Anda di halaman 1dari 11

Antropologi Kiri

Ditulis oleh Perhimpunan Muda Rabu, 25 April 2007 00:00


Dan orang-orang yang terhitung paling jujur di antara mereka tengah bertanya-tanya di
dalam hati, pertanyaan yang mereka tidak berani menjawabnya sendiri: Adakah
memang Karl tua itu benar? (Alan Woods dan Ted Grant, 2005)
Berlagak seperti seorang demokrat sejati, Pedro Carmonas, pemimpin Asosiasi Pemilik
Perusahaan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden baru beserta kroni-kroninya
dengan secarik kertas dan sebuah pena membubarkan parlemen Venezuela yang terpilih
secara demokratis. Media internasional pun dengan segera (seperti sudah terencana
sebelumnya) melaporkan kudeta ini sebagai sebuah gerakan popular demokratis.
Antropologi adalah sebuah disiplin keilmuan yang dilahirkan rahim revolusi borjuis
Eropa dan tumbuh dewasa dalam asuhan penjajahan (lih. Kuper 1996: 114-138; Keesing
1996: 143-185). Sedangkan Marxisme, meskipun dilahirkan oleh ibu yang sama, tapi ia
diasuh oleh perlawanan terhadap kodrat menindas kapitalisme. Oleh karena itulah, ketika
antropologi menjadi pemandu para penjajah menegakkan kebenaran nilai-nilai
kapitalisme ke penjuru dunia, Marxisme justru menjadi pegangan dalam perjuanganperjuangan melawan pengaruh jahat kapitalisme di mana pun sistem itu mencengkramkan
kuku-kuku beracunnya.
Karena pendewasaan yang berseberangan ini, pemikiran Marx tentang masyarakat pernah
(di-)tenggelam(-kan) di tengah arus pelupaan dunia akademik antropologi. Di Indonesia
sendiri, jurusan-jurusan antropologi tumbuh berkembang di masa pembangunan. Sejak
kepulangan Profesor Koentjaraningrat dari Yale University, antropologi dikembangkan
khusus untuk mengabdi kepada pejuang pembangunan yang berpangkalan di suatu
universitas ternama di Jakarta dalam memodernkan bangsa Indonesia agar bisa tinggal
landas menuju masyarakat adil dan makmur. Seperti buldozer, antropologi Indonesia
bergerak ke berbagai pedalaman membukakan jalur yang akan melapangkan gerak
pembangunan ke mana pun kapital ingin mengalir. Seperti teropong, antropologi
Indonesia menyediakan pandangan yang bagi awam begitu jauh menjadi dekat.
Dikumpulkanlah berbagai etnografi tentang masyarakat-masyarakat yang dianggap
penting oleh penguasa.
Seperti antropolog-antropolog Dunia Ketiga lainnya, para antropolog Indonesia pun sibuk
mengumpulkan berbagai gambaran tentang masyarakatnya sendiri. Para antropolog yang
diongkosi sekolahnya ke luar negeri, selalu saja pulang membawa tesis tentang orang
kampungnya sendiri yang salinannya disimpan di Library of Conggres sambil meyakini
sepenuh hati netralitas pengetahuan. Di dalam keadaan seperti ini, ada beberapa hal
hilang.
Bila bukan haram, pemanfaatan konsep Marx boleh dibilang makruh. Artinya, orang akan
berpahala bila meninggalkannya meski tidak akan berdosa bila menggunakannya. Hilmar

