Anda di halaman 1dari 11

WEIGHT LOSS IMPROVES METABOLIC SYNDROME RISKS

AGUS YUWONO

PENDAHULUAN
Dalam waktu 10 tahun (1980 1990) rerata berat orang Amerika dewasa naik 3,6 kg
sedang kenaikan tinggi badan kurang dari 1 cm. Prevalensi obesitas pria naik dari 24 % 32 % dan wanita 24 % - 35 % sedangkan pada remaja usia 12 19 tahun dari 15 % - 21 %.
Cut off point yang dipakai ialah BMI > 27,3 bagi wanita dan > 27,8 bagi pria. Factor
utamanya ialah inaktivitas dan masukan kalori berlebih. Resiko menderita diabetes tipe 2
juga meningkat dengan naiknya BMI, hal ini jelas terlihat dalam Nurses Health Study
yang melibatkan follow up 1,5 juta persons years (Sigal 1996). Secara nasional di
Amerika prevalensi diabetes mellitus tioe 2 naik dari 4,9 % (1990) menjadi 6,5 % (1998),
naik 33 %. Ternyata prevalensi DMT2 ini berkorelasi dengan prevalensi obesitas dengan r
= 0,64, p<0,001 (Mokdad 2000).
Hubungan obesitas diabetes telah lama diperhatikan oleh pakar diabetes, Prof.
Joslin tahun 1927 sebagai berikut with an excess of fat diabetes begins, and from an
excess of fat diabetics die Diabetes tipe 2 (DM 2) berkorelasi sangat erat dengan
obesitas. Resiko menjadi diabetes bertambah dengan cepat dengan meningkatnya indeks
massa tubuh (BMI) dan lemak badan. Seorang dengan BMI > 35 kg/m2 mempunyai resiko
40 x diabetes dibandingkan mereka dengan BMI < 23 kg/m 2. Distribusi lemak di perut
(abdominal obesity) sangat berpeluang tinggi menjadi diabetes. (Yung 1997).
Dalam membahas

obesitas dan

diabetes, dapat dilihat dari 3 sudut pandang.

(a) Bagaimana pengaruh obesitas terhadap kontrol glikemi diabetes, artinya apakah dengan
mengendalikan obesitas glikemi dengan konsekuensi komplikasinya dapat diperbaiki ?,
(b) Apakah obesitas benar sebagai faktor resiko diabetes sehingga kasus IGT obes tidak
menjadi overt diabetes dengan menurunkan beratnya ?, (c) Bagaimana mengobati
diabetes kalau pada kasus yang sama juga menderita obesitas ?.

SINDROMA METABOLIK
Nama sindroma metabolic resmi digunakan oleh WHO sejak 1999 untuk sekelompok
kelainan metabolic lipid maupun non lipid yang merupakan factor resiko penyakit jantung
koroner (PJK) ,yaitu obesitas sentral,dislipidemia aterogenik(kadar trigleserida meningkat
dan atau kadar kolesterol HDL rendah) tekanan darah meningkat dan resistensi insulin.
Istilah sindroma metabolik dan resistensi insulin digunakan untuk melukiskan hal sama.
Sebagai contoh : diabetologis : resistensi insulin hiperinsulinemia (IRS, insulin
resistance syndrome) dianggap paling tepat ; pakar lipid metabolic menyebutnya sebagai
metabolic syndrome (MS); karena fakta menunjukkan bahwa epidemiologis ada hubungan
antara gangguan hormonal metabolic ini dengan penyakit kardiovaskuler, maka
bermacam macam istilah diajukan, antara lain (Hanefeld 97) : Wohlstandssyndrom
(Syndrome of Affluence Mehnert), Plurimetabolic syndrome (crepaldi), Hormonal
Metabolic Syndrome (Bjorentorp), Syndrome X (Reaven), Insulin Resistance Syndrome
(De Fronzo and Haffner), Hyperinsulinemia / Insulin Resistance (Standl and Zimmet) dan
Deadly Quartet (Kaplan) atau dysmetabolic syndrome. Melihat hubungannya dengan
lemak visceral, Yamashita (1996) menamai : visceral fat syndrome. Pengakuan bahwa
resistensi insulin merupakan sebab dasar (common soi) (Kahn 1996) dari berbagai
kelainan

