TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Etiologi
Menurut Lumban Tobing (2005), etiologi kejang demam adalah:
1.
3.
4.
5.
2.3.
2.
Klasifikasi
The International League Againts Epilepsy (Commision on Epidemiology
and Prognosis, 1993), membuat klasifikasi kejang demam pada anak menjadi dua
yaitu kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam
kompleks (complex febrile seizure).
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam sederhana berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
2.4.
Faktor Risiko
Faktor utama timbul bangkitan kejang demam adalah demam. Perubahan
2.5.
Manifestasi klinis
Tanda- tanda kejang demam meliputi:
1. Demam yang biasanya di atas (38,9 C).
2. Jenis kejang (menyentak atau kaku otot).
3. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas).
4. Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang.
5. Penurunan kesadaran.
6. Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus.
7. Muntah.
8. Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam
waktu yang singkat (Lyons, 2012).
2.6.
Patofisiologi
Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1 C akan menyebabkan
lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah
kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada
tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu
tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38C, anak tersebut
mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40 C atau lebih
anak tersebut mempunyai ambang kejang yang tinggi. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang
kejang yang rendah (Latief et al., 2007).
2.7.
Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang
demam. Perlu ditanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang menyaksikan
anaknya semasa kejang yang berupa:
1. Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan
setelah kejang)
2. Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan
anak selepas kejadian kejang
3. Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut
(OMA), dan lain-lain)
4. Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam, riwayat
perkembangan (gangguan neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh
kembang anak apakah sesuai dengan usianya, riwayat penyakit keluarga
perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
5. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare, keluhan
lain yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas yang
menyebabkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan
hipoglikemia). (Saharso et al., 2009)
2. Pungsi lumbal
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam
sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang
yang kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi (Johnston,
2007). EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat
di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang
unilateral (Soetomenggolo, 1999).
2.8.
Penatalaksanaan
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam rektal.
Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan lebih
dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan dosis 5 mg dapat diberikan untuk
anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat diulangi lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Anak
seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang, setelah
2 kali pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya
adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum
berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat di ruang intensif.
Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006).
Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Kedua
parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk mengurangi
kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi risiko kejang
demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam dan memperbaiki
kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan metamizole
(dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/
hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai empat dosis harian
(sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan
ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi
(sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200
mg). (Siqueira, 2010)
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang
demam menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15
menit, kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang
misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan
hidrosefalus, dan kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan jika
kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi
kurang dari 12 bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun.
Obat untuk pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/
hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3
dosis). Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan
dan pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara
bertahap selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009).
kejang
secepat
mungkin
dengan
pemberian
obat
2.9.
Edukasi
Orangtua seharusnya dalam keadaan tenang dan tidak panik serta tetap
bersama pasien selama kejang. Kebanyakan orangtua menganggap bahawa
anaknya akan meninggal pada saat kejang. Kecemasan ini harus dikurangi
dengan cara memberi edukasi pada orangtua pasien kejang demam yang
diantaranya:
1. Memberi keyakinan pada orangtua bahwa kejang demam memiliki
prognosis yang baik.
2. Memberitahu cara penanganan.
3. Memberi informasi kemungkinan rekurensi kejang.
4. Jelaskan serinci mungkin kejadian kejang demam seperti insiden,
hubungan dengan usia, tingkat kekambuhan, kejadian dalam ketiadaan
relatif kerusakan otak, perbedaan dari epilepsi, risiko epilepsi
berikutnya dan prognosisnya (UKK Neurologi IDAI, 2006 dan
Capovilla et al., 2009).
2.10.
Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2010), pengetahuan adalah merupakan hasil dari
tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, misalnya indera
(comprehension)
adalah
sesuatu
kemampuan
untuk
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.
ibu tentang kejang demam pada anak dan berikut adalah kerangka konsepnya:
Tingkat Pengetahuan
tentang kejang demam
pada anak
- Baik
- Cukup
- Kurang
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian tingkat pengetahuan ibu tentang kejang
demam pada anak.
3.2.