Farid mengamati lenyapnya konsep kelas Marxian dalam daftar konsep-konsep ilmu
sosial Indonesia. Konsep kelas kemudian diacak-acak dengan dimasukkannya konsep
golongan bawah, golongan menengah, dan golongan atas yang kabur rujukan
empirisnya. Dengan lenyapnya konsep kelas, pendekatan konflik atas hubunganhubungan sosial juga lenyap hampir tak tersisa. Konflik-konflik dalam masyarakat
dianggap tidak ada dan memang tidak tampak bila konsep-konsep yang bisa membantu
peneliti melihatnya tidak begitu dipelajari. Kalau pun konflik dalam masyarakat muncul
ke permukaan, dengan segera peristiwa tersebut dianggap hanya sebagai sesuatu yang
tidak wajar. Konflik dianggap suatu penyimpangan belaka dari kodrat masyarakat yang
tata tentrem kerta raharja. Ketika teori modernisasi menjadi satu-satunya teori yang sah
untuk menganalisis masyarakat Indonesia yang harmonisbahkan, menurut Farid, teori
modernisasi menjadi ilmu sosial Indonesia itu sendiri, teori kelasnya Marx terdengar
ganjil dan menggelikan (lih. Farid 2006).
Gagasan-gagasan Marx yang lain seperti tentang ragam produksi (mode of production),
arti penting faktor ekonomi, analisis ideologi, teori penghisapan ekonomi dan penguasaan
politik, atau teori revolusi benar-benar seperti Elang Jawa yang kian langka tergusur
pembangunan ke sudut-sudut diskusi sepi dan gelap.
Tentu saja, sebagai teori, gagasan Marx tidak perlu dirawat layaknya berlian tanpa cacat.
Ada banyak kritik yang sudah dan terus dibenturkan bahkan sedari pemikirnya masih
hidup hingga hari kemarin. Marx bukanlah nabi yang sempurna tapi manusia biasa
seperti halnya Clifford Geertz atau Profesor Koentjaraningrat. Meski bagi sebagian orang
ia diperlakukan bagai nabi, tapi ia haruslah nabi yang tidak masum. Ia mungkin saja
keliru. Gagasannya perlu dibanting-banting ke lantai marmer kritik untuk menguji arti
penting dan ketahanannya sehingga bisa dimanfaatkan dalam membangun pemahaman
atas persoalan sosial dengan lebih baik. Tetapi, bagaimana kita bisa mengkritiknya bila
karya-karya Marx dihukumi najis sehingga tidak boleh disentuh atau justru sebaliknya
dianggap kitab suci sehingga dikeramatkan dan tak boleh dikritik. Bagaimana mungkin
kita mengajukan kritik terhadap sesuatu yang diperlakukan bagai setan atau wahyu suci
yang menakutkan sekaligus tak berwujud?
Ulasan dalam bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa dalam satu sisi gagasan-gagasan
Marx memang tampak sangar. Gagasan-gagasan itu mengobrak-abrik pandangan yang
berlaku umum dalam masyarakatnya. Misalnya gagasan Marx tentang asal-usul negara
dan kepemilikan pribadi. Bagi Marx, negara cuma hasil dari keadaan tataran ekonomi
yang tidak sehat dalam suatu babak historis tertentu dalam sejarah masyarakat manusia.
Artinya, keberadaan negara merupakan wujud ketakwajaran perkembangan masyarakat.
Gagasan ini menggoncang lapisan kemurkaan para pemikir borjuis yang meyakini negara
sebagai sesuatu yang sudah wajar adanya. Negara adalah sesuatu yang memang harus ada
sebagai perwujudan kebebasan sejati umat manusia.
Selain itu, Marx menunjukkan bahwa kehadiran negara bukanlah dari kesepakatan
individu-individu yang mengadakan kontrak sosial demi kesejahteraan bersama. Negara
hanyalah perangkat pemaksa kelas penguasa agar terus berkuasa terhadap mereka yang
lebih lemah demi menumpuk kepemilikan pribadi. Keberadaan negara menjadikan

lembaga kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang normal; sesuatu yang memang sudah
seharusnya begitu.
Gagasan Marx tentang asal-mula negara tidak hanya mengejutkan pemikir borjuis
sejamannya. Gagasan ini juga mengagetkan kaum revolusioner sebayanya yang bertujuan
merombak negara karena negara dianggap sumber ketidakadilan sosial. Bagi Marx,
negara bukanlah sumber sejati ketidakadilan sosial. Negara justru hanya akibat dari
tatanan masyarakat yang sakit; masyarakat yang di dalamnya tercabik-cabik kesenjangan
kelas bermilik dan kelas tak-berpunya dan adanya penghisapan atas kelas pekerja oleh
kelas bermilik tersebut. Dari keterpilahan dan tercabiknya masyarakat oleh perebutan
kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan inilah negara muncul. Jadi, gagasan Marx
tentang negara memang tampak sangar. Ia menggoncang sisi kanan dan kiri sekaligus; ia
meruntuhkan kepercayaan bahwa negara adalah sumber keadilan sejati, sekaligus
meluluhkan iman kaum revolusioner bahwa negara adalah sumber ketidakadilan sejati.
Lewat konsep kelasnya, Marx memandang bahwa konflik bukan hanya salah satu bentuk
interaksi sosial, tetapi merupakan satu-satunya bentuk interaksi yang hakiki dalam setiap
masyarakat berkelas. Keadaan adem ayem merupakan keganjilan belaka karena
sebenarnya bara mendekam di relung terdalam kehidupan sosial. Di dunia kontemporer,
roh kapitalisme gentayangan dirundung penderitaan karena mengandung kontradiksikontradiksi dalam dirinya sendiri. Karena kodratnya sendiri, kapitalisme sedang
mengandung anak di dalam rahim krisis-krisisnya yang akan membunuhnya. Anak
durhaka itu dilahirkan oleh kapitalisme tetapi bukan bagian dari ibunya. Dialah
kesenjangan kaya-miskin beserta kelas proletarnya yang terpilih. Persis seperti nabi-nabi
Israel yang bernubuat, Marx mewartakan akhir dari dunia jahat kapitalisme dan
merekahnya seribu tahun kedamaian di bumi sosialisme. Tetapi berbeda dengan
pendahulunya, Marx tidak menempatkan seorang suci sebagai pembimbing revolusi, tapi
memilih proletar sebagai kelas pendobrak.
Gagasan-gagasan Marx begitu revolusioner. Gagasan-gagasan tersebut tidak hanya
membantu borjuis menghantam tatanan masyarakat feodal tetapi juga menyerang
masyarakat borjuis yang melahirkannya.
Pada dasarnya, sebagai disiplin ilmiah yang dikembangkan masyarakat borjuis di Jaman
Kapital, sejak kemunculannya antropologi sangat revolusioner. Artinya, antropologi
merupakan bagian tak-terpisah dari gelombang besar revolusi-revolusi sosial di Eropa.
Antropologi merupakan salah satu senjata borjuis dalam upayanya meruntuhkan
gambaran dunia feodal yang didominasi pandangan keagamaan. Antropologi merupakan
meriam panas yang meluluhkan gagasan feodal tentang masyarakat dan kebudayaan
sebagai sesuatu yang ajeg dan sudah sedemikian adanya dalam suratan tangan Tuhan.
Sebagai misal, gagasan Sir Henry Maine, seorang pelopor teori antropologi hukum,
tentang evolusi hukum. Dalam bukunya the Ancient Law (1861), Maine mengajukan
gagasan bahwa hukum mengalami evolusi yang geraknya dari tingkat rendah menuju ke
tingkat lebih tinggi. Derajat kedudukan hukum dalam masyarakar-masyarakat
dikategorikannya ke dalam dua pilahan, yaitu hukum yang berdasarkan hubunganhubungan status seperti yang dipraktekkan masyarakat primitif hingga feodal dan hukum