metabolic

(NIDDM, hipertensi,

dislipidemia,

obesitas)

dan

gangguan

ateroskleorosis maupun kardiovaskuler, memberi kemungkinan bagi klinisi untuk


mengidentifikasi kasus mana yang beresiko tinggi secara awal dan melakukan upaya
pencegahan yang memadai (Garg, Hafner 1996). Sindroma metabolik adalah klaster
parameter metabolic serta faktor resiko kardiovaskuler yang menjadi satuan klinik tertentu
(clinical entity) serta menjadikan individu ini peka menderita diabetes mellitus tipe 2 dan
penyakit jantung koroner (Lebovitz 2001). Ada kasus dengan hanya 2 3 faktor tetapi ada
juga yang semua komponen dipunyai.
Hanefeld membagi sindroma metabolik menjadi Incomplete Metabolic Syndrome
dan Complete Metabolic Syndrome. Apabila ada 2 atau 3 manifestasi klinik maka
dikatakan sebagai Incomplete MS dan apabila 4 komponen atau lebih terpenuhi maka
disebut sebagai Complete MS (Hanefeld 1997). Dalam pada itu Lebovitz (2001)
memasukkan komponen sindroma metabolik sebagai berikut : resistensi insulin,
hiperinsulinemi, obesitas sentral, tensi diastolic dan sistolik yang naik, dislipidemi (TG
naik, HDL turun, partikel LDL menggeser ke small dense (pattern B), dalam proagulant

state (fibrinogen dan PAI 1 naik), abnormalitas vaskuler (disfungsi endotel dan eksresi
albumin urin meningkat) serta hiperurikemia. Akhir ini NCEP dan ATP III mengajukan
definisi formal metabolic (insulin resistance) syndrome : apabila = 3 determinan
terpenuhi : (1) lingkar pinggang > 120 cm (pria), > 88 cm (wanita), (2) trigliserid > 150
mg/dl, (3) HDL chol < 40 mg/dl (pria) atau < 50 mg/dl (wanita), (4) tensi = 130/ = 85
mmHg dan (5) glukosa puasa = 110 mg/dl (Resnick 2002, Khaodhiar 2002). Apabila
dimulai dari kasus IGT, maka kontributor utama dari multiple risk factor clustering ini
ialah lemak visceral (VFA). Faktor faktor lain ialah : resistensi insulin dengan HOMA
IR, tensi, serum TG, BMI, insulin puasa, SCFA (subcutaneous fat) (Nagaretani 2001).
Kriteria sindroma Metabolik yang telah disesuaikan orang asia
FAKTOR RESIKO
Lingkar pinggang
Hipertrigliserida
Kolesterol HDL
Pria
Wanita
Tekanan darah
Glukosa plasma puasa
(MF Adam J 2000).

BATASAN
Pria > 90 cm
Wanita > 80 cm
> 150 mg/dl
< 40 mg/dl
< 50 mg/dl
> 130 />85 mmHg
> 110 mg/dl

Resistensi insulin sebagai dasar sindroma metabolic


Hampir 90 % penderita diabetes adalah DMT2 dan 80 90 % DMT2 adalah obese.
Perlu kita ketahui bahwa data di atas berasal dari Eropa. Di Asia angka ini sedikit berbeda.
Satu penelitian di India : di India prevalensi diabetes tinggi (2,3 % - 21 % di urban dan 1,3
% - 6,1 % di rural). Dilihat bahwa resistensi insulin merupakan sebab utama munculnya
diabetes, meskipun sebagian besar kasus normoweight. Pada IGT dan DMT2 awal
ditemukan insulin puasa tinggi tetapi rendah pada DMT2 yang lanjut. Data ini
menggambarkan pola resistensi insulin di awal diabetes dan defisiensi insulin pada
diabetes lanjut. Hal ini sesuai dengan teori yang kini berlaku dalamn evolusi
perkembangan diabetes tipe 2. peneliti mengkaitkan dengan teori Barker (the Barker
hypothesis) yang menyatakan adanya hubungan antara low birth weight dengan Insulin
resistance in adult life (DMT2, hipertensi, dislipidemi serta profil koagulasi abnormal)
(Yajnik 1995).

