Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang


cukup panjang sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai
datangnya bangsa lain yang menjajah serta menguasai bangsa Indonesia.
Beratus-ratus

tahun

bangsa

Indonesia

dalam

perjalanan

hidupnya

berjuang untuk menemukan jati dirinya sebagai suatu bangsa yang


merdeka, mandiri, serta memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam
pandangan hidup serta filsafat hidup bangsa.
Latar Belakang
Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh
garis khatulistiwa yang terletak antara 00 12 ~ 80 Lintang Selatan dan
1160 48~1220 36 Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi
Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi
Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar di
sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang
lebih 45.764,53 km2.
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah
hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen
merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah
relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang
kemiringannya agak curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan
bergunung.

Sejarah Sulawesi Selatan

Provinsi

Sulawesi

Selatan

dibentuk

tahun

1964.

Sebelumnya

Sulawesi Selatan tergabung dengan Sulawesi Tenggara di dalam Provinsi


Sulawesi Selatan-Tenggara. Pembentukan provinsi ini berlandaskan pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964.
Periode terpenting sejarah Sulawesi Selatan adalah pada abad ke 14
yang pada saat itu berdiri kerajaan-kerajaan yang cukup terkenal, seperti
Kerajaan Luwu di bawah pemerintahan dinasti Tomanurung Simpuru
Siang, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone di bawah dinasti ManurungE,
Kerajaan Soppeng di bawah pemerintahan Raja To Manurung Eri
Dekkannyili, dan Kerajaan Tallo dengan raja pertamanya KaraEng Loe ri
Sero.

Pada tahun 1538, Gowa mulai bersentuhan dengan orang-orang


Eropa. Pada tahun tersebut bangsa Portugis mendarat di Bandar Niaga
Makassar dan menghadap Raja Gowa IX Tumaparisi Kallona. Kadatangan
bangsa Eropa ini selain untuk tujuan berdagang juga melakukan
penyebaran agama Katolik, misalnya dilakukan oleh Antonio de Payya
yang menyebarkan Katolik di Parepare.
Pada tahun 1562 terjadi peperangan yang dahsyat antara kerajaan
Bone dan Gowa. Raja Gowa menyerang Bone karena merasa telah
dicampuri urusan dalam negerinya. Pada akhir perang, pasukan Bone
berhasil memaksa pasukan Gowa mundur setelah melukai raja mereka.
Kurang lebih dua tahun setelah peperangan tersebut, raja Gowa
Tunipallangga kembali menyerang Bone. Namun dalam peperangan, raja
Gowa jatuh sakit dan terpaksa mundur dan kembali ke Gowa. Dia
meninggal dunia sesampainya di Gowa.
Peperangan melawan Bone dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu, I
Tajibarani. Tajibarani akhirnya tewas dalam peperangan itu. Perang
kemudian diakhiri dengan perundingan damai yang dikenal dengan
Ulukanaya ri Caleppa. Bone mendapat semua daerah di sebelah utara
sungai Tangka, serta semua daerah di sebelah timur sungai WalanaE
sampai di Ulaweng dan wilayah Cenrana.
1. Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Kesenian Sulawesi Selatan di kenal sebagai kebudayaan tinggi
dalam konteks kekinian. Karena pada dasarnya, seni tidak hanya
menyentuh aspek bentuk (morfologis), tapi lebih dari itu dia mampu
memberikan konstribusi psikologis. Disamping memberikan kesadaran
estetis, juga mampu melahirkan kesadaran etis. Diantara kedua nilai
tersebut, tentunya tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat kesenian
(public art) mampu mengapresiasi dan menginterpretasikan makna dan
simbol dari karya seni.