berdasarkan hubungan-hubungan kontrak yang menjadi landasan masyarakat borjuis.


Perkembangan dari tatanan hukum status ke hukum kontrak tidak terelakkan sejalan
dengan perkembangan kehidupan sosial pada umumnya. Dengan demikian, tatanan
hukum peninggalan feodalisme, seperti penentuan kedudukan seseorang berdasarkan
keturunan, haruslah ditanggalkan dan masyarakat musti berpaling ke hukum modern
yang menghargai kebebasan individu-individu dan menempatkan individu dalam
kedudukan sosial berdasarkan pencapaian-pencapaian perseorangannya. Tidakkah
gagasan leluhur antropologi ini begitu revolusioner? Sangat. Di satu sisi ia menempatkan
hubungan status sebagai landasan hukum yang ketinggalan jaman dan pasti akan
tenggelam dihantam perubahan niscaya, dan dengan begitu Maine menghantam
kedudukan kaum bangsawan beserta sisa-sisanya, di sisi lain Maine juga menyediakan
pembenaran ilmiah untuk tatanan hukum borjuis yang berlandaskan hubungan kontrak
antarindividu-individu yang setara.
Gagasan bahwa pengetahuan selalu berpihak pada kepentingan-kepentingan yang
bertarung dalam masyarakat sudah demikian canggih dipertegas Karl Mannheim. Dengan
kacamata sosiologi pengetahuan tampaklah bahwa antropologi kontemporer, seperti
halnya ekonomi-politik yang dihadapi Marx semasa karir revolusionernya, bukanlah ilmu
netral yang sepenuhnya dibangun demi memahami masyarakat dan kebudayaan betulbetul untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya. Ilmu ini secara historis terbangun di
tengah-tengah pertarungan habis-habisan antara sisa-sisa pandangan dunia feodal dengan
kekuatan baru borjuis yang dimulai dari tepian Laut Tengah Italia dengan Renaisansnya
dan dari Paris dengan gerekan Pencerahan Akal Budinya. Sebagai kekuatan baru yang
sedang menumbangkan kekuatan-kekuatan lama yang loyo, borjuis tidak hanya
menghantam tatanan politik dan ekonomi feodal yang ledakannya memuncak pada
Revolusi Perancis 1789 dan Revolusi Industri di Inggris. Borjuis juga memberangus
ideologinya. Borjuis membalik semua tatanan lama seperti dengan tapat dilukiskan Marx
bahwa dalam revolusi borjuis, Semua yang padat melebur ke dalam udara, semua yang
suci diduniawikan (Marx & Engels 2004: 12).
Antropologi merupakan salah satu asam yang mampu melelehkan kepadatan pandangan
dunia feodal yang berpusat pada Tuhan dan menggantikannya dengan pandangan dunia
yang berpusat pada manusia. Antropologi menyusun kerangka fosil-fosil dari
Australophitecus Afarensis hingga Homo Sapiens dan memaklumkan perkembangan
evolutif manusia dari dunia binatang berjuta tahun lamanya. Antropologi juga menyusun
entografi-etnografi yang memungkinkan penciptaan teori-teori tentang asal-usul agama
dan kepercayaan, asal-mula keluarga dan perkawinan, asal-usul dan perilaku negara, dan
sebagainya. Bila dalam masyarakat feodal segala sesuatu dianggap berasal-usul dari
kekuatan Ilahiah, maka dalam masyarakat borjuis, dengan bantuan ilmu antropologi,
terbukalah cakrawala pengetahuan baru bahwa segalanya berubah dan runutan awalnya
akan berujung bukan dari kekuatan Ilahiah, tapi kekuatan manusia.
Untuk melanggengkan tatanan kapitalisme, masyarakat borjuis tidak hanya butuh
pembentukan ulang pekerja-pekerja upahan dan peningkatan kekuatan produktif. Karena
manusia memahami dunia dan bertindak terhadapnya melalui konsep-konsep dan teoriteori, borjuis juga wajib menghasilkan dan membentuk ulang terus-menerus disertai

