dan irama alam
yang tak terbantahkan. Ada masa menguncup, meranum, sebelum akhirnya
masak untuk dipetik. Karena itu syarat mutlak menjadi pemimpin.
3. Satriya sinangling
Calon elit harus siap untuk tidak popular. Dia disekap tidak dimunculkan
dalam opini public, tapi bisa dipastikan dialah yang akan ditunjuk menjadi
seorang elit baru.
Nama Robert William Liddle mungkin lebih terkenal dibanding pemerhati
politik lokal. Nama ini telah menolarkan pakar politik Indonesia yang handal,
seperti Afan Gaffar dan kawan-kawan. Sosok yang sama telah melahirkan
serangkaian buku, makalah ilmiah, ataupun tulisan lepas lainnya mengenai
Indonesia. Salah satu bukti pikirannya adalah yang selalu dibicarakan orang,
adalah model kepolitikan orba yang digambarkan sebagai Piramida Orde Baru.
Dalam posisi seperti ini, setiap ungkapan pemikiran Liddle menjadi penting.
Apalagi kalau ungkapan itu mengundang reaksi luas dari masyakat, seperti
pernyataannya dalam sebuah konfrensi di Jakarta 30 Mei 1995 lalu, dan sebuah
diskusi di harian Jawa Pos seminggu kemudian. Di Jakarta Liddle mengemukakan
bahwa demokrasi bagi rakyat Indonesia masih merupakan impian (Kompas
1/6/95). Di Surabaya dia menyatakan secara tegas pengagum berat pak Harto,
dan secara tegas menyatakan bahwa pak Harto akan terpilih kembali secara
aklamasi dalam SU_MPR 1998 nanti (Jawa Pos, 6/6/95). Orang pun terkaget
mendengar pernyataanya ini sebab selama ini Liddle justru dikenal sangat kritikal
terhadap orba.
13 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

BAB IV
SEKITAR DINAMIKA PARPOL

Symphony Tiga Saudara


Partai merupakan produk demokrasi. Partai itu ibarat restoran yang
memiliki sekian banyak juru masak. Pada saat pemilu itulah pendukung tetap satu
partai berperan sangat penting. Partai secara informal memiliki satu area-area
tertentu di mana pelanggan tetapnya berkumpul.
Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang dilaksanakan dalam alam
Indonesia merdeka, pemilu ini memberikan gambaran tentang basis dan dukungan
masyarakat terhadap Parpol. Menurut terminologi yang saya gunakan, Pemilu
1955 memberikan konfigurasi awal dari papan catur politik di Indonesia.
Pluralisme masyarakat Indonesia memang menghendaki kita memiliki beberapa
partai. Pluralisme politik Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua: kelompok
santri dan kelompok abangan.
Menguak Takdir Partai
Selama ini, kesalahan parpol yang paling utama adalah tidak menyadari
bahwa

secara

konstitusional

dominan.Pemerintah

Orde

Baru

pihak

eksekutif

bersikeras

untuk

negara

kita

sangat

segera

melaksanakan

pembangunan ekonomi dengan stabilitas politik sebagai landasannya. Tampaknya


antara tahun 1955-1971, Parpol berhasil membangun daerah basis yang tidak
terdeteksi oleh golkar. Kesalahan pemilu 1971 segera diperbaiki Golkar dalam
pemilu 1977. Timbul kontra reaksi dari para ilmuwan yang menganggap fusi

14 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

partai sebagai pengebirian parpol. Tampaknya golkar memandang gejolak


ilmuwan sebagai hal yang kurang serius.
Ironisnya justru Golkar kalah total dengan PPP di DKI Jakarta sekalipun
dengan selisih rata-rata suara 3.60%. Konsentrasi Golkar dalam pemilu 1987
sepenuhnya tertuju pada Aceh dan Jatim. Dengan berakhirnya pemilu 1987, tugas
Golkar menyapu basis-basis partai tampaknya sudah selesai.
Kalau kita simak, kompetisi terbuka memang menjadi ciri kehidupan
demokratis. Tetapi, kompetisi itu tidak harus dilakukan antar partai. Lebih penting
lagi sebenarnya kompetisi untuk memilih elit politik harus di dalam partai itu
sendiri.
Sang Primadona Di Panggung Politik
Kehidupan jelas merupakan sandiwara terpanjang di muka bumi. Kita tidak
bisa menolak peran yang diberikan, sebagaimana kita tidak bisa menolak untuk
dilahirkan.
Panggung politik juga memiliki primadona, baik berupa individu maupun
kelompok. Melalui peran yang dimiliki, tugas utama mereka adalah menangkap
perhatian massa, sambil menjaga alur cerita agar tidak lepas dari skenario yang
ditetapkan. Mayoritas primadona terkena penyakit syndrome rumongso, penyakit
merasa demikian penting.
Penonton, rakyat Uni Soviet, berusaha meperingati Gorby. Teriakan dan
kritikan terhadapnya, tidak berarti rakyat Soviet membenci sang primadona.
Sebaliknya, kritikan dan peringatan itu merupakan manifestasi rasa cinta dan rasa
sayang kepada sang primadona.
Rivalitas Golkar Dan Pdi
Dinamika Politik yang kita lihat sejak berakhirnya Pemilu 1992, lebih
banyak diwarnai atau disebabkan oleh perjuangan elit untuk mencari akar-akar
politik. Sejak 1990, telah lahir lima aktor politik baru di Indonesia. Kelanya

15 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

adalah: Pers, Wiraswastawan muda, ilmuwan (muda), perwira militer muda, dan
cendikiawan muslim di perkotaan.
Pertama, perlawanan diam menjadi mode yang terbukti efektif akir-akhir
ini. Kedua, jenjang karir dalam tubuh Golkar dinilai jelas oleh para aktivisnya.
Ketiga, lemebaga legislatif (DPR ataupun DPRD) yang makin baik kualitas
kerjanya. Keempat, kesenjangan sosial yang makin meluas, faktor ini benar-benar
problematik buat Golkar.
Perlukah Opp Berkampanye?
Pertama, bentuk kampanye pawai kendaraan bermotor dilarang. Kedua,
akibat dar situasi politik, yang monolitik yang mulai terbentuk sejak pemilu 1971,
banyak anggota masyarakat merasa yakin bahwa pemilu 1992 tidak akan merubah
apa-apa. Kampanye baru memberikan arti manfaat kepada rakyat bila ada
kompetisi (baik dalam arti formal maupun substansial) antar kekuatan politik yang
ada.
Kampanye politik adalah kegiatan individual atau kelompok mempengaruhi
orang lain, agar mau memberikan dukungan (dalam bentuk suara) kepada mereka
dalam satu pemilihan umum (Pemilu). Dengan demikian, kegiatan kampanye
memiliki tiga dimensi: dagang, komunikasi politik, dan mobilisasi. Dalam ilmu
politik dikenal adanya empat teknik kampanye: door to door, group discusssion,
indirect mass-campaign, dan direct mass-campaign.
Kita sepakat bahwa seluruh kekuatan politik yang ada harus (dan sudah)
berazaskan Pancasila. Artinya, tidak ada alasan bagi bahwa akan terjadi kesalahan
penafsiran atas masalah sosial dan politik yang berkembang, atau ketidaksetiaan
terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Bintang Berkelip Dengan Jenaka
Muktamar III PPP baru diadakan bulan Agustus 1994. Tapi saat ini, partai
berlambang

Bintang

sudah

berkelap-kelip,

justeru

menampilkan para-bintang baru.