Data Singapura menunjukkan bahwa ras India lebih rentan menderita central obesity
dan resistensi insulin dibandingkan dengan ras Melayu maupun Cina. Merekapun
mempunyai kadar Lp (a) lebih tinggi dari etnik lain. Sindrom X banyak ditemukan pada
mereka dan semua ini dapat menerangkan mengapa prevalensi CHD etnis India lebih
tinggi dari etnis lain (Hughes 1997). Kedua data ini menggaris bawahi dugaan bahwa
mungkin memang DMT2 Asia lebih insulin resisten disbandingkan dengan diabetes di
benua lain. Pada obesitas tingginya FFA merupakan faktor utama terjadinya resistensi
insulin, mekanismenya ialah : FFA menghambat insulin stimulated glucose uptake dan
sintesis gikogen, menghambat supresi insulin pada endogenous glucose production.
(Boden 2001).
OBESITAS DAN SINDROMA METABOLIK
Kalau dahulu lemak hanya dipandang sebagai timbunan lemak, timbunan energi,
maka kini sel lemak menunjukkan satu sel endokrin yang amat penting. Ia bersifat sebagai
kelenjar parakrin dan otokrin (PAI 1, TGF - , TF, adiposin / ASP, ? TNFa/IL-6/leptin,
rennin angiotensin system, steroid hormones) dan endokrin (leptin, ?TNFa, ?IL-6, sex
steroid dan glucocorticoids, ?angiotensin, PAI-1, ? adiponectin, ? adipoQ), sehingga
mampu mengubah profil lipoprotein, homoestasis glukosa insulin dan petanda inflamasi
serta trombosis (Djoko Wahono S. 2002).
TNF dikenal sebagai sitokin yang dikeluarkan oleh sel lemak, juga berperan sebagai
mediator resistensi insulin, sebagai faktor otokrin atau parakrin (Smith 1996). Baik free
fatty acid dan TNF keduanya dikenal sebagai penyebab resistensi insulin. Secara
biomolekuler mungkin penjelasan Hotamisligil (1996) dapat kita mengerti. Dalam keadaan
dimana kadar TNF tinggi (pada obesitas), TNF menginduksi fosforilasi serin IRS-1
(insulin receptor substrate-1) yang memblok fosforilasi tirosin molekul IRS-1 dan/atau
phosphatodylinositol-3-kinase (PI-3-kinase) dengan akibat kurangnya fungsi insulin untuk
meningkatkan transpor glukosa lewat GLUT-4. hambatan sinyal insulin ini menciptakan
keadaan resistensi insulin. (Hotamisigil 1996, Lebovitz 2001) melimpahnya produk
lipolisis ke hepar meningkatkan sintesis trigiserid VLDL, membuat steatosis hepar, dan
menyebabkan resistensi insulin di tingkat hepatosit.
Obesitas meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kurva MRW (Metropolitan
Relative Weight) mendukungnya, yaitu dari kelompok manapun, naiknya RBW berarti