pengingkatan derajat kecanggihan yang kian tinggi konsep-konsep dan teori yang
mendukung tatanannya. Dalam sejarah teori antropologi, para pelajar tentu tak kesulitan
menyaksikan menyembulnya kepentingan ekonomi-politik dari dalam teori-teori yang
berseliweran beradu kekuatan di belantara ilmu.
Konsep bisa sangat politis. Misalnya saja di dalam hampir semua buku ajar sejarah di
Indonesia, penjarah kekayaan Nusantara sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 adalah
bangsa penjajah, Belanda. Nyatanya, VOC, meskipun bertanggung jawab pada
parlemen negeri Belanda, VOC bukanlah perwujudan kepentingan suatu bangsa, tapi
kepentingan kapitalis-kapitalis yang kebetulan berkantor dan bekerja sama dengan
pemerintah di negeri Belanda. VOC jelas-jelas adalah perusahaan saham gabungan
(perseroan) yang pengerukan keuntungannya bertanggung jawab kepada para pemegang
saham. Dengan lain kata, VOC adalah nenek moyang korporasi-korporasi. Mereka
mengeruk kekayaan dunia dengan berpegang pada satu-satunya norma, yaitu meraih
keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Konsep penjajah Belanda mengaburkan kenyataan sebenarnya bahwa yang menjajah
dan menghisap kekayaan alam Nusantara adalah kapitalis-kapitalis baik kapitalis dari
negeri Belanda maupun kapitalis dari negeri sendiri. Sebagai contoh, Mangkunegara IV
bukanlah bangsa Belanda tapi bangsawan sekaligus kapitalis pribumi yang mengelola
kapital dalam perkebunan dan pabrik gula di bawah perlindungan prajurit-prajurit
kompeni menghisapi keringat pekerja-pekerja Jawa dan menyumbang pemasukan bagi
pemerintah negeri Belanda sejumlah 664.500.000 gulden pada 1877.
Dalam kapitalisme, persoalan latar belakang kebangsaan tidak begitu penting selama
tidak mengganggu perampokan yang sedang diperbuat. Persaingan Inggris dan Belanda
di Aceh yang digambarkan sejarawan Anthony Reid, misalnya, bukanlah persaingan
antarbangsa, tapi persaingan antarperseroan dagang memperebutkan komoditi-komoditi
penting. Memang, sebagai komuniti terbayangkan, bangsa sering dimanfaatkan kapitalis
demi keuntungannya (misalnya untuk menggugah semangat para kelasi). Persis seperti
yang dilakukan Cecil Rhodes, kapitalis raksasa Inggris, di hadapan parlemen Inggris
ketika meyakinkan sahnya penjajahan Inggris atas Asia dan Afrika demi menghindari
perang saudara di dalam negeri.
Bagi Marx berteori itu politis. Praxis merupakan ruh pemikiran Marx. Seperti halnya
Marx menggunakan ekonomi-politik borjuis untuk menyusun kritik terhadap kapitalisme,
begitu pula kita bisa menjadikan antropologi sebagai senjata kritik terhadap tatanan
sosio-kultural kapitalisme dan kritik diri atas kecenderungan ilmu sosial yang ikut
melanggengkan tatanan tersebut.
Di dalam esainya The Marxism of Rosa Luxemburg, Georg Lukcs menyatakan bahwa
perbedaan mendasar antara pemikiran Marx dan pemikiran borjuis bukan terletak pada
pengutamaan aspek ekonomi dalam menjelaskan masyarakat dan sejarahnya, tapi sudut
pandang totalitasnya (Lukcs 1990: 27). Totalitas atau sudut pandang yang
mengutamakan kesaling-kaitan antarunsur, antaraspek, dan antarwaktu dalam satu
kesatuan kehidupan sosial yang senantiasa berubah secara dialektis merupakan metoda