16 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

karena

keinginannya

Sejak didirikan pada tahun 1973, kemelut selalu melanda tubuh PPP. Sama
halnya dengan PDI yang dilahirkan pada saat yang sama. Namun dalam kemelut
PPP terasa lebih menyesakkan dibanding PDI. Salah satu faktor yang
memungkinkan PPP menaikkan kembali suara mereka, adalah figur Buya yang
akomodatif, yang sanggup mengayomi bintang-bintang lain.

Warga PPP mencari tokoh yang memenuhi tiga syarat. Pertama, bisa
menghangatkan mesin politik mereka hingga siap untuk dibawa ngebut dalam
Pemilu 1997. Kedua, harus tokoh muda atau setidaknya dapat diterima oleh
kawula muda. Ketiga, harus memiliki saluran dukungan dari para ulama. Dan
mereka adalah Gusdur dan Kiai Zainuddin MZ.

17 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

BAB V
TYPOLOGI PARTAI HEGEMONI

Golkar Back to Basic?


Pesan sekaligus penilaian paling dalam dari Dewan Pembina Golkar kepada
peserta Munas V, adalah kewajiban Golkar untuk kembali ke semangat asalnya.
Kembali ke rel awal yang dinilai mulai menyimpang, setidaknya sejak Golkar
memegang mayoritas tunggal sejak Pernilu 1982. Sejak itu GoIkar dinilai asyik
dengan dirinya sendiri. Lupa pada masyarakatnya, sehingga dinilai kurang
responsif.
Gerakan Tutup Mulut (GTM) yang dilakukan peserta Munas Golkar
merupakan bentuk paling kuno dari demokrasi ala Indonesia (baca: kerajaan
Mataram). Memang patut disayangkan, sebab zaman sekarang menuntut
demokrasi yang lebih ekspresionis. Tapi inilah kenyataan. Sebatas itulah
fenomena yang akan muncul, bila back to basic dalam Golkar diartikan sebagai
demokratisasi.
Golkar dalam usia 27 Tahun
20 Oktober 1991, Golkar akan berumur 27 tahun. Berlainan degan HUTHUT sebelumnya, peringatan HUT kali ini terasa lebih istimewa karena tiga
alasan. Pertama, dominasi Golkar sejak pemilu 1971, menyebabkan dia sebagai
penanggung jawab utama terwujudnya sistem politik yang monolitik. Kedua, pada

18 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

usia 27 tahun ini Golkar dituntut untuk lebih dewasa; dalam arti boleh membuka
diri untuk berbagi tanggung jawab dengan kekuatan politik lain mengurus negara
kita. Ketiga, masih ada beberapa masalah yang belum tuntas diselesaikan Golkar.
Masalah ini, dalam jangka pendek, dapat memengaruhi perolehan suara Golkar
dalam pemilu 1992. Dalam jangka panjang, masalah ini dapat menjadi sumber
ketidakstabilan politik.

Kembalikan Golkar Pada Pemilih


Rakyat yang semakin pintar disertai tersedianya informasi dan berbagai
sarana, telah meningkatkan daya analisis serta sikap kritis dari anggota
masyarakat. Mulai muncul kesadaran bahwa mereka berkepentingan terhadap
proses pencapaian tujuan-tujuan yang dicanangkan. Tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, harus diyakini memberi manfaat yang luas terhadap peningkatan kualitas
hidup rakyat.
Sayang, setelah berjalan 25 tahun, Golkar terjebak dalam kemapanan.
Keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai, justru membuat orsospol ini
menjadi kurang responsif terhadap aspirasi baru yang muncul dari rakyat. Elit
Golkar terjebak dalam premise yang dikenal dalam dunia olahraga Jangan
mengganti tim yang sedang menang. Padahal, legitimasi politik paling sakti
datang dari rakyat pemilih; bukan elit yang dipilih rakyat.
Tangan-Tangan di Balik Layar
Dalam khasanah ilmu politik dikenal istilah Caucus. Istilah ini menunjuk
kepada pertemuan tidak resmi antar elit partai, yang tujuan utamanya adalah
mencapai persetujuan tentang arah gerak partai, termasuk tokoh-tokoh yang akan
ditampilkan (Marshall, 1979).
Sifat informal dari Caucus menyebabkan mereka berperan di belakang layar.
Tetapi mereka sangat memengaruhi jalan cerita ataupun keputusan-keputusan

19 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

yang diambil. Setidaknya ada tiga Caucus yang berperan dalam Munas V Golkar,
yaitu: Ketua (Dewan Pembina), Kelompok Cendekiawan, dan ABRI.
Tokoh yang Dipilih Wibawa
Suasana jalannya Munas V Golkar sepi dan datar. Tiba-tiba mendekati akhir
Munas muncul kejutan. Dewan Pembina tiba-tiba secara eksplisit menunjuk
Harmoko dan Ary Mardjono. Dengan demikian maka berakhirlah spekulasi siapa
yang akan memimpin Golkar periode 1993-1998.
Namun ada tiga nuansa penting yang harus disimak, yaitu kenyataan bahwa
sampai mendekati akhir Munas, Harmoko ternyata masih belum sepenuhnya
diterima oleh DPD, kemudian tindakan Dewan Pembina ini memberi indikasi
terjadinya perpecahan pada lapisan elit Golkar, dan tindakan itu merupakan
indikasi terjadinya kemerosotan kepekaan elit Golkar dalam menangkap sinyalsinyal tidak langsung dari Dewan Pembina.
Ketika Politik Menjadi Panggung Teater
Sebagian peserta Munas V Golkar datang dengan semangat membuat
Golkar semakin responsif terhadap tuntutan rakyat. Mereka sadar bahwa masalah
Golkar tidak sebatas masalah Ketua Umum dan Sekjen saja. Tetapi apa boleh
buat, perhatian sangat terpusat pada suksesi Ketua Umum Golkar. Sebagaimana
layaknya satu seminar, kesimpulannya sudah dibuat sebelum Munas berakhir.
Bahkan, mungkin, sebelum Munas dilaksanakan.
Kalau

benar

politik

hanyalah

sebuah

teater

kehidupan,

sulit

menempatkannya ke dalam salah satu bentuk yang ada. Karena batas antara
keseriusan dengan main-main sungguh sangat tipis. Hal-hal yang kita anggap
lelucon, bisa berubah menjadi sesuatu yang serius.
Mencermati Sketsa Golkar
Melihat susunan DPP-Golkar, terkesan bahwa justru Golkar meniupkan
kembali isu patrimonialisme dan nepotisme. Padahal semangat yang menyelimuti

20 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Munas V adalah Golkar dibuat lebih demokratis agar bisa memelopori


demokratisasi. Jawaban yang diberikan tampaknya terbalik.
Dimensi lain yang layak disimak, adalah hadirnya tokoh-tokoh pengusaha
muda. Di satu sisi, kehadiran mereka menguntungkan Golkar. Dalam arti Golkar
akan tambah mandiri, dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Terlihat adanya
dua sasaran yang ingin dicapai. Menampilkan generasi muda produk asli Golkar.
Sekaligus memberi kesan bahwa Golkar tidak tergantung pada Birokrasi.