angka kematian naik, lebih lebih kalau ia merokok (Anderson 1992). Setidaknya terdaftar
45 problem kesehatan yang disebabkan atau diperberat dengan adanya obesitas, yang dapat
dikelompokkan dalam gangguan jantung, system vaskuler respirasi hepatobilier
reproduksi dan seksual, hormon dan metabolic, kulit, sendi otot jaringan ikat,
neoplasia, fungsi psikososial dan lain lain (Vanitallie 1992).
Kiranya perlu dikaji pengaruh visceral fat obesity (VFO) ialah lemak
intraperitoneal, yang dibedakan dengan subcutaneous fat obesity (SFO). Timbunan
visceral dipengaruhi oleh faktor penuaan, hormon seks, genetic, makanan, kurang aktivitas
fisik. Timbunan VFO berefek negatif bagi pasien diabetes dan non diabetes Rasio VFO /
SFO terbukti merupakan resiko kardiovaskuler indicator lain yang banyak digunakan ialah
rasio A/T (abdominal / thigh). Pada pria rasio A/T berkorelasi erat dengan kadar insulin
puasa dan respon insulin terhadap glukosa oral (Pouliot 1992). Sifat fisiologis metabolic
lemak ternyata tergantung dimana ia ditimbun. Yang dimaksud disini ialah tingginya
aktivitas lipogenik dan cepatnya aktivitas lipolisis, baik lipolisis basal ataupun
catecholamine induced lipoilysis lemak visceral yang amat peka terhadap efek
insulin. Akibatnya mudah terbentuk FFA yang tinggi di vena porta yang pada gilirannya
meningkatkan sintesis trigliserid hati dan menyebabkan hiperlipidemi (Nishida 1994,
Yamashita 1996).
Kadar insulin puasa dan selama OGTT pada kasus VFO (visceral fat obesity) lebih
tinggi dibandingkan kadar insulin pada SFO (subcutaneous fat obesity). Apakah hal ini
disebabkan karena hipersekresi atau karena sebab lain belum jelas patogenesisnya. Dapat
juga karena defective hepatic insulin clearance pada VFO. Mekanisme yang sering
diajukan bagaimana terjadi fhiperinsulinemi pada obesitas pada umumnya ialah : (1)
sekresi insulin berlebih akibat imbalance saraf otonom, (2) hepatitic uptake kurang
karena pengaruh androgen maupun FFA, (3) efisiensi perifer berkurang karena pengaruh
androgen, corticosteroid dan FFA. (Bjornstorp 1997).
Meskipun belum diketahui secara sempurna, patofisiologinya kini dihipotesiskan
sebagai berikut : (a) limpahan FFA di system portal menurunkan sensitivitas insulin dan
meningkatkan HGO (hapatitic glucose output), (b) FFA menurunkan klirens insulin
hingga terjadi hiperinsulinemi, (c) FFA menghambat metabolisme glukosa otot (sesuai
dengan teori Randl). Dari urutan ini dapat dibayangkan bagaimana hiperglikemi,
hiperinsulinemi dan resistensi insulin terjadi pada VFO, meskipun masih ada data yang
memberikan kesimpulan sebaliknya (Abate 1996). Secara fisiologis naiknya FFA dapat

menghambat isulin stimulated glucose uptake, baik pada keadaan normal maupun
pada fosforilasi (terjadi 3 4 jamk pasca infus lemak) (Boden 1996).
Baru ini dilaporkan studi prospektif selama 10 tahun pada penduduk keturunan
Jepang di Amerika, generasi kedua nisei (usia rerata 61,8 th) dan generasi 3 sensei (usia
rerat 40,1 th) dimana diperiksa BMI, GTT, C peptide, insulin, timbunan / area lemak
intra abdomen (IAFA), toraks dan paha dengan CT scan, sekresi insulin (IIR =
incremental insulin response pada GTT). Ditemukan pada nisei faktor resiko untuk
menjadi diabetes, setelah dilakukan adjustment, tertinggi ialah IAFA 1,6 (Cl : 1.1 2,3)
kedua C peptide plasma puasa (1,4, 1,1 1,8) dan sekresi insulin (0,5, 0,3 0,9). Yang
istimewa bahwa resiko ini tidak berhubungan dengan total maupun regional adiposity.
Sedangkan pada sensei hanya IAFA sebagai resiko tinggi (2,7, 1,4 5,4). Dari observasi ini
dapat diambil kesimpulan bahwa visceral adiposity memang merupakan factor yang besar
bagi DM Tipe 2, dan bukan oleh resistensi insulin. Kalau demikian oleh apa ? (tidak
direfleksikan pada IIR maupun C peptide puasa) (Boyko 2000).
Pernah dilakukan penelitian pada wanita obes tanpa intoleransi glukosa. Ternyata
pada merekapun sensitivitas insulin menurun dengan meningkatnya BMI dari 15 ke 29,7
yang kemudian menjadi landai. Berarti breakpoint pada penelitian itu ialah BMI 29,7
(Smith 1996).
Apakah menurunkan berat badan dapat mencegah atau mengobati diabetes tipe 2 ?
Secara umum pada orang biasa non diabetes, dengan mengamati berapa kg berat
badan turun dalam 12 bulan pertama, maka disimpulkan bahwa life expectancy
memanjang dari 8 tahun apabila berat tidak turun dalam 12 bulan pertama menjadi 14
tahun apabila dalam 12 bulan pertama turun 14 15 kg (Lean 1990).
Dalam hal diabetes mellitus, ADA kini yakin bahwa DMT2 dapat ditunda maupun
dicegah. Lebih lebih karena mereka yang beresiko tinggi dapat diidentifikasi relatif
mudah. Yang belum diketahui adalah apakah intervensi ini cost effective. Belum terjawab
juga bagaimana pencegahan primer dapat dirancang (ADA 2002). Dasar pertimbangan
mereka adalah hasil studi pencegahan IGT diabetes dari DPP (menurunkan resiko 31 %
dengan metformin), STOP NIDDM (resiko turun 32 % dengan acarbose), TRIPOD
(turun 56 % dengan troglitazon). Kalau dibandingkan metformin vs lifestyle, maka
keberhasilan lifestyle lebih tinggi (58 % vs 31 %). ADA menganjurkan hendaknya kita