utama Marx. Dari titik inilah kiranya antropologi bisa meraih kembali hakikatnya sebagai
ilmu tentang umat manusia setelah sekian lama dikungkung fungsionalisme yang
melepaskan kacamata historis dari antropologi. Mengikuti kritik Marx terhadap ahli-ahli
ekonomi borjuis, dalam kasus fungsionalisme, para ahli teori ini begitu canggih
menjelaskan bagaimana berbagai pola hubungan sosial bekerja dalam suatu masyarakat,
tetapi mereka tidak menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan sosial ini tercipta;
fungsionalisme tidak bicara tentang bagaimana pergerakan historis melahirkan
hubungan-hubungan sosial ini (ibidiem). Padahal, lewat penelusuran asal-usul hubungan
sosial inilah bisa ditemukan sumber-sumber asali cacat-cacat masyarakat terutama
praktek penghisapan manusia atas manusianya.
Kehidupan sehari-hari dilandasi kesadaran praktis yang memandu pikiran dan tindakan
orang untuk berbuat secara wajar sesuai tuntunan masyarakat. Lewat berbagai konsep,
orang per orang memahami diri dan dunia sekitarnya. Tampakan dunia ke dalam
kesadaran ini, karena diperantarai konsep-konsep, tidak selalu sama dengan
kenyataannya. Kesenjangan antara tampakan dan kenyataan dimungkinkan oleh adanya
ideologi. Ideologi menyediakan konsep-konsep yang memelintir kenyataan sedemikian
rupa sehingga kenyataan yang tampil ke hadapan kesadaran sudah beralih rupa.
Terpilahnya masyarakat ke dalam borjuis dan proletar, misalnya, dipandang (secara
keliru) oleh banyak orang sebagai takdir ilahi atau, dalam kerangka pikir teori
fungsionalisme, sebagai fungsi yang sudah begitu adanya demi kelangsungan
masyarakat. Bagi fungsionalisme, keberadaan kaum pekerja miskin yang luntang-lantung
mengemis pekerjaan memang sudah seharusnya. Adanya lapisan sosial ini berguna
sebagai cadangan tenaga kerja yang siap sedia diperas kapitalis atau untuk mengerjakan
pekerjaan hina yang dibutuhkan masyarakat borjuis seperti pembersih WC, pemulung
sampah, pelacur, penagih utang, preman penjaga toko, dan sebagainya. Tanpa orangorang miskin yang terusir baik dari lahan pertanian maupun dari pabrik-pabrik yang
bangkrut karena persaingan antarkapitalis, maka kotoran-kotoran masyarakat borjuis
tidak akan ada yang membersihkan.
Konsep takdir atau fungsi sama-sama mengelabui orang dari kenyataan bahwa tidak
sejak jaman asalinya masyarakat terpilah ke dalam lapisan-lapisan yang timpang dalam
penguasaan alat produksi dan kekayaan. Pengelabuan ini dibantu perangkat-perangkat
ideologis yang bekerja serupa mesin penyempot hama. Air dan pestisida dicampur, lalu
disemprotkan ke khalayak awam agar hama-hama kritik dan perlawanan dimatikan. Siapa
penyemprot hama ini? Dalam pemikiran Althusser, mereka adalah pelaku-pelaku drama
yang berada di dalam persekutuan keagamaan, media massa, keluarga, sekolah,
pengadilan, dan kawan-kawan yang disebutnya sebagai Aparat Ideologis Negara.
Kerjaan para ideolog ini, kapan pun dan di mana pun, sama. Di sadari atau tidak mereka
menjadi mesin pencipta tabir yang menghalangi pandangan orang dari kenyataan
(termasuk dari pandangan mereka sendiri). Para ideolog di masa feodal menyebarluaskan
pandangan bahwa dunia dan segala isinya sudah ditata sedemikian rupa oleh Tuhan ke
dalam lapisan-lapisan sosial bertingkat demi kemaslahatan manusia seluruhnya.
Tingkatan masyarakat merupakan cerminan tingkatan di Langit. Kemiskinan dan