Golkar Tersesat di Jalan Yang Benar


Pemilu 1992 melahirkan satu kejutan yang selama ini dipandang sebagai
satu kemustahilan. Suara Golkar turun! Letak kesalahan Golkar dalam pemilu
1992 yaitu untuk daerah urban setidaknya ada enam faktor: kampanye terlalu
defensif; dampak modernisasi; sikap sebagai tokoh Golkar yang arogan
(sombong); komitmen yang kuat dari Mendagri Rudini dalam proses
demokratisasi; munculnya gejala penguatan kembali garis politik lama; dan resiko
terlalu dekat dengan Birokrasi.
Dari sudut kepentingan Golkar, kenyataan ini memang harus disesali. Tapi
dari sudut kepentingan bangsa secara keseluruhan, kenyataan ini merupakan
rahmat bagi usaha pendewasaan politik.
Golkar, ABRI dan Birokrasi
Tampaknya perjalanan sejarah Indonesia memang mengharuskan ABRI
berperan dalam politik, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sejarah
mencatat bahwa dukungan ABRI demikian dominan dalam rangka memenangkan
Golkar dalam pemilu 1971.
Dukungan ABRI (dan birokrasi) ini terus menopang keberhasilan Golkar
dalam pemilu-pemilu berikutnya. Hanya saja cara dukungan itu semakin tidak
langsung, dan intensitasnya juga tidak setinggi menjelang pemilu 1971.

21 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Umumnya orang mengatakan PPP dan PDI tidak mandiri. Tapi sebenarnya
Golkar selama ini juga tidak mandiri. Bidang lain tidak. Hal-hal lain yang
dikatakan sebagai program Golkar selama ini, tidak lebih dari program pemerintah
yang dijual Golkar.

BAB VI
SEPAK TERJANG SANG BANTENG

Saat PDI sukses menaikan suara dalam Pemilu 1987 dan 1992, masih saja
dituding sebagai satu keberuntungan. Melihat hasil Pemilu 1971 sampai dengan
1992, tidak bisa dipungkiri bahwa penampilan PDI mulai membaik dalam dua
Pemilu terakhir. PPP saja meraih suara yang anjlok 4,86 persen. Lonjakan suara
PDI mencapai angka 35.33 persen. Sedangkan penurunan suara Golkar sebesar
6.69 persen. Basis PDI ada di Indonesia Bagian Timur. Bila hasil ini dikaitkan
dengan isu pembangunan tampak bahwa PDI mendapati simpati di daerah yang
relatif belum terbangun selama ini.
Dapat

saja

kenyataan

ini

dihubungkan

dengan

isu

keberhasilab

pembangunan yang diandalkan Golkar selama kampanye Pemilu. Namun hasil


perhitungan suara Golkar terhadap daerah rural dan urban di Jawa, juga
menunjukkan bahwa suara Golkar juga turun di daerah yang 'relatif' belum
terbangun. Golkar dan PDI sebenarnya beroperasi pada lahan yang sama.
Implikasinya adalah PDI dapat dijadikan "partner" oleh Golkar dalam
mengimbangi kekuatan politik di luar "dunia mereka", yakni PPP.

22 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Adanya hubungan saling menguntungkan antara PDI dan Golkar. Ada


indikasi bahwa upaya Golkar mendekati pemilih muslim cukup berhasil. Tetapi
pada saat yang sama, beberapa kantong suara traadisionil Golkar dapat direbut
oleh PDI.
Posisi PDI pada pinggiran politik, menyebabkan partai ini berfungsi
layaknya sebuah got atau saluran pembuangan air dari satu rumah. Seluruh uneguneg, kesumpekan politik, rasa frustasi, dan sebagainya dapat diteriakan dengan
lantang tanpa secara signifikan mengganggu jalannya sistem dan mekanisme
politik yang berlaku. Saluran semacam ini memang kita perlukan, agar gejolak
politik yang lebih parah lagi tidak mencuat di luar sistem yang berlaku.

Banteng Masuk Angin


Kongres IV PDI gagal total. Faktor kegagalan yang pertama adalah tidak
adanya keinginan dari peserta Kongres IV untuk menyelesaikan masalah PDI
yang paling dasar. Faktor kedua, kenyataan bahwa sejak berdirinya tahun 1973,
dalam lingkup akselerasi pembangunan yang dipercepat, PDI tidak lain hanyalah
alat mobilisasi massa untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah. Faktor ketiga
ialah dampak dari faktor kedua. Elit partai tergerak dalam satu jaringan "patronclient" dengan elit-elit nasional yang "lebih besar lagi". Elit yang ditampilkan PDI
dalam Kongres di Medan, sebenarnya tidak lebih dari "client-client" (anak buah)
dari patron yang lebih besar. Faktor yang keempat, kepentingan Soerjadi dkk.,
memilih Medan sebagai tempat Kongres "mungkin" merupakan suatu kekeliruan.
Dalam hal ini, hikmah yg bisa diambil sebagai pelajaran utama yang akan
diambil oleh pemerintah adalah kenyataan bahw masyarakat kita belum bisa
berdemokrasi. Kegagalan Kongres IV PDI, bukan mustahil bila dijadikan
indikator bahwa struktur dan mekanisme itu "belum mantap". Keterbukaan,
demokratisasi, munculnya 6 calon, kampanye dialog, dan kenaikan suara PDI
yang spektakuler dalam dua pemilu terakhir, membuat Kongres IV mendapat

23 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

perhatian amat besar dari para wartawan. Kalau para elit PDI "mengerti", sang
Banteng sebenarnya sudah mulai memenangkan Pemilu 1997 nanti.
Sebagai ajang eksperimen demokrasi di Indonesoa, kita berharap banyak
konsep lahir dari kandang Banteng yang terbuka. Karena itu, tepat bila Kongres
IV PDI di Medan "dibuka" dan tidak perlu "ditutup".
Mega Dibendung Mega Melambung
Mega bisa masuk dan resmi menjadi salah satu calon. Kalau tidak, hampir
pasti Budi Hardjono yang akan memimpin PDI. Penentu dari skenarion yang akan
dimainkan adalah sistem pemilihan ketua umum. Ada dua sistem yang
diperdebatkan, floor atau formatur. Mendagri Yogie S. Memet secara tegas
menganjurkan agar KLB PDI menggunakan sistem formatur. Masalahnya, cara ini
sangat manipulatif. Penentuan formatur akancsangat kritikal, sebab seseorang
pasti ditunjuk untuk memilih siapa saja yang bisa jadi anggota formatur. Cara ini
akan sangat menguntungkan posisi Budi Hardjono untuk menjadi ketua umum.
Sangat sulit untuk dibantah, bahwa sebenarnya Pemerintah tidak berkenan dengan
kemungkinan Mega menjadi Ketua Umum PDI. Masalahnya, opini warga PDI
terlanjur terbentuk bahwa sistem floor merupakan cara terbaik (sesuai dengan azas
demokrasi). Mereka belajar dari kenyataan selama ini, bahwa sistem formatur
selalu melahirkan elit yang kurang aspiratif terhadap dinamika partai. Yang jelas,
upaya yang makin transparan untuk membendung mega, justru akan
melambungkan popularitas megawati.
Ini Democracy Atau Democrazy?
Demokrasi dianggap sebagai sarana sekaligus tujuan yang hendak dicapai
dalam berpolitik. Menurut Winston Churchill, demokrasi dipilih karena kadar
kejelekan prinsip ini sedikit lebih rendah daripada prinsip politik yang lain.
Demokrasi identik dengan kebebasan dalam arti yang sangat longgar. Di sini
orang akan sangat mudah terlempar dari pengertian demokrasi, dan tergelincir ke
prinsip liberalisasi. Kalao sampai sikap liberal ini dikemas ke dalam kata