mulai dengan lifestyle modification. Menurunkan berat sedang saja (5 10 %), dan
olahraga 30 menit cukup.
Hanya dengan menurunkan 5 % berat badan pada orang obes dengan DMT2,
hipertensi atau dislipidemia akan berakibat perbaikan kendali glukosa, tekanan darah dan
profil lipid, lagi pula kematian premature dari wanita dengan obesitas menurun 20 %
(Godstein 1992). Observasi pada penderita diabetes obes, sebelum dan sesudah penurunan
berat badan menunjukkan secara meyakinkan bahwa glukosa, proinsulin serta insulin
secara bersama sama turun, demikian pula dengan hepatitic glucose outputnya (Kelley
1995). Memang penurunan berat sebanyak 5 % dari berat awal pun mampu menurunkan
atau menghilangkan gangguan akibat yang ada hubungan dengan obesitas lain (perbaikan
lipid, variable hemostatik (PAI 1, t PA antigen, fVII), sikologik, lemak visceral, tensi,
status glikemi (Blackburn 1995). Observasi diatas didukung data base uang dikumpulkan
oleh MEDLINE data base yang berkesimpulan bahwa modest reduction (10 % atau
kurang) berefek positif terhadap obesity associated complication (NIDDM, hipertensi,
dislipidemi dan penyakit kardiovaskuler) (Goldstein 1992).
Menurunkan berat badan dapat dengan cara (1) terapi diet : very low dan low
calorie diet, (2) behavioural treatment (3) menggunakan obat (FDA hanya mengakui
orlistat dasn sibutramin) dan (4) operatif. (Khaodhiar 2002).
Komposisi makan (tinggi karbohidrat, tinggi MUFA atau tinggi S (aturated) FA)
ternyata tidak berbeda dalam memperbaiki status glikemi pasien. Yang terpenting ialah
restriksi kalori. Penurunan berat 6,6 kg menurunkan glukosa puasa (-14%), insulin (-27%),
HbA1c (-14%), tekanan sistolik (-7%), tekanan diastolic (-10%) serta glucose response
area (-17%) tanpa memandang komposisi dietnya. Yang terpengaruh ialah profil lemaknya.
Dengan tinggi karbohidrat LDL turun 10 %, dengan tinggi MUFA LDL turun 17 %.
(Heilbronn (1999)). Di Finlandia dengan intervensi lifestyle, perubahan diet dan
sebagainya dalam waktu setahun, berat badan turun 4,2 kg pada kelompok intervensi dan
0,8 kg pada kontrol. Dalam kurun waktu tersebut insidensi diabetes pada kontrol 23 % dan
kelompok intervensi 11 % (RR turun 58 % !!). Turunnya insidensi ini langsung diakibatkan
karena perubahan lifestyle (Toumelehto 2001 The Finnish Diabetes Prevention Study
Group). Di Amerika studi senada dengan kasus dengan IGT dan FBG > dan observasi
selama 2,8 tahun dilakukan pada kelompok plasebo, kelompok metformin, dan kelompok
lifestyle. Mereka melihat bahwa intervensi lifestyle menurunkan insidensi diabetes 58 %,
metformin 31 % dibandingkan plasebo. Baik intervensi lifestyle maupun metformin