penderitaan para hamba dan budak dianggap hukuman atau cobaan yang datangnya dari
Tuhan. Penindasan-penindasan tuan tanah merupakan ujian bagi kesabaran dan
kepasrahan akan hidup yang nista. Di dalam masyarakat yang mengagungkan kerohanian,
kedudukan tinggi diberikan kepada rohaniwan karena dianggap sebagai wakil-wakil
Tuhan di bumi. Bila seorang rohaniwan yang menguasai berpuluh-puluh biara dan gereja
datang menghadap seorang bangsawan, layak kiranya bangsawan itu menyambutnya
dengan dikawal para ksatrianya. Sebaliknya, bila seorang petani-hamba hendak mengeluh
soal pajak yang terlalu menyekik, pantas kiranya seorang prajurit tombak
menghadangnya. Semuanya dianggap wajar dan dibuat sedemikian wajar adanya. Upaya
mengubah tatanan ini dianggap menantang kehendak Tuhan dan dengan demikian
dihukumi sebagai tidak beriman.
Para aparat ideologi borjuis bertindak tak jauh beda dengan rekan-rekan feodal mereka.
Ilmuwan-ilmuwan sosial berlomba-lomba meyakinkan bahwa kodrat kehidupan sosial
memanglah seperti sekarang adanya. Pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas
dikaitkan dengan fungsi sosial yang niscaya di dalam semua masyarakat sejak manusia
itu sendiri ada. Kemiskinan dan penderitaan kelas pekerja di Dunia Ketiga dipandang
sebagai karma kemalasan, kebodohan, atau tidak inovatifnya mereka. Di dalam
masyarakat yang mengagungkan kepemilikan pribadi, kapitalis-kapitalis penganggur
yang kekayaan pribadinya bisa lebih besar dari pendapatan nasional sebuah negara di
Afrika menduduki kursi tertinggi penghormatan. Bila seorang kapitalis hendak berjumpa
presiden, layak kiranya bila presiden beserta beberapa menteri utamanya datang
menyambut. Sebaliknya bila seorang kuli pabrik hendak bertemu untuk mengeluh soal
tunjangan kesehatan, pantas kiranya seorang kopral datang menghardiknya. Semuanya
dianggap wajar dan dibuat sedemikian wajar adanya. Semua upaya menyangkal untuk
mengubah keadaan ini dianggap sebagai penentangan terhadap kodrat sosial manusia dan
dengan demikian dicap sebagai tidak ilmiah.
Jadi, sekali lagi, berteori tidak pernah suci dari dosa seperti yang selama ini diyakini
penuh iman orang-orang sekolahan. Berteori berarti berpihak. Teori sosial adalah wilayah
pertarungan. Tapi, antropolog marxis tidak harus terjerumus ke dalam penyakit Hegelian
Muda yang menganggap mengubah teori akan mengubah keadaan. Tidak. Teori bukan
tujuan penghantaman. Teori hanya alat dan pertarungan teoritis sekadar jalan menuju
kritik asali, yaitu kritik terhadap tatanan masyarakat tempat teori itu tumbuh.
Seperti nabi-nabi Israel, Marx bernubuat soal akhir kapitalisme. Globalisasi mula-mula
melangkah lamban digerakkan kapal-kapal dagang para saudagar petualang di abad ke15. Kini ia telah melaju cepat memampatkan ruang dan waktu sehingga skala segala hal
mengecil. Pasar dunia dan kolonisasi diramalkan Marx akan berujung pada penguasaan
sumber daya bumi oleh dan untuk kemaslahatan segelintir orang saja. Hukum besi
akumulasi kapital dan kutukan peningkatan kekuatan produktif telah pula diramalkan
Marx akan berujung pada penyingkiran semakin dan semakin banyak orang dari produksi
kekayaan. Pengangguran menjadi fenomena global, kebrutalan undang-undang
perburuhan bukan hanya mimpi buruk pekerja Menchester abad ke-19, tapi juga bagi
pekerja-pekerja di seluruh penjuru bumi saat ini. Globalisasi tidak hanya mengantar
kapital ke mana pun keuntungan sebesar-besarnya bisa ditangguk. Globalisasi juga

mengirim wabah pengangguran, kemiskinan, kejahatan, dan penistaan terhadap manusia


ke mana pun kapital menjarah.
Peningkatan produktivitas berskala dunia telah demikian luar biasa. Teknologi telah
begitu berkembangnya sehingga bisa menjadikan kegiatan manusia bisa jauh lebih cepat,
lebih kuat, dan lebih banyak menghasilkan apa pun. Namun, perkembangan kekuatan
produktif serta kapital di tingkat dunia ini tidak berada untuk menjadi kebaikan bagi
sekalian umat manusia, tapi hanya menjadi rahmat bagi segelintir kapitalis yang
menguasainya. Kenyataan ini sama sekali bukan takdir ilahiah. Kesenjangan kepemilikan
ini ciptaan manusia dalam dalam wujudnya sebagai masyarakat yang sakit.
Para ilmuwan sosial dan filsuf borjuis dengan tenang berteori bahwa sudah kodrat
manusia itu serakah dan ingin menang sendiri tanpa terpikir akibat teori ini dalam
kehidupan manusia. Kesenjangan sosial ekonomi dianggap sebagai hal lumrah dan
sebagai suatu sistem sosial. Masyarakat dipandang mempunyai fungsi-fungsi untuk
semua hal yang ada di dalamnya, termasuk kemiskinan sebagian besar dan kelimpahan
sebagian sangat kecil anggotanya. Antropologi (dan arkeologi) menampiknya.
Ketimpangan sosial-ekonomi merupakan penyakit. Penyakit dalam masyarakat berkelas.
Ketimpangan ini sama sekali bukan kodrat asali kehidupan sosial manusia. Justru, seperti
ditegaskan Richard Leakey, ahli arkeologi ternama dari keluarga penemu Leakey, kodrat
asali yang memisahkan manusia dengan spesies anthropoid sebelumnya adalah kerja
sama dan pembagian perolehan makanan (Leakey 2003, lih. juga Engels 1981).
Di dalam masyarakat tak berkelas seperti pemburu-peramu !Kung San yang hidup di
Gurun Kalahari Afrika, kesenjangan tercegah lewat ritual mencemooh daging. Ketika ada
anggota suku yang berhasil memperoleh buruan dan membawanya ke kelompok untuk
dibagikan, si pemburu itu tidak boleh merasa tinggi hati dan bisa menganggap dirinya
sebagai pemimpin. Untuk itu, kawan-kawan sesuku mencemooh perolehannya ketika
daging buruan dibagikan. Pembagiannya pun tidak berdasarkan perolehan, tetapi
berdasarkan kebutuhan. Bagi yang masih bujangan jatahnya akan lebih sedikit daripada
untuk rekannya yang sudah beranak tiga, meski pun si bujangan itu yang berburu paling
giat. Inti pokok tradisi ini adalah pemeliharaan kesetaraan dan kerja sama antaranggota
suku seluruhnya. Pembagian kerja dalam masyarakat sederhana ini tidak memilah
berdasar derajat tinggi-rendah tapi berdasar kemampuan dan kebutuhan. Semua orang
menyumbang sesuai kemampuannya dan setiap orang memperoleh sesuai kebutuhannya.
Dalam masyarakat kontemporer, ketimpangan tumbuh dari dalam jantung kapitalisme
yang memompa darah penindasan dan penghisapan manusia atas manusia ke semua urat
nadi masyarakat.
Untuk melanggengkan teori tentang ketimpangan wajarnya, ideolog borjuis juga
menggagas kebebasan individual di muka hukum sebagai penemuan tertinggi
kemanusiaan. Dengan penuh semangat, mereka meneriakkan kebebasan individual yang
naif sambil pura-pura lupa bahwa di dalam kehidupan nyata prakteknya tidaklah ada
kebebasan seperti itu. Seperti ideolog feodal yang menggembar-gemborkan bahwa kodrat
manusia itu ilahi dan sibuk dengan urusan duniawi adalah kesibukan hina, begitu pula
para ideolog borjuis meneriakkan bahwa kodrat manusia itu individual dan bebas dan

sibuk mengkhotbahkan kesosialan manusia adalah kesibukan omong kosong. Tidak ada
masyarakat selain kumpulan individu-individu. Semua individu ini setara di muka
hukum. Kesetaraan ini untuk menampung kodrat manusia yang individual. Padahal
kesetaraan hukum tiada lain adalah kesetaraan megah dalam hukum yang melarang
semua orang tidak peduli kaya atau miskin, untuk tidur di kolong jembatan, untuk
mengemis di jalanan, dan untuk mencuri roti (dikutip Wood dan Grant 2005: 534).
Konsekuensi teori kebebasan individual adalah bahwa mereka-mereka yang tertinggal,
miskin, bodoh, jahat, dan kumal menjadi demikian karena pilihan mereka sendiri. Dalih
para ideolog bahwa semua orang bebas dan dibebaskan untuk melakukan apa pun
sebenarnya menutupi kenyataan bahwa tidak semua orang dalam tatanan kapitalis itu
bebas. Kaum pekerja sama sekali tidak bebas untuk bekerja atau tidak bekerja kepada
kapitalis. Pekerja-pekerja miskin juga tidak bebas menentukan upah yang akan
diperolehnya. Mereka harus berjuang sekuat tenagadan biasanya perjuangan ini tidak
selamanya berhasiluntuk memperoleh upah yang lebih baik. Mereka tidak bebas untuk
bebas.
Anak-anak dari keluarga pekerja miskin juga tidak bebas untuk memilih sekolah atau
tidak. Bahkan anak-anak dari keluarga kelas menengah pun tidak bebas untuk
mempelajari apa yang ingin dipelajarinya. Lembaga pendidikan menjadi alat kepentingan
kapitalis semata yang tiada bedanya dengan pabrik. Di dalam pabrik-pabrik itu kapitalis
menentukan produk apa yang harus dihasilkan. Tentu saja yang diharapkan adalah calon
pekerja yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan kebutuhan usaha kapitalis. Bukan
hanya keterampilan atau pengetahuannya saja yang disesuaikan, tapi juga kepala
mereka di sesuaikan dengan isi kepala kapitalis. Kapitalis butuh kondisi kerja yang
damai; yang bebas dari interupsi. Calon-calon pekerja ini mustilah yang penurut dan
berani bekerja keras tanpa tunjangan memadai. Dengan penuh pengabdian, para
pendidik yang tiada lain adalah, sadar atau pun tidak, mesin penghasil nilai-guna bernama
keterampilan dan ilmu pengetahuan mencurahkan segala kemampuannya untuk
menghasilkan lulusan yang tersambung ke dunia kerja kapitalis (link and match).
Inikah kebebasan? Inikah masyarakat yang sehat?
Marx dengan tegas menyatakan tidak. Kemajuan tertinggi kebudayaan kapitalis sekaligus
kejahatan terbesarnya terhadap kemanusiaan adalah menjadikan manusia sekadar
komoditi. Seperti halnya komoditi lain, manusia diukur nilainya berdasarkan nilaitukarnya dalam pasar tenaga kerja yang diperantarai uang yang tiada lain adalah
perwujudan nilai sosial tertinggi kebudayaan kapitalisme. Seperti juga komoditi lain,
manusia akan dibuang bila nilai-gunanya habis. Jangan pernah heran bila SLB tidak
sebanyak Jurusan Akuntansi jumlahnya. Kenyataan ini bukan karena jumlah penderita
cacat sedikit dan peminat Akuntansi banyak. Sedikit atau banyak hanya persoalan
perhatian dan keberpihakan, bukan statistik. Minat masuk jurusan akuntansi, manajemen,
teknik informatika, atau hukum bukan merupakan pilihan bebas calon mahasiswa.
Jurusan-jurusan tersebut terpilih karena pasar tenaga kerja memang membutuhkannya
(Silahkan buka lembar-lembar koran nasional setiap hari Sabtu).