24 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

demokrasi, makan yang akan tercipta adalah democrazy (massa yang gila). Persis
seperti yang kita saksikan saat ini di arena KLB PDI 1993.
Hari kedua, kekacauan sudah merebak di tiap acara sidang. Hari ketiga,
wartawan dilarang meliput jalannya sidang. Penulis mengira elit PDI sadar betul
akan jasa besar pers. Tapi mereka juga sadar betul bahwa kehadiran pers, dapat
menyulut semangat liberalisme yang tinggi. Dibandingkan dengan meliput Munas
V Golkar. Mengapa? Sebab tidak ada resikonya. Dua hari pertama pelaksanaan
KLB masih nelum berhasil membuktikAn bahwa kata "demokrasi" dari nama PDI
itu benar-benar bermakna. Kata ini masih terasa sebagai ornamen dari sekelompok
orang yang bersikap liberal.
Elit PDI yang mengaku matang berpolitik, kelewat faham dengan ajaran
dengan demokrasi, gagal menunjukkan sikap seorang Demokrat sejati. Karena
yang terlihat di Sukolilo justru kebalikannya, di mana DPP Caretaker memanggil
pimpinan ke-27 DPD PDI. Tujuannya tidak lain adalah agar cara pemilihan tetap
di dasarkan oleh cara formatur dan sedapat mungkin menghalangi Mega menjadi
Ketua Umum PDI. Bila cara formatur tetap dilakukan dan Mega tidak terpilih,
maka pendukung Mega akan sangat mudah untuk memunculkan democrazy.
Jalan Terjal Megawati
Melihat masalah Abstrak yang ada dalam tubuh PDI, sama seperti melihat
sebuah lukisan abstrak. Di antara coreng-cemorengnya warna yang ada, kita
sebenarnya mengetahui gambar yang disajikan. Kita tidak melihat bentuk nyata,
tapi kita bisa merasakannya. Kitatidak bisa tahu garis pertamanya yang harus
siikuti untuk menelusuri gambar yang dihadapi. Semua warna bersifat frontal dan
terkesan memiliki arti yang sama pentingnya.
Kita tahu di PDI ada masalah fusi. Tapi kita tidak bisa mengatakannya
sebagai masalah yang utama. Ada juga masalah kaderisasi. Tapi tidak bisa
dikatakan bahwa masalah ini merupakan akibat dari tidak tuntasnya fusi.bisa jadi
masalah kaderisasi ini yang menjadi ganjalan terhadap terciptanya fusi yang utuh.

25 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Tantangan terbesar dan terberat buat Mega adalah, bagaimana dapat


mengambil benang merah, atau garis lurus dari bermacam cita-cita yang sifatnya
kompetitif itu. Kalau saja Mega seorang ilmuwan, maka saat ini dia sedang
dihadapkan dengan serangkaian fakta. Dia harus bekerja secara induktif.
Memahami sebulat-bulatnya cita-cita tiap unsure. Berkomunikasi dengan unsure
lain bahwa sebenarnya cita cita merekasama, hanya dikemas dengan format
bahasa yang berbeda.
Banteng Memang Luar Biasa
Kalau kita melihat kembali ke pemikiran dasar terbentuknya (atau lebih
tepat:pembentukan) tiga partai di Indonesia pada tahun 1973, PDI sepertinya
memang dilahirkan untuk dijadikan ajang eksperimen pencarian bentuk demokrasi
Indonesia. Kalau sampai satu eksperimen berhasil di PDI, maka kemungkinan
besar eksperimen itu berubah menjadi metode standard yang berlaku untuk
kekuatan politik lainnya.
Orang tahu bahwa dalam dalam kondisi politik Indonesia saat ini, PDI
hamper tidak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan supra struktur politik.
Kalau begitu, mengapa orang tetap antusias mengikuti perkembangan nasib sang
Banteng? Sekalipun mereka sebenarnya lawan atau bukan simpatisan PDI? Inilah
hal luarbiasa yang lain yang perlu dicatat.
Drama Karapan Sapi Di Sukolilo
Konflik dapat terjadi dimana-mana. Bahkan penyebabnya juga beraneka
ragam. Tapi dalam dunia politik, penyebab konflik pada umumnya adalah soal
rebutan pengaruh dan kekuasaan. Keduanya berhubungan dengan persepsi dan
interpretasi orang terhadap suatu keadaan. Disini factor kesempatan memainkan
peran penting. Tidak jarang kesempatan itu hanya hadir swkali seumur hidup.
Karena itu sekali didapat, kesempatan itu harus dimanfaatkan secara optimal.
Optimalisasi ini bisa dilakukan denga berbagai cara. Bisa dengan
memanfaatkan reputasi, baik itu reputasi pribadi aktor yang terlibat konflik,

26 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

ataupun non-pribadi seperti reputasi keluarga atau pun kelompok yang


menundukannya .
Dengan demikian kalau kita perhatikan, mempersiapkan seseorang untuk
menjadi elit mirip dengan mempersiapkansapi karapan. Sang sapi mendapat
perlakuan yang sangat istimewa. Mulai dari rumput pilihan, jam istirahat yang
teratur, jamu kuatlengkap dengan telor dan bir, sampai ke pengarahan sejumlah
dukununtuk membantu menetralisir serangan-serangan yang tak kasat mata.
Tujuannya Cuma satu : memenangkan pertandingan yang berlangsung seat. Tapi
hasil satu pertandingan akan membawa dampak yang panjang.
Politik Dagang Banteng
Kita bangga dengan PDI. Sebab partai ini seakan-akan dibentuk menjadi
penggodokan operasional konsep musyawarahdan mufakat dalam demokrasi kita.
Tapi kita juga terenyuh melihat cara penggodokan itu dilaksanakan.
Sebagai salah satu kekuatan politik. PDI tidak luput dari incaran para elit
arus ini. Apalagi popularitas PDI dalam pemilu 1987 dan 1992 melambung
tinggi/celakanya kondisi ini ternyata cocok dengan ketidakdewasaan berpolitik
sebagian warga PDI.
Memangkas Banteng Gondrong
Kalau kita amati, prestasi gemilang PDI sebenarnya dimulai pada pemilu
1987. Setahun setelah ketua umumnya, Drs. Soeryadi dilahirkan Mendagri
soperdjo Rustam. Kita amati pula bahwa sebelum soeryadi muncul, PDI selalu
tekor dalam penampilannya di tiap pemilu. Banyak factor yang menyebabkannya.
Namun sulit untuk dipungkiri bahwa factor yang paling menentukan adalah
pertentangan kepentingan antar unsur yang berfungsi, ataupun antara elit dalam
tubuh.
Suara PDI dapat saja naik, bila orang melihat sepak terjang PDI sebagai
upaya menyadarkan kehidupan demokrasi. Inipun tergantung apakah PDI sanggup
mengantisipasi tiga persoalan, diantaranya yang pertama, PDI harus responsive

27 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

terhadap aspirasi yang dating dari bawah. Yang kedua, PDI harus menciptakan
mekanisme kerja yang lebih demokratis. Dan yang ketiga, PDI harus segera
menemukan formula gaya kepemimpinan khas milik PDI.