Arnold Hausser, seorang filosof sekaligus sosiolog seni asal Jerman


mengindentifikasi

bahwa

masyarakat

seni

terbagi

menjadi

empat

golongan. Yang pertama: Budaya Masyarakat Seni Elit, yaitu masyarakat


seni intelektual yang banyak memberikan konstribusi perkembangan seni
dalam suatu daerah. Kedua: Budaya Masyarakat Seni Populer, yaitu
masyarakat seni intelektual yang hanya mengedepankan kepentingan
subjektifitas terhadap kebutuhan estetik yang berjalan sesuai dengan
konteks (zaman). Misalnya dokter, pengusaha, dan politikus. Ketiga:
Budaya Masyarakat Seni Massa. Yaitu budaya masyarakat golongan
menengah kebawah, biasanya golongan ini hanya mementingkan aspek
kesenangan dan mudah larut dalam perkembangan peradaban. Dan yang
keempat: Budaya Masyarakat Seni Rakyat. Masyarakat seni ini terbentuk
secara spontanitas melalui kepolosan. Golongan ini juga senantiasa
mempertahankan wasiat seni para leluhurnya.
Mengenal kebudayaan propinsi Sulawesi Selatan berarti mengenal
adat kebudayaan yang ada di seluruh daerah Sulawesi Selatan. Di Sulsel
terdapat Banyak suku/etnis tapi yang paling mayoritas ada 3 kelompok
etnis yaitu Makassar, Bugis dan Toraja. Demikian juga dalam pemakaian
bahasa sehari-hari ke 3 etnis tersebut lebih dominan. Kebudayaan yang
paling terkenal bahkan hingga ke luar negeri adalah budaya dan adat
Tanah Toraja yang sangat khas dan sangat menarik.
Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan
sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar
yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri.
Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo, serta
lagu Bulu Alaina Tempe. Sedangkan lagu yang berasal dari Tana Toraja
adalah lagu Tondo.
Untuk rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi
Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja dari segi
arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya.

Rumah-rumah adat tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah


adat yang ada di sana mempunyai kolong di bawah rumahnya. Tinggi
kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya dengan
status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan,
orang berpangkat atau hanya rakyat biasa.
Hampir

semua

masyarakat

Sulsel

percaya

kalau

selama

ini

penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah orang


Toale. Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang
orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni hutan).
Macam-macam kesenian dan kebudayaan Sulawesi Selatan antara lain
sebagai berikut:
1. Upacara Rambu Solo

Upacara Adat Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat


Tana Toraja (upacara penyempurnaan kematian) untuk menghormati dan
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah
tempat peristirahatan yang disebut Puya, di bagian selatan tempat tinggal
manusia. Puncak acara ini disebut Upacara Rante serta acara lain seperti
Adu Kerbau, Adu Kaki dan-lain-lain.

Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial


keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan.
Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya.
Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih
berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah
berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi.
2. Tari Pakarena

Tari Pakarena adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang


diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument
alat semacam suling (puik-puik). Juga ada jenis tari pakarena lain yang
berasal

dari

Kabupaten

Kepulauan

Selayar

yaitu

Tari

Pakarena

Gantarang. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini


berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di
Pulau Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang
dimainkan oleh kurang lebih empat orang penari perempuan ini pertama
kali ditampilkan pada abad ke 17 tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta
Raja dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata.
Tidak ada data yang menyebutkan sejak kapan tarian ini ada dan
siapa yang menciptakan Tari Pakarena Gantarang ini namun masyarakat
meyakini bahwa Tari Pakarena Gantarang berkaitan dengan kemunculan
Tumanurung. Tumanurung merupakan bidadari yang turun dari langit

untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk


yang diberikan tersebut berupa symbol simbol berupa gerakan
kemudian di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang. Tari Pakarena berawal
dari kisah perpisahan penghuni botting langi (Negeri Kayangan) dengan
penghuni lino (bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi
mengajarkan kepada penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok
tanam hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan
kaki. Gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual ketika penduduk
di bumi menyampaikan rasa syukur pada penghuni langit.
Tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Setiap gerakan memiliki makna
khusus. Posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena.
Gerakan

berputar

mengikuti

arah

jarum

jam,

menunjukkan

siklus

kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin


irama kehidupan. Tari Pakarena Gantarang diiringi alat music berupa
gendang, kannong-kannong, gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan
kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa sabe
(sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas
Kabupaten Selayar.
3. Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan


Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I

Mangngi-mangngi Daeng

Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa

Makassar, Balla Lompoaberarti rumah besar atau rumah kebesaran.


Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu
rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter
untuk masuk ke ruang teras.
Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi bendabenda

Kerajaan

Gowa.

Benda-benda

bersejarah

tersebut

dipajang

berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di


bagian depan ruang utama bangunan, sebuah peta Indonesia terpajang
di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang silsilah keluarga Kerajaan
Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja
Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan
(1947-1957). Di ruangan utama ini, terdapat sebuah singgasana yang di
letakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat
perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong
sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di
ruangan ini.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat
ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25
juta rupiah per tahun untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.
4. Mapasilaga Tedong

Mapasilaga Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini


bukanlah kerbau sembarangan. Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga)
atau kerbau albino yang menjadi kerbau aduan. Kerbau yang termasuk
kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut merupakan spesies
kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada juga kerbau
Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong Boke
yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling
mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang
sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.
5. Baju Bodo

Baju

bodo

adalah

pakaian

tradisional

perempuan

suku

BugisMakassar, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi empat,

biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju
bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.
Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh
perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.
Warna Arti
Jingga

dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun.