menurunkan insidens diabetes mereka dengan resiko tinggi, namun intervensi lifestyle
lebih efektif ketimbang metformin. (Diabetes Prevention Program Research Group 2002).
Ada 2 obat yang diakui FDA untuk weight reducing sibutramin dan orlistat.
Dari 675 kasus obes (BMI 30 43 kg/m2) yang diberikan orlistat dan diawasi selama
rerata 582 hari, berat badan lebih banyak turun pada kelompok orlistat disbanding kontrol
(6,72 vs 3,79 kg) ; progresi kasus yang awalnya menderita IGT dan menjadi DM 2 lebih
rendah pada grup orlistat (3,0 % vs 7,6 %), sebaliknya kasus IGT yang kembali normal
lebih banyak padfa grup orlistat (72 % vs 42 %) (Heymsfield 2000). Dalam setahun
orlistat memperbaiki factor resiko kardiovaskuler (LDL, Chol, apoB, GTT, tensi, lingkar
pinggang) dan jumlah yang beratnya turun 5 10 % lebih banyak pada grup orlistat
(Zavoral 1998). Randomized control plasebo dengan orlistat pada 657 kasus obes selama 2
tahun di USA menghasilkan hal sama (Davidson 1999). Tambahan orlistat pada DMT2
yang stabil dengan sulfonilurea dan diobservasi setahun menunjukkan hasil serupa
(Hollander 1998). Perbaikan sama dilihat juga pada kelompok DMT2 obes yang diobati
dengan insulin dan orlistat selama setahun (Kelley 2002). Tonggak observasi penurunan
berat badan yang terdokumentasi dengan baik ialah studi XENDOS (Xenical in the
prevention od Diabetes in Obese Subjects) di Swedia selama 4 tahun dengan lifestyle dan
plasebo dan lifestyle + xenical. Hasilnya : amat mencolok perbaikan tensi, penurunan berat
badan > 5 %, LDL, insidensi diabetes (turun 37 % RRI), lingkar pinggang (VFO)
(Sjostrom 2002). Efek samping ialah gas trointestinal.
Penambahan sibutramine (= norepinephrine dan serotonin reuptake inhibitor) 15
mg/hari selama 6 bulan pada DMT2 obes yang diobati dengan sulfonilurea menghasilkan
penurunan > 5 % BB, BMI, lingkar pinggang, status glikemi lebih baik dari kontrol. Dalam
6 bulan telah berhasil dan menetap selama kira kira 2 tahun. (Serano Rios 2000,
Khaodhiar 2002).
Tindakan operatif pada kasus severe obese juga efektif dan berhasil membuat
remisi diabetes pada 64 %, perbaikan diabetes pada 26 % dan 10 % menetap. Dibuktikan
ada perbaikan faal sel pancreas dan sensitivitas insulin, perbaikan TG, HDL, tekanan
darah, depresi, apnoea dan kualitas hidup (Dixon 2002).