BAB VII
REFLEKSI KEPEMIMPINAN

Suksesi Pemimpin Jurus Penting


Terdapat dua model suksesi kepemimpinan di Asia Tenggara, model
Thailand yang melibatkan militer dalam politik melalui serangkaian kudeta yang
dianggap sebagai suatu mekanisme dan kedua model Singapura, yaitu Lee Kwan
Yew yang secara sadar menyerahkan kekuasaan politiknya kepada putra
mahkotanya. Indonesia bukan diantara model keduanya.
Dua Penyebab, Tidak ada bangsa yang berjalan mundur, terutama bangsabangsa yang sedang membangun seperti Asia Tenggara, maka tidak ada alasan
untuk kesulitan mencari pemimpin. Terdapat empat dari enam syarat pemimpin
yang berhubungan dengan modernisasi. Modernisasi akan meningkatkan taraf

28 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

hidup dan taraf pendidikan penduduk, membuka cakrawala pandang yang lebih
luas lagi, meningkatkan kapasitas intelektual penduduk, membuka kesempatan
mendapat latihan tambahan dan pengalaman baru, serta meningkatkan vitalitas
kerja. Kualitas pemimpin harus jauh lebih baik dibandingkan rata-rata penduduk,
yang didukung dengan kuantitas pendukung.
Ada dua penyebab pandangan umum mengenai lahirnya pemimpin tidak
berlaku di Indonesia: nilai budaya politik, dan ambisi untuk segera menjadi negara
industri baru (NIB). Nilai budaya politik adalah kekuasaan politik yang
merupakan anugerah Tuhan, namun pola pikir seperti ini tidak sesuai dengan
ajaran demokrasi politik, sebab kekuasaan politik berasal dari rakyat, bergantung
pada akar bawah. Banyak ahli yang memandang persoalan politik di Indonesia
lebih merupakan persoalan mendapatkan pulung daripada mendapat dukungan
rakyat. Selain itu pola dasar kita menyebabkan kita percaya bahwa satu
panggung tidak boleh ada dua primadona. Cara pandang bahwa kekuasaan
merupakan milik individual menyebabkan kepemimpinan dalam masyarakat
kita diwarnai oleh faktor ego merasa diri penting. Perlu diingat, dari sudut budaya
politik keberadaan para pelaksana itu didasari oleh pulung yang dimiliki.
Ala Kepiting? Alat analisa yang ,menjadi cerminan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat, yang dikumpulkan dan dirumuskan oleh patai
politik, yang dijual kembali kepada masyarakat melalui Pemilu untuk
mendapatkan

dukungan

suara

sebanyak-banyaknya.

Setelah

itu

parpol

menempatkan wakilnya dalam jaringan pemerintahan (eksekutif dan legislatif).


Sebagai perwujudan aspirasi rakyat yang berkembang, GBHN seharusnya
menjadi patokan kerja. Gerakan GBHN identik dengan gerakan kepiting. Berjalan
horizontal kesamping, seiring dengan dilaksanakannya Pemilu. Tapi pusat
perhatiannya tetap kemuka, ke garis edar utama yang ditetapkan. Wakil Rakyat
ditugaskan untuk mencermati, siapa diantara para tokoh kita yang memiliki tandatanda mendapatkan pulung.
Generasi Tanpa Peranan?

29 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Peranan satu generasi meletakkan dasar-dasar pembentukan bangsa


Indonesia. Keyakinan akan kebenaran dalam nurani telah menggerakkan para
pemuda kala itu untuk mengurarakan apa yang harus diutarakan, yang berusaha
mengaktualkan obsesi-obsesi yang sering dianggap sebagai satu kebenaran
mutlak. Disisi lain, kebanggaan yang berlebihan atas kehebatan generasi, justeru
akan menjadi racun bagi generasi berikutnya.
Pohon Pepaya, lahirnya satu generasi dirasa perlu untuk mengganti satu
sistem politik. Nilai-nilai dasar yang tercermin dalam sistem nilai kultural selalu
lestari. Ada dua hal pokok: usia dan keterlibatan psikologis dalam politik. Kriteria
usia memang sangat dilematis. Selanjutnya keterlibatan psikologis bersangkut
paut dengan kesamaan persepsi anggota masyarakat terhadap penguasaan sumbersumber politik, pendapat tentang isu-isu kebijaksanaan masyarakat yang secara
prinsipiil memiliki sudut yang berbeda, dan pengaruhnya terhadap cara penilaian
mereka kepada rezim yang sedang berkuasa.
Saat ini kita memerlukan figur pemimpin yang sanggup melanjutkan
momentum pembangunan nasional, kita seakan kebingungan mencari tokoh
dalam generasi 45. Budaya sungkan dalam masyarakat Indonesia telah
menghalangi

munculnya

tokoh-tokoh

berkaliber

nasional.

Negara

kita

membutuhkan tokoh yang tidak sungkan untuk tampil sepeti tokoh-tokoh


sebelumnya.Tanggungjawab kita sekarang adalah mendorong tokoh-tokoh
tersebut tampil.
Perihal

kepemimpinan

Rudini,

beliau

banyak

mengutarakan

ide

pembaharuan yang dapat melahirkan perubahan besar dalam kehidupan politik di


Indonesia. Ide beliau dikategorikan menjadi dua: soal politik dan soal
pemerintahan daerah. Ide beliau berusaha untuk lebih mendorong munculnya
demokratisasi dan dekonsentrasi.
Ide politik, satu negara dikatakan demokratis kalau terdapat berbagai partai
politik yang berkompetisi dalam satu Pemilu yang bebas untuk menempatkan
wakil-wakilnya dalam jaringan pemerintahan, untuk pengakuan penguasa akan

30 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

hak warga negara untuk berbeda pendapat. Perbedaan ini bertambah kompleks
dalam masyarakat yang semakin modern
Ide Pemerintahan, Jabatan Gubernur hanya untuk periode saja, hal ini untuk
memaksimalkan program pembangunan yang sangat padat selama 5 tahun. Selain
itu juga

untuk membuka kesempatan kepada orang lain untuk menunjukkan

kemampuannya.
Susahnya Jadi Pemimpin
Hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin itu erat sebagai
hubungan pribadi. Pemimpin tidak lain adalah orang yang dipercaya oleh
angggota kelompok, untuk memimpin kelompok itu mewujudkan tujuan dan citacita bersama.Kepercayaan terhadap seseorang untuk memimpin satu kelompok
berkaitan dengan kemampuan orang yang bersangkutan dan karakteristik
kelompok yang dipimpin. Masalah yang sering dihadapi oleh seorang pemimpin
adalah bila dia ingin memimpin kelompok yang lebih besar lagi. Seseorang boleh
populer di kelompok kecilnya, tetapi tidak cukup populer dalam keompok besar.
Setiap pemimpin harus memberi konsen si terhadap kelompok lain yang menjadi
unsur kelompok besar. Tujuan dan kepentingan kelompok aslinya haruslah siap
dikorbankan oleh tujuan dan kepentingan baru dari kelompok besarnya. Dilema
ini dapat kira temui di negara-negara berkembang, berbenturan antara ikatan
primordialisme yang masih cukup kuat.
Sekelumit Kepemimpinan Soekarno
Obsesi Bung Karno adalah pada persatuan dan kemerdekaan Indonesia yang
membuatnya tegar dan tidak minder berhadapan dengan bangsa Belanda.lalu dia
mencari alat perjuangan yang sesuai dengan alam pikirannya sendiri. Salah
satunya adalah NASAKOM, PARTAI PELOPOR, ataupun FRONT NASIONAL,
bukti kerjad Bung Karno dalam kehadirannya dalam sejarah politik di Indonesia.
Bung Karno adalah seorang orator yang sanggup memainkan enosi massa sesuai
dengan yang diinginkannya. Dia sanggup membakar semangat perlawanan pada
penjajah di dada pemuda Indonesia. Sikal politiknya sangatlah akomodatif. Bung