Jingga dan merah


Merah

dipakai oleh gadis berumur 10-14 tahun.

dipakai oleh perempuan berumur 17-25 tahun.

Putih dipakai oleh para pembantu dan dukun.


Hijau dipakai oleh perempuan bangsawan.
Ungu dipakai oleh para janda.
Dulu, baju bodo bisa dipakai tanpa penutup payudara. Hal ini sudah
sempat diperhatikan James Brooke (yang kemudian diangkat sultan Brunei
menjadi raja Sarawak) tahun 1840 saat dia mengunjungi istana Bone :
Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana Sehelai sarung
[menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin
(kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.Rupanya cara
memakai baju bodo ini masih berlaku pada tahun 1930-an.
6. Makanan Khas

Barongko merupakan makanan khas Bugis-Makassar yang terbuat


dari pisang yang dihaluskan, telur, santan, gula pasir, dan garam.
Kemudian dibungkus daun pisang lalu dikukus. Dahulu, Barongko disajikan
sebagai hidangan penutup bagi para raja Bugis. Selain itu juga sering
disajikan saat acara adat seperti sunatan, pernikahan, syukuran dan lain
sebagainya.
Coto Makassar atau Coto Mangkasara adalah makanan tradisional
Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini terbuat dari jeroan (isi perut)
sapi yang direbus dalam waktu yang lama. Rebusan jeroan bercampur
daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui dengan bumbu yang
diracik secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan
dengan ketupat dan burasa. Saat ini Coto Mangkasara sudah menyebar
ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga
restoran.
Sup Konro adalah masakan sup iga sapi yang berasal dari tradisi
Bugis dan Makassar. Sup ini biasanya dibuat dengan bahan iga sapi atau
daging sapi. Masakan berkuah warna coklat kehitaman ini biasa dimakan
dengan ketupat kecil yang dipotong-potong terlebih dahulu. Warna gelap
ini berasal dari buah kluwek yang memang berwarna hitam. Bumbunya
relatif kuat akibat digunakannya ketumbar.
7. Accera Kalompoang

Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan


benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di
Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalahallangiri kalompoang,
yaitu pembersihan dan

penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat

pada abad ke-14. Mahkota ini

pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I

Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja


Gowa berikutnya.
Adapun benda-benda kerajaan yang dibersihkan di

antaranya:

tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi


tua (lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata
sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas
berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), antinganting emas murni (bangkarak taroe), dan kancing emas (kancing
gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda
impor yang tersimpan

di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan,

seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI; tiga tombak
emas;

parang

panjang(berang

manurung);

penning

emas

murni

pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali

emas

pemberian Belanda.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan

oleh Raja

Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi Daeng

Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil Awal


1051 H.

atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah

memulainya, namun

upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja

Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung


Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara
ini pada setiap tanggal 10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha.
Selanjutnya, Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng

Mattawang Karaeng

Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang


bergelar Ayam Jantan dari timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke
dalam upacara ini, yakni penyembelihan hewan kurban.
8. Fort Rotterdam

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah


sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini
berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga
orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng
Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan
Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah
satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini
kepada

Belanda.

Cornelis

Speelman

sengaja

memilih

nama

Fort

Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini

kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempahrempah di Indonesia bagian timur.

PENUTUP

1. Kesimpulan
Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang cukup panjang. Selain
memiliki sejarah yang cukup panjang, Sulawesi Selatan juga memiliki
kesenian

dan

kebudayaan

yang

bermacam-macam.

Bahkan

kebudayaannya sudah terkenal ke berbagai Negara-negara lain di dunia.


Salah satu bukti bahwa Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang cukup
panjang ialah pada abad ke 14 yang pada saat itu berdiri kerajaankerajaan

yang

pemerintahan

cukup
dinasti

terkenal,

seperti

Tomanurung

Kerajaan

Simpuru

Siang,

Luwu

di

bawah

Kerajaan

Gowa,

Kerajaan Bone di bawah dinasti ManurungE, Kerajaan Soppeng di bawah


pemerintahan Raja To ManurungE ri Dekkannyili, dan Kerajaan Tallo
dengan raja pertamanya KaraEng Loe ri Sero.
2. Saran
Dari sejarah serta kesenian dan kebudayaan yang ada di Sulawesi
Selatan, bisa disimbolkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang
kaya akan budaya. Namun, ada baiknya jika kekayaan tersebut bisa
dilestarikan.

Tentunya

pemerintahanlah

yang

harus

berpartisipasi

seutuhnya, serta dibantu oleh masyarakat pribumi khusunya, umumnya


oleh non pribumi, agar kekayaan kesenian dan kebudayaan yang ada bisa
tetap ada, meskipun budaya Barat sudah menjamur di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai