Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Konsep Terkait


1. Perilaku
Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan reaksi, yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu
akan menghasilkan perilaku tertentu (Sunaryo, 2007).
Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat
adanya rangsangan (stimulus) baik dari dalam dirinya sendiri (internal)
maupun dari luar individu (eksternal). Pada hakekatnya perilaku individu
mencakup perilaku yang tampak (overt behaviour) dan perilaku yang tidak
tampak (inert behavior atau covert behavior). Perilaku yang tampak
adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan
alat bantu, sedangkan perilaku yang tidak tampak adalah perilaku yang
hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode
tertentu,misalnya

berpikir,

sedih,

berkhayal,

bermimpi,

takut

(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku individu tentang penggunaan Alat pelindung Diri (APD) pada
dasarnya adalah hasil dari interaksi sekelompok stimulus. Terdapat
beberapa kelompok
beberapa

faktor

stimulus

yang

dikelompokkan

dalam

yang mempengaruhi perilaku penggunaan APD.

Bloom dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan perilaku dipengaruhi


oleh faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong. Faktor
predisposisi yang berupa pengetahuan dan sikap tentang APD. Sedangkan

faktor pendukung mengacu pada daya dukung lingkungan secara fisik


meliputi ketersediaan alat APD untuk menunjang perilaku penggunaan
APD. Faktor yang terakhir, faktor pendorong yaitu daya dukung sumber
daya manusia disekitar individu yang selalu melakukan pengawasan
pengggunaan APD saat praktik.
2. Pengatahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh
dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yang disebut AIETA, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan


pengetahuan,

kesadaran,

dan

sikapnya

terhadap

stimulus

(Notoatmodjo, 2010).
Menurut

Notoatmodjo,

2010, pengetahuan

mempunyai

enam

tingkatan,
yaitu :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu,
tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara

benar

tentang

objek

yang

diketahui,

dan

dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah


paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam


konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi
formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian
penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2010)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui

atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan - tingkatan diatas
(Notoatmodjo, 2007).
3. Sikap
Menurut Maramis (2006, hlm, 254) sikap merupakan bentuk respon atau
tindakan yang memiliki nilai positif dan negatif terhadap suatu objek atau
orang yang disertai dengan emosi.
Sikap adalah juga diartikan sebagai respon tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baiktidak baik dan sebagainya) (Notoatmodjo. 2010 hlm. 30).
Sepertinya halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkattingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau menerima stimulus
yang diberikan (objek) (Notoatmodjo. 2010 hlm. 31).
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi (Notoatmodjo. 2010 hlm.
31).
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai positif
terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang
lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang
lain merespon (Notoatmodjo, 2010 hlm. 31).
Bertanggung Jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingakatnya adalah bertanggunga jawab terhadap apa
yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu
berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain
yang mencemoohkan atau ada resiko lain (Notoatmodjo.2010 hlm. 31).
Precaution (Kewaspadaan)
Precaution sebagai prosedur yang diciptakan dan dikembangkan untuk
memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan dan pencegahan infeksi.
Penciptaan precation bermula dari tingginya kejadian infeksi penyakit HIV,
hepatitis B, dan infeksi yang ditransmisikan melalui darah di negara Amerika
(Kathryn, 2004). Kejadian ini memicu diciptakannya universal precaution.
Universal precaution memberikan kontrol terhadap tata cara kewaspadaan
terhadap infeksi yang ditransmisikan melalui darah. Prosedur mencuci tangan,
menggunakan sarung tangan, dan penggunaan peralatan telah dianjurkan pada
prosedur ini (Kathryn, 2004; Hegner, 2010).
Standard precaution merupakan penggabungan dari universal precaution dan
body substance isolation. Standard precaution sebagai upaya kewaspadaan
transmisi infeksi yang dapat terjadi tidak hanya melalui darah tetapi juga segala
cairan tubuh (ekskresi dan sekresi) dan melindungi membran mukosa
(Kathryn,2004). Standard precaution merupakan prosedur dasar yang diterapkan
pada seluruh klien dengan mengesampingkan jenis diagnosa medis (Rosdahl &
Marry, 2008). Standard precaution memiliki tujuan yang sama dengan kedua
precaution sebelumnya yaitu memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan
maupun klien dan mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Penerapan standard
precaution terdiri dari beberapa tindakan salah satunya yaitu penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) sebagai upaya perlindungan utama bagi tenaga kesehatan
yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini (Depkes RI, 2010; Kathryn,
2004; Hegner, 2010).
Alat Pelindung Diri (APD)
Alat pelindung diri merupakan peralatan yang digunakan tenaga kesehatan
untuk melindungi diri dan mencegah infeksi nosokomial. Tujuan penggunaan
APD untuk melindungi kulit dan selaput lendir tenaga kesehatan dari pajanan
semua cairan tubuh dari kontak langsung dengan pasien (Depkes RI, 2010). APD
perawat ketika praktik terdiri dari sarung tangan, alat pelindung wajah, penutup
kepala, gaun pelindung atau apron, dan alas kaki atau sepatu. (Depkes RI,2010).
Sarung Tangan
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak
dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus
selalu dipakai oleh setiap petugas kesehatan sebelum kontak dengan darah atau
semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta dan benda yang terkontaminasi.
Perlu diperhatikan pada waktu memeriksa, gunakan pasangan sarung tangan yang
berbeda untuk setiap pasien, segera lepas sarung tangan apabila telah selesai
dengan satu pasien dan ganti sarung tangan yang lain apabila akan menangani
pasien yang lain. Hindari kontak pada benda-benda lain selain yang berhubungan
dengan tindakan yang sedang dilakukan, misalnya membuka pintu selagi masih

memakai sarung dan sebagainya.Sarung tangan tidak perlu dikenakan untuk


tindakan tanpa kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh lain. Contoh
memberi makan pasien, membantu minum obat, membantu jalan dan lain-lain.
(Depkes,2010)
a. Pelindung wajah/Masker/Kaca mata
Pelindung wajah terdiri dari dua macam pelindung yaitu masker dan
kaca mata. Pemakaian pelindung wajah dimaksudkan untuk melindungi
selaput lendir hidung, mulut, dan mata selama melakukan tindakan atau
perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah atau
cairan tubuh.
Masker tanpa kacamata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya
merawat pasien terbuka tanpa luka dibagian kulit/perdarahan. Masker
digunakan bila berada dalam jarak 1 meter dari pasien. Masker,
kacamata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas
yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko
tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain
pembersihan

luka,

membalut

luka,

mengganti

kateter

atau

dekontaminasi alat bekas pakai. (Depkes,2010)


b. Penutup Kepala
Penutup kepala bertujuan mencegah jatuhnya mikroorganisme yang
ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat/daerah steril
dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari
percikan bahan-bahan dari pasien. Pada keadan tertentu misalnya pada
saat pembedahan atau di ruang rawat intensif (ICU) petugas maupun
pasien harus menggunakan penutup kepala yang menutupi kepala
dengan baik.(Depkes,2010)

c. Pakaian pelindung
Pelindung dapat berbentuk APRON yang menutupi sebagian dari
tubuh yaitu mulai dari dada sampai lutut dan overalla yang menutup
seluruh badan. Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi
pemakainya dari percikan cairan, api, larutan bahan kimia korosif dan
oli, cuaca kerja (panas, dingin, dan kelembapan). APRON dapat dibuat
dari kain, kulit, plastik, karet, asbes atau kain yang dilapisi aluminium.
Perlu diingat bahwa APRON tidak boleh dipakai di tempat-tempat
kerja yang terdapat mesin berputar.
Pemakain gaun pelindung bertujuan untuk melindungi petugas dari
kemungkinan genangan atau percikan darah atau cairan tubuh lain yang
dapat mencemari baju atau seragam. Gaun pelindung steril dipakai oleh
ahli bedah dan para asistennya pada saat melakukan pembedahan,
sedangkan gaun pelindung non steril dipakai di berbagai unit yang
berisiko tinggi misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di
kamar bedah, ruang rawat intensif (ICU), rawat darurat dan kamar bayi.
Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi, misalnya pada
saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan
drainase;

menuangkan

cairan

terkontaminasi

kedalam

lubang

pembuangan /WC/toilet; mengganti pembalut; menangani pasien


dengan perdarahan masif; melakukan tindakan bedah termasuk otopsi;
perawatan gigi dan sebagainya.(Depkes,2010)
Alat pelindung diri yang akan digunakan di tempat kerja harus

memperhatikan, yaitu:
1) Berat alat pelindung diri hendaknya seringan mungkin dan alat
tersebut tidak menyebabkan rasa tidak nyaman yang berlebihan.
2) Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
3) Bentuknya harus cukup menarik.
4) Alat pelindung diri harus tahan untuk pemakaian lama.
5) Alat pelindung diri tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan
bagi pemakaiannya.Alat pelindung harus memenuhi standar yang
telah ada.
6) Alat pelindung diri tidak membatasi gerak dan persepsi sensoris
pemakaiannya.
7) Alat pelindung diri harus memberikan perlindungan yang adekuat
terhadap bahaya yang spesifik yang dihadapi oleh tenaga kerja.
Indikasi pemakaian alat pelindung, tidak semua alat pelindung
tubuh digunakan. Jenis pelindung tubuh yang dipakai tergantung pada
jenis tindakan atau kegiatan yang akan dikerjakan. Sebagai contoh
untuk

tindakan

bedah

minor

(misalnya

vasektomi,

memasang/mengangkat implan) cukup memakai sarung tangan steril.


Namun untuk kegiatan operatif di kamar bedah atau melakukan
pertolongan persalinan sebaiknya semua pelindung tubuh dipakai oleh
petugas untuk mengurangi kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh
lainnya. (Depkes,2010).
B. Penelitian Terkait
Maja (2009) dalam jurnal yang berjudul Precautions used by occupational

health nursing students during clinical placements menjelaskan terkait


penerapan APD. Penelitian ini melibatkan 45 mahasiswa praktik occupational
health nursing sebagai responden. Penelitian ini menunjukkan tingginya
tingkat penerapan mencuci tangan, penggunaan APD, dan tingkat pelatihan
yang lebih dari 80% responden. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan
bahwa 17,8% respondennya gagal menggunakan APD ketika praktik akibat
terbatasnya

jumlah APD yang disediakan di tempat praktik. Selain itu,

penelitian ini juga menjelaskan bahwa sikap negatif yang ditunjukkan dengan
menolak

menggunakan APD karena merasa tidak nyaman mendorong

respondennya untuk berperilaku tidak menggunakan APD (p<0,004).


Yulia Habni (2009) dalam penelitian skripsinya yang berjudul Perilaku
Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan memfokuskan penelitiannya dalam hal pencegahan
infeksi nosokomial. Penelitian ini melibatkan perawat di ruang rawat inap,
IGD, ICU dan rawat jalan sebagai responden. Hasil penelitian ini didapatkan
76% perawat yang tidak mendapatkan pelatihan tentang pencegahan infeksi
nosokomial cenderung memiliki perilaku yang buruk dalam melakukan
pencegahan infeksi nosokomial

C. Kerangka Teori
Kerangka teori: hubungan

pengetahuan dan sikap dengan perilaku

penggunaan APD.
Stimulus berupa informasi
tentang APD:
- Sarung tangan
- Pelindung wajah
- Pelindung kepala
- Gaun pelindung
- Alas kaki
(Allender, 2001; Depkes RI,
2010; Hegner, 2010; Rosdahl
& Marry, 2008; WHO, 2004

Proses pengolahan
stimulus

Perilaku perawat
dalam menggunakan APD:
Sikap tentang APD:
- Baik
Kurang
Baik (Allender,
- postif (mendukung)
2001;
- negatif (tidak mendukung)
Katherine, 2006;
Notoatmodjo, 2010)
(Notoatmodjo, 2010;Sarlito, 2009)
Pengetahuan tentang APD:
Proses
- Sarung tangan
pengamatan dan
- Pelindung wajah
pengenalan
- Pelindung kepala
- Gaun pelindung
- Alas kaki
(Depkes RI, 2010; Hegner, 2010;
Rosdahl & Marry, 2008;
WHO, 2004)

D.

Anda mungkin juga menyukai