31 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Karno dapat dikatakan berada jauh jaraknya dari ilmu politik. Namun, sebagai
pelaku politik Bung Karno telah memberi warna terhadap dunia ilmu
politik,khususnya Indonesia. Bahkan acuan seorang orator tidak lain dan tidak
bukan pastilah mengacu pada gaya Bung Karno. Kepemimpinan di dunia politik
sangat ditentukan oleh kepercayaan (trustees) yang diterima dari rakyat. Bentuk
konkritnya adalah bahwa rakyat percaya bahwa sang pemimpin benar-benar
berpikir tentang nasib mereka. Menurut Glenn Paige, ada tiga hal yang
menentukan muncul dan berhasilnya pemimpin dalam dunia politik. Pertama, dia
harus merasa kehadirannya sangat dibutuhkan oleh sekelompok orang. Kedua,
Mitos seorang pemimpin politik membutuhkan mitos sebagai dasar pembentukkan
kewibawaannya. Ketiga, memiliki ptensi kreativitas yang tinggi. Dari tiga hal
tersebut nampaknya Soekarno secara lahiriah telah memenuhi syarat-syarat
tersebut secara penuh.
Bung karno telah wafat 26 tahun lalu, lalu apakah yang akan dikatakannya
bila melihat politik Indonesia pada saat ini? mungkin pertama dia akan
menanyakan tentang etika politik kita yang mengendor. Bukan berpikir tentang
bagaimana melayani masyarakat, tetapi malah minta dilayani oleh masyarakat.
mekanisme perekrutan yang semakin buruk, menjadikan lebih kuat keatas dan
malah lemah ke bawah. Ditambah munculnya sikap feodalisme baru yang
menghambat upaya pelaku politik untuk mengenal siapa masyarakatnya. Sebagai
salah seorang bapak bangsa, Bung Karno mungkin akan berpesan agar kita
mampu dan menjaga diri ditengah gencarnya arus modernisasi saat ini.
Megahnya Kepemimpinan Megawati
Fakta bahwa ingatan masyarakat akan selalu hangat akan nama Proklamator
RI, Bung Karno

terpampang jelas pada eksistensi Megawati bersama Partai

Banteng. Di tengah maraknya kejadian sosial dan politk yang marak terjadi, di
dalam maupun luar negeri. Bila nama Mega secara khusus dikaitkan dengan nasib
PDI, bisa jadi menempatkan si banteng di simpang jalan. Berkaitan pula dengan
keterkaitan batin pemilih yang dikenal sebagai Soekarnoiesme. Popularitas
merupakan kelengkapan yang harus dipenuhi bila seseorang ingin menjadi
32 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

pemimpin politk. Dan persoalan besar yang dimiliki Mega adalah, pembuktian
bahwa dia memiliki kapabilitas yang diperlakukan untuk memimpin organisasi
politik sebesar PDI.
Faktor internal yang paling potensial akan mengganggu KLB PDI adalah
rivalitas antar elit yang tetap berlangsung sebagai akibat fusi yang belum tuntas.
Lalu dari rivalitas inilah nantinya akan membuka jalan masuk kepada faktorfaktor luar untuk memengaruhi jalannya KLB PDI. Selama ini elit PDI hanya
terpaku pada satu isu, yaitu menggeser Soerjadi
Ketika Soerjadi tersingkir melalui pengakuan pemerintah pada Caretaker
PDI, sudah banyak elit PDI yang bersiap untuk naik ke posisi Ketua. Setidaknya
ada dua faktor yang menentukan jalannyya KLB PDI, dan sekaligus menentukan
Mega naik atau tidak. Pertama, mengenai persepsi pemerintah terhadap
Sukarnoisme. Pemerintah sadar bahwa Soekarnoisme ini merupakan salah satu
faktor pendongkrak perolehan suara PDI. Apalagi dengan kondisi ketika Mega
yang akan maju. Kedua derajat kekecewaan ABRI terhadap hasil Munas V
Golkar. Akibat rasa tidak puas dan kekecewaan ABRI, yang bisa saja membuat
ABRI memindahkan fokus dukungannya ke PDI, yang kebetulan munasnya di
lakukan setelah Munas V Golkar. Sebagai pemegang kekuasaan politik, ABRI
tidak suka kalau kehadirannya di PDI hanya sebatas sebagai penggembira atau
hiasan. Peran yang dianggap cocok ialah peran yang menentukan, yang bisa
dimainkan secara langsung, dalam artian mendukung seorang anggotanya untuk
menjadi Ketua PDI.

Cara kedua bisa dimainkan secara langsung, dengan

pencarian elit PDI yang akomodatif yang kemungkinan besar penulis anggap akan
diambil, mengingat keterikatan historis antara Golkar dan ABRI. Dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada, akan sangat bijaksana bila Mega tidak
mengangkat tinggi-tinggi benderanya, karena kita belum tau bagaimana
kelanjutan dari proses ini.

33 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

BAB VIII
REFLEKSI MANUSIA INDONESIA

Manusia Indonesia: Tinjauan Ulang


Kongres Kebudayaan 1991 sudah berakhir, dan mereka menemukan satu
persoalan. Persoalan itu adalah menyangkut keraguan kita akan kesiapan manusia
Indonesia untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi dimasa
mendatang. Keraguan ini mengingatkan pada tulisan Mochtar Lubis, Manusia
Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab (1997). Mochtar mempersoalkan
modernisasi yang ternyata tidak membawa perubahan cukup mendasar dari sikap
dan nilai kemasyarakatan yang sesuai dengan modernisasi itu sendiri. Banyak
yang meragukan dan menuding tulisannya terlalu gegabah.
34 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Mochtar menyebut ada enam ciri utama manusia Indonesia, yaitu


HIPOKRITIS alias munafik, PENAKUT dalam arti tidak berani bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri, JIWA FEODAL yang menghasilkan prinsip Asal
Bapak Senang (ABS), PERCAYA TAHAYUL, ARTISTIK, dan TIDAK TEGUH
PENDIRIAN. Seluruh ciri tersebut sebenarnya saling melengkapi dengan tujuan
cari selamat. Saat ini, banyak orang dipaksa bersifat munafik demi
kelangsungan hidupnya. Hal ini akibat dari pola pikir masyarakat yang semakin
pragmatis. Nampaknya apa yang dikatakan Mochtar waktu dulu makin sering kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah Kepahlawanan Habibie
Setelah Jabang Tutuka alias CN 235 lalu-lalang, Habibie akan segera
memasarkan produk terbarunya. Tak ada yang meragukan kemampuan Habibie,
dia bahkan digelari Maha Putera Teknologi. Dia adalah salah satu tokoh ICMI.
Prof. Habibie secara tegas menyatakan bahwa ICMI bukan organisasi politik dan
bukan pula organisasi massa yang bernaung di bawah organisasi politik. Namun
sangatlah mustahil membentuk satu organisasi tanpa andil politik sedikitpun,
sebab pencapaian tujuan itu sendiri membutuhkan politik. Organisasi ini pun
diletakkan dalam kerangka berfikir guna mensukseskan pembangunan nasional,
yang berarti sangat kecil kemungkinan organisasi tak menyerempet ke politik.
Apakah ICMI adalah bentuk state corporatist? State Corporatism adalah
organisasi yang sengaja dibentuk oleh negara, yang fungsi utamanya adalah
memobilisir massa untuk mempercepat proses modernisasi. Awalnya orang
memandang ICMI memang dibentuk dari asprasi murni sarjana muslim Indonesia,
yang menjadi wadah sebagai sarana agar suara mereka didengar negara.
Nampaklah keanehan pada simposium di Malang. Saat Habibie mengumumkan
susunan pengurus ICMI, terlihatlah adanya dominansi ilmuwan birokrat di
dalamnya. Di sini tampak jelas bahwa ICMI adalah state corporatist, yang secara
langsung maupun tidak langsung tidak lepas dari politik. Dari sudut ilmu poltik,
perkembangan ICMI yang digambarkan seperti Jabang Tutuka oleh pak Habibie,
semakin menampakkan ciri sebagai state corporatist. Mau tidak mau, suka tidak
35 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

suka, ICMI akan menjadi alat politik mendudukan wakil cendekiawan muslim
dalam jajaran pemerintahan, agar suara mereka diperhatikan.
Ironi Nasionalisme Medali
Dalam kancah politik, nasionalisme ini diterjemahkan kedalam keharusan
memiliki tatanan politik sendiri, merdeka, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain
dimuka bumi. Rasa bangga haruslah dikontrol. Sebab, bila tidak, rasa bangga itu
akan memunculkan Chauvenisme, rasa bahwa bangsa kita yang paling hebat
dimuka bumi ini (Smith, 1991). Untunglah para pendiri Republik Indonesia sudah
berpikir akan bahaya chauvenisme ini. Mereka menempatkan Nasionalisme
Indonesia ke dalam satu rangkaian logika Pancasila. Jadi jelas, bahwa secara
prinsip nasionalisme Indonesia tidak mungkin menjelma menjadi chauvenisme.
Masalahnya prinsip ini dioperasikan dalam lingkup budaya politik, yang justru
membuka kemungkinan munculnya chauvenisme.
Kita masih bersikap mendua. Kita menjalankan demokrasi, namun tidak
menghendaki kondisi-kondisi dimana demokrasi itu dapat berjalan. Infra struktur
dioperasikan diatas landasan yang kurang mendukung (kondusif) bagi kehidupan
demokratis. Kita terlalu memalingkan diri ke dunia Barat. Ketergantungan
terhadap bantuan internasional, telah menyoret bangsa kita di kancah ekonomi
internasional yang di dominasi pemikiran liberal. Nilai-nilai kesetiakawanan
sosial terancam oleh gelombang modernisasi. Situasi inilah yang menunjukkan
terjadinya erosi terhadap nilai nasionalisme Indonesia.
Ketika Musim Terkejut Tiba
Ilmuwan dan pengamat politik Indonesia sering dibuat frustasi oleh gejalagejala sosial-politik yang saling bertentangan. Banyak gejala yang tidak cocok,
bahkan bertentangan dengan aturan yang umum dipahami. Untuk memahami
politik di Indonesia, kita tidak boleh sekedar faham akan struktur dan bagaimana
seharusnya struktur itu berfungsi. Aspek budaya memainkan peran yang sangat
penting dalam melakukan interpretasi. Nilai-nilai tradisional masih sangat kental
dan prinsip tradisional memainkan peran lebih penting dibanding prinsip lain.

36 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Sampai detik ini kita belum berhasil membangun Budaya Politik


Indonesia, dikarenakan selalu terbentur oleh prinsip untuk memandang seluruh
budaya itu sederajat. Padahal kita harus menjadikan salah satu budaya sebagai
patokan. Patokan yang umum adalah tradisi Jawa. Karena ide tradisi ini terekan
dengan rapih dalam berbagai peninggalan tertulis. Terkejut telah menjadi bagian
dari permainan politik musiman di Indonesia. Maka itu, tugas berat kita untuk
masa mendatang adalah membangun pola karir dalam dunia politik yang jelas.
Agar orang tak perlu pusing memikirkan apa yang tersirat di balik yang tersurat.
Kesempatan Jadi Pahlawan
Menyebut kata pahlawan, atau menilai satu tindakan memiliki nilai
kepahlawanan, jauh lebih mudah dibanding memberi definisi terhadap kata itu.
Julukan ini diberikan kepada seseorang yang berhasil mengatasi krisis besar
dalam masyarakatnya. Lazimnya, cara mengatasi dilakukan dengan pengorbanan
fisik dan tindakan tanpa pamrih. Predikat pahlawan yang saat ini sedang
dipopulerkan oleh kita adalah Pahlawan Pembangunan. Jenis pahlawan ini yang
paling cocok dan dibutuhkan kita pada masa-masa mendatang.
Faktor kesempatan berbuat merupakan salah satu kunci seseorang jadi
pahlawan. Namun demikian, selain faktor kesempatan bertindak, setidaknya ada
tiga hal secara umum menjadi ciri seorang pahlawan. Pertama, seorang pahlawan
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Cinta pada tanah air, pada bangsanya,
merupakan kunci sikap pribadi seorang pahlawan. Kedua, dia berorientasi
mengabdi pada rakyat. Ketiga, pahlawan sejati selalu berani berkorban. Julukan
pahlawan pembangunan kriteria yang paling cocok hanyalah seseorang yang
memiliki kesempatan bertindak. Dan mereka yang rela mengorbankan
kemungkinan keuntungan yang mereka dapat, hidup sederhana dan menyatu
dengan kehidupan masyarakat sekelilingnya, dan kegiatan perjuangannya sama
sekali tidak tercium oleh pers.
Pelacuran Intelektual

37 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Isu ini mengganggu susasana kerja anggota DPR yang berpredikat


intelektual. Intelektual, kata Coser (1965) adalah orang-orang berilmu yang tidak
pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu
berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakatnya sudah
dianggap baik. Julian Benda (1928) tegas menyatakan seorang intelektual yang
ikut dalam politik praktis adalah penghianat. Karena dunia politik praktis sangat
bertolak belakang dengan bidang keilmuan. Kemungkinan terjadinya benturan
dua tradisi, politik dan intelektual, sangat terbuka bila seorang intelektual masuk
ke dunia politik.
Melacurkan diri artinya mengerjakan sesuatu bukan atas kehendak
pribadinya. Dia mengerjakan sesuatu itu karena ada hal lain yang memasaknya.
Apakah intelektual bisa dipaksa? Sebenarnya, tidak ada satu pihak pun yang dapat
memaksa intelektual untuk mengambil keputusan yang menguntungkan satu
pihak. Tapi keadaan ideal ini tidak pernah tercipta.
Ladd dan Lipset menyebut tiga alasan utama. Pertama, dunia kampus
dimana intelektual berasal lebih dipandang sebagai lembaga penggodokan, kawah
candradimuka, bagi calon-calon pemimpin dalam masyarakat. Kedua, dunia
kampus lebih banyak berfungsi sebagai batu loncatan menjadi kaya dalam bidang
materi. Ketiga, muncul perkembangan baru dalam masyarakat untuk melihat
intelektual sebagai kelas masyarakat tersendiri.
Generasi Salah Asuhan
Topik yang paling sering di dengar adalah kenakalan remaja. Mendengar
kata nakal bagi remaja merupakan satu hal yang lumrah. Kualitas dan intensintas
kenakalan remaja meningkat, saat kita sudah mulai program revitalisasi nilai-nilai
keluarga. Remaja adalah simbol sukacita. Kehidupan remaja penuh dengan gaya
hidup hura-hura. Bebas mengekspresikan diri. Gaya hidup yang suka cita,
menyebabkan kaum remaja merupakan bagian dalam masyrakat yang paling peka
terhadap kemajuan jaman. Gaya hidup hura-hura ini terasa sangat pas dengan arah
gerak pembangunan kita.

38 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Dari sini kita dihadapkan dilema. Apakah harus mengerem laju


modernisasi? Apakah kita harus tetap dalam program revitaisasi nilai keluarga?
Kita harus tetap dengan program revitalisasi nilai keluarga namun harus ada tiga
syarat yang harus terpenuhi yaitu : demitosisasi nilai perang, menghindari
penggunaan standard ganda, dan perubahan sikap secara umum.
Ironi Sekitar Musibah Merapi
Bagi masyarakat jawa, merapi tidak ubahnya manusia. Ia dapat bersikap
lembut dan bisa bersikap garang. Merapi bersikap garang saat 22 november 1994.
Persoalannya adalah para nasib pengungsi. Walaupun hanya menelan korban 50
orang, para elit politik segera meras. Hampir menengok merapi. Sumbangan
mengalir deras. Hampir setiap hari elit politik datang. Terkadang beberapa dari
mereka juga berkampanye.

39 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

ANALISIS
BAB I
Bab ini menjelaskan tentang Problematika Pemilu. Dijelaskan bahwa pemilu
yang demokratis itu bukan hanya dari adanya kemunculan partai politik, tapi
bagaimana partai politik itu dapat bersaing secara baik dan bebas di dalam pemilu.
Namun kenyataannya pada pemilu tahun 1971 bisa dilihat dimana cuma partai
Golkar yang mendominasi, sehingga partai lain seperti PDI dan PPP tidak mampu
berkompetisi. Padahal untuk melihat apakah negara tersebut sudah demokratis
atau belum bisa dilihat dari bagaimana partai-partai di negara itu bisa
berkompetisi dengan baik. Dari penjelasan tersebut, pada pelaksaan pemilu tahun
1971 jelaslah tidak sehat karena hanya satu partai yang mendominasi. Itu
menunjukkan bahwa pada saat itu negara ini tidaklah demokratis dan cenderung
apatis.
BAB II
Bab ini membahas mengenai dilema wakil rakyat. Munculnya generasi
baru wakil rakyat, tapi generasi baru itu berasal dari golongan menengah keatas,
sehingga muncul kesenjangan. Wakil rakyat dijadikan boneka politik. Ada dua
bahaya yang mengintai, yaitu mengenai pertanggung jawaban presiden dan baik
capres maupun cawapres rawan terkena sindrom calon tunggal. Dalam hal ini,
mungkin adalah Soeharto. Lalu ada isu tentang sikap mental. Dilema wakil rakyat
yang terjadi adalah wakil rakyat yang tidak memenuhi dan mematuhi perintah
maka dia akan di hapus keanggotaannya oleh DPR karena tidak sesuai dengan
keinginan penguasa di zaman itu.
BAB III
Bab ini menjelaskan tentang demokrasi di Indonesia. Keseluruhannya
membahas tentang apa saja hambatan-hambatan demokrasi di Indonesia,
bagaimana jalannya demokrasi di Indonesia, apakah demokrasi dan birokrasi itu

40 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

akan berlanjut di Indonesia, tradisi yang terdapat di dalam modernisasi dan


demokrasi, serta membahas masalah kita yang berada di posisi antara modernisasi
dan demokrasi.
BAB IV
Bab ini membahas sekitar dinamika partai politik. Ini berawal dari pemilu
tahun 1955, dibagilah pemilih kepada dua kelompok, yaitu kelompok santri dan
abangan. Tahun 1955-1971 dimanfaatkan oleh partai politik untuk membentuk
basis yang kurang terdeteksi oleh Golkar. Pada 1971, Golkar kalah telak di DKI
Jakarta dari Partai PPP. Inilah yang kemudian menjadi pelecut asa PPP untuk
mengikuti pemilu-pemilu selanjutnya. Namun pada pemilu 1992, PPP dan PDI
kembali hanya menjadi pelengkap saja dikarenakan Golkar kembali menguasai
beberapa daerah di Indonesia.
BAB V
Bab ini membahas mengenani tipologi partai hegemoni. Golkar sangat
mendominasi dalam kontestasi pemilu. Tapi hegemoni partai Golkar makin tahun
kian rendah yang dilihat dari penurunan jumlah suara yang diperoleh Golkar
ketika pemilu 1992. Ini menandakan adanya kesalahan dari tubuh Golkar itu
sendiri. Golkar terlalu asik dengan dirinya sendiri sehingga lupa akan
masyarakatnya dan dinilai kurang responsif. Masyarakat kemudian mulai menjadi
dewasa dengan mulai ikut andil di dalam setiap Munas Golkar. Salah satunya
adalah bahwa rakyat merasa harus diikut sertakan dalam pengambilan keputusan
pada Partai Golkar. Lalu ada istilah kaukus, istilah itu merujuk pada pertemuan
tidak resmi antara elit partai yang bertujuan untuk mencapai persetujuan arah
gerak partai, dengan kata lain ini adalah proses deal-dealan.
BAB VI
Bab ini membahas tentang sepak terjang dari partai PDI. Dimulai dari
kesuksesan PDI di dalam pemilu 1987 dan 1992, yang mengalami pelonjakan
suara dibandingkan partai-partai lain pada saat itu. Kemudian pemparan tentang
Kongres IV PDI yang bagi penulis itu dinilai gagal total. Serta banyaknya
41 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

tindakan-tindakan atau upaya-upaya elit politik PDI dan pemerintah untuk


menggagalkan Megawati sebagai Ketua Umum Terpilih partai PDI.

BAB VII
Bab ini membahas tentang refleksi kepemimpinan. Terdapat empat dari
enam syarat pemimpin yang berhubungan dengan modernisasi. Modernisasi akan
meningkatkan taraf hidup dan taraf pendidikan penduduk, membuka cakrawala
pandang yang lebih luas lagi, meningkatkan kapasitas intelektual penduduk,
membuka kesempatan mendapat latihan tambahan dan pengalaman baru, serta
meningkatkan vitalitas kerja. Kualitas pemimpin harus jauh lebih baik
dibandingkan rata-rata penduduk, yang didukung dengan kuantitas pendukung.
Cara pandang bahwa kekuasaan merupakan milik individual menyebabkan
kepemimpinan dalam masyarakat kita diwarnai oleh faktor ego merasa diri
penting. Perlu diingat, dari sudut budaya politik keberadaan para pelaksana itu
didasari oleh pulung yang dimiliki.
BAB VIII
Bab ini membahas tentang refleksi manusia Indonesia. Disini dijelaskan
tentang bagaimana kesiapan manusia Indonesia dalam menghadapi modernisasi.
Dimana modernisasi ternyata tidak membawa perubahan cukup mendasar dari
sikap dan nilai kemasyarakatan yang sesuai dengan modernisasi itu sendiri.
Selanjutnya masalah nasionalisme. Saat ini kita bersikap mendua. Kita
menjalankan demokrasi, namun tidak menghendaki kondisi-kondisi dimana
demokrasi itu dapat berjalan. Kita juga ketergantungan terhadap bantuan
internasional dalam pembangunan. Dan nantinya gelombang modernisasi
akhirnya akan menyebabkan erosi terhadap nilai nasionalisme Indonesia.

42 | M e m b e d a h P o l i t i k O r d e B a r u

Anda mungkin juga menyukai