Ditinggalkannya studi klasik, filologi, atau arkeologi oleh calon mahasiswa bukan karena
semua jurusan yang di masa lalu begitu terhormat tidak berguna secara hakiki. Hakikat
kegunaan ditentukan oleh kebutuhan gerak ekonomi dan kebudayaan kapitalisme. Karena
yang hakiki dalam kapitalisme hanyalah perolehan untung sebesar-besar dalam waktu
secepat-cepatnya, maka tidak ada yang hakiki di luar nilai itu.
Sebagai ilmu yang pernah menjadi senjata ampuh membantu borjuis meruntuhkan
feodalisme, kiranya antropologi juga mampu menjadi senjata yang bisa untuk
memberangus tuannya sendiri. Namun, seperti halnya para antropolog yang berkarya di
masa penjajahan kapitalis Eropa atas Asia-Afrika, antropolog-antropolog kontemporer
pun tidak bebas dari medan tarik-menarik kepentingan ekonomi politik.
Perang Dingin memang usai. Uni Soviet bangkrut dan Republik Federasi Rusia menjadi
bagian dari dunia kapitalis sepenuhnya. Tetapi ini bukan berarti kontradiksi lenyap dan
perjuangan kapitalisme selesai. Menurut Francis Fukuyama, ideolog kapitalisme ternama,
demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas merupakan pencapaian tertinggi sejarah
manusia. Sejarah sudah selesai. Tidak akan ada lagi pencapaian lain yang melampaui
keduanya. Seperti kaum Hegelian Tua yang menyatakan bahwa yang riil adalah yang
rasional dan menyatakan bahwa pencapaian bentuk negara hukum dan protestanisme
merupakan perwujudan tertinggi Kesatuan Rasio dan Kenyataan, maka begitu pula
pandangan para ideolog borjuis kontemporer. Yang harus dilakukan hanyalah
menyesuaikan praktek-praktek tidak demokratis dan tidak bebas kembali ke jalan
yang benar. Kapitalisme adalah satu-satunya jalan yang benar dan demokrasi liberal
satu-satunya cara mencapainya. Kapitalisme global sedang berjuang mencapai kesatuan
antara gagasan dan kenyataan ini.
Perang Dingin sudah usai, tapi kapitalisme yang sedang menua belum lelah meletuskan
perang-perang yang jauh lebih brutal dari Perang Dingin. Di negara-negara kapitalis maju
sendiri pada dasawarsa 1990-an 22 juta pengangguran antri menunggu mati dalam
kemiskinan, 20 persen penduduk miskin terjebak di dalam kampung-kampung kumuh,
dan bayang-bayang krisis siap menerkam kapan pun ekonomi spekulasi meliar ke titik
terliarnya. Di Dunia Ketiga, pekerja anak memasuk pabrik-pabrik seperti budak Negro
memasuki perkebunan tebu Karibia. Para pekerja miskin menanggung kerja rodi dengan
upah yang hanya cukup untuk mengganjal perut keluarganya sehingga bisa tetap hidup
menyaksikan tubuhnya sendiri menua dan suatu hari nanti didepak dari pabrik tanpa
tunjangan. Pencabutan subsidi kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, dan biaya
pendidikan; pengurangan jaminan sosial negara dan diserahkannya lembaga-lembaga
jaminan sosial ke tangan bank-bank atau perusahaan asuransi swasta bukan hanya gejala
yang muncul di Indonesia. Negara kesejahteraan pasca Perang Dunia II di mana pun
sedang sekarat digerogoti upaya penyatuan gagasan pasar bebas sempurna dan
kenyataannya.
Di manakah kedudukan antropolog-antropolog dalam riuh-rendah perjuangan kapitalisme
ini? Apakah antropolog akan kembali menjadi bagian darinya seperti yang dilakukannya
di kala kapitalis-kapitalis Eropa menghisapi negeri-negeri jajahan sekering-keringnya?
Ataukah bertobat menebus dosa masa lalu dengan berpihak kepada golongan tertindas?

Daftar Pustaka
Engels, Frederick (1981) The Part Played by Labour in Transition from Ape to Man,
lampiran dalam F. Engels. The Origin of Family, Private Property and the State. London:
Lawrence & Wishart.
Farid, Hilmar (2006) Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, dalam V.R. Hadiz &
D. Dakhidae (ed.) Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing
Indonesia, h. 187-217.
Keesing, R.M. (1996) Antropologi Budaya. Jakarta: Erlangga.
Kuper, Adam (1996) Pokok dan Tokoh Antropologi Mashab Inggris Modern. Jakarta
Bhratara.
Leakey, Richard (2003) Asal-usul Manusia. Jakarta: KPG.
Lukcs, Georg (1990) History and Class Consciousness (cet. XII). Massachusetts:The
MIT Press.
Marx, Karl & Frederick Engels (2004) The Communist Manifesto. New York:
International Publisher.
Woods, Alan & Ted Grant (2005) Reason in Revolt. Yogyakarta: IRE Press.

Anda mungkin juga menyukai