RINGKASAN
Dari data yang disajikan di atas jelas bahwa penurunan berat badan, meskipun tidak
mencapai berat badan ideal, cukup dengan 5 10% dari berat badan awal, minimal 5
pounds, telah dapat memperbaiki gangguan yang berhubungan dengan obesitas. Perbaikan
ini melibatkan hal yang dapat dikelompokkan dalam sindroma metabolic, diantaranya
BMI, tekanan darah sistolik maupun diastolic, dislipidemia, apo B, lemak visceral, PAI
1, t-PA antigen, lingkar pinggang, status glikemi bagi yang menderita diabetes (FBG,
PPBG, HbA1c), dan mampu menurunkan insidensi diabetes pada mereka dengan IGT.
Perubahan lifestyle dan mengatur diet (khusus restriksi energi) merupakan hal yang
mutlak perlu dilaksanakan, bersama atau sebelum terapi medikamentosa dimulai. Cara
apapun yang dipakai, termasuk terapi gastric-banding menghasilkan perbaikan metabolic,
psikologik serta fisiologik yang mengarah ke pencegahan komplikasi kardiovaskuler. Studi
Look AHEAD yang dimulai tahun 1999 adalah suatu studi prospektif yang didisain untuk
melihat apakah penurunan 7% berat badan pasien gemuk yang menderita diabetes dapat
mengurangi resiko infark jantung dan stroke.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abate N, Insulin resistance and obesity.diabetes Carew 1996;19 : 292.
2. ADA. The prevention or delay of type 2 diabetes. ADA position statement. Diabetes
Care 2002;25:742.
3. Anderson KM, Kannel WB. Obesity ang disease In: Obesity. Eds : Bjorntorp P,
Brodoff BN. JB Lippincott Company, Philadelphia, New York, London, Hagerstown,
1992 page 465.
4. biden TJ, Chisholm DJ. Insulin resistance vs insulin deficiency.In Diabetes in the new
mllenium. Eds Turtle, Kaneko, Osato. The endocrinology and Diabetes Research
Foundation of the University of Sydney, 1999, page 161.
5. Blackburn G. Effect of degree of weight loss on health benefits. Obesity Research, 3:
suppl, 1995:211S.
6. Boden F. Fatty acids and insulin resistance. Diabetes Care 1996;19;394.
7. Bjorntorp PA. Obesity. Lancet 1997;350;423.
8. Boyko MD, Fujimotot WJ, Leonetti D, Newell-Morris L. Visceral adiposity and risk
of type 2 diabetes. Diabetes Care 2000;23;465.
9. Davidson MH, Hauptman J, Foreyt JP et al. weight control and risk reduction in the
incedence of type 2 diabetes with lifestyle intervention or metformin. N Engl J Med
2002;346;393.
10. Diabetes Prevention Program Research Group (DPPRG USA). Reduction in the
incedence of type 2 diabetes with lifestyle intervention or metformin. N Engl J Med
2002;346:393.
11. Dixon JB, OBrien PE. Health outcomes of severly obase type 2 diabetic subjects 1
year after laporoscopic adjustable gastric banding. Diabetes Care 2002;25;358-363.
12. Djoko Wahono S. Bilogical roles of resistin in obesity : promising clinical
implications ? National Obesity Symposium I (NOS-1) 2002:23.
13. Garg A, Haffner SM. Insulin Resistance and Atherosclerosis, an overview. Diabetes
Care 1996;19;274.
14. Goldstein DJ. Beneficial health effects of modest weight los. Intern J Obesity
1992;16:397-415.
15. hanefeld M. The metabolic syndrome. Eds : Henefld M. leonhardt W. Gustav Fisher,
Jena Stutgart Lubeck Ulm, 1997 page 13.

16. Heymsfield SB, Segal K, Hauptman J et al. effects of weight loss orlistat on glucose
tolerance and progression to type 2 diabetes in obese adults.

Arch Intern Mad

2000;160:1321.
17. Heilbronn LK, Noakes M, Clifton PM. Effects of energy restriction, weight loss, and
diet composition on plasma lipids and glucose in patients with type 2 diabetes.
Diabetes Care 1999;22:889-895.
18. Hollander PA, Elbein SC, Hirsch IB et al. : Role of orlistat in the treatment of obese
patients with type 2 diabetes. A-1-year randomized double-blind study. Diabetes Care
1998;21 (8) : 1288.
19. Hottamisligil GS, Peraldi P, Spiegelman BM. The Molecular link between obesity and
diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes 1996;3:16.
20. howarrd BV, Abboott #WGH. Swinburn BA. Evalution on metabolic effects of
substitution of complex carbohydrates for saturated fat in individuals with obesity
and NIDDM. Diabetes Care 1991;14:786.
21. Hughes K, Aw-Choon, Kuperan P, Choo M. Central obesity, insulin resistance,
syndrome X, lipoprotein (a), and cardiovaskuler risk in Indians, Malays and Chinese
in Singapure. J. Epidemiol Community Health 1997;51:394.

Anda mungkin juga menyukai